Sabtu, 05 November 2011

Hancurnya Peradaban Kami Akibat Pornografi

Hancurnya Peradaban Kami Akibat Pornografi: Oleh, Herry Nurdi*


Satu hari, ketika membaca tweet yang dilontarkan oleh Ulil Absar
Abdalla, sebagai guru saya merasa sedih bukan kepalang. Pedih sekali
membaca kalimatnya yang berbunyi begini, “Apa ada negara atau peradaban
hancur karena pornografi? Setahu saya tak ada.”










Saya membayangkan puluhan anak-anak dan orangtua para santri yang
dicabuli dan dilecehkan secara seksual oleh guru ngaji di wilayah Kebon
Bawang, Jakarta Utara. Rusak semua, agama menjadi dinistas, masa depan
para santri terluka, orangtua tak kurang sakitnya. Sebabnya, pornografi!


Saya juga membayangkan kedua orangtua gadis kecil berinisial PA, yang
diperkosa dua orang temannya di toilet sekolah pada jam pelajaran
olahraga. Januari lalu, PA diperkosa oleh D, yang berumur 10 tahun dan R
yang berumur 13 tahun hingga tak sadarkan diri. Mereka bertiga, duduk
di kelas V Sekolah Dasar Negeri 13 Pagi, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Bagi PA dan kedua orangtuanya, hari itu peradaban keluarga mereka
hancur, akibat pornografi yang telah memapar otak-otak bocah seperti R
dan D.




Selang sepekan, berita yang lebih dahsyat lagi terdengar dari
Purbalingga. Lima siswa Sekolah Dasar mencabuli bocah usia Taman
Kanak-kanak, sebut saja namanya Bunga. Lima orang bocah ini baru duduk
di kelas tiga dan empat Sekolah Dasar Negeri Kebutuh, Bukateja,
Purbalingga. Mereka dengan tega mencabuli adik TK mereka, karena ingin
mempraktikkan video mesum yang telah mereka tonton bersama. Bahkan, ada
salah seorang di antaranya telah melakukan perkosaan kepada bocah TK
untuk kedua kalinya. Bagi Bunga dan kedua orangtuanya, hari itu juga
mungkin hari yang meruntuhkan masa depan dan kehidupannya.


Kisah-kisah dan fakta seperti inilah yang membuat saya, bersama sahabat-sahabat guru mendirikan semacam teachers initiative, yang kami namakan Teachers Working Group. Misi besarnya adalah menjadi sahabat guru, melakukan pendampingan dan memperkaya skill teaching
sesama guru. Tapi itu semua kami kerjakan dengan kesadaran penuh untuk
membangkitkan guru melawan segala bentuk gejala sosial yang mengancam
dan mengintai anak-anak murid kami.




Kami berkeliling ke kota-kota di Indonesia, untuk membangkitkan
kebanggaan para guru dan selanjutnya mendorong guru untuk mengambil
peran sosial dan memimpin perubahan, meski kecil dan tidak seimbang
dengan kerusakan yang menjalar.


Akhir Januari lalu misalnya, dalam sebuah sarasehan dan seminar yang
kami gelar di Tangerang, sengaja kami mengangkat tema Menemani Murid
yang Bermasalah. Dan ternyata, masalah yang mengemuka sedikit sekali
tentang hambatan belajar, sebagian besar justru masalah sosial, wabil khusus kehidupan bebas di tengah para murid-murid kami.




Ibu Indrawati misalnya, guru salah satu SMP Negeri di wilayah itu.
Selepas acara menemui kami, para panitia dan curhat sambil meneteskan
air mata. Sebagai guru, dia dekat dengan murid-muridnya dan ingin
berbagi setiap jengkal kebaikan tentang hidup pada mereka. Satu hari,
dia mendapati muridnya yang baru kelas II SMP, mengadu tentang dirinya
yang telah melakukan hubungan intim dengan pria kuliahan yang dikenalnya
lewat facebook. Dan yang melakukan hal seperti itu, tidak saja dirinya,
tapi banyak juga teman yang lainnya. Ada yang melakukan di hotel, di
tempat-tempat tertentu, bahkan di rumah mereka sendiri di saat orangtua
mereka pergi.




Sebagai guru, Ibu Indrawati merasa sedih sekaligus bingung mendapat
masalah seperti ini. Sebab, sang murid bercerita, bahwa sekarang, yang
disebut pacaran selalu dan harus melibatkan hubungan intim di antaranya
keduanya. Karena bingungnya, ibu guru yang satu ini curhat untuk mencari
solusi kepada guru lainnya. Tapi sedihnya, bukan solusi atau berbagi
rasa yang didapatkan. “Makanya, jangan deket-deket sama murid, nanti
dapat masalah,” begitu sambutan guru lain yang diajaknya bicara.




Maka, siang hari itu, kami menangis bersama. Seolah bertemu dengan
teman-teman seperjuangan yang berjanji akan bekerja sekuat daya untuk
mendampingi anak-anak murid kami.


Bulan sebelumnya, kami membuat acara yang sama di wilayah Bandung.
Sekitar 250 guru hadir dan terlibat. Salah satu pembicara adalah Ibu
Endang Yuli Poerwati, guru agama SMA Negeri IV, Bandung. Kisah yang
dituturkannya bermula dari anak bayinya yang terjatuh dari tempat tidur.
Karena khawatir, dibawalah sang bayi untuk diurut oleh “dukun bayi”
yang di Bandung lebih dikenal dengan sebutan paraji. Selepas mengurut
bayi, sang paraji meminta bantuan, bersediakah Ibu Yuli membawa dan
merawat bayi yang beberapa malam lalu ditinggalkan kedua orangtuanya
yang masih remaja, ketika mereka datang untuk dibantu saat melahirkan.


Dan ini menjadi kisah awal dari perjalanan Ibu Yuli. Kini di rumahnya
tinggal belasan anak-anak yang diasuhnya seperti anak sendiri, dan
kisah mereka nyaris sama, tak jauh berbeda. Ada yang hasil perkosaan,
ada yang karena pergaulan bebas, ada pula anak dari gadis yang
dihipnotis lelaki bejat, dan bahkan ada anak yang dijual orangtuanya
sendiri karena keperitan hidup.




Ada pula kisah salah satu sahabat kami yang telah melahirkan sebuah buku berjudul La Tahzan for Teachers,
Irmayanti. Dia kini mengajar di salah satu sekolah menengah atas di
bilangan Ciledug, Tangerang. Ketika pertama kali masuk dan mengajar,
beberapa guru memberitahukan sesuatu yang mencengangkan. Jangan dikira
anak-anak ini masih perawan semua!


“Mendengar kalimat itu hati saya seperti dicekal, sampai sulit
bernapas,” terang Irmayanti. Siswanya tidak banyak, kurang lebih hanya
100 orang, dan 30 di antaranya anak perempuan. Hampir semuanya terlibat
wajar dan baik-baik saja. Anak-anak perempuan ini patuh, rajin,
berjilbab, menggunakan baju lengan panjang dan rok panjang nan longgar
yang menutup aurat. Bahkan mereka sering shalat dhuha berjamaah di
sekolah dan rajin mengikuti bimbingan rohis dalam halaqah, lingkaran 10
orang yang ditemani pembinanya.


Tapi semua gambaran itu seolah runtuh, peradaban baik itu seolah
hancur ketika salah seorang murid setelah tangisan panjangnya mengadu
bahwa dia sudah ditiduri sang pacar. Hati Irmayanti seolah semakin
hancur ketika bertemu seorang guru yang berkata dengan ringan, “Kita
bertanggung jawab atas mereka sejak bel masuk sekolah sampai bel pulang
sekolah. Memastikan anak-anak ini berlaku baik dalam rentang waktu itu.”


Dalam catatan di bukunya, Irmayanti menuliskan kepedihan itu.
“Sekolah menengah dipenuhi anak-anak baru gede yang bingung. Mereka
belum lagi memiliki prinsip, gempuran sudah datang bertubi-tubi dari
sana dan dari sini. Gaya hidup, pergaulan, konsumerisme, tontonan.
Kasihan. Mereka tak paham, milik siapa tubuh ini dan tak tahu bagaimana
memperlakukan dengan penuh hormat diri sendiri.”


Maka, sebagai penutup saya ingin berbagi angka semua dengan pembaca.
Tahun 2010, tercatat angka 120 ribu penderita HIV/AIDS di seluruh
Indonesia, 40 ribu di antaranya adalah ibu rumah tangga dan sebagian
besar penderita berusia di bawah umur 24 tahun.




Ini baru angka yang mampu dicatat oleh Kementerian Kesehatan dan
Komisi Perlindungan HIV/AIDS Indonesia. Angka yang sebenarnya, tidak
akan pernah terungkap dan jauh lebih besar daripada yang didapat.


Di Jakarta, Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DKI
Jakarta merilis angka penderita penyakit kelamin di Jakarta berjumlah
9.060 orang, dengan rincian 5.051 orang berjenis kelamin perempuan dan
sisanya pria. Dari total jumlah penderita tersebut, 3,007 di antaranya
masih berusia antara 14 dan 24 tahun.




Ini belum ditambah dengan angka aborsi di Indonesia. Setiap tahun,
janin-janin yang dibunuh akibat zina yang dilakukan oleh pemuda dan
pemudi kita semakin meningkat, bahkan mencapai 2,6 juta per tahunnya.
Lagi-lagi, itu baru yang mampu tercatat. Bahkan, ada yang membuat
rata-rata, setiap hari ada 30 bayi yang dibuang oleh orangtua laknat.
Ada yang dicacah di dalam WC kampus, ada yang dimakan anjing di jalanan,
ada yang tersangkut di jembatan terseret aliran sungai, ada yang
dibuang begitu saja seolah sampah.


Jika fenomena ini semua belum lagi bisa disebut tanda-tanda atas
hancurnya peradaban, lalu kita akan menyebutnya apa? Apakah fenomena ini
baru bisa disebut dampak kehancuran pornografi yang memicu kehidupan
zina setelah orang-orang yang tak pernah khawatir adalah korbannya?




Mari, bersama angkat beban. Meski sedikit dan ringan, gelombang besar
ini harus dibendung dengan perjuangan. Kita harus menahannya dengan
kantung-kantung pasir agar kerusakan akibat banjir tak melebar dan
bertambah besar. Dan semoga Allah menolong kita dan menjadi saksi atas
semua usaha ini, meski masih sangat kecil sekali


*Jurnalis Muslim dan Penggerak Teachers Working Group (TWG)



sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman