Kamis, 13 November 2008

Dewi Lestari (Dee): Tulisan Saya Harus Mencerdaskan






Ternyata Dewi Lestari atau Dee memiliki keprihatinan yang sama dengan sejumlah pekerja seni dan kalangan penggerak kreatifitas, bahwa di negeri ini sedang tumbuh suasana ‘tidak toleran’. Ada sebagian kelompok atau orang yang suka memaksakan kehendak, pikiran, pendapat, dan keyakinannya. Akibatnya, orang lain atau siapa saja yang tidak sependapat dengan kehendak dan pikiran kelompok tersebut, sepertinya harus segera ‘ditundukkan’ atau ‘dipaksa’ mengikuti kemauan mereka.

“Saya agak khawatir dengan adanya kelompok-kelompok ekstremis yang memaksakan nilai tertentu dalam kerangka berekspresi. Kalau dibiarkan bisa membawa kesenian Indonesia terpuruk mundur, bahkan bisa membentuk karakter masyarakat yang tidak lagi kondusif untuk berkesenian,” tegas Dewi kepada Pembelajar.com.

Dalam serial novel Supernova-nya maupun esai-esainya, Dee memang dikenal memiliki ketajaman berpikir dan beranalisis. Ada nuansa pendobrakan, anti kemapanan, kegelisahan dan pencarian hal-hal yang sangat substantif sifatnya. Dee memang suka berfilsafat, seperti yang dia perlihatkan dalam karya terbarunya berjudul Filosofi Kopi (True Books & Gagas Media, 2006). Dalam buku yang berisi esai dan cerita pendek ini ia seperti hendak menggoda pembacanya supaya tidak sekadar memandang segala sesuatu seperti di permukaannya saja.

Dalam Filosofi Kopi, kembali Dee yang kelahiran Bandung, 20 Januari 1976, ini mengajak kita untuk berpikir lebih menjorok ke ranah substantif. Istri dari penyanyi kenamaan Marcell ini juga mengajak pembacanya untuk jadi cerdas. Seperti yang dia ungkapkan sendiri, “Tulisan saya harus bisa mencerdaskan dan mengusik keingintahuan orang untuk belajar lebih banyak lagi.” Tak heran jika karya-karya best seller-nya banyak dipuji kritikus sastra serta beberapa kali masuk dalam nominasi Katulistiwa Literary Award, sebuah penghargaan bergengsi di bidang sastra.

Kepada Edy Zaqeus dari Pembelajar.com, Dee mengungkap proses kreatif di balik karya terbarunya, Filosofi Kopi. Ia juga mengungkap soal arti sukses dalam dunia kepenulisan dan pentingnya branding bagi seorang penulis, motivasi menulis, cara memperlakukan ide, termasuk keprihatinannya terhadap panggung kreatifitas di negeri kita akhir-akhir ini. Berikut petikannya:

Kalau diungkap dalam kalimat-kalimat sederhana, Filosofi Kopi itu buku tentang apa?
Filosofi Kopi pada dasarnya adalah kumpulan cerita yang saya kumpulkan dalam kurun waktu 10 tahun. Jadi isinya bermacam-macam. Setelah selesai mengompilasi barulah saya menyimpulkan sendiri bahwa benang merah cerita-cerita dalam buku ini adalah kisah tentang cinta yang bertransformasi, dari sekadar kumpulan emosi menjadi sebuah jatidiri.

Mengapa memilih judul Filosofi Kopi?
Filosofi Kopi saya pilih karena catchy saja. Asosiasinya ke suasana orang mengobrol, berfilsafat kecil-kecilan, sambil ngopi-ngopi sore. Dan pada momen seperti itu, kisah apa saja bisa jadi bahan obrolan. Jadi, judul tersebut memiliki ruang tafsir yang luas dan bisa memayungi cerita-cerita lain.

Hal baru apa yang ditawarkan?
Membuat kumpulan cerpen merupakan hal baru bagi saya, karena sebelumnya saya dikenal sebagai novelis, dan orang mengetahui saya selalu dari kerangka Supernova. Jadi bagi saya, maupun pembaca saya, buku ini bisa jadi refreshment. Sekalian menguak sisi-sisi dari Dewi Lestari yang belum diketahui. Formatnya yang beragam bisa juga jadi hal baru. Dalam Filosofi Kopi, ada prosa-prosa pendek juga. Jadi nggak selalu dalam bentuk cerpen sekalipun judulnya adalah kumpulan cerita. Variasi format ini saya dapat dari buku kumpulan cerita penulis favorit saya, Ana Castillo. Gara-gara baca bukunya saya jadi terinspirasi untuk membuat kumpulan cerita. Selama ini, soalnya saya terpentok soal format. Saya kalau bikin sesuatu susah patuh pada batasan format. Bikin cerpen suka kepanjangan. Bikin puisi yang keprosa-prosaan. Atau prosa yang kepuisi-puisian, dsb. Yang melatarbelakangi penulisan buku ini?
Pertama, untuk mengisi jeda waktu. Berhubung saya masih belum kelar menuntaskan Supernova Partikel. Selain itu juga untuk refreshing. Setelah saya bongkar-bongkar dokumen di komputer, saya menemukan banyak karya saya yang belum ‘keluar rumah’. Saya selalu mengibaratkan karya itu seperti anak. Supaya anak tumbuh sehat, dia harus keluar rumah, jangan dikurung terus, kenalan sama orang banyak. Nah, jadi ini kesempatan juga bagi karya-karya saya yang selama ini masih tersekap di komputer untuk berkenalan dengan publik.

Dari mana saja ide penulisannya?
Dari mana-mana. Ada dari kecoak, dari kopi, dari orang yang obsesi mencari Herman, kisah cinta sendiri, kisah cinta orang lain, dsb. Semua penulis itu pasti seorang pengamat juga. Dan saya semata-mata menuliskan apa yang saya amati dari hidup.

Masih ada benang merahnya dengan novel-novel terdahulu?
Secara tema nggak ada. Benang merahnya adalah sama-sama ditulis oleh Dewi Lestari. Hehehe....

Apa buku ini menyiratkan Dee “yang baru” saat ini?
Dibilang baru juga enggak ya, karena kumpulan cerita ini hasil dari sejak tahun 1995. Jadi justru memberikan gambaran Dewi yang dulu. Karya yang bisa dibilang baru, yakni 2003-2005 hanya ada tiga judul.

Ok, berapa lama buku ini dipersiapkan?
Saya melakukan penyuntingan ulang atas manuskrip yang lama, dan itu kira-kira empat bulan.

Apa hambatan yang paling sering ditemui?
Hambatannya justru dimulai begitu naskahnya jadi. Jadi hal-hal teknislah. Produksi, promosi, distribusi, dll. Cukup alot juga cari penerbit yang bisa diajak join-production, sampai akhirnya saya memutuskan untuk kerja sama dengan Gagas Media. Karena itu kan masalah trust, chemistry, dan kecocokan dalam bekerja, dll. Sampai sekarang pun masih proses sama-sama menjajaki. Saya juga orang yang perfeksionis masalah produksi, jadi sampai sekarang pun masih terus menyempurnakan kualitas kertas, cetak, dll.

Punya waktu-waktu paling cocok untuk menulis?
Malam sampai pagi hari. Pokoknya setelah semua tugas ‘duniawi’ selesai dan setelah semua orang tidur. Nggak mungkin menulis kalau HP masih krang-kring, atau harus main sama anak, dsb.

Bagaimana cara mengatasi problem kemacetan menulis?
Saya sih membiarkan saja writer’s block itu hilang dengan sendirinya. Dalam arti nggak usah dipaksa atau jadi frustrasi kalau lagi mandek. Justru saya memanfaatkan momen-momen seperti itu untuk istirahat. Menulis itu kan menguras stamina mental dan batin. Jadi kalau ada mandek justru kita bisa penyegaran. Tulisannya jangan dipikirin dulu, pikirin yang lain-lain aja. Kalau ide itu kuat, pasti akan kembali dan bertahan. Kalo ide itu nggak kuat, pasti gugur dan kita harus cari lagi. Jadi konsep ‘survival of the fittest’ itu juga berlaku untuk masalah ide, menurut saya.

Siapa penulis-penulis yang paling menginspirasi karya Anda?
Saya sempat terpengaruh sekali oleh Sapardi Djoko Damono. Saya juga suka tema kontemporer yang ditawarkan Seno Gumira Ajidarma. Dan saya mengagumi gaya menulis Ayu Utami dan kepiawaiannya dalam mengolah bahasa.

Hal apa saja yang paling memotivasimu untuk terus menulis?
Menulis bagi saya adalah kebutuhan, ya. Jadi theurapetic sifatnya. Untuk menjadi manusia seimbang ya saya harus menulis. Memang untuk beberapa karya, seperti Supernova, saya punya misi khusus. Tapi tanpa itu semua, saya pasti terus menulis, karena butuh.

Dee, novel-novel Anda laris sekali di pasaran. Selain faktor isi, tampaknya sosok Dee sebagai selebritis juga berpengaruh?
Pada awalnya pasti berpengaruh. Karena saya sudah jadi penyanyi lebih dulu, otomatis saya adalah bagian dari media hiburan. Jadi ketika saya menulis buku akhirnya mendapat liputan dari media hiburan, dan ini tidak didapatkan oleh semua penulis. Tapi pada akhirnya sih isi tulisan yang paling menentukan laku atau tidaknya sebuah buku. Kalau hanya faktor sensasi pasti tidak akan bertahan lama, karena orang beli buku kan karena isi. Mungkin apa yang saya tulis adalah sesuatu yang bisa ‘relate’ dengan orang banyak.

Seberapa penting sih peran branding bagi seorang penulis?
Dengan gaya marketing dan tren pasar yang mengedepankan image seperti sekarang, branding memang jadi penting. Tidak lantas jadi segala-galanya, tapi bisa sangat menunjang kalau memang pas. Penulis sih pada dasarnya akan selalu kembali ke kualitas dan isi tulisannya. Jadi branding itu semata-mata strategi di level superfisial saja. Ada baiknya penulis itu tahu cara memposisikan diri dan memainkan image-nya, karena sekarang untuk bisa mempromosikan buku kita bisa kolaborasi brand dengan produk-produk komersial. Dan untuk bisa seperti itu, pihak sponsor pasti akan tanya dulu branding kita seperti apa, selaras atau enggak dengan produknya, dsb.

Anda pernah di puncak popularitas saat Supernova meledak di pasaran. Apakah Anda memaknainya sebagai sebuah kesuksesan bagi seorang penulis?
Salah satu parameter kesuksesan penulis memang ada di kuantitas penjualan bukunya. Tapi menurut saya banyak aspek lain. Bagi saya lebih bermakna ketika tulisan saya bisa menyentuh orang lain, atau mengubah hidup seseorang. Jadi kesuksesan itu individual sifatnya. Hanya kalau dilihat dari perspektif industri perbukuan sajalah kesuksesan itu sama dengan laku atau tidaknya buku di pasar.

Penulis, sama seperti pegiat kreatifitas lainnya, membutuhkan ruang kebebasan yang seluas-luasnya. Bagaimana pandangan Dee terkait kondisi kebebasan berekspresi dalam masyarakat kita belakangan ini?
Saya agak khawatir dengan adanya kelompok-kelompok ekstremis yang memaksakan nilai tertentu dalam kerangka berekspresi. Kalau dibiarkan bisa membawa kesenian Indonesia terpuruk mundur, bahkan bisa membentuk karakter masyarakat yang tidak lagi kondusif untuk berkesenian. Saya percaya kok masyarakat sesungguhnya lebih pintar dari yang diduga. Jadi mereka sendiri punya mekanisme sendiri untuk memilah mana yang baik dan tidak. Tapi sayangnya, sebagian masyarakat yang ‘kurang pintar’ sedang mendapat angin segar karena lemahnya regulasi pemerintah. Jadi seolah-olah seluruh masyarakat Indonesia itu begitu bodohnya dan tak berakal budi sampai segala objek yang berkenaan dengan panca indera itu harus diatur. Pendekatan ini sungguh salah dan tidak dewasa. Pengendalian itu dari pikiran, bukan lantas objeknya yang dikendalikan.

Harapan Dee?
Saya hanya berharap bangsa ini bisa semakin open-minded, semakin cerdas, dan semakin bijaksana, terutama masalah lingkungan. Moga-moga karya-karya saya bisa menyumbang sedikit kontribusi, karena prinsip saya dalam menulis adalah tulisan saya harus bisa mencerdaskan dan mengusik keingintahuan orang untuk belajar lebih banyak lagi.

Karya-karya apa lagi yang sedang dan hendak digarap saat ini?
Saya sedang menggarap Supernova Partikel. Masih dalam fase riset. Selain itu juga akan ada proyek ganda buku-musik, tapi mungkin baru dimulai akhir tahun ini.[ez]

Foto: Majalah Lisa.

Andrea Hirata: Menulis untuk Menggerakkan






Kehadiran Andrea Hirata Seman, penulis novel debutan Laskar Pelangi (Bentang, 2005) tampaknya cukup memberi warna jagad sastra dan pernovelan di Indonesia. Novel yang bercerita tentang kehidupan sekitar sepuluh anak-anak dalam memperjuangkan sekolahnya itu seolah memberi setitik kesegaran di tengah-tengah dahaganya pembaca terhadap karya-karya bermutu. Banyak orang memuji novel memoar tersebut karena jalinan ceritanya yang memang begitu sekaligus penuh muatan nilai moral. “Menyentuh...” kata Garin Nugroho. “Mengharukan...” kata Korrie layun Rampan. “Menarik...” komentar Sapardi Djoko Damono. “Kemelaratan yang indah...” tulis Tempo. ”Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian...” puji Gatra.

Andrea mengaku heran juga dengan sambutan publik yang begitu antusias atas novelnya yang sudah mengalami cetak ulang ke-3 dalam waktu tujuh bulan tersebut. Untuk ukuran novel “serius”, angka penjualan ini tentu menempatkannya dalam deretan buku best seller. Padahal, mungkin novel itu tidak akan pernah sampai ke tangan pembaca jika tidak ada seorang temannya yang diam-diam mengirimkan memoarnya tersebut ke sebuah penerbit. Tak heran jika novel Andrea ini dibilang “beruntung” oleh sebagian kalangan.

Namun, tak adil jika kelarisan novel bujangan kelahiran Belitong 24 Oktober ini, disebut hanya karena faktor beginner’s luck. Pujian dari sejumlah kalangan di atas sudah menjadi bukti bahwa novel ini benar-benar membekas di benak pembaca. Sebagai hadiahnya, buku ini ramai diperbimcangkan, diresensi, diulas di berbagai milis, dan akhirnya laris di pasar. Keseriusan Andrea dalam proses penulisan juga patut diperhatikan. Bagi pegawai PT Telkom Bandung yang alumnus (S-2) Sheffield Hallam University, Inggris dan Universite de Paris Sorbonne, ini menulis punya tujuan mulia. “Penulis yang sukses bagi saya adalah penulis yang mampu menggerakkan pembacanya untuk melakukan hal-hal yang luhur setelah membaca bukunya,” kata Andrea dalam wawancara tertulisnya dengan Edy Zaqeus dari Pembelajar.com. Berikut petikannya:

Sejumlah pembaca Laskar Pelangi mengaku novel ini menyegarkan sekaligus mengharukan. Ide apa yang melatarbelakangi penulisan novel ini?
Buku Laskar Pelangi (LP) pada awalnya bukan untuk diterbitkan. Niat saya untuk menulis buku ini sudah ada sejak saya kelas 3 SD, ketika saya demikian terkesan pada jerih payah kedua guru SD saya Ibu Muslimah dan Bapak Harfan Effendi, serta 10 sahabat masa kecil saya, yang disebut Kelompok “Laskar Pelangi”. Buku LP saya tulis sebagai ucapan terimakasih daan penghargaan kepada guru dan sahabat-sahabat saya itu. Seorang teman, tidak sengaja menemukan draft buku itu di kamr kos saya, dan diam-diam mengirimkannya pada penerbit. Sampai hari ini saya masih heran ternyata buku LP masih merupakan buku laris, dan telah dicetak tiga kali dalam waktu tujuh bulan. LP adalah novel pertama saya.

Dalam Laskar Pelangi terdapat lebih dari sepuluh karakter tokoh. Bukankah tidak mudah mengeksplorasi seluruh karakter tersebut?
Banyaknya karakter dalam LP merupakan salah satu kesulitan terbesar dalam menulis buku itu. Terutama memberi peran yang seimbang untuk setiap karakter. Karena karakter sahabat-sahabat saya yang unik. Saat ini saya sudah didekati beberapa produser untuk memfilmkan LP. Namun banyaknya karakter ini juga merupakan kesulitan bagi mereka. Barangkali berhubungan dengan budget. Saya rasa, saya dapat mengatasi persoalan menyeimbangkan peran setiap karakter dengan fokus kepada karakter Lintang dan Mahar.

Soal latar belakang dan lokasi kejadian, Anda cukup detail dalam novel ini... Semua nyata?
LP adalah sebuah memoar, oleh karena itu semua karakter dan kejadiaanya adalah nyata. Cara menulis saya memang cenderung detail, karena saya tertarik memberi gambaran yang filmis pada para pembaca.

Anda butuh survei data untuk penulisan novel ini?
Tentu saja, tetapi saya terbantu karena LP adalah memoar, artinya saya sudah memiliki informasi yang mengendap di kepala saya. Riset yang paling intensif adalah saya harus mengkonfirmasikan lagi beberapa hal yang berkenaan dengan Biologi, Fisika, dan Kimia waktu mendeskripsikan karakter Lintang yang jenius. Juga ketika mendeskripsikan anatomi kandungan material tambang di Belitong.

Menurut Anda, apakah sosok-sosok seperti Lintang ini banyak jumlahnya dalam kehidupan nyata?
Saya kira banyak … tetapi tidak terdeteksi, ter-manage, dan terabaikan.

Sejumlah pembaca Laskar Pelangi mengaku merasa kurang puas dengan ending novel ini. Sosok Lintang yang jenius hanya berakhir sebagai seorang pekerja kasar. Penjelasan Anda?
Saya mengerti pembaca menginginkan ‘pahlawan’, dan pembaca menginginkan ‘pahlawan’nya selalu menang dan hepi. Itulah kecenderungan orang terhadap fiksi atau karya-karya khayal. Tetapi LP adalah memoar. Dan itulah hidup dalam dunia nyata. Saya rasa pembaca dapat membedakan hal ini. Nasib Lintang begitulah adanya ….

Sekarang soal proses penulisan novel perdana Anda ini. Berapa lama Anda selesaikan novel ini?
Tiga minggu. Meskipun banyak yang mempertanyakan hal tersebut. Sampai dalam suatu forum milis dikatakan saya menulis dalam keadaan trance, di luar kemampuan saya. Apalagi mengingat novel itu sangat tebal 529 halaman. Dan saya tidak memiliki latar belakang sastra. Ini merupakan novel saya yang pertama. Namun kembali saya ingatkan LP adalah sebuah memoar. Oleh karena itu, setiap lembarnya sudah ada di kepala saya sejak lama.

Kapan saat-saat paling menyenangkan untuk menulis?
Kapan saja di luar jam kerja saya sebagai seorang pegawai BUMN. Saya saat ini bekerja di TELKOM. Dan saya berusaha mendidik diri saya sendiri untuk tidak tergantung pada mood. Saya kadang-kadang beranggapan bahwa mood adalah excuse bagi kemalasan.

Sekali duduk, biasanya berapa lembar bisa ditulis?
Bisa mencapai puluhan lembar. Saya kesulitan untuk berhenti jika sudah mulai menulis. Menulis menjadi kawan insomnia saya…

Apa hambatan terbesar yang Anda temui?
Keterbatasan waktu dan kondisi fisik yang tidak mampu menampung membludaknya ide dalam kepala saya.

Cara mengatasinya?
Saya mulai belajar untuk me-manage waktu dengan baik.

Bagaimana Anda menempatkan peran imajinasi dalam novel ini?
Novel adalah sebuah karya sastra, dan sastra tidak dapat dipisahkan dengan imajinasi. Imajinasi dalam LP tidak dimanifestasikan dalam bentuk mereka-reka karakter dan kejadian, tetapi di dalam cara menceritakan.

Ini novel debutan Anda. Menurut Anda, hal mendasar apa yang harus dikuasai oleh seorang penulis pemula saat membuat sebuah novel?
Saya orang yang belajar untuk menghargai semua genre tulisan sastra. Baik itu apa yang orang sebut chiklit, atau teenlit. Karena saya tahu menulis itu tidak mudah. Maka saya tidak punya pandangan tentang hal mendasar dalam teknis menulis. Pandangan saya adalah mengenai apresiasi. Dalam hal ini saya rasa karya dari seorang penulis bukan hanya persoalan bagaimana masyarakat akan menghargai tulisannya, tapi bagaimana ia sebagai penulis akan menghargai dirinya sendiri. Artinya, jika ia menghargai dirinya sendiri, hendaknya ia menulis sesuatu yang memiliki integritas. Tidak melulu patuh pada tuntutan pasar.

Apakah penulis pemula sudah harus menemukan ciri khasnya sendiri atau malah meniru penulis yang sudah sukses?
Menemukan ciri dalam menulis bukan persoalan gampang. Bahkan penulis yang sudah kawakan tak jarang tak kunjung memiliki identitas. Apalagi penulis yang baru. Namun penting sekali bagi seorang penulis untuk tidak meniru-niru orang lain.

Menurut Anda, definisi penulis yang sukses itu seperti apa?
Penulis yang sukses bagi saya adalah penulis yang mampu menggerakkan pembacanya untuk melakukan hal-hal yang luhur setelah membaca bukunya.

Saat ini sedang menggarap novel apa lagi?
Saya baru saja menyelesaikan novel kedua dari empat karya tetralogi Laskar Pelangi.

Kira-kira kapan novel tersebut terbit?
Novel kedua saya sedang dalam proses editing di penerbit. Insya Allah akan beredar bulan depan.[ez]

* Andrea Hirata dapat dihubungi melalui: pelangilintang@yahoo.com

Ade Kumalasari: Sekarang Ini Remaja Jadi Pelaku Budaya






Jagad pernovelan di Tanah Air belakangan benar-benar dimeriahkan oleh hadirnya pengarang-pangarang muda berbakat yang bila dilihat dari sisi produktivitas maupun variasi temanya, ternyata lumayan mencengangkan. Jumlah penulis-penulis bergenre teenlit (teen literatur) yang baru muncul, serta produktivitas mereka dalam menghasilkan karya, boleh dibilang agak meninggalkan rekan-rekan senior mereka yang bergerak di genre chiklitatau novel-novel dewasa lainnya.

Ade Kumalasari adalah satu di antara puluhan penulis baru di jagad penulisan novel-novel remaja ini. Baru-baru ini Mala, demikian panggilan akrabnya, meluncurkan novel keduanya yang berjudul Dengerin Dong, Troy! (Gramedia, 20067). Sebelumnya, alumnus MIPA UGM (2004) ini telah meluncurkan novel perdananya berjudul I’m Somebody Else (Kata-Kita, 2005). Mantan Pemimpin Redaksi koran kampus mingguan Bulaksumur Pos ini memandang bahwa pasar remaja memang sangat menantang untuk dimasuki. Ia juga menyambut baik banyaknya penulis remaja yang ikut meramaikan segmen ini. “Sekarang remaja jadi pelaku budaya, bukan penikmat saja,” komentar Mala.

Dalam wawancara dengan Edy Zaqeus dari Pembelajar.com, Mala yang kelahiran Muntilan 11 Desember 1979, ini membeberkan suka dukanya sebagai penulis baru. Salah satunya adalah perjuangannya dalam mengalahkan penyakit macet alias malas. Penulis yang mengaku tidak memiliki “darah menulis” ini punya kiat unik dalam mengatasi kemacetan, yaitu jauhi buku-buku bagus! Alasannya, itu akan semakin membuat kita frustasi manakala merasa tidak bisa menghasilkan karya “bagus”. Berikut petikan wawancara dengan ibu dari seorang anak ini:

Secara garis besar, apa isi novel terbaru Anda?
Dengerin Dong, Troy! berkisah tentang Cahaya Lintang, seorang ketua OSIS cewek, yang harus menghadapi banyak masalah menjelang peringatan lustrum sekolahnya. Mulai dari kegelisahannya karena belum pernah ada satu pun cowok yang naksir dia --kata sobatnya, karena Lintang terlalu pintar-- sampai cara menghadapi Troy, si komandan peleton inti di sekolahnya, yang ngotot mengadakan lomba baris berbaris yang potensial memicu tawuran sesudahnya.

Ide penulisan dari mana?
Tema besar tentang tawuran pelajar saya angkat dari pengalaman pribadi saya ketika menjadi ketua OSIS di SMA, dulu banget. Tapi ternyata tema tersebut masih relevan dengan kondisi sekarang. Masalah tawuran memang menjadi salah satu keprihatinan saya.

Berapa lama menggarap novel ini?
Sekitar tiga bulan, mulai dari menentukan tema besar, merancang tokoh-tokoh dan alur, menulis, sampai sentuhan akhir. Ini sudah termasuk ngambeknya juga loh!

Dikaitkan dengan proses penulisan, apa beda novel ini dengan novel sebelumnya?
Bedanya ada pada penokohan, sudut pandang atau point of view penceritaan dan tema. Novel saya terdahulu I’m Somebody Else tokohnya seorang artis remaja yang kuliah tingkat awal. Saya samapi harus baca-baca tentang gaya hidup remaja perkotaan sekarang dari majalah-majalah. Sementara tokoh novel saya yang baru adalah remaja biasa saja, dan dari desa. Ini sih bisa diingat-ingat dari kehidupan remaja saya dulu. Untuk penokohan, saya biasanya mengambil modeling tokoh tertentu di dunia nyata. Atau gabungan beberapa tokoh untuk lebih memudahkan menghidupkan sang tokoh dalam imajinasi.

Kalau dari sudut penceritaan, bedanya?
Saya memakai sudut pandang orang ketiga untuk novel pertama dan sudut pandang orang pertama atau aku untuk novel kedua. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Di novel pertama, saya bebas mengeksplorasi kejadian-kejadian yang menimpa tokoh-tokoh lain selain tokoh utama. Tapi eksplorasi perasaan si tokoh utama kurang maksimal. Sementara di novel kedua, saya bisa dengan detil menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh utama. Tapi kejadian-kejadian yang tidak dialami langsung oleh tokoh utama jadi kurang tergarap.

Lagi-lagi cinta jadi tema utamanya, ya?
Saya selalu berusaha mengangkat tema yang tidak melulu soal cinta. Kisah cintanya tetap ada karena memang ini menjadi ‘bumbu wajib’ novel remaja. Tapi harus ada tema besar lain. Di novel pertama saya mengangkat masalah pencarian jati diri, sementara di novel kedua tentang tawuran pelajar.

Hambatan saat menyelesaikan novel-novel ini?
Seperti umumnya para penulis lain, saya kira adalah mengalahkan rasa malas! Kadang saya merasa “blank”, nggak tahu apa yang harus saya tulis selanjutnya. Tapi mestinya perasaan seperti itu harus dilawan.

Problem utamanya tetap kemacetan?
Ya, kalau boleh saya bilang sih, kemacetan sama dengan kemalasan. Ini saya nggak nyindir siapa-siapa, lho. Saya sendiri sering banget mengalami kemacetan.

Cara mengatasinya?
Saya punya trik begini. Biasanya kalau lagi macet atau malas menulis, saya membaca buku-buku. Satu, baca buku-buku bagus untuk mendapatkan inspirasi cara menulis atau bercerita dengan baik. Dua, baca buku-buku “jelek” untuk membangkitkan semangat, “Ah, kalok cuman gini sih, saya juga bisaaa!!!” Biasanya sih mood langsung bangkit lagi. Apalagi kalau buku yang dibaca bener-bener “cemen”. Saran saya sih, jangan cuma membaca buku-buku bagus saja. Nantinya malah semakin membuat frustasi bahwa Anda tidak bisa menulis sebagus itu. Lebih bagus kalau Anda bisa menemukan karya orang-orang yang Anda kenal. Misalnya, karya teman masa kecil Anda yang sama sekali nggak punya “potongan” untuk jadi penulis, waktu itu, sehingga bisa membuat Anda “kebakaran”.

Ada trik lain?
Masih banyak kok! Kalau bosan membaca, saya menonton film. Menonton gosip seleb atau surfing di internet. Ide novel pertama saya berawal dari nonton acara gosip, lho! Intinya, kita tidak bisa hanya diam dan menunggu ide, atau menunggu kata-kata bagus muncul. Kata-kata itu sebenarnya sudah beterbangan di udara, kok. Kita tinggal memaksakan diri untuk menangkapnya saja. Nasihat penting, terutama untuk diri saya sendiri, jangan memberi makan pada rasa malas!

Sebagai penulis pemula, apa dulunya kesulitan mendapatkan penerbit?
Alhamdulillah, saya tidak bermasalah dengan penerbit. Naskah pertama saya, begitu saya kirim, selang sehari kemudian langsung mendapat tanggapan positif dari penerbit. Mungkin karena saat itu belum banyak saingan, ya. Naskah kedua saya di penerbit besar ‘hanya’ sebulan masuk daftar tunggu. Malah, menurut saya, kesulitannya adalah masalah mental. Dulu, sebelum naskah saya selesai, saya sulit sekali menepis anggapan-anggapan: “Apa ada yang mau nerbitin karya saya ya?” “Ah, jangan-jangan naskahku ini jelek.” Penulis yang berkutat dengan perasaan negatif seperti itu nggak akan pernah selesai menulis.

Tanggapan Anda terhadap munculnya penulis-penulis muda di genre chiklit dan teenlit?
Saya senang sekali dengan munculnya banyak penulis-penulis muda sekarang ini. Semakin banyak malah semakin bagus. Munculnya karya-karya populer seperti ini sangat bagus untuk merangsang budaya membaca di kalangan anak-anak muda. Bahkan sekarang, enggak cuma membaca, tapi juga menulis. Akhirnya sekarang ini para remaja bisa menjadi pelaku budaya, bukan cuma penikmat saja.

Banyak sekali karya-karya lokal bermunculan. Apakah peluang pasar untuk novel-novel jenis ini masih lumayan?
Ya, saya rasa pasar untuk novel-novel remaja masih terbuka lebar. Saya termasuk orang yang optimis. Tapi untuk bisa bersaing dengan karya yang bergenre sama memang harus dibarengi dengan kualitas tulisan, serta tema yang menarik dan baru.

Apakah novel-novel yang muncul belakangan bakal sanggup menembus angka raihan novel-novel terdahulu seperti Eiffel I’m in Love, Fairish, atau Delaova?
Saya rasa ketiga novel tersebut bisa menembus angka penjualan yang spektakuler karena kasus khusus. Eiffel I’m in Love dan Dealova adalah novel-novel lokal remaja yang pertama memasuki pasar. Waktu itu belum ada saingan dan novel-novel jenis ini belum semeriah sekarang. Praktis mereka membukukan penjualan yang tinggi. Ditambah lagi efek dari popularitas film dan sinetron.

Kalau ingin benar-benar menembus angka penjualan yang tinggi memang tidak semudah novel-novel tersebut. Tapi saya rasa masih bisa, asalkan temanya benar-benar menarik, baru, dan didukung oleh promosi yang bagus.

Akan tahan berapa lama lagi tren novel-novel jenis ini?
Menurut saya, novel-novel jenis ini akan tetap ada sampai tahun-tahun mendatang. Karena memang ada kebutuhan bacaan untuk remaja. Yang berbeda mungkin bentuk dan temanya saja. Kita ingat dulu tahun 1980-an, remaja kita gandrung dengan serial Lupus dan juga novel-novel karya Gola Gong yang lebih “laki-laki”. Sekarang ini yang sedang booming adalah novel-novel yang “cewek banget”. Siapa tahu nantinya akan kembali lagi tren novel petualangan untuk cowok. Mengingat sekarang ini remaja cowok enggak punya bacaan. Alangkah mengerikan kalau mereka malah membaca bacaan pria dewasa. Atau mingkin tren bergeser ke arah novel grafis yang akan digencarkan oleh salah satu penerbit besar di sini. Tapi, pasar untuk bacaan remaja tetap akan ada.

Bagaimana dengan peluang novel metropop?
Novel metropop punya pangsa pasar tersendiri, yaitu para perempuan, dan sedikit laki-laki mungkin, yang sudah beranjak dewasa dan sudah mempunyai penghasilan sendiri. Peluang novel jenis ini masih terbuka lebar, terutama untuk para penulisnya. Karena memang belum banyak penulis lokal yang terjun ke novel jenis ini. Dari data lomba penulisan novel metropop di salah satu penerbit, peserta yang mengirim karya hanya seperlima dari peserta lomba penulisan novel remaja.

Kabarnya Ada juga menyasar novel anak. Seberapa prospektif segmen ini?
Pangsa pasar buku anak-anak punya keunikan tersendiri. Anak-anak mungkin punya pilihan sendiri, tapi yang menentukan untuk membeli adalah orang tuanya. Di pasaran saat ini, saya menemukan banyak novel anak yang ditulis orang dewasa, yang berkesan ingin menggurui, mengarahkan, dan memberi pesan moral. Memang orangtua punya kecenderungan untuk menasihati, ya? Saya tidak yakin anak-anak akan senang membaca novel-novel seperti itu. Saya rasa peluang untuk novel anak masih terbuka lebar, untuk cerita-cerita yang lebih imajinatif, misalnya petualangan. Lebih segar dan yang memberi pesan tanpa harus terkesan menggurui.

Sedang menggarap karya apa sekarang?
Sementara ini saya masih berkonsentrasi dengan novel remaja karena memang gaya penulisan saya cocok dengan jenis novel ini. Tapi saya juga bercita-cita untuk menulis skenario dan beranjak ke novel-novel “serius”. Setiap orang kan punya tahapan untuk berkembang. Sekarang ini saya masih dalam tahap belajar menulis. Suatu saat saya pasti akan sampai ke sana.

Terakhir, apa yang paling memotivasi Anda untuk terus menulis?
Yang paling memotivasi adalah momen ketika melihat orang-orang yang saya cintai membaca ucapan terima kasih di buku saya dan tersenyum bangga. Juga momen ketika saya membaca surat yang mengatakan, “Aku jadi semangat menulis karena terinspirasi tulisan Kak Mala.” Itulah hal yang paling saya inginkan dalam hidup: menjadi berarti, untuk diri sendiri dan untuk orang lain.[ez]

Catatan: Ade Kumalasari dapat dihubungi di: cikelin@yahoo.com atau blognya di: www.adekumalasari.com.

Muhidin M. Dahlan: Saya adalah Nabi Kegelapan






Berani! Itulah kesan yang tertangkap pada sosok anak muda asal Sulawesi ini. Muhidin M. Dahlan, novelis yang lahir tahun 1978, ini telah mewarnai dunia sastra Indonesia dengan torehan pena yang tajam. Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ini memang telah gagal dalam menyelesaikan studinya di Universitas Negeri Yogyakarta dan IAIN Sunan Kalijaga. Namun, ia yang akrab dipanggil Gus Muh ini ternyata mampu berbicara melalui karya sastra.

Ia bahkan telah menggoresi hati sejumlah kalangan dengan beragam kesan. Betapa tidak? Penulis tak kurang dari tujuh novel ini sempat mengguncang dengan novel-novelnya seperti Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003), Adam Hawa (2005), dan Kabar Buruk dari Langit (2005). Muhidin seperti membenarkan sinyalemen belakangan ini, bahwa telah muncul kembali cara-cara pemahaman dan penerjemahan nilai-nilai agama secara sempit atau sektarian.

Muhidin sendiri adalah “alumni” dari komunitas yang sangat membenci Pancasila dan menganggap membom gereja adalah sebuah prestasi. Tapi, ia berhasil memerdekakan diri dari belenggu indoktrinasi semacam itu. Berbekal kesadaran dan pencerahan yang diperolehnya, ia mulai melakukan otokritik. Namun, Muhidin tidak hendak menyatakan kritiknya itu dengan ramai-ramai demonstrasi di jalan. Ia memanfaatkan kekuatan dan ketajaman pena sebagai medium penggugah kesadaran dan penyebar daya otokritik. Muhidin menggugat dengan sastra, dengan tulisan, salah satu cara yang elegan dalam berpolemik.

Alhasil, dia bukan saja menerima komentar, sanggahan, atau kritikan, tapi juga memanen kecaman dan kutukan. Novelnya Adam dan Hawa telah membuat Majelis Mujahidin Indonesia gerah dan melayangkan somasi kepadanya. Lalu, di berbagai kesempatan bedah karyanya, Muhidin disumpahi dan dilaknat. Ia masih sedikit lebih beruntung ketimbang Ulil Abdala yang sempat dihadiahi fatwa hukuman mati oleh suatu kelompok muslim. Walau begitu, dalam sebuah diskusi karyanya Muhidin sempat dianugerahi gelar Nabi Kegelapan.Luar biasa!

Dengan segala kontroversinya, kehadiran Muhidin dengan karya-karya alternatifnya itu layak diapresiasi. Di tengah-tengah masyarakat yang lebih suka memaksakan “kaca buram” untuk melihat dan menilai diri sendiri, Muhidin membawakan semangkuk “air sastra” nan jernih yang bisa dipakai untuk berkaca dan mengkritisi diri. Berikut petikan wawancara Edy Zaqeus dari Pembelajar.com dengan Muhidin:

Anda dikenal sebagai salah satu penulis yang cukup berani “mengobok-obok” wilayah ketuhanan dalam novel-novel Anda. Mengapa mengambil posisi demikian?
Yang perlu ketahui awal-awal, saya dibesarkan di lingkungan masjid. Saya jadi takmir masjid beberapa tahun, dilatih berkhotbah, dan men-training anak-anak remaja untuk militan beragama. Dan, kalau bisa berprestasi membom gereja dan membenci Pancasila sedalam-dalamnya. Dan, pada satu titik balik, saya disadarkan bahwa apa yang saya lakukan adalah kebodohan diri saya sendiri yang memang tak kenal dunia luar. Tak kenal buku. Jogja telah memurtadkan saya atas semua apa yang saya panggul dari kemasalaluan saya, di kota udik Sulawesi sana.

Dalam beberapa karya Anda seperti Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Adam Hawa dan Kabar Buruk dari Langit, Anda berani sekali melakukan semacam otokritik dan pembongkaran terhadap kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan religiusitas. Apa tujuan Anda?
Ya, seperti saya bilang dari awal. Tujuan saya adalah mendialogkan kembali apa-apa yang berlalu, yang saya alami, dan apa-apa yang berada di hadapan saya. Terlalu naif bila ada orang bilang saya merusak nilai-nilai agama, mendidik anak-anak muda untuk berpaling dari agamanya yang besar ini. Saya ini siapa? Saya ini nggak ada apa-apanya dibanding para pengkhotbah agama itu. Muhidin itu siapa toh?

Anda tidak takut menghadapi reaksi kelompok-kelompok tertentu yang tidak setuju dengan pandangan-pandangan Anda tersebut?
Saya menganggap kelompok ini teman-teman saya. Sebab, saya juga punya hubungan ke mereka. Maklum, saya pernah bergiat di kelompok-kelompok pengajian dengan tarikan garis yang sama-sama militan. Tapi awalnya saya merinding juga ketika saudara-saudara seiman saya itu mencerca. Misalnya, sewaktu salah satu pembicara dari kelompok Hizbut Tahrir menyerang saya secara terus-menerus dalam bedah buku Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (TIAMP!) di Fakultas Hukum UGM. Sejak awal panitia sudah mentestimoni, bahwa diskusi akan panas. Sebab, beberapa hari sebelumnya sejumlah percetakan menolak mencetak pamflet diskusi buku itu. Dan benar saja, saya diserang dari samping dan depan. Hizbut Tahrir menuduh saya sebagai marxis dengan kebencian kepada agama yang aduhai... Saya adalah “nabi kegelapan”. Bahkan saya disumpahi masuk neraka dan murtad. Siapa yang nggak merinding dibilang murtad? Konsekuensi murtad itu berat lho! Mengikuti definisi salah satu intelektual Ikhwanul Muslimin, Yusuf Qardhawi, saya itu bila murtad akan diusir dari negara dan hak-hak saya dirampas paksa. Saya harus bercerai dengan istri saya, saya harus meninggalkan anak saya. Berat toh?! Dari peserta juga menyerang, membentak-bentak, dan suruh saya disembelih saja! Pusing saya menghadapinya. Bukan cuma itu, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, saya dikeroyok oleh sekitar 1.500 peserta dan dikatai tukang fitnah yang kejam. Saya ini mereka tuduh telah mencemarkan kampus itu, yang mereka klaim sebagai latar cerita dan tokohnya kuliah di kampus itu. Dua kali saya disidang tim dosen untuk me-rechek soal kebenaran dalam buku itu. Setahun saya absen menulis gara-gara kasus buku ini. Setahun itu saya hanya sibuk menangkis serangan yang berulang-ulang dan itu-itu saja, ya di Jogja, Jakarta, Magelang, Malang, Jombang, Makassar, bahkan sampai Palu.

Lalu tentang Adam Hawa yang juga disomasi itu?
Ini yang tak terduga. Yang saya risaukan dan bikin saya deg-degan adalah nasib buku Kabar Buruk dari Langit, jangan-jangan diserang juga. Tapi tidak. Malah Adam Hawa yang kena jerat. Majelis Mujahiddin Indonesia yang memperkarakan novel itu dari resensi di Media Indonesia. Dan somasi itu bukan hanya kepada saya, tapi juga ke pemimpin redaksi Media Indonesia. Saya dituduh yang seram-seram, telah meneror Allah, menghina sejarah nabi, dan disuruh minta maaf. Siapa mau minta maaf? Enak saja mereka! Tapi nggak tahu kasusnya meredup gitu saja setelah kasus Lia Aminuddin membesar. Mungkin mereka sudah menangkap tokoh Taman Eden-nya di Jakarta Pusat, ha ha ha ha.

Pendapat Anda terkait ancaman hukuman mati terhadap Salman Rusdi, penulis novel Ayat-Ayat Setan atau kasus Ulil beberapa waktu lalu?
Ini soal kedewasaan beragama. Ini juga soal terlalu inferioritasnya umat Islam ini. Kalau memang agama ini kuat, masak hanya buku Rushdie dan ide nakal Ulil bisa luluh-lantak ini agama? Yang benar saja! Lemah betul ini agama kalau begitu... Bertandinglah yang fair. Jangan unjuk sana unjuk sini dengan menenteng pedang dan menggertak-gertak. Bantah dengan alat yang setimpal. Kalau Rushdie nulis buku, bantah dengan buku. Saya kira itu yang lebih dewasa. Tarunglah dengan buku, saudara...

Nilai-nilai apa yang sebenarnya Anda perjuangkan melalui novel-novel Anda selama ini?
Ingin menilai dan mengadili diri sendiri secara jujur dan terbuka. Bahwa, dalam tubuh umat Islam itu sendiri masalah bertumpuk-tumpuk dan boroknya juga banyak. Sejarah umat ini pun adalah sejarah yang dikobarkan dengan darah. Mengerikan sekali. Bahkan sisa-sisanya masih terlihat dengan banyaknya para penenteng pedang di pinggir-pinggir jalan.

Seberapa banyak penulis lokal yang memiliki pandangan atau visi perjuangan semacam itu?
Saya tak tahu persis. Tapi beberapa anak muda di NU dan Muhammadiyah juga gelisah dengan diri dan dalam perut organisasi yang selama ini melahirkan mereka. Dan ini sah-sah saja.

Dari sisi Anda sebagai seorang penulis, apa perbedaan utama di masa Orde Baru lalu dengan masa sekarang ini?
Kebebasan. Ya, kebebasan yang tiba-tiba saja datang membandang. Bahkan negara pun tak sanggup menahannya.

Dari sisi kebebasan berkarya, beraspirasi, dan beridiologi, apakah Anda melihat adanya tanda-tanda pergeseran otoritarianisme dari negara (vertikal) ke masyarakat (horisontal)?
Iya. Saya secara pribadi merasakannya bagaimana harus berhadapan langsung dengan masyarakat yang tiba-tiba lebih polisi dari polisi. Padahal, sejak kecil saya sudah takut lihat polisi, ha ha ha.... Tapi ini masih tataran wajar dalam sebuah masyarakat yang selama ini dikekang habis-habisan haknya untuk berpendapat. Ntar dewasa sendiri juga. Yang penting pemerintah harus kuat dan konsekuen dalam menegakkan hukum agar kepercayaan masyarakat ini kepada negara sebagai pelindung bisa pulih lagi.

Sekarang menyangkut proses kreatif. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap produktivitas menulis?
Ketegangan dalam diri sendiri. Kegelisahan yang mengambak-ngambak dalam pikiran. Semakin kuat keresahan itu, semakin mengalir tulisan itu. Lagi pula, saya nggak punya keterampilan lain selain menulis. Dan tentu saja bikin anak. Ha ha ha ha...

Dari mana ide-ide novel Anda datang?
Dari mana saja. Bahkan dari pertemuan tiba-tiba dengan seorang teman. Novel TIAMP! adalah novel yang jadi tatkala temanku yang berjilbaber pingin jadi pelacur. Lalu ia bercerita dengan sangat lancar seminggu lamanya di tiga kampus. Lalu saya tulis seminggu. Saya edit seminggu. Lalu jadi. Yang menguras tenaga banyak adalah Kabar Buruk dari Langit. Saya harus mendaki pundak Merapi. Di Kali Adem yang beberapa waktu lalu udah hangus itu, saya dirikan tenda kecil. Tiap hari begitu selama enam bulan, kecuali Minggu karena ramai,. Di sana saya mencatat kelebatan imajinasi dan juga catatan dari buku-buku sejarah tentang Islam Sufi di abad 17 di Indonesia. Novel Adam Hawa lebih ringan. Cukup saya duduk setiap malam selama sepekan di depan Benteng Vredeburg Jogja sampai subuh, lalu saya menulis ulang kisah Adam yang tak terceritakan dalam Kitab Suci. Dengan hati berbunga-bunga saya menuliskannya, bahkan tertawa terbahak-bahak sendiri seperti orang gila di Malioboro. Untuk menangkap bentuk Pohon Quldi, saya melihat secara seksama pohon beringin di depan kraton itu.

Anda termasuk cukup berani dan punya kekuatan dalam hal pemilihan judul-judul novel. Seberapa berpengaruhnya judul dalam sebuah novel?
Judul itu penting, tapi tak selamanya demikian. Ada juga judulnya biasa-biasa saja tapi menarik perhatian dan bahkan melegenda. Judul-judul buku Pram biasa-biasa saja, bukan? Tapi perbedaan karakter dan pengalaman setiap penulis menjadi pembeda bagaimana mereka menorehkan judul.

Anda percaya anggapan bahwa judul yang menohok atau kontroversial pasti menarik perhatian pembaca?
Bagi saya pribadi, judul-judul memukul dan mematikan yang demikian, seperti sudah sangat akrab dan mungkin menjadi karakter karya-karya saya. Bahkan dalam menuliskan esai sekalipun. Entah sebuah judul menarik perhatian pembaca atau tidak, saya tak terlalu memikirkannya. Karena sebelum bangunan cerita jadi, saya sudah mengutak-atik judul. Sebab, judul itu yang menjadi pemandu saya dalam menuliskan isi cerita itu. Jadi bukan tor atau bagan karangan kayak di SMP-SMA itu lho, tapi judul. Nah, untuk bisa sampai ke tangan pembaca, biarlah penerbit punya urusan itu. Sebab bagi saya, menulis itu kerjaan penulis. Mereka disebut penulis kalau menulis. Benar kan, begitu? Soal bagaimana judul, kembalikan ke setiap penulis yang macam-macam karakternya itu.

Siapa atau karya-karya apa yang paling mempengaruhi Anda?
Pramoedya Ananta Toer. Dia master saya. Mas Edy, saya itu sampai 2001 satu masih menyimpan ketaksukaan yang akut pada sastra. Bayangkan, sebelum-belum itu saya tak suka sastra. Kasihan sekali. Itulah, karena di sekolah STM dan dalam kelompok organisasi yang saya masuki itu, sastra itu nggak disentuh sama sekali. Bacaan sehari-hari ya Quran dan buku-buku agama. Itu pun buku fiqih. Juga ideologi kebencian terhadap ideologi Pancasila. Jadi wajar kalau di kampus dulunya saya heran, kenapa ada orang masuk jurusan sastra Indonesia? Memalukan sekali saya itu. Tapi Pram menyelamatkan saya dari kebencian barbar itu. Walau saya berbeda sama sekali dengan tema-tema yang dipilih Pram, tapi spirit menulisnya yang gigih dan tak kenal lelah menjadi pendorong untuk menulis cerita. Dan saya tahu, karya-karya saya nggak bagus. Tapi Pram menasehati, tulis terus apa yang kamu alami, jangan takut dikritik, lama-lama mereka juga akan melirikmu. Makanya, ketika master itu meninggal, saya dan beberapa kawan persembahkan sebuah buletin edisi khusus untuk Pram. Pengantar keberangkatan kepada seorang guru.

Dalam dunia kepenulisan, ada dikotomi klasik: penulis idealis dan penulis nonidealis alias pasar. Pendapat Anda?
Nggak ada! Dan saya tak percaya dengan dikotomis itu. Itu kerjaan kritikus. Dan itu hak mereka. Benar-benar saja. Kalau saya ditanya, ya semuanya saya perlakukan sama. Karya Akmal Basral yang intelektuil sama saja derajatnya dengan karya Fredy S yang sering membuat basah celana itu. Tinggal suka-suka pembaca memilih. Terkadang orang butuh kesegaran, maka mereka membaca yang ringan-ringan saja. Kan dunia ini tak harus dipenuhi oleh karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana yang supraberat itu, tapi juga novel Motinggo Busye yang sering bikin jakun naik-turun, itu harus ada. Untuk keseimbangan anatomi tubuh. Masalahnya, produksilah sebanyak-banyak buku, sebanyak-banyaknya cerita. Jangan takut overload. Kita butuh sebanyak-banyaknya penulis.

Sebagai penulis, Anda meletakkan diri di “posisi” mana?
Ha ha ha, saya ini hanya, kalau boleh meminjam pendapat Emha Ainun Nadjib, penulis kelas slilit. Tahu slilit, kan? Itu lho, sampah kecil yang menyergap di sela-sela gigi. Di situlah posisi saya. Kecil, jelek, ampas, bau, tapi jelas sangat mengganggu kenyamanan Anda sebelum ia dilenyapkan. Bahkan, bisa membuat Anda sakit gigi. Tapi walau begitu, slilit bisa menghidupi ribuan orang lho. Lha, sampai-sampai ada industri tusuk gigi kan? Ini juga soal, kenapa tidak dinamakan tusuk slilit? Kan yang ditusuk slilit. Bahkan menyebutnya pun orang malu. Nah, Mas Edy, di situ itu posisi saya. Menyebutnya pun orang malu.

Definisi penulis yang sukses dan berarti menurut Anda?
Kalau saya membikin Anda sakit gigi beberapa hari....ha ha ha .... Akhir cerita saya jarang berakhir bahagia, seperti orang sakit gigi.

Ok, karya apa lagi yang sedang Anda siapkan?
Novel psikologi. Beberapa waktu lalu saya berjumpa seorang perempuan cantik, putri kiai di pesantren Bekasi yang sekarang kuliah di Ciputat. Saya sudah mewawancarainya di Bogor. Diam-diam dia berencana membunuh ibunya sendiri. Itu tema yang sedang saya garap sekarang. Semoga slilit yang ini tak membikin orang sakit gigi. Judulnya: Kalian Harus Tahu Kenapa Aku Membunuh Ibuku.[ez]

Safak Muhammad: Gerakan Nasional Keberkahan Finansial untuk Atasi Kemiskinan dan Korupsi





Buku-buku mengenai how to get rich sesungguhnya tidak terlalu umum dalam literatur Islam. Persoalannya, ada semacam pemahaman pada sebagian umat Islam, bahwa mengejar kekayaan sama saja dengan mengutamakan kehidupan duniawi. Seperti diungkap Safak Muhammad, seolah-olah urusan kaya atau miskin itu sesuatu yang tidak bisa ‘diotak-atik’ atau sudah takdir. “Jadi, tidak usah dibahas lagi bagaimana mendapatkannya! Urusan rezeki, jodoh dan mati itu hanya urusan Tuhan. Inilah yang sering menjadi rujukan berpikir bagi sebagian besar orang Islam,” ugkap Safak, yang baru saja meluncurkan buku ketiganya berjudul Keberkahan Finansial (Solusi Qolbu, 2006).

Namun menurut Safak, sejatinya Islam itu sangat concern dengan masalah kemakmuran umatnya. “Kefakiran atau miskin mendekati kekufuran,” kata Safak mengutip sabda Nabi Muhammad SAW. Tapi sayangnya, Safak melihat selama ini yang dominan dalam Islam adalah kajian-kajian tentang keburukan akibat memiliki kekayaan. “Umat ini ditakut-takuti terus. Sementara, siapa sih yang tidak pingin kaya?” tambahnya.

Itulah sebabnya, melalui buku terbarunya tadi, Managing Director Media Sukses ini hendak membuka mata umat Islam supaya tidak alergi dengan kekayaan. Bahkan, Alumni Magister Managemen Agribisnis IPB Bogor, ini mengajak umat untuk berlomba-lomba mencari kekayaan dengan cara dan tujuan yang benar. Menurutnya, mencari kekayaan dengan cara dan tujuan yang benar, serta dengan prinsip-prinsip Islami pastilah akan membawa kebaikan bagi umat. Itulah sebabnya, penulis buku best seller berjudul Kaya Tanpa Bekerja (Republika, 2004) dan Cara Mudah Orang Gajian Menjadi Entrepreneur (MediaSukses, 2005) ini mencanangkan: Gerakan Nasional Keberkahan Finansial untuk Atasi Kemiskinan dan Korupsi.

Nah, untuk mengetahui seluk-beluk gerakan pengentasan kemiskinan dan korupsi tersebut, serta konsep menjadi kaya secara Islami, Edy Zaqeus dari Pembelajar.com secara khusus mewawancarai Safak Muhamad. Berikut petikan wawancaranya:

Apa pengertian konsep keberkahan finansial dalam buku terbaru Anda itu?
Keberkahan finansial yang saya maksudkan adalah bertambahnya kebaikan atas uang atau finansial yang kita miliki. Bahasa lugasnya, semakin kaya seharusnya semakin bermanfaat kekayaan itu bagi kehidupan ini. Bisa juga dikatakan, kekayaan adalah sarana untuk mendekatkan kita pada kebajikan. Bukan malah mendekatkan kita pada kejahatan. Karena itu, dalam konsep ini saya menjelaskan bagaimana kecerdasan spiritual—bagaimana membuat hidup ini lebih bermakna—justru bisa melipatgandakan kekayaan. Konsep ini akan menghilangkan persepsi yang selama ini ada: bahwa untuk meraih dan melipatgandakan kekayaan harus dengan ‘sedikit’ curang, culas dan sejenisnya.

Apa pijakan dasar konsep tersebut?
Khairunnas – anfauhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Pijakan lainnya adalah pertanggungjawaban terhadap harta itu tidak hanya bagaimana cara mendapatkan harta, tetapi juga bagaimana membelanjakan atau mengelolanya.

Dalam literatur Islam, boleh dibilang buku-buku bertema how to get rich bukanlah jenis tema yang popular. Pandangan Anda?
Mas Edi sangat benar. Saya pun melihat kondisinya seperti itu. Seolah-olah urusan kaya atau miskin itu sesuatu yang tidak bisa ‘diotak-atik’ atau sudah takdir. Jadi, tidak usah dibahas lagi bagaimana mendapatkannya! Urusan rezeki, jodoh dan mati itu hanya urusan Tuhan. Inilah yang sering menjadi rujukan berpikir bagi sebagian besar orang Islam. Bisa juga karena konsep sufi yang keblabasan. Padahal Islam itu sangat concern dengan kemakmuran. Buktinya Nabi mengatakan, “Kefakiran atau miskin mendekati kekufuran.” Tapi sayangnya, selama ini yang dominan adalah kajian-kajian tentang keburukan akibat memiliki kekayaan. Cuman sampai di situ aja! Umat ini ditakut-takuti terus. Sementara, siapa sih yang tidak pingin kaya?

Di sinilah kemudian timbul masalah. Ketika keinginan kaya itu begitu besar sementara orang tidak tahu bagaimana mendapatkannya dengan benar, maka seringkali memakai jalan pintas, misalnya korupsi. Kalau mau jujur, siapa yang banyak melakukan korupsi di negeri ini? Nah, kemudian timbul inspirasi untuk menulis buku ini yang tidak hanya membahas cara mendapatkan kekayaan tetapi bagaimana mengelolanya dengan baik.

Sekilas hampir semua kajian keagamaan kurang memberi tempat mengenai tema cara-cara menjadi kaya. Bahkan tema ini terkesan agak ‘dimusuhi’. Pandangan Anda?
Inilah anehnya. Seolah-olah kalau kita beragama dengan baik itu tidak butuh duit atau tidak boleh kaya. Kalau pun merasa butuh, tapi tidak mau belajar dengan baik tentang cara-cara menjadi kaya karena ada kekhawatiran dianggap serakah. Kalau mau jujur, kita ini kan hidup di dunia yang membutuhkan duit. Orang bilang UUD, ujung-ujungnya duit. Saya sih tidak merasa tema buku saya ini akan mendapatkan ‘perlawanan’. Justru saya merasa ini adalah tantangan. Bahkan saya sudah memiliki ide untuk menyebarluaskan kajian-kajian sejenis ini melalui sebuah gerakan. Mungkin namanya “Gerakan Nasional Keberkahan Finansial”. Untuk itu saya berharap pada teman-teman atau tokoh-tokoh yang lain dapat membantu gerakan ini. Saya yakin gerakan ini akan sedikit membantu upaya pemerintah untuk memberantas korupsi.

Tema entrepreneurship dan cara menjadi kaya cukup dominan dalam buku-buku anda. Bagaimana perspektif Islam yang sesungguhnya mengenai hal ini?
Saya memang concern dengan masalah ini, karena saya sangat prihatin dengan bangsa Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, namun penduduknya masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan. Lebih dari itu, saya sangat prihatin dengan ketimpangan ekonomi di negeri ini. Ditambah lagi begitu meluasnya persepsi bahwa korupsi masih dianggap salah satu jalan ‘legal’ untuk meraih kekayaan. Nah, dari sinilah saya kemudian ingin berbuat sesuatu sesuai kemampuan saya. Apalagi, tidak ada satu pun ayat Qur’an maupun hadits Nabi yang melarang berbisnis dan mencari uang sebanyak-banyaknya, asalkan tetap pada koridor moral. Bahkan pekerjaan berdagang atau menjadi entrepreneur itu dianggap lebih baik dari pekerjaan lain. Nabi pun mengatakan bahwa sembilan pintu rezeki itu berasal dari perdagangan. Demikian juga dalam shalat di dalamnya ada doa “ ……. warzuqni...berilah rezeki…..”. Untuk urusan dunia, Islam juga mengajarkan kepada kita agar bekerja seolah-olah kita akan hidup selamanya, tetapi ketika sudah beribadah, seolah-olah akan mati besok.

Dalam buku Keberkahan Finansial ini tampaknya Anda mencoba mengemas konsep-konsep how to get rich ala ‘barat’—yang nota bene banyak dianggap sebagai ‘sekuler’—dengan bungkus konsep-konsep Islami. Benarkah?
Saya tidak memungkiri bahwa ada pemikiran orang-orang barat di dalam buku saya. Tetapi, nyatanya tidak semua pemikiran orang barat bertentangan dengan Islam. Jadi apa salahnya? Demikian juga, tidak selalu yang datangnya dari Arab—tempat diturunkannya Islam—itu selalu Islami. Nah, berkenaan dengan hal ini, Islam juga sudah memberikan guidance bahwa urusan dunia itu memang diserahkan kepada kita. Antum a’lamu biumuriddun-yaakum: “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Namun demikian, saya tidak membungkus pemikiran mereka dengan konsep Islami.

Menurut Anda, apakah ada perbedaan substansial antara cara-cara menjadi kaya seperti dalam teori Kiyosaki dll itu dengan cara-cara menjadi kaya versi Keberkahan Finansial?
Oh, pasti ada! Kalau mereka lebih menitik beratkan pada usaha dan kerja keras saja dan seolah-olah menjadi kaya itu hanya urusan pribadi (egois), ditambah konsep kapitalisme. Dalam konsep Keberkahan Finansial, menjadi kaya itu bukan urusan pribadi dan kerja keras semata, tetapi harus dimulai dengan keluhuran jiwa dan kecerdasan spiritual. Prinsip khairunnas – anfauhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain—harus didahulukan. Dengan prinsip itu, akhirnya kita akan menjadi kaya secara ‘otomatis’. Uang akan ngikut dengan sendirinya. Kenapa demikian? Karena dengan prinsip itu kita akan berusaha menjadi profesional dalam bidang apa pun yang kita geluti. Orang profesional, tentu banyak yang membutuhkan.

Makanya dalam buku itu ada sub bahasan “Raihlah Akhiratnya, Dapatkan Uangnya” dan “Bertambah Kaya dengan Mensejahterakan Orang Lain”. Selain itu, dalam konsep ini, saya mencoba menguraikan konsep Distributor Rezeki. Semakin dipercaya seseorang untuk menjadi ‘distributor’ rezeki, semakin besar kekayaan seseorang. Ini sejalan dengan konsep Islam yang mengatakan bahwa di dalam harta yang kita miliki terdapat titipan orang lain yang harus kita bagikan atau beramal. Nah, sebenarnya orang yang ingin kaya itu harus berlomba untuk mendapatkan kepercayaan menjadi ‘distributor rezeki’ tersebut.

Menurut Anda, apakah dalam ekonomi Islam dikenal konsep-konsep perencanaan keuangan?
Secara tegas tentang perencanaan keuangan memang belum pernah saya temukan. Tetapi seperti yang saya sebutkan di atas, urusan dunia ini diserahkan kepada kita kok… jadi ya terserah kita, bagaimana baiknya aja! Soal perencanaan keuangan itu kan hanya istilah saja. Dasar-dasar secara umum tentu ada seperti sebuah hadits yang mengatakan “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara yang lain. Pertama, masa hidupmu sebelum datang kematianmu. Kedua, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Ketiga, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. Keempat, masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Kelima, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu”.

Bagaimana cara Anda mendamaikan konsep-konsep meraih kekayaan yang memakai sistem pelipatgandaan uang berbasis bunga dengan konsep ekonomi syariah yang mengharamkan bunga?
Semua ‘ulama sepakat bahwa riba itu haram. Tetapi apakah bunga bank itu termasuk riba, menurut saya masih khilafiyah atau masih terjadi perbedaan pendapat. Biarkanlah itu berkembang menjadi perbedaan, karena masing-masing memiliki alasan. Sah-sah saja. Akan tetapi kalau kita ingin lebih berhati-hati, memilih sistem syariah tentu sangat lebih baik.

Soal ajakan untuk melek finansial ini, Anda optimis akan banyak yang mendengar?
Saya yakin, ‘bola’ ini akan terus bergulir dan mendapat respon yang baik dari masyarakat karena sesungguhnya masyarakat membutuhkan ini. Optimisme ini setidaknya berkat dukungan tokoh-tokoh seperti KH.Abdullah Gymnastiar yang bersedia memberikan kata pengantar pada buku saya. Demikian juga KH. Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Syariah MUI. Safir Senduk, perencana keuangan. Juga Aidil Akbar Madjid, Chairman IARFC, H. Rahmat Hidayat yang pakar syariah, Ida Kuraeny, Ketua Umum IAAI, dan DR. Ir. Wahyu Saidi, MSc, yang pengusaha waralaba Bakmi Tebet. Mereka semua bersedia memberikan endorsement atau testimoni pada buka saya.(ez)

* Safak Muhammad dapat dihubungi di: safak.muhammad@keberkahanfinansial.com

Naning Pranoto: Menulis Saja Seperti Bernafas





Jika bicara topik creative writing, maka jangan ragu lagi, Naning Pranoto-lah pakarnya. Dialah satu di antara sedikit penulis yang benar-benar menekuni dunia creative writing, sekaligus secara formal belajar mengenai bidang tersebut di University of Western, Sydney, Australia. Mantan wartawan majalah Mutiara dan Kartini, serta mantan Pemimpin Redaksi majalah Jakarta-Jakarta ini sungguh-sungguh all out di bidang penulisan. Tak kurang dari 15 novel yang telah dia garap dengan judul-judul yang memukau, di antaranya: Mumi Beraroma Minyak Wangi, Miss Liu, Musim Semi Lupa Singgah di Shizi, Bella Donna Nova, Azalea Jingga, Angin Sorrento, Perempuan dari Selatan, Dialog Antar Dua Topeng, dan Wajah Sebuah Vagina. Bukan hanya bergerak di buku-buku fiksi, Naning Pranoto juga telah menulis buku nonfiksi berjudul Creative Writing – 72 Jurus Seni Mengarang (PM Pustaka, 2004) dan belasan buku panduan lainnya.

Naning yang kelahiran 6 Desember 1957 di Yogyakarta ini juga tercatat sebagai salah satu pakar penulisan yang aktif membagikan ilmunya melalui berbagai workshop penulisan kreatif. Pelatihan-pelatihan menulis yang diadakannya terbukti diminati khalayak, terutama untuk teknik penulisan kreatif. Tampaknya, Naning menjadi satu di antara sekian banyak penulis yang sangat bergairah untuk melahirkan penulis-penulis baru, baik melalui ceramah-ceramah, pelatihan-pelatihan, termasuk mengadakan sejumlah lomba penulisan.

Yang juga cukup khas dari seorang Naning adalah pada kemampuannya untuk terus menulis dalam dua ranah penulisan; fiksi maupun nonfiksi. Tampaknya, latar belakangnya sebagai jurnalis serta kekayaan imajinasinya memungkinkan hal tersebut. Suatu kemampuan mengawinkan dua dunia penulisan yang mungkin saja tidak dimiliki oleh banyak penulis umumnya. Nah, untuk mengetahui proses kreatif yang luar biasa tersebut, berikut wawancara Edy Zaqeus dari Pembelajar.com dengan pendiri situs Rayakultura.net ini:

Anda dikenal sebagai salah satu penulis yang sering mengadakan pelatihan menulis. Apa tujuan dan motivasi aktivitas tersebut?
Pelatihan Penulisan Kreatif atau Creative Writing Workshop (CWW) yang sering saya lakukan tujuannya yang utama mengajak siapa saja gemar menulis. Karena selama ini banyak yang menyakini hanya mereka yang berbakat menulis-lah yang bisa menulis atau mengarang. Padahal tidak demikian. Siapa saja bisa menulis asalkan ia mau dan disiplin menulis, serta tahu apa yang mau ditulisnya. Memang, untuk menjadi penulis yang berkualitas harus banyak membaca. Tetapi bagi pemula, cukup menulis dari pengalaman-pengalamannya atau impian-impiannya dan sebagainya. Menulis itu banyak manfaatnya, selain untuk mengekspresikan butir-butir pemikiran, ide-ide atau gagasan untuk menjadi inspirasi pembacanya, juga sebagai terapi jiwa—semacam pelepasan dan pencerahan—paling tidak itu, yang saya rasakan.

Seberapa besar minat masyarakat terhadap kegiatan semacam itu?
Menurut pengamatan dan pengalaman saya, animo masyarakat untuk menulis cukup baik, bahkan mengejutkan. Buktinya, setiap kali saya diundang untuk jadi tutor CWW pesertanya mbludak, bahkan sering sampai menolak. Pesertanya tidak hanya kaum muda saja tapi manula. Juga anak-anak. Saya membuka les privat menulis pesertanya selalu ada. Mereka datang ke rumah saya dan saya senang sekali, karena punya teman untuk sharing dan menjadi sumber inspirasi dan energi untuk terus berada di track yang sudah saya jalani di bidang penulisan.

Biasanya, apakah pesertanya kemudian tergerak untuk berkarya?
Setahu saya, mereka yang telah mengikuti CWW pada umumnya menulis. Bahkan tidak sedikit yang menulis naskah untuk diterbitkan menjadi buku. Tapi ada juga yang sekadar ikut, terus tidak menulis dengan alasan tidak punya waktu atau tidak in the good mood. Menurut saya, kalau memang mau menulis seharusnya tidak usah menunggu in the good mood, menulis saja seperti bernafas. Soal waktu memang kadang sulit bagi yang sibuk. Akhir-akhir ini saya juga merasa kekurangan waktu untuk menulis karena banyak kegiatan sosial.

Ok, Anda termasuk penulis yang juga suka menggunakan judul kontroversial, seperti novel “Wajah Sebuah Vagina”. Seberapa besar kontribusi judul kontroversial bagi penjualan buku?
Judul kontroversial tidak selalu mendongkrak oplag penjualan buku. Sekarang ini, buku bisa jadi laris karena tidak mutlak tergantung pada judul atau isi yang menarik. Melainkan, bagaimana buku tersebut ditangani secara baik marketingnya, promosinya, dan adanya peran media tertentu ysng memberitakan. Misalnya, menulis resensi, wawancara penulisnya, dll. Pasar sekarang ini bisa ramai melariskan suatu produk kalau didukung promosi. Penerbit di Indonesia belum mau mengeluarkan dana untuk promosi, bahkan untuk meluncurkan atau launching saja tidak mau. Jadi, penulisnya mesti ikut aktif, kalau perlu membiayai peluncurannya.

Belakangan, Anda juga merambah nonfiksi untuk buku-buku how to remaja. Apa motivasi membidik segmen tersebut?
Saya menulis buku how to karena ingin memberi semacam ‘menu suplemen’ buat remaja yang akhir-akhir ini banyak mengkonsumsi bacaan semacam junkfood. Mereka perlu vitamin – ya berbagai pengetahuan tentang dunia remaja sebagai bekal memasuki gerbang dewasa. Sebab kalau hanya macam junkfood terus, mau jadi apa mereka? Tapi para pengelola toko buku saya lihat, lebih senang menghidangkan junkfood daripada buku-buku yang saya tulis. Saya tahu, buku-buku jenis junkfood di mana-mana diminati. Tapi, apa akibatnya kelak untuk kesehatan konsumennya?

Segmen itu menjanjikan?
Sebetulnya buku-buku untuk remaja pasarnya cukup subur. Untuk buku saya, hasil penjualannya biasa-biasa saja karena tidak didukung promosi. Tapi, kalau buku itu saya jual sendiri di seminar-seminar yang digelar oleh yayasan saya, atau saya diundang oleh pihak lain, cukup laris. Mungkin, saya harus menjual sendiri buku-buku saya ha…ha…ha… Penulis merangkap pedagang! Saya pikir bagus, lalu apa pekerjaan penerbit?

Bergerak pada tulisan fiksi dan nonfiksi bukan hal mudah. Kiat Anda?
Saya sebetulnya tidak pernah berpikir apakah saya pengarang yang menulis fiksi atau penulis yang menulis nonfiksi. Karena prinsip saya menulis! Menulis apa saja, seperti halnya saya suka membaca buku apa saja sejak saya masih usia dini. Sumber bacaan saya sangat variasi, apalagi selama saya tinggal di luar negeri, saya memanfaatkan waktu hanya untuk membaca dan belajar. Apa yang saya baca menjadi sumber tulisan saya.

Apa yang membuat Anda begitu produktif menulis?
Faktor yang berpengaruh pada produktivitas saya adalah karena saya memang selalu terdorong untuk menulis, the strong will to do writing!. Selain itu, saya ini tipe manusia yang tidak bisa tidur lebih dari lima jam. Maka saya suka menulis, membaca, atau mendengarkan musik.

Dari mana ide-ide Anda datang?
Ide-ide novel saya semuanya bersumber dari perjalanan hidup saya ketika bertemu dengan berbagai manusia dari berbagai bangsa. Misalnya, waktu saya tinggal di Sao Paulo dan di Rio de Janiero, Brazil, saya terinspirasi menulis dua novel yaitu Bella Dona Nova Bukan Telenovela dan beberapa cerpen yang isinya mengenai manusia, sosial, kebudayaan dan gaya hidup orang-orang Amerika Latin. Begitu juga waktu saya tinggal di Filipina, Belanda—apalagi di Australia—maka novel-novel saya selalu ber-setting luar negeri. Ada beberapa pihak yang menyindir saya ‘kebarat-baratan’– saya pikir, itu tidak benar. Saya hanya menulis apa yang saya tahu, saya lihat dan saya pahami….

Pengarang mana saja yang mempengaruhi atau menginspirasi tulisan-tulisan Anda?
Saya terpengaruh oleh karya-karya penulis pemenang nobel sastra, antara lain Garcia Marquez, Toni Morrison, Gunter Grass, Hemingway, Fulker – juga pengarang Timur Tengah seperti Nawal El Sadawi yang feminis. Puisi-puisi Jalalludin Rumi sangat merangsang saya untuk menulis bergaya puitis dan filosofis. Masih banyak lagi pengarang yang karyanya saya sukai.

Soal dikotomi penulis idealis versus penulis pasar?
Saya tidak terlalu memaknakan dikotomi tersebut. Tapi saya kagum kepada para penulis kaliber dunia yang punya semboyan: saya menulis untuk diri saya ha…ha…ha… Tapi nyatanya justru mereka ini menulis untuk siapa saja dan karyanya diterima, punya nilai yang luar biasa.

Kalau disuruh pilih, Anda di posisi mana?
Saya di posisi mana saja, tidak peduli. Hanya saya tidak mampu menjadi penulis yang mengikuti pasar.

Definisi penulis sukses?
Penulis yang sukses? Dinilai dari segi mana dan apa? Di Indonesia pada umumnya sukses diartikan dengan ‘kemampuan meraup uang’. Bahkan segala hal yang laris, laku di pasar lalu dicap bagus. Jadi, kalau menurut saya, penulis yang sukses adalah penulis yang menulis berdasarkan misinya, punya misi tertentu, untuk kepentingan orang banyak – dan walau tidak dianggap oleh masyarakatnya ia tetap konsisten pada misinya.

Lagi menggarap karya apa lagi nih?
Saya sekarang sedang menggarap beberapa buku fiksi dan nonfiksi, khususnya Creative Writing untuk Tingkat Lanjut. Juga beberapa text-book. Sayangnya, saya sedang terikat pekerjaan yang membuat saya kekurangan waktu untuk menulis. Wah, kepala rasanya mau pecah, karena banyak yang ingin ditulis tapi waktunya tidak ada… Yang sedikit menyenangkan, baru saja kami meluncurkan buku yang ditulis oleh anak-anak SD yang pernah memenangkan lomba menulis kreatif yang kami selenggarakan. Judul bukunya: 10 Dunia, Refleksi dan Ekspresi Anak-anak Indonesia.

Kabarnya lagi mengadakan lomba penulisan lagi?
Ya, yayasan kami, Garda Budaya didukung PT Rohto Laboratories Indonesia sedang menyelenggarakan Lomba Menulis Cerita Pendek bertema remaja, berhadiah total Rp 50 juta. Tujuannya untuk mendorong dan meningkatkan minat remaja menulis karya sastra. Lihat aja langsung ya di website saya: http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=104.

Alexandra Dewi: Menulis Jadi Susah Kalau Orientasinya Melulu Pasar






Lagi, dunia perbukuan di Tanah Air diramaikan oleh penulis gaya metropolis dengan karya yang ringan, menghibur, kosmopolis, tapi juga sarat pesan moral. Alexandra Dewi bersama rekannya Cynthia Agustina menelurkan sebuah karya berjudul I Beg Your Prada (Gramedia, 2006), yang segera di-launching pada 19 September 2006 ini di sebuah toko buku di Jakarta Pusat.

Buku yang berisi cerita-cerita keseharian ini asal mulanya adalah coretan-coretan dalam jurnal dan curhat melalui email. Tak disangka, topik-topik yang dibahas dalam jurnal dan curhatan tersebut ternyata mengandung sejumlah keprihatinan atas situasi sosial di sekeliling para penulisnya. Banyak pesan moral di dalamnya yang patut dilongok siapa saja.

Namun bukan sekadar keprihatinan yang menyentuh. Dewi—yang sehari-hari adalah pimpinan puncak perusahaan sekaligus ibu rumah tangga—dan Cynthia yang masih single dan suka melancong keluar negeri, mampu menyajikan tulisan-tulisan yang sangat menghibur. Semua menyangkut polah tingkah kelas menengah di perkotaan, baik di Jakarta maupun di luar negeri. Jadilah I Beg Your Prada sebuah racikan yang benar-benar menghibur tapi juga menyentuh.

“Kisah-kisah dalam buku ini semuanya nyata, bukan fiksi. Aku alami sendiri dan benar-benar ada di sekelilingku,” jelas Dewi kepada Edy Zaqeus dari Pembelajar.com. “Saya inginnya menulis sesuatu yang ada emotional attachment-nya. Tidak melulu yang berorientasi pasar. Susah menulis kalau orientasinya melulu pasar,” terang Dewi, jebolan American College for the applied arts, Los Angeles, USA, ini.

Yang unik dari buku ini adalah perpaduan dua cara pandang—antara Dewi yang sudah berumah tangga dengan Cynthia yang masih single—dalam rangkaian tulisan yang kadang bertolak belakang, kadang pula saling menguatkan. Tapi, menurut Dewi yang kelahiran 11 Mei 1974 dan sudah dikarunia dua putera ini (Jessie Chen 6 tahun dan Mason Chen 3 tahun), perbedaan yang ada justru semakin menguatkan pesan-pesan moral yang hendak disampaikan. Alhasil, perpaduan tulisan keduanya tetap enak dinikmati dan tampak dijagokan oleh penerbitnya. Berikut petikan dari obrolan ringan dengan Alexandra Dewi di kantornya di Jalan Radio Dalam Raya, Jakarta Selatan:

Apa yang mengilhami Anda menulis buku I Beg Your Prada ini?
Kebetulan aku kan suka nulis-nulis di komputer. Temen-temenku yang deket-deket kan semuanya di luar negeri. Jadi aku pasti ngemail dong sama mereka, ceritanya seperti apa. Mereka seperti saudara sendiri, kenal dari remaja sampai sekarang. Nah, hal-hal yang diobrolin itu kan hanya ke temen-temen deket aja. Nggak mungkin dong kalau baru kenal sama orang nanya-nanya hal yang... Kalau nggak deket pasti mereka nggak discuss. Tapi kalau boleh tahu, kan pasti pingin nanya juga, gitu lho! Kadang-kadang aku wondering, kalau pikiran orang lain itu seperti apa sih? Tapi aku pikir, alangkah enaknya kalau ini bisa dibagikan ke orang lain.

Bentuk awal tulisan-tulisan ini seperti apa?
Jurnal. Diary.

Kenapa memilih bentuk itu?
Karena lebih dari dalam hati. Apa adanya, ya kan? Jadi bukan untuk mempengaruhi orang. Bukan untuk mengritik. Tapi ya kejadian sehari-hari aja. Jadi bener-bener datang dari hati aja. Jujur.

Bagaimana perasaan Anda saat tulisan-tulisan itu bisa diterbitkan jadi buku?
Ya senang. Nggak nyangka aja. Ke-GR-an malah. Trus udah itu, mikir-mikir sampai aku baca-baca lagi, apa sih sebetulnya yang menarik dari tulisanku itu? Karena ini kan sebenarnya obrolan sehari-hari. Jadi, kalau aku bisa lihat dari sini, mungkin kalau kita nulis bukan karena motivasi uang, bukan mengikuti kesenangan pembaca saja, kira-kira yang laku itu apa, mungkin akan lebih menghasilkan sesuatu yang otentik. Katanya kalau nulis fiksi kayak novel itu kan lebih bagus ya pasarannya. Tapi, kalau itu bukan aku, susah juga aku nulisnya. Bisa aja aku bikin novel, tapi nggak dari dalam hatiku, gitu lho! Trus aku mikirnya begini, “Apa kira-kira yang dimaui pembaca itu?” Itu aku mikirin dia. Tapi kalau buku ini, aku mikirin ini pengalamanku—yang menurut pendapatku—yang kalau dibaca pun akan menjadi sebuah entertainment. Selain inspiratif dan membuat orang mau berpikir. Susah kalau orientasinya bukan karya tapi melulu pasar. Kecuali orang yang benar-benar writer ya.

Padahal Anda orang bisnis, kan?
Ya. Kalau bisnis ya bisnis. Kalau penulisan kan art, karya.

Itu menimbulkan kepuasan yang lebih besar?
Ya.

Apa aja sih yang dibicarakan di buku ini?
Isinya seputar jalan hidup yang berbeda-beda. Yang single tentu problemnya beda-beda sama yang sudah berumah tangga. Trus, yang sudah berumah tangga pun problemnya juga berbeda-beda. Ada yang belum punya anak. Ada yang anaknya enam. Ada yang pingin nggak punya anak sama sekali.

Ada soal-soal benturan budaya dalam buku ini?
Ya. Benturan budaya lebih banyak dari tulisan Cynthia ya. Kayak jam karet. Jam karetnya itu numpuk gitu lho. Dalam tulisan dia nih ya, misalnya sehari kita janji jam delapan, ntar datengnya jam 10. Akhirnya yang jam 10 diundurin ke jam 12. Nah, yang jam 12 ini nggak janji lagi, nggak tahu datangnya jam berapa. Akhirnya kan setiap hari seperti itu. Kalau di dunia Barat, orangnya cukup on time ya. Di sini, ada yang kadang-kadang telat pun nggak ngomong. Nanti datangnya sesuka-suka dia, kesulitannya itu ndak diomongin. “Lu di mana?” Nggak dijawab. Nanti aja kalau mukanya nongol baru, “Sorry!”

Kalau model tulisan Cynthia awalnya seperti apa?
Kalau Cynthia awalnya dari blog. Dia menuliskan pengalamannya. Cynthia itu kan orangnya begini. Dia tuh sukanya kerja-kerja. Kalau uangnya cukup lalu dia travel, uangnya dihabiskan, gitu lho. Kira-kira seperti itu. Dia nggak worry dia nggak punya tabungan nggak punya apa. Dia nggak worry. Nah, kalau aku kan bertolak belakang sama sekali sama Cynthia. Karena dia travel terus, tentu dia kontaknya sama orang-orang lewat blog itu, kan? Pengalaman dia tentu lebih bervariasi dari aku. Makanya aku ajak dia nulis. Dia kan belum married. Jadi biar buku ini pandangannya bukan dari orang married aja. Tapi toh kami punya pikiran yang mirip-mirip juga.

Jadi daya tariknya adalah menggabungkan dua perspektif tulisan-tulisan yang dijadikan satu buku?
Heem... Ya. Pasti ada pula perbedaannya. Tapi yang aku lihat di sini Cynthia ini masih single, jauh lebih yunior, dibanding aku yang sudah married, sudah punya anak. Tapi tetap kan kita sama-sama perempuan. Pikiran kita ke soal cowok itu—walau tidak sama, tapi—ada miripnya juga.

Proses penemuan Cynthia itu bagaimana kok akhirnya bisa kerjasama membuat buku?
Aku bilang ke temenku, aku ingin nulis buku. Lalu aku bilang, untuk buku yang pertama aku nggak mau nulis sendiri. Karena tema buku ini kan perempuan banget. Nah, aku maunya ada pendamping yang single, yang sangat bertolak belakanglah. Temenku kenal dengan Cynthia, dia minta aku cek blog-nya. Aku cek, aku suka gaya penulisannya, aku kontak dia, ternyata dia mau.

Itu juga pengalaman pertama Cynthia menulis buku?
Ya. Selain di blog yang diterbitkan jadi buku, ini yang pertama kali sama aku.

Jurnal kan biasanya tulisan mentah. Bisa juga dijadikan buku?
Ya, memang amburadul. Kayak gini nih... di buku kecil ini. Semua hari ini apa. Kadang berapa lama lupa nggak ngisi. Tapi yang sering aku ngemail sama temen. Dia pasti bales. Aku tanya misalnya, “Halo, kamu lagi ngapain? Aku lagi sebel banget deh... gini..gini...” Begitu aku bercerita. Lalu aku nanya, “Si cowok itu sekarang bagaimana?”, nah... nanti kan dia ganti yang cerita. Dari situ aja terbentuk cerita-cerita.

Jadi buku ini terbentuk dari komunikasi melalui email?
Ya, bahan ceritanya banyak dari sana. Email-emailan sama temen-temen yang deket dan mau berbagi. Kadang-kadang ya, salah satu yang lebih bagus dari email itu begini; walaupun jawabannya agak instan, tapi karena dia itu menulis, kadang cara dia menumpahkan perasaan itu lebih dalam dibanding kalau ketemu begini.

Bahasanya ada muatan emosinya?
Ya. Kalau cuma omong langsung, mungkin dia kurang comfortable karena ada orang lain misalnya. Kalau email begini kan privat ya. Aku tanya soal-soal keluarga, dia jawabnya juga dari hatinya dia. Aku menangkapnya, semua temenku itu—kalau mau jujur—punya banyak problem punya banyak dilema. Tapi... dia kan nggak bisa buka ke semua orang? Nggak bisa dan nggak comfortable cerita ke orang lain. Makanya dalam bukuku ini semua namanya diganti. Dan kebanyakan temen-temenku nggak tinggal di sini.

Saat dikabari cerita-cerita mereka jadi bahan buku, tanggapan mereka?
Mereka bilang, “Ya baguslah kalau ceritaku ini bisa menginspirasi yang lain...” Kecuali untuk cerita sepatu temanku yang kita ketawain itu ya. Itu aku nggak bilang-bilang ha ha ha... “Demam Versace” itu lho! Cerita sepatu yang palsu itu, aku nggak cerita-cerita. Dia juga nggak tahu sepatunya diomongin. Kalau pun tahu bukunya, dia nggak bisa baca bahasa Indonesia. Dia kan tinggalnya di Amerika.

Apa visi penulisan buku ini?
Visinya? Aku pingin sekali mereka yang baca buku ini—kalau dia itu orangnya yang seperti aku ceritakan dalam buku itu—mbok mereka nyadar dikit, gitu lho! Mereka sadar nggak memperlakukan orang lain seperti cerita-cerita yang kutulis di situ.

Contohnya?
Contoh, ini di luar yang aku tulis dalam bukuku ya. Orang-orang yang pamer, “Aku ini bangsawan...”, “Aku ini kenal si ini... Aku kenal si itu...”, “Lu tahu nggak bokap gue tuh siapa?”, itu kan banyak banget yang seperti itu. So what, gitu lho! Mengapa sih setiap kata-kata diakhiri dengan, “Lu tahu nggak bokap gue siapa?”

Itu salah satu gambaran kultur masyarakat kita?
Ya, seperti itu. Jangan seperti itulah! Untuk orang-orang kayak gini ya, dalam pesan moralku, “Kamu tuh bukan lebih baik dari aku. Kamu tuh cuma punya lebih banyak uang, you know! Like in english, you’re not better than me, you just have more money than me.” Kalau kultur kita ini kan asal punya banyak duit...wah, semuanya... Padahal secara manusiawi, kualitas kemanusiaannya itu belum tentu lebih baik. Soal moral, soal kesetiaan, soal pertemanan yang baik, soal compassion atau perasaan empati ke orang lain masih tanda tanya. Seperti reality show “Tolong Dong”, itu kan ada yang lebih miskin tapi kan mau menolong! Coba yang kaya-kaya itu mau nggak dibikin reality show kayak gitu? Banyak faktor lain yang menentukan kita itu manusia yang berkualitas seperti apa. Bukan hanya uang. Aku nggak bilang orang kaya itu selalu nggak bagus. Aku cuma bilang, “Bukan hanya karena punya uang itu kamu jadinya wah... everything is perfect.

Yang tertulis di buku ini kisah-kisah nyata?
Ya. Bukan fiksi. Benar-benar aku alami sendiri. Orang-orangnya ada semua. Cuma nama-namanya nggak bisa disebutkan apa adanya.

Salah satu tulisanmu mengisahkan diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia. Mengapa menulis hal itu?
Ya. Soalnya, yang kukisahkan ini kan mulai dari aku waktu kecil ya. Di sekolah mayoritas kan pribumi. Nah, sebagian etnis Cina itu suka dikata-katain. Kejadiannya bukan pada aku saja. Banyak teman-temanku yang mengalami, gitu lho. Sampai suatu kali, gurunya nggak ngelihat, ada temanku yang disuruh nggambar muka orang Cina di atas kertas karton manila trus ngadep ke tembok. Trus kalau gurunya datang, baru kertasnya diambil. Itu kan menimbulkan suatu rasa berbeda tapi jelek.

Usia berapa itu?
Waktu SMP kelas satu. Yang digodain temenku yang cowok. Dan sedihnya, aku kan orang Cina juga. Dalam hati kecilku, aku mau nolongin temenku itu. Tapi karena aku itu minoritas, nanti kalau aku nolongin, aku bisa kena masalah. Jadi bulan-bulanan juga. Yang digodain memang lebih yang cowok. Sekarang setelah lebih dewasa, aku pikir... aduh... mbok waktu itu setidak-tidaknya aku lebih mengerti perasaan dia. Atau setidaknya nolonglah. Tapi aku tidak berbuat apa-apa karena takut.

Kejadian seperti itu sering dialami teman-temanmu?
Ya, ada lagi waktu SMA. Ada temenku yang emang mukanya itu Cina banget! Itu dia dibawa ke kamar mandi, lalu dipukuli sampai berdarah-darah. Trus ada yang terakhir itu aku lihat di tempat isi bensin. Ada satu grup Cina semua, empat cowok. Mungkin srempet-srempetan sama orang pribumi yang cuma satu. Yang pribumi ini keluar dari mobilnya, lalu meludah cuah... cuah..., “Cina lu! Cina lu...!” Cinanya kan empat, yang pribumi cuma satu, tapi mereka yang empat itu ketakutan semua lho... Karena bukan soal empat orang dengan satu orang, tapi karena di negara ini kami adalah minoritas.

Ada dalam suasana “ketakutan”?
Ya, seperti itu. Nah, dalam tulisanku itu, pesan moralnya adalah, kayak aku ini. Aku ini kan nggak bisa milih mau lahir jadi orang apa. Aku nggak bisa milih. Kalau misalnya aku memang orang Chinese, ya memang aku orang Chinese. Tapi aku sudah nggak bisa ngomong Chinese. Udah generasi keempat. Jadi, aku suruh ke mana? Lebih dilemanya lagi, kalau aku lagi hang out sama orang-orang yang Chinese, mereka bilangnya ke aku, “Lu ini Cina Baba!” Tahu apa?

Apa maksudnya?
Cina Baba itu Cina yang sudah keturunan jauh sekali. To the point aja ya, aku tuh dah dianggap masuk golongan pribumi. Nggak bisa bahasa Mandarin, nggak bisa baca tulis Mandarin, cepek nopek kurang hafal... Buat mereka Chinese yang di Kelapa Gading atau mana, yang totok itu, saya nih Cina Baba. “Lu itu Cina Baba, cari duit sama ngeceng doang, gitu!” Jadi kan aneh, aku ini di mana sebenarnya. Kalau aku ini orang Cina, sama komunitasku dibilang bukan orang Cina lagi, sedangkan kepada orang pribuminya aku nih nggak dianggap pribumi juga...

Semangat salah satu tulisan itu, kita itu jangan rasis, gitu ya?
Ya. Jangan seperti itu. Soalnya, nggak cuma ras Chinese, ras-ras yang lain pun pasti ada gimananya. Kayak orang kulit hitam itu, dianggapnya kalau nggak dari musik, sport, pasti drug dealer... itu kan stereotype. Padahal kan banyak juga yang jadi profesor, jadi dokter, lawyer. Tapi stereotype-nya sudah seperti itu. Pesan tulisanku itu, ya jangan kita jadi rasis. Kita jangan menilai orang karena suku bangsanya apa. Lihat dari berbagai faktor bagaimana kepribadian seseorang itu terbentuk. Jangan karena orang itu Chinese. Seperti bayi-bayi perempuan di Cina itu, aku dengar kan nggak laku. Kebanyakan dikasih ke adoption agency, trus dibawa ke Amerika dan dibesarkan orang di sana. Trus, apa dia tetap jadi orang Cina, wong kultur, bahasa, gaya hidupnya, cara dia dididik dan dibesarkan persis orang bule. Wong orangtuanya juga bule. Intinya, jangan lihat orang dari bungkusnya.

Bungkus yang tidak bisa diganti ya...?
Ya. Mudah-mudahan yang aku alami dulu di sekolahan itu udah nggak ada. Yang aku alami sendiri waktu kecil, aku sedih sekali waktu itu. Jangan sampai gap karena masalah seperti itu lebih meluas nantinya.

Setelah I Beg Your Prada ini, karya apalagi yang Anda siapkan?
Aku tetap ingin—kalau boleh dibilang trade mark atau alurku atau style-ku—aku tetap ingin menulis kehidupan sehari-hari. Tetap ingin menulis hal yang membuat pembacanya tuh ada emotional attachment melalui story itu. Kemarin itu ada yang kasih lihat novel grafis. Setelah aku lihat, oh... lucu banget, gitu lho! Jadi aku pingin buat novel grafis yang inti ceritanya ada pesan moralnya, ada lucunya juga, trus dari sisi gambar itu ekspresinya lebih lucu lagi. Aku pinginnya, orang baca bukuku dan bisa ketawa itu aku sudah seneng banget.(ez)

Safir Senduk: Sepuluh Kiat Sukses Penulis Best Seller





Dalam dunia perencanaan keuangan, nama Safir Senduk sangatlah dikenal. Barangkali, dialah orang pertama yang mempopulerkan istilah perencanaan keuangan. Bahkan mungkin, dia pula yang pertama kali berani mendeklarasikan diri sebagai seorang perencana keuangan profesional. Dan Safir memang cukup berhasil di lapangan jasa profesional yang terbilang masih merupakan barang baru bagi publik Tanah Air itu.

Namun, sukses pendiri Biro Perencanaan Keuangan Safir Senduk & Rekan ini (berdiri 1998), tidak sebatas pada bidang konsultasi keuangan. Lebih dari itu, Safir juga dikenal sebagai kolomnis di berbagai media massa dan penulis buku-buku perencanaan keuangan praktis. Bahkan dua buku terakhir yang dia tulis—Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya? dan Buka Usaha Nggak Kaya, Percuma!—disambut antusias oleh khalayak sehingga telah mengukuhkan dirinya sebagai seorang penulis buku best seller. Yang pertama terbit Desember 2005 dan hingga sekarang sudah laku sekitar 30.000 eksemplar. Sementara buku kedua yang terbit akhir Juni 2006 lalu kini sudah terjual hingga 13.000 eksemplar! Untuk buku-buku kategori nonfiksi, maka angka-angka penjualan sebesar ini jelas lumayan sekali.

Hingga sekarang, tak kurang sudah delapan buku dihasilkan oleh Safir. Rata-rata karyanya disambut baik oleh pasar. Awalnya, alumnus STIE IBMI Jakarta dan belajar ilmu perencanaan keuangan keluarga secara otodidak ini mengaku menulis untuk mendongkrak brand layanan jasa konsultansi yang didirikannya. Namun, belakangan setelah dia merasa brand-nya cukup kuat, Safir mengaku lebih suka menulis karena idealisme, yaitu untuk berbagi pengetahuan dan mendidik masyarakat soal kemelekan finansial.

“Bila seorang penulis menulis untuk idealisme—untuk memberikan sesuatu berupa edukasi kepada pembaca—ini berarti dia sudah mencapai level tertinggi dalam menulis,” kata Safir kepada Edy Zaqeus dari Pembelajar.com. Berikut petikan wawancara dengan Safir Senduk menyangkut proses kreatif dan berbagai kiat kepenulisan:

Secara garis besar, apa gagasan utama buku terbaru Anda?
Gagasan utamanya, seorang pengusaha tetap perlu tahu bagaimana cara yang baik mengelola uangnya. Ini agar mereka bisa jadi kaya dan sejahtera. Caranya, dengan memisahkan keuangan usaha dan keuangan pribadi, mengendalikan pemasukan dan pengeluaran, memiliki proteksi, memiliki investasi lain selain usaha, dan melakukan analisa sebelum membuka usaha baru.

Mengapa tergerak untuk menulis tema ini?
Karena saya melihat anggapan yang terjadi selama ini di masyarakat, bahwa untuk menjadi kaya dan sejahtera hanya bisa dicapai dengan membuka usaha. Padahal, membuka usaha tidak otomatis bikin kita kaya dan sejahtera. Karena, untuk jadi kaya dan sejahtera sangat bergantung pada bagaimana kita mengelola uang yang kita dapat dari pekerjaan atau dari usaha kita.

Apa benar bahwa tak sedikit pengusaha yang kurang memahami cara pengelolaan uang yang baik?
Wah, benar itu! Ada banyak pengusaha yang walaupun menguasai bagaimana cara berbisnis, tapi mereka sama sekali buta tentang bagaimana mengelola dan mengembangkan uang mereka. Akhirnya, satu-satunya sumber pendapatan mereka adalah hanya dari usaha. Tapi, investasi mereka di tempat lain nggak ada. Atau kalaupun ada, hasilnya memble.

Sejauh ini, bagaimana tanggapan pasar?
Alhamdulillah baik. Saya bersyukur masyarakat bisa menerima buku ini. Ketika berencana menulis buku ini, beberapa orang di penerbit saya bilang bahwa buku ini tidak akan selaris buku saya sebelumnya Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?. Alasannya, mayoritas masyarakat Indonesia—terutama di perkotaan sebagai pembaca buku terbesar—adalah karyawan. Bukan wiraswasta. Tetapi menurut saya, apa pun topik buku itu, selama kita bisa mengemas, melakukan program promosi dan pemasaran yang baik, buku itu pasti akan laku. Itu terbukti! Selama Juli 2006 kemarin, buku ini menempati peringkat ketiga untuk kategori Buku Panduan—dimuat di Kompas 19 Juli 2006—bersamaan dengan buku saya sebelumnya yang menduduki peringkat kelima. Punya dua judul buku yang muncul bersamaan dalam daftar buku laris adalah satu pencapaian yang buat saya tidak bisa digantikan dengan uang berapapun jumlahnya.

Anda terbilang sebagai praktisi dan penulis buku perencanaan keuangan yang produktif. Dari mana dapat ide penulisan buku-buku tersebut?
Saya adalah seorang praktisi perencana keuangan. Ide-ide topik saya dapatkan dari banyak bergaul dengan klien, peserta di seminar maupun membaca di media massa. Di situ saya mencoba membuka mata dan telinga tentang apa yang sebenarnya menjadi anggapan di masyarakat tentang suatu hal. Dan—kalau memang ada argumennya—saya coba untuk membantahnya. Di buku Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya? misalnya. Muncul dari pengamatan saya terhadap adanya anggapan bahwa kalau terus jadi karyawan akan sulit kaya. Dengan menulis buku yang sifatnya berlawanan dengan anggapan masyarakat, biasanya akan jadi lebih mudah untuk menarik perhatian pasar.

Punya pengalaman yang unik terkait dengan buku yang Anda tulis?
Buku Buka Usaha Nggak Kaya? Percuma...! sempat mau saya kasih judul “Buka Usaha Belum Tentu Bikin Kaya...”. Judul itu sudah ada di pikiran saya selama berbulan-bulan sebelum akhirnya penerbit saya dengan santainya bilang: “Kalau bisa judulnya yang lebih positif lagi deh...”. Hmm, kecewa sekali saya. Ya, iyalah! Judul itu sudah lama ada di kepala saya. Eh... penerbitnya nggak suka. Ya sudah, akhirnya ganti dengan judul yang sekarang. Dan, buku ini saya buat dengan penuh perjuangan. Gimana nggak penuh perjuangan? Nyari waktunya itu yang susah. Seminggu bisa 3-4 kali seminar. Belum lagi ngomong di radio. Nulis di media massa. Karena itu saya selalu menetapkan deadline di buku agenda saya, bahwa bab ini harus selesai di tanggal sekian, dan bab itu harus selesai di tanggal sekian. Ngikutinnya? Berat sekali. Tapi alhamdulillah bisa.

Di antara buku-buku yang Anda tulis, buku mana saja yang paling bagus penjualannya?
Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya? terbit Desember 2005. Sudah laku sekitar 30.000 eksemplar sampai saat ini. Disusul Buka Usaha Nggak Kaya? Percuma...! yang terbit akhir Juni 2006. Sampai saat ini laku 13.000 eksemplar!

Dari mana Anda belajar menulis dulu?
Otodidak. Ada turunannya juga kali. Dulu almarhum ibu saya rajin sekali membaca. Apa pun juga dia baca. Buku apalagi. Setiap kali selesai membaca buku, beliau suka menulis kesimpulannya di atas kertas. Selain itu, karena ayah saya bekerja di sebuah bank milik pemerintah dan memegang posisi pimpinan, ibu saya aktif di Dharma Wanita-nya. Otomatis ibu saya harus sering kasih pidato di depan ibu-ibu Dharma Wanita lainnya. Sebelum memberi pidato, ibu saya menyiapkan pidatonya dengan menuliskannya terlebih dulu. Jadi, mungkin ada turunannya juga.

Jadi karena turunan dan bukan latihan...?
Tapi menurut saya, yang paling penting dalam belajar menulis adalah praktik, praktik, dan praktik. Jujur saja, dulu tulisan-tulisan pertama saya di sebuah majalah, kalau saya baca lagi sekarang, aduh jeleknya...! Nggak teratur, nggak runtut, dan seringkali bahasanya terlalu susah. Tapi, dengan terus mengulang dan mengulang, kita akan bisa menemukan bentuk sendiri dalam menulis. Menurut saya, menulis adalah salah satu bentuk komunikasi dalam mempengaruhi orang lain agar orang mengikuti cara berpikir kita.

Kalau ilmu perencanaan keuangan, dari mana Anda belajar?
Belajar sendiri. Selama empat tahun saya seperti kuliah sendiri dengan belajar dari berbagai macam buku yang saya beli dari dalam maupun luar negeri. Jangan salah, belajar otodidak itu justru seringkali malah lebih susah daripada belajar dengan mentor. Karena, proses otodidak biasanya harus melalui trial and error yang cukup banyak. Sementara belajar melalui mentor seringkali sudah lebih enak karena nggak perlu banyak mengalami error-nya. Jadi, beruntunglah mereka yang sekarang belajar perencanaan keuangan karena sudah ada mentornya.

Anda termasuk praktisi yang berhasil mem-brand diri sebagai seorang financial planner melalui tulisan. Apa memang sejak awal Anda memaksudkan tulisan untuk tujuan ini?
Jujur, iya. Ceritanya, ketika tahun 1998 saya membuka Biro Perencanaan Keuangan Safir Senduk & Rekan, saya pikir orang otomatis akan datang dan menjadi klien. Dengan pasang plang, pasang kartu nama, orang akan otomatis jadi klien. Eh, tunggu punya tunggu, kok klien nggak datang-datang. Mulailah saya melakukan pemasaran dengan melakukan cold call. Telepon prospek. Setiap pagi saya telepon sekitar sepuluh prospek. Dari sepuluh orang yang saya telepon, sekitar tiga sampai empat orang yang mau ketemu. Lalu, sekitar satu dari delapan orang yang saya temui akhirnya menjadi klien. Itu terus yang saya lakukan setiap hari.
Terus saya pikir, supaya saya nggak terus menerus telepon, saya coba melakukan promosi jangka panjang supaya nanti oranglah yang datang ke saya, bukan saya yang mencari mereka. Akhirnya, saya mulai menulis. Tulisan pertama saya muncul di majalah Tiara tahun 1998 dalam bentuk rubrik yang namanya Tips Uang. Dan seterusnya. Disusul dengan tulisan di majalah-majalah lain. Akhirnya betul, lama-lama orang jadi tahu nama saya, dan merekalah yang akhirnya datang ke saya. Jadi, ya sejak awal menulis, tujuan saya memang untuk branding.
Tapi jujur, ketika brand itu sudah didapat sejak beberapa tahun lalu, tujuan saya menulis berubah yaitu untuk idealisme. Orang Indonesia harus mendapatkan edukasi tentang bagaimana cara yang baik dalam mengelola keuangan. Saya pikir, sah-sah saja kita menulis untuk tujuan bisnis, yaitu untuk branding. Tapi, saya pikir menulis untuk idealisme berupa edukasi akan jauh lebih mulia. Saya bukan orang suci. Tapi, dengan menulis untuk tujuan idealisme, saya pikir itu akan lebih fair buat pembaca. Karena, si penulis akan jadi lebih tulus dan netral dalam menulis, bukan karena ingin menjual atau memasarkan dirinya sendiri.

Anda setuju bahwa tulisan atau buku merupakan cara ampuh untuk menciptakan personal brand?
Setuju banget! Ada banyak buktinya. Tentu saja, buku dan artikel di media massa punya kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Artikel di media massa mungkin bisa menjangkau lebih banyak pembaca, tapi umurnya lebih pendek. Ketika saya menulis di sebuah tabloid mingguan dengan topik Kiat Mempersiapkan Masa Pensiun misalnya, memang banyak yang baca dan suka dengan topik itu. Tapi, umurnya cuma seminggu karena minggu depannya tabloid itu sudah terbit lagi yang baru. Untung saya nulisnya tiap minggu. Sementara kalau buku, pembacanya mungkin tidak sebanyak pembaca artikel di media massa. Tapi umurnya lebih panjang. Bisa beberapa bulan, sebelum akhirnya ada judul buku lain lagi yang menarik perhatian pembaca.
Tapi begini, sebuah tulisan bisa menciptakan personal brand tertentu. Asal, menurut saya, tulisan itu memiliki konsep yang betul-betul bisa diterima oleh pembaca. Dan, yang paling penting, tulisan itu menarik. Jangan lupa, konsisten pada satu topik. Saya pernah melihat ada orang yang—mungkin karena pinter banget—menulis tentang perencanaan keuangan, tapi juga menulis tentang bisnis dan ekonomi. Secara topik mungkin dia menguasai. Tapi secara marketing, itu bunuh diri. Jadi, dalam menulis, cobalah konsisten. Saya—biarpun bisa main golf misalnya—nggak akan mau nulis tentang golf, sampai kapan pun, karena itu bisa berbahaya bagi positioning saya.

Bagaimana dengan potensi pasar buku keuangan populer dan kewirausahaan sekarang ini?
Saya percaya bahwa topik buku apa pun—termasuk buku keuangan populer dan wirausaha—kalau dipasarkan dengan baik, tetap bisa laku. Jujur saja, sekarang ada banyak sekali buku keuangan populer dan kewirausahaan yang nggak laku di pasar. Kenapa? Macam-macam! Mungkin karena topiknya terlalu akademis. Mungkin karena bahasanya terlalu teoritis, dan sebagainya. Kalau reputasi pengarang? Eit..., jangan salah! Siapa nama pengarang nggak ngejamin bukunya bisa laku, lho. Jujur saja, bukan berarti nama saya Safir Senduk maka saya bisa sembarangan bikin buku perencanaan keuangan. Buku saya bisa laku lebih karena adanya pemilihan topik, kemasan, dan proses promosi yang panjang. Bukan karena nama saya Safir Senduk. Jadi, semua orang punya kesempatan yang sama untuk bikin buku perencanaan keuangan yang laku.

Ada kiat-kiat supaya berhasil nembus pasar?
Saya kasih kiatnya ya. Pertama, jangan melulu berkutat di topik-topik yang sudah basi. Contoh: “Kalau Mau Kaya? Buka Usaha Dong...!”. Waduh, itu basi banget! Udah berulang-ulang kali dibahas orang. Lewatin saja topik begitu.
Kedua, sesuaikan gaya bahasa dengan pasar yang ingin dituju. Lha, kalau bukunya adalah buku populer, jangan pakai gaya bahasa yang teoritis. Nanti orang cepet ngantuk.
Ketiga, nggak usah terlalu tebal. Kalau bukunya buku populer, biasanya orang nggak begitu suka kalau tebal.
Keempat, minta testimoni untuk ditaruh di belakang buku. Cuma kalau pakai testimoni, kalau bukunya buku populer, nggak usahlah minta testimoni dari orang-orang yang buat sebagian orang ‘ketinggian’. Contoh, saya pernah melihat buku keuangan populer, tapi testimoninya dari orang DPR-lah, menteri inilah, rektor itulah, dan sebagainya. Ketinggian! Nanti orang takut untuk baca.
Kelima, jangan hanya kenalkan diri lewat buku. Miliki juga channel distribusi lain seperti menulis artikel di media massa. Miliki website, kalau perlu dengan nama domain sendiri. Miliki juga nama email dengan domain sendiri, bukan yang gratisan kayak yahoo atau hotmail.
Keenam, selalu konsisten pada tema penulisan yang sama. Kalau nulis tentang perencanaan keuangan, ya sudah nulis perencanaan keuangan aja. Supaya ntar orang gampang kenalnya.
Ketujuh, jangan malu-malu untuk menunjukkan diri. Banyak pengarang yang tidak suka menonjolkan dirinya, tapi lebih suka menonjolkan bukunya. Nggak apa-apa juga. Tapi nanti bukunya nggak akan selaku kalau ia juga mau menunjukkan diri secara personal.
Kedelapan, jalin hubungan baik dengan toko buku. Datang ke toko buku, kenalkan diri dengan Supervisor Penjualan. Jalin juga hubungan baik dengan Divisi Promosi di penerbit.
Sembilan, jangan sombong ketika bersosialisasi dengan orang lain. Ini mungkin klise. Tapi banyak orang yang tidak akan membeli buku kita kalau secara personal dia tidak suka dengan kita. Sayangnya, saya banyak melihat pengarang buku-buku keuangan populer dan wirausaha yang seringkali membuat gap sosial dengan orang lain. Mereka hanya mau bergaul dengan orang yang dia pikir selevel, seperti sesama pengarang, pejabat, dsb. Padahal, laku tidaknya buku kita, lebih banyak karena berasal dari mereka yang memang bukan punya profesi seperti kita.
Sepuluh, terus belajar, terutama dari orang-orang Indonesia sendiri. Tempat untuk belajar ada banyak sekali, salah satunya adalah di seminar. Tapi jangan salah, banyak pengarang buku keuangan populer dan wirausaha yang gengsi kalau hadir di seminar dengan pembicara orang Indonesia, tapi mau hadir kalau pembicaranya adalah orang asing, bahkan kalau nama orang asing itu belum pernah terdengar sebelumnya. Kita ini terlalu luar negeri minded. Apa-apa yang dari luar negeri itu dianggap baik. Padahal, kalau kita mau belajar dari sesama orang Indonesia, kita akan dapat ide-ide baru dan segar yang justru lebih membumi. Belajar juga dari milis-milis. Salah satunya adalah milis PenulisBestSeller@yahoogroups.com.

Penulis buku yang Anda kagumi atau mempengaruhi Anda?
Dulu waktu kecil, jelas Arswendo Atmowiloto. Gayanya yang ‘langsung-langsung’ sangat mempengaruhi saya. Sekarang, untuk buku keuangan populer dan wirausaha serta motivasi, pengarang yang dulu pertama kali saya kagumi ketika membacanya adalah Andrias Harefa. Biarpun—mungkin karena dia sangat pintar—kadang-kadang dia nggak terlalu to the point dalam menyampaikan pemikirannya. Tapi ada sesuatu dalam tulisan-tulisannya yang membuat saya selalu terinspirasi. Paulus Winarto juga oke. Keunggulannya pada cara menyampaikan ‘pengalamannya’ dalam setiap poin.
Untuk buku perencanaan keuangan, Antony Japari menurut saya cukup baik. Tulisannya semakin matang. Saya banyak belajar dari beliau, terutama tentang perencanaan keuangan. Masbukhin Pradhana, gaya bahasanya sudah cukup populer untuk orang yang baru pertama kali menulis buku. Dia akan jadi bintang di masa mendatang, asalkan dipasarkan dengan benar. Untuk buku pemasaran populer, saya suka Hermawan Kartajaya. Bukunya Marketing in Venus sangat luar biasa. Saya juga suka Edy Zaqeus, terutama bukunya yang berjudul Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller. Kekuatan dia saya pikir ada pada buku-buku yang bertopik tentang penulisan, bukan yang lain.
Untuk cerpen, saya suka Ade Kumalasari. Bahasa dia di cerpen seringkali sangat to the point dibanding ketika di novel. Saya juga suka cara dia menutup ending pada setiap tulisan-tulisannya. Setahu saya, ending-ending seperti itu menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Dia akan jadi sangat terkenal di masa mendatang sebagai pengarang mumpuni asal dia terus produktif. Pengarang asing? Stephen Covey. Cuma karena mungkin buku itu ditujukan buat HRD perusahaan, buku itu jadi tampil lebih ‘rumit’. Seharusnya bisa dibuat lebih populer lagi. Robert Kiyosaki, biarpun saya nggak terlalu setuju sama isinya, tapi gaya bahasanya populer. Terbukti dari banyak orang yang terbawa pada alur pikirannya.

Definisi penulis sukses menurut Anda?
Gampang. Penulis sukses adalah penulis yang bisa mengkomunikasikan ide-idenya kepada pembaca, dan pembaca bisa menerima ide-ide tersebut tanpa merasa dipengaruhi. Seorang penulis sukses saran saya sebaiknya tidak hanya menulis untuk branding. Tapi untuk idealisme. Penulis yang menulis dengan maksud untuk bisnis, menurut saya hanya akan terjebak pada persaingan yang tidak sehat dengan sesama penulis lain yang menulis topik yang sama. Tetapi, bila seorang penulis menulis untuk idealisme, untuk memberikan sesuatu berupa edukasi kepada pembaca, ini berarti dia sudah mencapai level tertinggi dalam menulis, yaitu memberikan sesuatu untuk masyarakat.

Ok, thanks. Sukses selalu....
Sama-sama. Pesan saya, kunci menulis itu sederhana saja: menulis, menulis, dan menulis lagi. Praktik, praktik, dan praktik lagi. Karena semua orang bisa menulis.(ez)

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman