Rabu, 14 Desember 2011

Oh Tuhan. Suami Minta Saya Layani Nafsu Adiknya, Lalu Dia Selingkuh

Oh Tuhan. Suami Minta Saya Layani Nafsu Adiknya, Lalu Dia Selingkuh:
Ilustrasi

Ini bukan cerita fiksi namun ungkapan curahan hati dari seorang wanita yang sekarang sungguh hancur hatinya meratapi nasibnya. Saya cuma berpikir laki laki seperti apa yang bisa meminta istri yang harusnya dicintainya diminta untuk menjadi budak nafsu adik kandungnya hanya dengan alasan untuk memisahkan sang adik dari kekasihnya. Curhat ini saya temukan dari salah satu tabloid wanita terkemuka di Indonesia, berikut isi lengkapnya:

Bu Rieny Yth,
Anak-anak saya sudah berangkat remaja. Selama membesarkan mereka, hubungan kami suami-istri baik-baik saja. Masalah dimulai ketika adik suami (T) terlibat percintaan dengan teman kos-nya di Pulau X, seorang janda satu anak. Katanya, ia bersimpati karena janda tersebut harus banting tulang mencari nafkah untuk pengobatan anaknya yang terkena leukemia. Lama kelamaan, si janda jadi tergantung secara emosional, dan ketika masa tugas T berakhir, ia minta diberi kenang-kenangan, berupa hubungan intim.

Sekembalinya ke Jawa, ternyata janda tadi terus meneror T yang tinggal di rumah kami, dan puncaknya, ia mengaku hamil. Segala cara dilakukan suami dan keluarganya tetapi T tetap saja berhubungan. Akhirnya, entah kenapa, suami meminta saya merayu T agar jauh cinta pada saya dan bahkan suami ikhlas saya tidur dengan T, yang penting bisa lupa pada janda itu. Dengan berat hati saya turuti permintaannya, walau ternyata T tidak bisa memuaskan saya pada hubungan pertama. Ia mengalami ejakulasi dini.

Suami terus mendorong saya agar tidak berhenti, dan memang, sejak kami akrab, T tak meladeni lagi janda tersebut. Tetapi, main api hangus, bermain air kita basah ya Bu. Tanpa saya sadari, saya kok jadi merasa lebih dekat dengan T dibanding suami. Anehnya lagi, suami tidak menampakkan keberatan. Kepada keluarganya, ia membanggakan saya, yang dikatakannya pandai “menasehati” T agar melupakan si janda.

Sampai, beberapa waktu yang lalu, saya menemukan pesan pendek mesra di ponsel suami, yang ternyata dari WIL suami. Awal hubungan mereka kira-kira sama dengan saat suami mulai menyuruh saya mengencani T. Maka, ketika saya meminta agar suami memutuskan hubungannya, ia menolak dengan dalih saya juga affair dengan T.

Saya katakan pada T bahwa saya tidak mau lagi meneruskan hubungan gelap kami, malah dia mengatakan syukur, karena sebenarnya ia sudah berencana menikah sehabis Lebaran dengan pacarnya yang gadis dan lebih muda dari usianya. Dia tidak tega mengatakan ini pada saya, katanya.

Belum cukup penderitaan saya, mertua perempuan khusus datang untuk meminta bantuan saya agar mencarikan istri untuk T karena ia ingin T kawin dengan gadis yang juga lebih muda usianya. Saya 37 tahun Bu, dan T 30 sementara suami 45. Lengkaplah penderitaan saya, suami tak mau melepas WIL-nya, T akan menikah dengan seorang gadis, bahkan ketika saya desak, suami mengatakan saya boleh menggugat cerai karena ia tetap akan kawin dengan WIL-nya di bawah tangan, karena sang WIL ternyata sekarang hamil.

Apa yang harus saya lakukan Bu, saya tak punya keterampilan apa-apa untuk hidup, sementara kedua anak kami juga tak tahu apa-apa karena di hadapan mereka saya dan suami selalu menampilkan citra keluarga yang harmonis. T sudah tak di rumah saya lagi. Saya kesepian dan kehilangan dia, tetapi saya lebih takut lagi membayangkan bagaimana kalau suami kawin lagi. Apa salah saya, Bu? Kenapa kok semua orang jadi meninggalkan saya, padahal awalnya saya lakukan semua ini karena perintah suami? Tolong saya ya Bu. Terima kasih.


Bi di Y

Jeng Bi Yth,
Kesalahan pertama dan utama adalah berzina Bu, dan kalau satu pelanggaran besar terhadap komitmen perkawinan sudah dilakukan, mudah sekali merangkaikannya dengan pelanggaran lainnya. Sehingga, ketika cinta dan rasa sayang tumbuh di hati pada T, lalu Anda sudah menganggapnya sebuah kewajaran saja.

Sebenarnya, saat membaca surat Anda, saya seperti sedang menonton sinetron di TV kita yang pada hemat saya skenarionya sering tak bisa diterima oleh logika dan akal sehat saya. Tetapi, Bi , tren rumah tangga aneh-aneh seperti yang Anda lakoni, makin banyak saya jumpai. Kemana ya perginya nilai-nilai kesucian sebuah perkawinan di hati kita-kita ini?
Ya Bi, yang menjadi awal petaka Anda, hemat saya seluruhnya adalah penampakan dari tiadanya lagi nilai-nilai yang kita anut sebagai penanda benar atau salahnya sesuatu yang kita lakukan, karena makin lama rupanya nilai-nilai mendasar tentang hidup dan kehidupan sudah tak lagi jadi pedoman hidup.

Bila kita punya nilai-nilai atau value yang kita yakini menjadi landasan kebenaran bagi kita, pertanyaan yang akan selalu mewarnai tindakan kita adalah, “Apakah yang aku lakukan ini dapat dibenarkan di mataTuhan dan di mata orang lain?”. Lalu, “Apakah dengan melakukan ini, ada manfaatnya bagiku, suamiku dan anak-anakku?” dan yang berikut lagi “Malu tidak ya, kalau ada orang yang tahu?”

Yang paling sederhana sebenarnya adalah yang terakhir. Almarhum DR. Nurcholis Madjid mengatakan, sesuatu yang kita lakukan dan kita tutup-tutupi karena tak mau orang lain mengetahuinya, hampir dapat dipastikan adalah dosa. Setiap manusia sebenarnya punya hati nurani yang tak bosan-bosannya mengirim pesan pada kita, penilaiannya tentang apa yang kita pikir atau yang kita lakukan.

Apa boleh buat, yang justru paling sering kita abaikan adalah seruan untuk merasa malu. Rasa takut, kadang malah bisa jadi rem, tetapi malu, yang justru merupakan penanda paling sensitif, malah cenderung kita abaikan.

Mengapa manusia masa kini kok seakan “kebal” terhadap rasa malu? Yang jelas, penghayatan keagamaan tidak mewarnai cara berpikir dan bertindak. Salat sih, tapi maksiat jalan terus. Punya status sebagai penasehat atau penceramah andal, tetapi perilakunya jauuuh dari apa yang didengung-dengungkan.

Contoh? Setiap saat, di hampir setiap saluran TV ada cerita selingkuh, cerai, rujuk, meratap dan tangis bombay, yang menjadikan lemahnya moralitas jadi tontonan, yang makin lama kok makin enak ya ditonton? Tanpa kita sadari, ada sebuah mekanisme yang bekerja dalam diri yang membolehkan, atau menganggap sah-sah saja kalau bercerai tetapi tetap sekamar tidur dengan suami. Suami dan istri punya pacar, dan berangkat dari rumah bersama-sama untuk kencan, serta kembali bersama, tetapi di jalan pisah dengan gebetan-nya masing-masing. Atau, seperti Bi, direstui untuk berzinah.

Bi, tak bosan-bosannya saya katakan, perempuan tak pernah untung kalau ia terlibat affair. Memang, affair bukanlah berdagang, tetapi untung juga tidak selalu harus berarti laba dalam bentuk uang. Laba dalam menjaga kehormatan, dalam menolak tawaran-tawaran yang menjerumuskan, itu semua adalah keuntungan, karena semuanya membuat kita beruntung menjadi perempuan bermartabat!

Kalau Anda berdoa minta ampu pada Tuhan, sekaligus berterima kasih, masih punya kesempatan untuk menulis ke NOVA, membaca jawabannya, sudah tak adalagi T di rumah Anda, anak-anak terlihat oke-oke saja ( belum tentu mereka tak tahu, lho. Mereka sering berpura-pura tak tahu untuk melindungi dirinya dari sakit hati), dan suami masih bersama-sama Anda.Tidak ada gunanya kan kalau saya salah-salahkan Anda dengan mengatakan :”Makanya, jangan mau kalau disuruh zinah”. Ini, kan, sudah basi.

Kepentingan utama kini adalah bagaimana Anda bertahan dalam perkawinan, bukan? Agama selalu jadi kunci utama yang selalu PAS untuk setiap masalah kita. Bisakah Anda jadikan rutinitas atau ritual agama Anda sebagai perekat kembali hubungan dengan suami? Berdoa bersama, ke gereja bersama, aktif di lingkungan bersama? Kentalkan warna keagamaan di dalam setiap aktivitas keseharian Anda dan keluarga. Dengan demikian kepekaan Anda ( dan suami) akan menguat kembali, terhadap hal-hal yang seharusnya dihindari.

Minta bantuan pemuka agama yang dihormati suami untuk menasehati dan pertinggi frekuensi perjumpaan dengan beliau. Dekati keluarga besar suami, dan karena selama ini hubungan Anda baik, bukankah ini bukan hal sukar?

Biasanya, kalau suami melihat dan merasakan ada nuansa religi dalam rumah tangga, yang pastinya menenteramkan, Anda diterima keluarga besarnya, anak-anak dan rumah tangga berjalan oke, mudah-mudahan akal sehatnya lalu mengalahkan nafsunya.

Hindari berkata buruk tentang sang WIL. Sibukan suami agar sesedikit mungkin ia punya waktu untuk ke sana, bahkan untuk memikirkannya. Buat anak-anak semakin terlibat dengan suami dalam aktivitas mereka, begitu pula sebaliknya.

Upaya dari sisi positip ini memang butuh pengorbanan besar dari Anda, karena perempuan biasanya tergoda oleh dorongan egonya yag mengatakan :”Kenapa kok saya terus yang harus ikhtiar, yang salah kan suami?” atau “Kenapa harus merendah-rendahkan diri, yang rendah akhlak kan dia?”. Ini semua berlatar dendam Bi, dan hasilnya, adalah energi negatif. Bila ini yang Anda lakukan, maka Anda hanya akan sibuk mengedepankan kesalahan suami, lalu ia akan secara naluriah bertahan dan menyangkal atau malah lari sama sekali!

Nah, cobalah menghimpun sisi positip yang masih bisa tergali, tahan diri dan bersabar, pastikan Anda tak akan pernah lagi melakukan pengkhianatan terhadap komitmen suci perkawinan, urus anak-anak baik-baik. Mudah-mudahan bila Anda merespon peringatan Tuhan dengan upaya yang benar-benar optimal untuk memperbaiki diri, Tuhanlah yang akan membukakan pintu kemudahan bagi bersatunya kembali Anda dan suami. Hilangkan dulu lah perbendaharaan kata cerai dalam interaksi dengan suami, oke?

Pasti berat Bi, tetapi kali ini Bi harus tegas berdiri di atas nilai-nilai kehidupan yang selaras dengan agama yang Anda anut dan apa yang diajarkan orangtua sebagai kebaikan dan hal positip yang harus dilakukan. Salam sayang.

Wah, sunggung rasanya sulit membayangkan kalau hal tersebut kita yang alami. Mudah mudahan cerita ini bisa diambil hikmah agar kita tidak mengalami hal ini.
sumber

Jangan lupa di like...
@osserem Follow juga ya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman