Jumat, 31 Oktober 2008

SEKETIKA DUNIA BERUBAH

-
Oleh: Nathalia Sunaidi


Malam lalu mobil saya terserempet sebuah sepeda motor ketika hendak ambil jalur kiri untuk keluar dari antrian macet. Tiba-tiba dari sebelah kiri sebuah motor menabrak kaca spion saya dan terjatuh. Kontan saja sopir saya turun untuk melihat keadaan pengendara motor itu. Di sana sudah berhenti seorang pengendara motor lainnya untuk membantu. Masih ada orang yang berniat menolong, pikir saya.

Setelah dilihat ternyata keadaan kedua pengendara motor yang terjatuh itu baik-baik saja. Celakanya, kedua orang itu dalam keadaan mabuk dan tubuhnya penuh tato. Begitu melihat penampilan mereka, pengendara motor yang tadinya berniat menolong langsung tancap gas dan pergi. Gawat, pikir saya.

Untung sekali sopir saya orang yang sabar dan tidak penuh emosi. Dia meminta maaf tanpa berpikir lagi siapa yang sebenarnya salah. Tapi mereka menampar sopir saya dan mengancam supaya sopir saya memberi mereka uang seratus ribu atau dia tidak akan selamat.

Lebih baik mengalah, mungkin begitu yang ada di dalam pikiran sopir saya. Lalu, dia langsung memberikan uang itu. Ketika kami hendak pergi, tiba-tiba pengendara motor itu meninju pintu mobil saya dan meminta dibukakan kaca jendela, atau “Kalian semua tidak selamat!” begitu ancamnya. Setelah dibukakan kaca jendela, ternyata mereka meminta uang lagi untuk pengobatan, walaupun mereka terlihat sangat sehat. Dengan menimbang kondisi mereka yang dalam keadaan mabuk, saya berikan uang yang mereka minta. Setelah menerima uang mereka menancap gas dan pergi dengan kencang.

Setelah kejadian itu kami semua terdiam. Walaupun saya terlihat tenang ketika menghadapi pengendara mabuk itu, tapi terasa juga dengkul saya lemas dan jantung berdetak keras.

Setiba di rumah, mama saya membahas kejadian tadi. Menurut mama, kejadian itu merupakan faktor disengaja, seperti yang biasa dia tonton dalam acara-acara kriminal di televisi. Pacar saya juga bercerita beberapa hari lalu di komplek perumahannya ada seorang polisi yang ditembak di kepalanya ketika memergoki pencurian mobil.

Dia juga pernah diintai sepeda motor lainnya ketika ia sedang mengendarai motor di larut malam hari. “Kamu ya yang kemarin menabrak adik saya?!” teriak si pengendara sementara teman boncengannya memegang sebuah kayu. Melihat itu, pacar saya langsung menghindar dan memasuki daerah yang cukup ramai. Sudah banyak kejadian, jika terpancing, mereka akan menggiring ke daerah sepi untuk diambil motornya.

Setelah mendengar semua cerita itu, dan ditambah baru saja mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, seketika itu saya merasa dunia berubah menjadi sebuah tempat yang sangat mengerikan. Namun, saya merasa sangat beruntung karena bisa tetap hidup di dunia yang penuh bahaya ini.

Selama beberapa jam saya merasakan dunia ini begitu negatif dan sangat suram. Walaupun pada saat itu saya juga menyadari perubahan persepsi saya yang sangat drastis dan bertanya-tanya, “Mengapa segalanya langsung menjadi sangat mengerikan?” Baru setelah pikiran saya jernih kembali, berangsur-angsur dunia menjadi lebih baik. Dan, saya bisa menertawakan pikiran-pikiran buruk yang baru saja membombardir kepala saya, serta membuat saya memandang dunia dari sisi yang sangat suram.

Saat itu saya menyadari, bukan dunia yang berubah, tapi pikiran saya yang berubah menjadi negatif. Dunia hanyalah dunia seperti itu adanya, tidak bisa disebut baik atau buruk. Tapi, pikiran sayalah yang membuat persepsi buruk pada dunia. Dan, ketika persepsi pikiran kita berubah maka kita akan menganggap segala sesuatu di sekitar kita yang berubah.

Persepsi pikiran kita bisa berubah dengan sangat cepat dan mengubah cara pandang kita dalam hitungan jentikan jari. Dengan kejadian terserempetnya mobil saya malam itu, saya menyadari betapa beruntungnya saya yang masih bisa memandang dunia ini sebagai tempat yang bahagia, sehingga dunia ini bisa diisi dengan hal-hal yang baik dan berkualitas.

Malam itu saya menyadari bahwa pikiran kitalah yang menciptakan dunia kita. Faktor-faktor di luar kita hanyalah sebagai objek seperti itu adanya, tidak bisa disebut baik atau buruk, tapi persepsi pikiran kitalah yang memberikan label penilaian tentang hal-hal di luar kita.

Persepsi pikiran kitalah yang mempermainkan kita, kita hidup di dalam persepsi kita, dan persepsi pikiran itulah yang menciptakan dunia kita. Tapi, berita baiknya adalah kita bisa melihat seperti apa persepsi pikiran kita dengan menyadari pikiran-pikiran apa yang muncul setiap kali kita berinteraksi dengan objek-objek di luar kita.

Kita bisa memeriksa pikiran apa yang muncul pada saat kita sedang mengantri di bank, berkenalan dengan orang baru, ketika kaki kita terinjak oleh orang lain, mendengar kenaikan gaji teman kerja kita, pada saat teman kita curhat tentang usahanya yang bangkrut, dll. Sadari dan dengarkan pikiran-pikiran apa yang muncul di benak kita saat itu, mana yang sering muncul, pikiran baik atau pikiran buruk, maka seperti itulah sesungguhya isi diri kita.

Dengan cara demikian kita bisa memeriksa diri kita sendiri, apakah isi diri kita lebih banyak hal yang baik atau hal yang buruk. Dan, semakin sering kita memeriksa pikiran-pikiran yang muncul dalam benak kita, maka semakin kita lebih mengenali diri kita sendiri.

Setelah kita lebih mengenali diri kita sendiri maka tentu kita akan bisa menentukan lebih bijaksana hal-hal apa yang perlu diperbaiki/ditingkatkan atau bahkan dibuang dari diri kita, sehingga kita bisa menjadi pemegang kendali dalam proses pembelajaran kita menuju kesadaran yang lebih tinggi.[ns]

* Nathalia Sunaidi adalah seorang hipnoterapis dan penulis buku “Journey to My Past Lives” (Bornrich, 2006).

SISTEM KEPERCAYAAN

Oleh: Syahril Syam

Kita sudah cukup berpanjang lebar mengenai konsep diri ini. Sekarang kita akan menuju pada sistem mental block yang kedua: SISTEM KEPERCAYAAN.

Ketika kita membicarakan tentang sistem kepercayaan, saya tidak mengajak Anda untuk berbicara tentang suatu keyakinan religius tertentu. Mengenai keyakinan religius itu, biarlah menjadi hak Anda untuk menentukan sendiri. Saya hanya mengajak Anda untuk melihat lebih dalam tentang kepercayaan yang Anda pegang, di mana kepercayaan tersebut sangat menghambat kemajuan prestasi Anda.

Kita sudah membicarakan konsep diri di atas. Dan ketika membicarakan konsep diri, maka sangatlah tidak mungkin untuk menghindari pembicaraan mengenai sistem kepercayaan, karena kedua hal ini sangat berkaitan erat. Sistem kepercayaan–sesuai dengan defenisi dalam kamus elektronik Encarta–adalah:

1. Penerimaan terhadap kebenaran yang diyakini
2. Percaya akan sesuatu
3. Prinsip-prinsip atau doktrin yang diterima sebagai suatu kebenaran
4. Suatu pendapat yang diyakini kebenarannya
5. Keyakinan terhadap Tuhan

Berdasarkan defenisi di atas, maka yang saya maksudkan hanya pada defenisi nomor 1 sampai nomor 4 saja. Biarlah defenisi nomor 5 menjadi pembicaraan Anda dan kelompok Anda saja.

Apa pun bentuk kepercayaan Anda, yang jelas bahwa hal itu akan membentuk kehidupan Anda. Jika Anda berpendapat bahwa semakin tinggi sekolah semakin susah, maka hal itu pula yang akan Anda dapatkan ketika Anda semakin menanjak jenjang pendidikan. Kehidupan seperti apa yang Anda jalani hari ini adalah hasil dari kepercayaan Anda di masa lalu. Dan apa pun bentuk kepercayaan Anda hari ini, akan membentuk kehidupan Anda nanti. Jika Anda ingin mengubah kehidupan Anda, maka Anda tinggal mengubah kepercayaan Anda hari ini.

Banyak orang yang selalu percaya bahwa cari uang itu susah, cari pekerjaan susah, cari istri yang cantik susah, cari suami yang setia susah, dan berbagai jenis susah-susah yang lain. Maka apa yang terjadi? Kebanyakan orang kemudian hidup di garis rata-rata, ada uang tapi dikeluhkan sedikit. Andai pun mendapatkan pekerjaan setelah susah payah dicari, tidak sesuai lagi dengan bakat dan minat yang dimiliki. Pilih-pilih calon istri eh… malah dapat istri yang tidak sesuai harapan; begitu pula dengan mencari suami.

Yang jelas, apa pun bentuk kepercayaan Anda, itulah yang Anda dapatkan dalam kehidupan Anda. Oleh sebab itu belajarlah untuk melihat kepercayaan apa yang Anda yakini hari ini, dan bersikaplah objektif: apakah kepercayaan yang saya yakini hari ini telah mendukung kemajuan hidup saya atau belum.

Apa pun itu (konsep diri atau pun sistem kepercayaan), mental block ini tentu saja sangat mempengaruhi pencapaian kesuksesan seseorang. Untuk itu mari kita lihat lebih lanjut uraiannya berikut ini:

PENGARUH MENTAL BLOCK TERHADAP KESUKSESAN
Prescott Lecky, salah seorang pelopor dalam bidang psikologi yang berhubungan dengan mental block, menganggap kepribadian itu sebagai sistem ide-ide, yang keseluruhannya harus konsisten dengan satu sama lain. Ide-ide yang tidak konsisten dengan sistemnya akan ditolak, “tidak dipercayai”, dan tidak ditindaklanjuti. Ide-ide yang tampaknya konsisten dengan sistemnya, diterima. Di pusat sistem ide-ide ini–batu penjurunya, atau dasar di atas mana segala hal yang lainnya dibangun–adalah citra diri individu yang bersangkutan, atau persepsinya tentang diri sendiri.

Lecky adalah seorang guru sekolah dan berpeluang mencoba teorinya pada ribuan siswa. Ia berteori bahwa kalau seorang siswa kesulitan mempelajari pelajaran tertentu, itu mungkin saja karena pandangan siswa tersebut bahwa ia merasa kesulitan mempelajarinya. Tetapi Lecky percaya, bahwa kalau sang siswa bisa dibujuk untuk mengubah defenisi dirinya, kemampuan belajarnya pun juga seharusnya berubah.

Ini terbukti benar. Seorang siswa yang keliru mengeja 35 kata dari 100 kata dan gagal dalam banyak mata pelajaran lainnya sehingga tidak naik kelas, mencapai nilai rata-rata 91 pada tahun berikutnya dan menjadi salah seorang pengeja terbaik di sekolahnya.

Seorang gadis yang putus sekolah dari sebuah kampus karena nilai-nilainya yang buruk, masuk Columbia dan menjadi siswi yang nilainya seluruhnya A.

Seorang anak laki-laki yang diberitahu oleh sebuah biro pengujian bahwa ia tidak berbakat dalam bahasa Inggris, memenangkan kehormatan untuk literatur pada tahun berikutnya.

Masalahnya dengan siswa-siswi ini bukanlah bahwa mereka itu bodoh atau kurang dalam bakat-bakat dasar. Masalahnya adalah mereka memiliki mental block yang menghalangi mereka untuk percaya bahwa mereka bisa sukses. Mereka mempersepsikan diri mereka sebagai orang “gagal”, “tidak mampu”, dan berbagai label-label lainnya yang justru menghambat kinerja otak mereka secara positif.

Dalam buku teman saya, Adi W. Gunawan, yang berjudul Born to be a Genius, menyimpulkan dengan apik (yang sesuai dengan judul bukunya sendiri) bahwa setiap orang yang lahir itu jenius. Masalah utamanya adalah bahwa kebanyakan orang-orang yang “bermasalah” itu memiliki mental block, yang menghalangi kesuksesan mereka. Di buku ini, Adi W. Gunawan memberi contoh temannya, sebut saja Budi, yang lulus sebagai sarjana teknik industri dengan IP 3,78 dan mendapat predikat cum laude dari sebuah perguruan tinggi terkemuka. Skripsi Budi juga terpilih sebagai skripsi terbaik di jurusannya, yaitu jurusan teknik industri.

Berbekal gelar sarjana dan prestasi akademis yang sangat baik, ia memulai hidupnya di masyarakat. Setelah bekerja selama tiga tahun dengan berganti pekerjaan beberapa kali, akhirnya ia mengeluh mengenai keadaan dirinya. Secara finansial ia selalu minus. Penghasilan yang ia peroleh dari pekerjaannya selalu tidak dapat mencukupi kebutuhannya.

Mendengar keluhan ini, seorang kawan Budi, yang kebetulan pengusaha sukses, menyarankan agar ia berubah haluan dengan menjadi pengusaha. Saran ini telah disampaikan oleh temannya itu selama lebih dari tiga tahun tanpa mendapat perhatian dari si Budi.

Selama ini Budi merasa bahwa dia tidak berbakat untuk menjadi pengusaha. Dalam garis keluarganya tidak ada seorang pun anggota keluarganya yang menjadi pengusaha. Ayahnya seorang manajer, tante dan omnya berkarier di perusahaan. Jadi, Budi berpikir bahwa tidak mungkin ia bisa menjadi pengusaha. Budi berpikir sudah menjadi nasibnya bahwa ia harus tetap bekerja di suatu perusahaan, sampai akhirnya Budi benar-benar merasa terjepit dan idak mempunyai pilihan lain.

Setelah membuat keputusan untuk mengubah haluan, di bawah arahan dan bimbingan temannya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Budi telah menjadi pengusaha yang penghasilannya lima belas kali lipat dibandingkan dengan penghasilannya saat masih bekerja di perusahaan.

Dengan hilangnya mental block, maka Anda memiliki peluang yang sangat besar dalam meraih kesuksesan. Coba Anda perhatikan diagram di bawah ini:

DAUR EMOSI POSITIF

Emosi Positif—>Kekuatan Otak—>Keberhasilan—>Kehormatan Diri—>Emosi Positif

Begitu emosi Anda positif (hilangnya mental block) maka secara otomatis Anda akan memaksimalkan penggunaan otak Anda, yang berujung pada keberhasilan, sehingga konsep diri/kepercayaan Anda akan semakin positif (kehormatan diri). Dan pengaruh ini akan terus berlanjut dan menjadi lingkaran malaikat bagi Anda.

Untuk melihat lebih jelas lagi akan pengaruh mental block ini, saya akan mengajak Anda untuk melihat contoh menarik yang ditulis oleh Joe Vitale mengenai anjingnya yang bernama Spot:

“Spot adalah seekor anjing tersesat yang saya ambil menjadi milik saya ketika masih kuliah. Tetapi, ia biasa berlari-lari dan menghancurkan kebun tetangga saya, lari menyeberang jalanan dan membuat pengemudi kendaraan harus mengerem mendadak, dan kerjanya hanya mengganggu saja. Maka, saya mengikatnya dengan sebuah rantai kecil. Tetapi, saya merasa bersalah karena mengikat teman yang lucu itu dengan rantai sepanjang satu meter. Saya membeli rantai yang lebih panjang, kebebasan sepanjang dua meter, dan merantai Spot. Saya lalu berjalan sejauh dua meter dan memanggil Spot. Dia berlari–sejauh satu meter. Dia tidak berlari lebih jauh daripada panjang rantainya yang lama. Saya harus berjalan mendekatinya, memegangnya, dan mengajaknya berjalan sejauh rantai sepanjang dua meter tersebut. Sejak itu, ia terbiasa dengan rantai barunya.”

Begitu banyak orang–yang tanpa mereka sadari–telah mengikat kebebasan potensi mereka. Inilah pengaruh yang signifikan antara meraih kesuksesan dan seberapa jauh kita telah melepas “kurungan” diri sendiri. Dan “kurungan” ini paling sering saya lihat di sekeliling saya. Dalam seminar-seminar yang saya bawakan, seringkali saya memperhatikan begitu banyak peserta yang lebih suka duduk di deretan kursi belakang, seolah-olah takut untuk dipanggil maju ke depan. Saya terkadang menyinggung soal ini ketika berhadapan dengan para peserta seminar yang masih pelajar atau mahasiswa. Kenangan buruk akan peristiwa masa lalu yang mungkin pernah dialami, membuat begitu banyak orang yang lebih suka memilih duduk di deretan kursi belakang, supaya merasa lebih “aman”.[bersambung]

* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, publik speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Ia memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Ia sering disebut sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com

SUKSES SEJATI

Oleh: Roni Djamaloeddin

Sukses, memang hak—bahkan impian—setiap orang. Ia “hanya” dapat dijangkau oleh mereka yang sehat pikirannya. Sehat dalam arti sanggup memimpikan, merencanakan matang-matang aksinya, dan merealisasikannya dalam tindakan nyata. Di lain itu, yang tidak sehat pikirannya atau yang terkungkung oleh angan kosong tanpa upaya nyata, tak layak mendapatkannya.

Pencapaiannya pun tak semudah memimpikannya. Sebab, untuk mencapainya perlu perjuangan dan pengorbanan yang teramat berat. Energi yang diperlukan pun juga cukup besar. Apalagi niat dan tekad sebagai fundamennya, harus benar-benar membaja. Karena tanpa ada harmoni keduanya (niat dan tekad), segala pendukungnya menjadi sia-sia.

Terlebih yang namanya rintangan, gangguan, ujian, cobaan, cacian, fitnahan, dan semacamnya, pasti ada dan siap menghajarnya. Intensitas dan volumenya pun cukup tinggi. Seakan siap merontokkan keinginan siapa pun yang melewatinya.

Taruh saja pengalamannya Thomas Alfa Edison. Impiannya menciptakan bola lampu listrik ternyata harus melakukan eksperimen 1000 kali. Yaa…, 1000 kali! Bukan hanya 10-50 atau 100-200 kali saja. Andai saja kegagalan pada eksperimen yang ke-999, ditambah cercaan-cacian teman-teman seprofesi (yang sebelumnya mungkin “pasti” ada) membuatnya mutung (putus asa), tentu, ia tak akan pernah mencipta lampu listrik. Akibatnya, perkembangan teknologi (perlistrikan) tentu tak secanggih sekarang.

Itu contoh kecil bagaimana sukses itu terwujud. Kita semua tentu telah mengalaminya, walau dalam skala yang lebih kecil dan suasana yang jauh berbeda. Kalimat manis yang kiranya tak pernah terlupakan—dan selalu terbisik di hati—adalah: “Seandainya saya dulu berhenti ketika ‘a – z’ melantakkan segalanya, tentu langkah/usaha saya tak seperti sekarang, hancurlah semuanya. Beruntung sekali saya waktu itu punya komitmen yang sangat kuat, hingga saya meraih sukses seperti sekarang.”

Definisi dan Tingkatan
Dalam kamus bahasa Indonesia, sukses artinya hasil atau berhasil. Secara harfiah, sukses berarti tercapainya segala hal yang diusahakan atau dimimpikan. Apa pun hasilnya dan bagaimanapun kenyataannya, asal yang diangankan menjadi nyata, sukses namanya. Tak peduli bagaimana akibatnya terhadap orang lain maupun lingkungan sekitarnya, apakah berdampak baik ataukah yang berdampak buruk.

Namun, definisi ini tidak kaku. Arti dan maknanya bisa berkembang sesuai pengalaman, pemikiran, dan pemahaman yang mengartikan. Semakin luas pengalaman seseorang, semakin “lengkap” definisi yang dihasilkan. Semakin tinggi tingkat pemikiran dan pemahaman seseorang, semakin “sempurna” makna yang diciptakan.

Seorang illegal logger mengartikan sukses bila dapat menjarah kayu sebanyak-banyaknya, dalam keadaan aman tanpa diendus apalagi ditangkap aparat. Seorang koruptor memaknai sukses bila dapat mengorupsi uang perusahaan ataupun negara dengan sangat rapi serta aman terkendali. Seorang “Usamah bin Laden” memahami sukses bila jaringan Al-Qaeda-nya dapat menghancurkan Amerika beserta sekutunya.

Siswa SMA yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional (UN), memaknai sukses bila dinyatakan lulus oleh sekolahnya dan nilai pelajaran yang diujinasionalkan sangat memuaskan. Para mahasiswa—baik jenjang D1 - D4 maupun S1 - S3—memaknai sukses dalam studinya bila memperoleh predikat cumlaude.

Pencari kerja mengatakan sukses bila diterima bekerja di lembaga/perusahaan bonafide yang dilamarnya dengan gaji yang besar. Seorang penulis memaknai sukses bila buku karyanya menjadi bestseller dan mengalami cetak ulang puluhan kali. Seorang pemulung mengatakan dirinya sukses bila telah menjadi bosnya pemulung, dan asetnya miliaran rupiah. Seorang Andrias Harefa merasakan sukses dan bahagia bila telah menghasilkan 100 buku—sementara sekarang belum genap 35 buku.

Seorang politikus memaknai sukses bila telah bersinggasana di Senayan (gedung DPR/MPR). Seorang Mike Tyson memahami sukses dalam dunia tinju bila telah menyandang gelar juara dunia kelas berat sejati. Seorang negarawan memaknai sukses bila telah “menguasai” istana kepresidenan.

Berbagai bentuk sukses di atas berlaku pula pada sebagian ulama maupun tokoh spiritual. Seorang dai mengatakan dirinya sukses bila telah menyandang “dai semiliar umat”. Seorang tokoh spiritual memaknai sukses bila dirinya dapat bermanfaat sebesar-besarnya terhadap kemaslahatan dan ajaran/seruan/pemikirannya dipakai jutaan umat.

Lain halnya sukses yang diimplementasikan oleh para tokoh sufi. Rabiah Adawiyah merayakan suksesnya—setelah semalam suntuk melakukan mujahadah (memerangi hawa nafsunya sendiri) tanpa diselingi istirahat/tidur—dengan berpuasa di siang harinya. Syeh Makdum Ibrahim meyakini dirinya sukses menjalankan sholat bila saat sholat sudah tidak dengar lagi bonang-nya (alat musik/gamelan Jawa) dibunyikan—oleh karenanya beliau mendapat sebutan “Sunan Bonang”. Sunan Kalijogo memahami sukses “berguru” kepada Sunan Bonang, ketika dibaiat langsung dapat menyatakan “ma’rifat” (bertemu langsung) dengan Dzat (Wujud) Tuhan—menyatakan mati sak jeroning ngaurip (membuktikan mati sebelum mati yang sesungguhnya terjadi).

Pengalaman dan Pemikiran
Saya pribadi, membagi sukses menjadi dua. Sukses secara mikro dan sukses secara makro. Sukses secara mikro adalah tercapainya segala macam keinginan manusia menurut ukuran/standar/patokannya sendiri-sendiri. Contoh-contoh di atas dapat dikatagorikan sukses mikro. Oleh karenanya, persepsi dan ukuran suksesnya masing-masing orang bisa berbeda—dan bisa pula sama dengan yang lain.

Sedang sukses secara makro adalah suksesnya manusia menurut kriteria/standar/patokan Tuhan. Sukses memenuhi segala sesuatu yang menjadi kehendak-Nya, baik perintah, larangan, maupun segala kersa-Nya. Suksesnya manusia menjalani ujian-Nya. Sukses menjalani kehidupan dunia berdasar “Undang Undang Mutlak”-Nya.

Sukses karena berhasil mendidik diri benar-benar patuh dan tunduk di hadapan-Nya—yang direalisasikan dalam bentuk patuh dan tunduk di hadapan rasul-Nya. Patuh dan tunduk dalam mencontoh wataknya malaikat yang berlaku sujud di hadapan khalifah-Nya. Tidak membantah sama sekali, walau derajadnya di sisi Tuhan lebih mulia dan terhormat dari pada sosok yang harus dipatuhi (bangsa manusia). Persis patuhnya “mayat” di hadapan pemandi/penyucinya. (Seandainya dianalogikan dengan keberadaan kita, mungkin kita tidak akan pernah mau patuh apalagi hormat kepada seorang “kere” [gelandangan] yang derajadnya jauh di bawah kita.)

Memenuhi perintahnya Nabi SAW yang menjadi madlul-nya hadits (inti pokoknya hadits) “muutu qabla anta muutu” (belajarlah menyatakan/merasakan mati sebelum mati yang sebenarnya terjadi). Walaupun perintah ini nampaknya “mustahil” dikerjakan, namun ia benar-benar nyata adanya. Ia benar-benar dapat dipelajari dan dibuktikan kebenarannya.

Sebab, sesuatu dan sesulit apa pun, bila dipelajari dengan super-serius, kemungkinan besar akan mendapatkan hasilnya. Namun bila tidak pernah dipelajari, maka menjadi mustahil bila membawa hasil. Sebagaimana peribahasa arab yang mengatakan man jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan menuai hasilnya). (Perihal ilmu tentang mati ini, uraian tambahannya dapat dibaca di harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 02 Agustus 2003. Atau http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0803/02/0803.htm)

Akibat nyata bila perintah Nabi SAW tersebut diterapkan dengan sungguh-sungguh serta super-serius dalam mempelajarinya adalah dimungkinkannya “bisa” menghayati merasakan dan meyakini seyakin-yakinnya (hakkul yakin) bahwa dunia ini adalah ilusi dan fatamorgana, yang hakekatnya tidak ada (nafi). Dapat merasakan hikmah luar biasa di balik beriman yang sejatinya. Dapat merasakan indahnya menikmati dzikir—di mana rasa nikmatnya sama sekali tak sepadan bila dibandingkan dengan orgasme, apalagi kenikmatan-kenikmatan lain.

Sehingga, perjalanan berdunianya menjadi istikomah/stabil. Karena hati sebagai “komandan” aktivitas telah mapan pada kehendak-Nya. Telah maqam (bertempat tinggal) pada dzikir. Tidak lagi dikuasai nafsu yang tentaranya: angah-angah, serakah, egois, sombong, mudah tersinggung, merasa benar sendiri, merasa suci, sok kuasa, kumingsun, dan lain sebagainya.

Potensi lahiriahnya tetap lumrahnya manusia; bekerja, berumah tangga, bermasyarakat dan bernegara. Profesi apa pun dijalani dengan sebaik-baiknya. Jadi pelajar, pegawai, pejabat, konglomerat, presiden, maupun yang petani, pemulung, pedagang asongan, sampai yang kelas “budak”, dilalui dengan penuh kesungguhan dan sikap profesional. Kesemuanya tinggal menjalani “siliring qudrat”-Nya. Menjalani garis nasib yang telah dipatok oleh-Nya.

Bagaikan buih yang kumampul (terombang ambing) di tengah samudra. Bukan buihnya yang bisa bergerak ke sana ke mari, melainkan karena dahsyatnya gelombang samudranya. Bukan manusianya yang bisa menyelesaikan pekerjaan, persoalan, maupun berbagai bentuk tanggung jawab yang harus dipikulnya, melainkan karena katut (hanyut) kekuatan Dzat Yang Maha Sempurna.

Itulah sukses yang sejati. Kombinasi yang harmonis antara sukses mikro dan sukses makro. Namun demikian, realisasinya sangat ditentukan oleh pengalaman, pemikiran dan tingkat pemahaman masing-masing. Sedang arti dan makna sukses yang selama ini ada, kiranya dapat diserap sari pati hikmahnya.

Akhir kata, meminjam redaksi QS. Al Kafirun ayat 6, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, “Bagimu suksesmu, dan bagiku suksesku. Masing-masing diri berhak memaknai dan menentukan (nasib) suksesnya sendiri. Orang lain tak berhak mengaturnya.” Namun semua berpulang kepada Anda. Bagaimana?[rj]

* Roni Djamaludin adalah dosen STT POMOSDA dan guru SMA POMOSDA Tanjunganom Nganjuk. Menulis buku “REVOLUSI GAGASAN” yang diterbitkan oleh pustaka Pondok Sufi Bandung. Sedang buku kedua-ketiganya, “MENGGUGAT MITOS: Meluruskan Filosofi Dan Pemikiran Menuju Islam Kaaffah” dan “THE MIND OF ARSY: Refleksi Holistik-Intuitif Meraih Hidup Bermakna” sedang berkelana mencari penerbit. Ia dapat dihubungi melalui 08123419879 dan email: ronijamal@yahoo.com.

NARASI KEHIDUPAN -

Oleh: Adjie

Kita adalah kumpulan cerita
Kita adalah kumpulan narasi

Aku masih tercengang mendapati banyak fakta yang semakin menegaskan bahwasannya kita adalah kumpulan cerita. Setiap detik adalah adegan yang menentukan jalan cerita keseluruhan. Setiap detik saat berhadapan dengan banyak pilihan, sesungguhnya kita sedang ditantang untuk menentukan sendiri alur drama yang hendak dibangun. Pilihan detik ini, pilihan hari lalu, menentukan seperti apa kita hari ini dan akan datang. Langkah yang kita ambil yang berakar dari banyak pilihan yang tersedia pada akhirnya akan membentuk narasi kehidupan kita.

Cobalah simak kisah sejati Anda. Baca kembali narasi pribadi, yang mungkin selama ini belum pernah kita telaah. Kita bisa terkejut bukan main saat menemukan kebenaran bahwa apa yang kita raih, nikmati dan capai hari ini bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Pasti ada kisah lalu yang sedemikian rupa mengantarnya hingga menjadi cerita menarik hari ini. Narasi kehidupan sesungguhnya amatlah logis. Ada hukum tersembunyi tentang sebab akibat. Apa yang kita lakukan, apa pun itu, pastilah membawa konsekuensi sendiri. Sayangnya, belum semua kita memiliki kesediaan untuk menghayati fakta macam ini. Sebagian kita mungkin masih sibuk berharap ada keajaiban besar mewarnai kehidupannya. Memangnya kita ini siapa, kok berharap keajaiban?

Betul bahwa kadang rezeki datang dari sumber yang tak terduga. Namun aku masih amat yakin bahwa dari mana pun itu pastilah ada muasal, ada penyebabnya. Seperti sebuah garis, ada titik-titik yang saling terkait yang kemudian saling bersambung membentuk fakta kemudian hari. Tuhan pun tak merubah nasib kita, bila kita tak berupaya mengubah nasib. Kalau pun kita tak bisa merubah takdir, maka dengan upaya di tengah keterbatasan manusiawi, maka mungkin kita masih bisa sekedar berpindah dari satu takdir ke takdir lain. Namun itu lebih dari cukup, karena di sana masih menyimpan ruang bagi kebebasan kita.

Mendalami narasi kehidupan, maka sesungguhnya terbuka sebuah ruang amat besar bagi kita semua untuk membangun narasi impian pribadi. Kita punya hak dan punya daya untuk membuat pilihan yang kita yakini akan mengantar kita pada cerita bahagia di depan sana. Kita punya kemampuan membangun narasi masa depan. Memulai narasi hari ini pasti akan mengantar Anda sampai pada narasi masa depan.

Narasi orang yang dianggap teroris masa kini ternyata bisa terbaca dan ditelusuri dari narasi masa lalunya. Ada yang terpengaruh film dan buku. Ada yang menulis obsesi kematian, pemberontakan bahkan pembunuhan. Maka kemudian muncullah narasi-narasi lanjutan di kemudian hari. Ada yang benar-benar menuntaskan peran impiannya sebagai pembom atau pembunuh. Ada yang benar-benar nekad memimpin bunuh diri masal.

”Life is a narrative that you have a hand in writing.”

Benar kiranya apa yang pernah disampaikan oleh Henriette Anne Klauser, sebagaimana tertulis di atas, bahwa kitalah yang memegang pena atas narasi hendak kita bangun. Dan kita bisa membaca narasi-narasi banyak tokoh. Catatan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib adalah sebagian yang menarik untuk dicermati. Lalu, bagaimana dengan narasi Anda hingga hari ini?

”Aku pernah membongkar-bongkar tumpukan buku diary-ku. Kalau aku baca-baca lagi sekarang, paling tidak 60 persen yang aku tulis sudah terwujud,” begitu kata seorang kawan suatu siang kala kami sibuk dengan makanan di meja. Ini contoh tentang dan dari orang biasa, orang kecil. Pasti ada banyak contoh lain dari kisah orang ternama dan terpandang, betapa masa depan bisa mulai dituliskan hari ini. Betapa narasi hari ini adalah lanjutan kisah hari lalus.

Aku sendiri menjadi saksi betapa impian-impian yang pernah aku tuliskan memberi banyak cerita tentang aku hari ini. Di tengah serba keterbatasan yang ada, harus aku akui bahwa sekecil apa pun pencapaianku hari ini maka sebagian besar seakan sudah dirancang jauh hari. Aku yang terkagum pada gagasan membangun narasi masa depan, pernah tergila-gila membuat coretan tentang impian masa depanku. Walau tak rapi terjaga, namun pernah aku tulis semampu yang aku bisa. Dan banyak cerita hari ini yang menjadi alasan untuk terus melanjutkan semangat macam itu.

Dan benar, saat ada masa-masa di mana aku mengkaji ulang (review) narasi diri, aku sempat dibuat tercengang oleh kenyataan yang aku temukan kemudian. Lagi-lagi, di tengah serba keterbatasan yang ada, aku melihat bahwa apa yang telah aku capai sebagian besar adalah apa-apa yang telah aku tuliskan. Sedikit sekali pencapaian hari ini yang belum pernah aku mulai kisahnya sejak lama. Tak ada cerita yang datang tiba-tiba. Semuanya adalah narasi yang berlanjut dan saling kait.

Makin jelas tegas bahwa narasi masa lalu jadi pintu masuk ke arah narasi masa depan. Sekarang pilihan di tangan kita. kita yang memegang pena yang siap digoreskan, yang akan membentuk narasi itu. Kita yang memiliki kebebasan dalam berkehendak dan memilih, yang akan menentukan hasil apa yang kelak kita raih kemudian.

Ketika ada kebebasan teramat besar untuk memulai sebuah kisah, maka sekarang tergantung pada kita sendiri, goresan macam apa yang hendak kita tulis. Kesadaran bahwa kita hanya bebas berkehendak diharapkan akan mengantar kita pada pilihan untuk membangun narasi masa depan yang berbasis nurani. Mendasari narasi dan tindakan pada nurani semoga akan mengantar kita pada kisah abadi. Menjadi abadi, karena dengan nurani kisah kita tak sekedar menjadi lembar-lembar cerita semata. Menjadi kisah abadi, karena nurani akan menjadi energi yang akan memahatkan kisah kita di atas batu-batu sejarah. Kejujuran dan kebersihan nurani akan mengantar kita pada banyak narasi yang lebih humanis, yang menghidupkan, yang mencerahkan.

Selain bicara manisnya peran narasi dalam mengantar kita pada akhir kisah masa depan yang kita inginkan, maka akupun melihat bahwa narasi yang kita buat juga berperan dalam membantu kita untuk berdiri tegak di atas jalan drama yang kita lalui. Menuliskan narasi sederhana secara disiplin akan membuat kita menjadi makin tabah, makin kuat, makin aware (sadar). Membaca kembali narasi pribadi, kita akan diantar untuk membuat jarak dengan diri sendiri. Kita bisa membuat telaah atas apa yang sudah kita lakukan. Seperti membaca kisah orang lain yang merangsang empati. Kita makin memahami diri sendiri. Pemahaman akan diri sendiri serta meningkatnya kesadaran akan banyak membantu kita dalam membuat keputusan di belantara pilihan yang ada.

Sebagai penutup, aku akan kutipkan gagasan Virginia Satir. Sebuah gagasan yang amat relevan dalam kaitannya dengan upaya kita membangun narasi kehidupan pribadi. Buatku, Virginia seakan menitipkan pesan tambahan agar kita tak berhenti dan puas saat mampu memulai menulis narasi. Ada pesan lain agar kita juga menyediakan diri untuk tak bosan membaca ulang narasi yang pernah kita tuliskan. Gerak macam ini aku yakini akan mengantar kita pada sebuah kesadaran tingkat tinggi.

"I want you to get excited about who you are, what you are, what you have, and what can still be for you. I want to inspire you to see that you can go far beyond where you are right now."

Cimanggis – Tuesday – 24 April 2007

* Adjie sekarang ini ia masih berstatus sebagai karyawan di sebuah perusahaan multi-national dalam industri kimia. Sehari-hari, selain terus berlatih menulis, Adjie juga menempatkan diri sebagai Facilitator for Human Resiliency Development (FHRD). Ayah empat orang anak ini adalah peminat tema life balance dan mind empowerment. ‘Petualangan’ profesionalnya, sebagai praktisi maupun fasilitator independen, memberinya kesempatan untuk belajar dan berkarya di sejumlah perusahaan serta client. Ia pernah secara intensif memfasilitasi program outdoor-based training dan terlibat dalam sejumlah projek di area Competency-Based Assessment.

PERJUANGAN SEORANG IBU

Oleh: Wu Zhen Zhen

Siapakah perempuan yang mampu berperan sebagai dokter, sekaligus koki, ahli nutrisi, merangkap guru bagi orang-orang tertentu? Siapa pula yang bersedia melakukan semua peran itu nyaris tanpa pernah meminta honor? Sosok macam itulah yang hadir hampir di setiap keluarga, walau ia kadang tidak berada di sisi kita selamanya. Namun, kasihnya akan selalu menyertai langkah kita semua. Dari ia jugalah kita dilahirkan dan dibesarkan dengan segenap cinta. Beliau adalah tak lain seorang IBU.

Menjadi seorang ibu adalah pekerjaan yang mulia.
Ibu bagaikan dokter yang terhormat di dunia.
Beliau adalah dokter pribadi yang merawat pasiennya tanpa kenal lelah dan tanpa bayaran. Kesembuhan pasien adalah bayaran tertinggi yang ia peroleh. Lain halnya ketika kita ke RS, tanpa uang DP mana mungkin kita bisa diterima dengan lapang dada. Bahkan tidak sedikit orang yang terpaksa menahan sakit karenanya. Selain itu kejadian-kejadian malapraktek juga sering terjadi karena kelalaian dan ribuan alasan lainnya. Sedih rasanya setiap melihat, mendengar atau membaca tentang ketidakadilan ini.

Ibu adalah guru sepanjang hayat, beliau mengajarkan kita muridnya semua norma kehidupan. Tidak lupa kita dibekali dengan keterampilan dasar seperti menyapu, mencuci, dll. Semenjak kita dilahirkan, ibu mengajarkan kita akan artinya kasih sayang dengan mencium bayinya. Ibu mengajarkan tentang hal yang baik dan buruk. Ketika kita kecil, beliau mengajarkan kita cara menulis, membaca, dan berhitung. Tidak pernah bosan beliau menurunkan ilmunya hingga kita mengerti. Sebagai guru beliau juga tidak pernah meminta bayaran. Tidak seperti sekolah anak zaman sekarang yang uang sekolahnya setinggi langit. Mereka kaum yang kurang mampu banyak yang terpaksa putus sekolah karenanya.

Ibu juga berperan sebagai ahli gizi dan koki untuk anak-anaknya. Setiap hari, ketika mata terbuka beliau telah memikirkan mau makan apa hari ini. Setelah menyiapkan sarapan, apalagi untuk makan siang, begitu seterusnya. Mari kita ingat lagi apa menu hari ini? Selalu ada lebih dari satu macam lauk tersedia di meja. Semua adalah untuk pemenuhan nutrisi kita. Tidak ada seorang ibu yang tega menyediakan nasi putih saja jika kondisi keuangan masih mencukupi. Bahkan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, ada banyak sekali ibu yang merelakan bagian makanannya demi untuk mengisi perut anaknya yang kelaparan. Bagaimana dengan Ibu Pertiwi Kita? Apakah semua anak-anaknya telah tercukupi sandang pangannya?

Bayi yang kedinginan akan berhenti menangis dalam dekapan sang bunda. Ada kehangatan di sana. Ada kenyamanan dan cinta yang begitu besar yang dirasakan.

Ibu sejati tidak akan membiarkan anaknya kelaparan.
Ibu sejati akan selalu melindungi anaknya walau nyawa adalah taruhannya.
Kasih ibu tidak akan terlupakan sepanjang napas masih berhembus.

Cobalah kita renungkan bersama.

Apakah kita telah menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kita?
Apa pun profesi (pekerjaan) kita, hendaklah kita menanamkan jiwa seorang 'ibu' di dalam menunaikan tugas. Janganlah kita lupa dari mana asal kita dan oleh siapa kita dibesarkan.

Harta dan kedudukan kita dalam masyarakat tidak sebanding dengan jiwa besar 'ibu'. Di kala kita berada di atas, hendaklah kita memperhatikan anak-anak kita yang di bawah. Cukupilah sandang pangan mereka.

Apakah seorang ibu tega melihat anaknya dalam penderitaan sementara ia berdandan dan berpesta-pora bersama 'ibu-ibu' yang lain?

Renungkanlah ini.
Apakah Anda ingin menjadi 'ibu' yang sukses atau 'ibu’ yang gagal? Apakah 'ibu' yang dicintai atau sebaliknya?
Mulailah Anda menanamkan hati 'ibu' ini untuk pencapaian terbaik. Karena, saya yakin bahwa kita semua adalah sama.

Terakhir, ingatlah kepada siapa 'ibu' mempertanggungjawabkan semua perbuatanya. Dan sebagai anak, sampai di mana tanggung jawab kita terhadap ibu?
Apakah keduanya telah kita laksanakan?

Salam ‘Pembelajar’. Sukses Selalu.[wzz]

* Wu Zhen Zhen adalah seorang ibu rumah tangga yang berminat dalam bidang tulis menulis. Ia dapat dihubungi di email: yuwa_yw@yahoo.com.

IBU RUMAH TANGGA DAN MOTIVASI

Oleh: Hartati Nurwidjaya Papafragos

“We must take responsibility for our life and understand that we can, and will, achieve whatever we ourselves choose to.”
~ C. Widener

It's not rocket-science. Kalimat yang saya tidak mau dengar lagi.

Entah berapa kali sudah saya dengar kalimat tersebut dari suami, ketika saya memintanya membetulkan segala sesuatu yang rusak di rumah. Karena kalimat tersebut, saya terpacu untuk tidak meminta pertolongannya lagi jika ada barang yang rusak akibat jadi sasaran anak-anak bermain.

Kalau dipikir memang seharusnya segala sesuatu yang terjadi di rumah adalah tanggung jawab bersama. Tetapi, kalau dipahami lebih dalam, ibu rumah tanggalah yang berperan dan bertanggung jawab lebih banyak terhadap segala sesuatu yang terjadi di rumah.

Mungkin masih banyak orang yang beranggapan peran sebagai ibu rumah tangga lebih mudah daripada menjadi wanita yang bekerja di kantor atau bekerja di luar rumah. Anggapan ini tentu saja tidak benar, jika ibu rumah tangga yang benar-benar menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga yang punya motivasi, bukan ibu yang cuek atau pasrah.

Sepintas, bekerja di rumah tampak mudah dan tidak perlu ilmu roket untuk melakukannya. Misalnya, membersihkan rumah, menyapu, mengepel, memasak dan merawat, mengasuh dan mendidik anak. Jika saja ada penelitian yang dalam (grounded research) untuk meneliti peran ibu rumah tangga, sesungguhnya menjadi ibu rumah tangga itu butuh ilmu yang lebih njelimet dari ilmu roket.

Ibu rumah tangga yang punya motivasi akan membersihkan rumahnya dengan sungguh-sungguh, tepat waktu, dan suka rela. Ia sudah mempelajari bagaimana cara membersihkan rumah secara efektif dan membawa hasil yang maksimal. Ia sudah tahu cara membersihkan kaca agar mengkilat. Ia juga tahu bagaimana membersihkan noda-noda kotoran di kompor secara sempurna, membersihkan kamar mandi dan toilet hingga bersih. Ia pun tahu bagaimana menata rumah yang sesuai pendapat ahli design interior. Tahu bagaimana menyenangkan hati suami. Dan yang lebih penting lagi, ia tahu bagaimana cara merawat dan mendidik anak-anaknya agar tumbuh menjadi manusia yang berkualitas.

Ibu rumah tangga yang tahu bagaimana cara merawat janin yang dikandungnya, bagaimana cara memberikan susu pada bayi yang baru lahir, hingga bagaimana membentuk karakter anak, semua tergantung padanya. Tentu saja, tidak mudah menjadi ibu rumah tangga. Jika bayi tidak minum ASI, maka akan diberi susu botol. Salah cara memberikan susu botol bisa menyebabkan bayi colic akibat botol diberikan hingga kosong dan bayi menghisap udara.

Ibu harus mengerti ilmu gizi dan harus mengetahui bahaya pewarna makanan pada anak yang bisa menyebabkan anak menjadi hiperaktif. Ibu harus tahu manfaat vaksinasi, jadwal dan daftar vaksinasi. Jika disebutkan satu per satu, akan sangat panjang daftar tanggung jawab seorang ibu rumah tangga.

Ibu rumah tangga yang punya motivasi akan semangat terus mempelajari dan mendalami semua jenis ilmu pengetahuan. Mulai dari ilmu kedokteran, psikologi, kuliner, desain interior, tata busana, ekonomi, hukum, budaya, teknik, politik, filsafat, teknologi, dll. Ibu rumah tangga yang generalis bukan yang spesialis. Bukan Super Mom, lho! Sebab, kata super cenderung dikonotasikan dan identik dengan sombong. Dan, sombong itu musuh Tuhan.

Coba bayangkan, bagaimana mau menjadi ibu rumah tangga yang bisa mempelajari semua ilmu di atas, sedangkan waktunya sangat sempit dan jadwal kegiatannya sangat padat? Ibu harus bagun pagi untuk menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, mencuci, menggosok, menyiapkan menu, berbelanja, memasak, bermain dengan anak, membantu anak belajar, dll.

Hasil kerja ibu rumah tangga memang tidak bisa dilihat dari grafik kenaikan omzet perusahaan. Tidak bisa dilihat dari sertifikat penghargaan. Sebab, hasil kerja ibu rumah tangga hanya bisa dilihat dari anak yang sehat, berprestasi, dan suami yang berhasil; sukses di tempat kerjanya.

Kesimpulannya, semua wanita bisa menjadi ibu rumah tangga yang sukses jika punya motivasi dan selalu menanamkan kepercayaan dalam diri bahwa semua bisa ia lakukan.[hnp]

Megara, 14 Juli 2003

* Hartati Nurwidjaya Papafragos adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Alumnus Fisipol UGM ini sekarang tinggal bersama keluarganya di Megara, Yunani. Ia dapat dihubungi di email: tatia30@yahoo.com

CANTIK ALAMI ATAU KIMIA

CANTIK ALAMIAH ATAU KIMIA -
Oleh: Saumiman Saud

Wajah cantik, siapa yang tidak suka! Tentu semua orang suka, bukan? Mulai anak kecil, remaja, pemuda hingga orang dewasa bahkan orangtua suka akan yang cantik. Itulah sebabnya tidak heran, banyak kaum wanita yang tidak sungkan-sungkan menghabiskan uang belanjanya hanya mengurus masalah kecantikan. Ia rela memaksakan diri diet supaya tubuhnya langsing dan elok dipandang. Berpuasa pun tidak menjadi soal, asal kelihatannya cantik. Apa sebenarnya guna kecantikan itu?

Wow, kecantikan itu rupanya untuk dilihat dan dipandang oleh orang lain selain diri sendiri. Kadang-kadang karena masalah kecantikan ini cermin yang ada itu menjadi korban hanya gara-gara di wajahnya muncul sebutir jerawat, sebab kemarin malam ia tidak dapat menahan selera terhadap kacang yang gurih itu. Lalu mulailah ia mengoleskan diri dengan berbagai bumbu eh salah dengan berbagai bedak dan krim agar secepatnya mengusir jerawat nakal itu.

Saya pernah dikirim sebuah email yang berisi wajah artis cantik di kala tidak bersolek, wah wajah mereka ternyata lebih jelek dari dari para wanita-wanita yang secara umum dilihat oleh mata manusia itu jelek. Dengan kata lain, ternyata kecantikan mereka itu hanya merupakan polesan belaka, atau kasarnya tipuan. Saya berpikir jika ada kesempatan, kita membuat kepanitiaan kontes kecantikan para wanita tanpa bersolek. Nah, pada waktu itulah akan ketahuan, siapa sebenarnya yang cantik secara alamiah atau yang cantik secara “kimia”, maksudnya dipoles dengan bedak-bedak dan gincu serta “spidol” yang mahal itu.

Suatu hari ada seorang suami yang merasa agak jengkel pada isterinya, sebab ia suka bersolek dan memilih pakaian berjam-jam lamanya setiap hendak bepergian. Apalagi ditambah dengan setiap pakaian yang dicoba itu selalu ditanyakan pada sang suami, “sudah cantik belum saya begini atau begitu”. Sementara sang suami sudah menjawab “ya , cantik” , tetapi sang isteri masih tidak puas. Lalu menggantikan lagi dengan pakaian yang lain. Setelah berulang kali gonti-ganti pakaian, sang suami berkata, “bukankah cukup kalau saya sudah mengatakan kamu itu sudah cantik”? Mau dipamerkan untuk siapa lagi?

Di dunia nyata kita, kecantikan itu memegang peranan yang sangat penting, misalnya para manajer merekrut sekretaris, pastilah ia memilih yang berwajah cantik. Lalu para artis juga pada umumnya yang cantik-cantik dan para pria memilih pacar, pasti memilih yang cantik, walaupun sesungguhnya kecantikan itu sangat subjektif sekali, namun menurut standar kacamata pria itu calon isterinya pasti yang paling cantik di dunia. Sesungguhnya wanita yang paling cantik di dunia dari jaman “dahoeloe” sampai sekarang hanya satu, yakni Hawa, karena waktu itu tidak ada saingannya. Kalau sekarang sudah banyak sekali wanita yang cantik-cantik di dunia ini.

Ukuran pasangan yang ideal seseorang itu sebenarnya bukan masalah cantik atau tidak, coba lihat nenek-nenek dan kakek-kakek yang sudah tua, mereka masih setia bergandengan tangan pergi ke mana-mana, masih akrab dan saling menyayangi. Kalau kecantikan merupakan standar, pastilah sudah jauh-jauh hari mereka berpisah, karena saat ini mereka sudah TOP alias sudah Tua, Ompong, dan Peot. Pertanyaannya, mengapa demikian? Karena bukan kecantikan yang sebagai ukuran, tetapi ada sesuatu yang melebihi dari kecantikan itu, yang yang berada di dalam hati yang terdalam itu (inner beauty).

Ingat, kita tidak boleh terkecoh, jangan mencintai seseorang karena kecantikannya, namun karena kita mencintainya maka dia menjadi cantik. Makanya tidak heran sering ditemukan wanita yang wajahnya cantik, kebanyakan pasangannya di luar perhitungan kita artinya tidak setampan yang kita anggap sepadan. Saya katakan “kebanyakan” yang artinya tentu tidak mutlak. Hal ini membuktikan bahwa ternyata kecantikan itu tidak penting di dalam masalah cinta-mencintai. Namun bukan berarti pula para wanita tidak perlu bersolek, sehingga mereka tampil apa adanya dan membiarkan tubuhnya gembrot melorot. Kalau ini terjadi maka dunia tidak seindah sekarang ini, walaupun sesungguhnya kecantikan itu banyak bohongnya.

Sekarang permisi tanya, kalau kecantikan itu tidak terlalu penting, lalu apanya yang penting? Terus terang apa artinya seorang wanita itu cantik rupawan, namun hidupnya tidak karuan. Hatinya jahat, suka mabuk-mabukan, candu narkoba, perokok berat, suka ngomong jorok, berpakaian yang seronok dan sebagainya. Di dalam Bible dikatakan “seperti anting-anting emas di jungur babi, demikianlah perempuan cantik yang tidak susila” (Amsal 11:22 ). Pemandangan terhadap wanita yang model beginian membuat standar para wanita cantik itu menjadi tenggelam dan murahan. Belum ditambah dengan para wanita cantik itu biasanya banyak teman prianya, kemungkinan besar juga banyak pacarnya. Nah kalau itu terjadi, maka standarnya akan bertambah melorot, ia ibarat piala bergilir yang gonta-ganti pemiliknya.

Ada satu kecantikan yang tidak dapat dibeli dan tidak dapat hilang, yakni kecantikan dalam yang disebut kecantikan batiniah. Walaupun kita tidak mengupas sampai jauh mendalam, karena ini bagiannya psikologi, namun kita dapat melihat bahwa kecantikan yang ada di dalam itu melebihi segalanya. Itulah sebabnya mengapa di dalam Kidung Agung, Raja Salomo menuliskan tentang “gadisnya yang hitam tetapi cantik” (Kidung Agung 1:5), suatu penilaian yang sungguh-sungguh keluar dari hati yang terdalam, bukan berdasarkan standar yang secara umum. Memang kita sering mengatakan seorang wanita itu “hitam manis”, dan kita tidak pernah katakan “putih cantik”, biasanya kalau putih itu berarti pucat pasi.

Kecantikan yang ada di dalam diri seseorang itu lebih berarti daripada kecantikan di wajah. Di atas sudah dijelaskan bahwa, kecantikan karena wajah itu dapat menimbulkan berbagai problem kebohongan, yang sangat tergantung pada alat-alat kecantikan, lagi pula sifatnya sementara. Tetapi kecantikan yang di dalam tidak demikian, ia sudah terpatri di dalam diri orang tersebut dan tidak pernah luntur.

Seseorang yang cantik dihadapan Tuhan adalah seseorang yang mengerti bahwa kecantikan itu adalah anugerah, dan itu tidak dapat dibeli dengan uang. Itu sebabnya jangan ada yang sombong. Belum tentu orang yang cantik itu akhirnya mendapatkan suami yang tampan, yang kaya, dan segalanya yang terbaik, namun sering kali karena kesombongannya atas kecantikannya itu membuat dia harus dijauhi orang banyak, teman juga sedikit bahkan tidak ada. Tidak sedikit saya temukan ada wanita yang semasa mudahnya cantik, bahkan banyak yang naksir, tetapi karena jual mahal dan sombong, akhirnya ia harus hidup sendirian.

Selain itu orang yang hidupnya cantik di hadapan Tuhan sudah pasti mengasihi orang lain, pengampunan itu akan gampang sekali diberikan. Bagi orang yang di dalam dirinya memiliki kasih yang murni, pastilah ia juga bakal dikasihi orang lain. Namun kalau sampai orang lain membencinya, pastilah ada yang tidak beres. Sangat indah tentunya orang yang cantik juga mengasihi Tuhan, sehingga ada keseimbangan secara khusus. Dengan demikian maka lahirlah mereka yang cantik diri dari dalam, cantik kepribadiannya, cantik karakternya dan juga cantik kerohaniannya. Sedangkan kecantikan di wajah sudah menjadi relatif sekali dan bukan yang terlalu dipentingkan bukan? Orang yang demikian sungguh cantik.

Anda mau memilih yang mana, kecantikannya alamiah atau kecantikan kimia? Yang kimia segera hilang yang alamiah senantiasa ada. Sang Pencipta sangat mengasihi kita, Ia tidak memasang syarat kecantikan pada kita. Artinya, Ia menerima kita apa adanya, tuntutan-Nya hanya satu, penyerahan diri secara total kepada-Nya. Generasi saat ini dan mendatang membutuhkan orang-orang yang cantik secara alamiah, bukan yang kimia. Kecantikan alamiah, tanpa topeng namun cantik secara lahiriah. Sudahkah Anda memilikinya?[ss]

* Saumiman Saud adalah rohaniwan, penulis buku, dan pemerhati yang saat ini berdomisili di San Jose, California, USA. Ia dapat dihubungi via email saumiman@gmail.com

BEBASKAN PIKIRAN ANDA!!!

Oleh: Duddy Indarto

Pernahkah Anda mendengar pernyataan-pernyataan ini:

"Saya tidak sanggup…"
"Saya nggak mampu…"
"Saya ini lulusan SD, mana bisa ke luar negeri?"
"Hidup ini susah, jangan aneh-aneh ah..."
"Punya harapan jangan tinggi-tinggi, kalo jatuh sakit," dan sebagainya.

Banyak sekali orang mengeluh akan keadaan dirinya. Mengapa ada yang mengeluh dan yang tidak mengeluh? Sebagian orang memandang bahwa hidup ini indah dan penuh tantangan. Harus diperjuangkan dengan segenap potensi diri yang dimiliki. Mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Ingat, di kehidupan yang serba sulit ini masih ada yang kaya, yang sukses. Kenapa mereka bisa kaya, bisa sukses? Anda mengenal Tukul Arwana host Empat Mata yang sukses walau cuma tamatan SMA. Sang motivator ternama Andrie Wongso yang juga pengusaha kartu ucapan Harvest, yang ternyata SDTT (Sekolah Dasar Tidak Tamat). Terus ada lagi Sukyatno Nugroho (saya mendapatkan tulisan motivasi beliau pada kertas HVS polos yang dengan percaya diri saya sodorkan dan berbincang-bincang cukup lama saat di Surabaya baru-baru ini), beliau adalah bos pemilik waralaba Es Teller 77 yang sudah go international, yang juga tamatan SMP. Baca kisah suksesnya di buku 18 Jurus Pendekar Mabuk Mendirikan Bisnis, karangan beliau sendiri.

Kesuksesan adalah keberhasilan menjalani hidup yang Berat—dengan berpikir dan berjiwa besar—walau pendidikan gak sampai sarjana sekalipun.

Semua orang selalu berpikir dulu baru bertindak, betul? Nah, untuk menjalani hidup ini perlu berpikir matang-matang agar yang keluar adalah tindakan yang benar. Semua manusia pasti punya masalah. Macam-macam masalah yang dihadapi. Hadapi masalah itu agar hidup Anda tidak terasa berat. Jika Anda merasakan bahwa hidup ini susah, sumpek, sulit, kejam (kejamnya hidup atau kejamnya dunia), berat rasanya, itu berarti bahwa Anda belum membebaskan pikiran Anda. Yakinkan diri bahwa semua masalah yang mengimpit, yang membuat hidup ini tidak indah lagi, pasti ada solusinya. Temukan solusi itu dengan membebaskan pikiran.

Bebaskan pikiran! Supaya hidup Anda akan terbebas dari masalah.

Pikiran-pikiran yang belum bebas akan membuat Anda selalu dirundung masalah, dan Anda selalu merasakan beban hidup yang tak berkesudahan. Apakah pikiran Anda sudah bebas?

Bila Anda selalu takut mengambil langkah, selalu ragu-ragu, tegang, khawatir yang berlebihan, nggak percaya diri, merasa nggak sanggup, takut gagal, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Lalu bagaimana Anda bisa menyelesaikan masalah? Nah, pikiran-pikiran inilah yang disebut belum bebas. Pikiran Anda banyak diisi oleh pikiran-pikiran negatif. Itulah yang menyebabkan Anda selalu berkata dalam hati bahwa, "Saya nggak sanggup!", "Saya nggak bisa!", yang intinya belum bertindak apa-apa Anda sudah memvonis kemampuan Anda sendiri, yang sebenarnya kemampuan Anda tidak terbatas menjadi sangat terbatas. Kemampuan manusia itu sebenarnya tidak terbatas (dalam hal menyelesaikan masalahnya sendiri), tetapi bisa menjadi terbatas karena pikirannya sendiri.

Saya pernah membaca buku Berpikir dan Berjiwa Besar, yang isinya adalah jika Anda berpikir mampu pasti Anda mampu, jika Anda berpikir gagal pasti Anda akan gagal. Pikiran Anda akan membawa pengaruh yang luar biasa pada tindakan Anda, kemampuan Anda untuk menyelesaikan masalah. Cobalah mulai detik ini, Anda bebaskan pikiran dari pikiran-pikiran negatif yang akan merugikan diri sendiri. Berpikirlah positif sekarang juga (dan untuk selamanya). Yakinkan dan mantapkan diri bahwa Anda bisa menyelesaikan masalah apa pun. Dengan selalu berpikir positif maka Anda akan menjadi pribadi yang positif, menyenangkan banyak orang, yang akhirnya Anda berjiwa besar.[di]

* Duddy Indarto adalah alumnus STIE Perbanas Surabaya dan pengelola sanggar kreativitas anak Ciluuba (kecil-kecil luar biasa). Ia tinggal di Jalan Taman Indah II/20, Surabaya 60234. Duddy dapat dihubungi di telepon 031-8287161, flexi: 031-70069909, atau email: duddyspidey@yahoo.co.id

PESAN YANG TERLUPAKAN

Oleh: Kindeng Temminck Simamora

Sudah sering kita mendengar pepatah “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”. Mungkin karena seringnya didengar, kata-kata ini hanya berakhir di telinga kita dan tidak diteruskan ke otak kita untuk dicerna. Sesuatu yang biasa-biasa saja akan mudah dilupakan, menjadi hambar dan tidak ada arti sama sekali. Begitu juga dengan pepatah ini walaupun kita tahu ada pesan di baliknya. Yang lebih disayangkan lagi karena keteledoran kita meresapi pesan tersebut, baik sadar atau tidak sadar kita justru menjadikan diri sendiri sebagai contoh pepatah tersebut.

Mari lihat sekeliling kita. Bukankah ada, jika tidak mau dibilang banyak, dokter yang melarang pasiennya merokok karena bahaya rokok tersebut, tapi justru dirinya sendiri seorang perokok? Guru yang melarang anak didiknya menyontek tapi justru membocorkan jawaban ujian Nasional? Pemimpin agama yang mengajarkan nilai-nilai moral tapi justru mengecewakan pengikutnya dengan tindakannya sendiri? Kita masih ingat Departemen Agama yang menyalahgunakan dana jemaat haji. Saya juga tahu ada seorang pendeta yang harus melepaskan kependetaannya karena kasus korupsi. Ada juga contoh dari luar negeri, Wolfowitz yang memberikan kritik pada banyak negara tentang KKN dan berjanji menciptakan suasana kerja bersih di Bank Dunia, tapi ternyata menjadi pelaku KKN itu sendiri.

Atau lebih mudahnya, mari kita lihat diri sendiri. Sudah berapa kali kita menasihatkan anak-anak kita untuk tidak buang sampah sembarangan, tidak bersikap sombong, tidak menghakimi orang lain dan hal-hal baik lainnya? Tapi, berapa kali pula kita justru melakukan hal yang berlawanan?

Saya masih ingat betapa kecewanya saya ketika saya dan beberapa teman “memergoki” kepala SD dan beberapa guru yang beli bakso di pinggir jalan dan memakannya di kantor guru. Padahal beberapa hari sebelumnya beliau menasihati kami, murid-muridnya, untuk tidak jajan di sekolah. Beliau mengingatkan kami betapa pentingnya kebersihan. “Coba lihat, ibu kalian pasti mencuci dulu wajan yang dipakai untuk masak makanan jika ingin menggunakannya untuk masak makanan lain. Nah, tukang jualan di pinggir jalan cuma punya seember air untuk mencuci semuanya,” begitu kata-kata beliau yang masih saya ingat sampai sekarang, lebih dari 20 tahun kemudian. Tetapi saya juga masih ingat sikapnya yang kikuk ketika mencoba membela diri dengan mengatakan, “Apa yang saya katakan tentang larangan jajan itu benar, jadi tergantung pada kamu semua.” Mungkin rasa kecewa dan ketidakmengertian yang sangat besar yang membuat saya masih mengingat semuanya itu.

Saya yakin para guru itu malu tapi satu hal yang saya tidak yakin apakah mereka tahu, yaitu efek yang terjadi pada murid-murid setelah kejadian ini. Murid-murid tidak percaya lagi pada guru dan segala nasihat yang guru berikan akan masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.

Ada 3 hal yang terjadi ketika pemberi pesan justru menjadi pelanggar pesan.
Pertama, dan biasanya yang mendapat lebih banyak sorotan, yaitu rasa malu dan hilang muka si pemberi pesan. Banyak orang akan mencibir dan tidak percaya lagi kepadanya. Ini harus ditanggung sendiri, karena merupakan buah dari perbuatannya.

Yang kedua, hilangnya kepercayaan pada badan, organisasi atau pengertian yang lebih luas yang diwakili pemberi pesan tersebut. Misalnya kasus pembocoran jawaban ujian nasional yang dilakukan para guru dari beberapa sekolah yang berbeda. Bisa terjadi orang tidak hanya mencibir atau mengkritik para guru yang menjadi pelaku tersebut tapi juga terhadap semua guru pada umumnya. Begitujuga kritikan dan kecurigaan tidak hanya ditujukan pada pegawai negeri yang korupsi tapi pada seluruh pegawai negeri.

Hal ketiga adalah akibat yang paling parah yaitu hilangnya rasa kepercayaan pada pesan itu sendiri.

Pemberi pesan dan pesan yang diberikan memang mempunyai kaitan yang sangat erat. Sayangnya begitu eratnya sehingga ketika pemberi pesan berubah–karena menjadi pelanggar pesan—maka pesannya juga akan terpengaruh padahal pesan itu tidak berubah. Sering kita dengar pernyataan seperti “Buat apa berhenti merokok, wong dokter aja merokok…” atau “Buat apa rajin belajar, gurunya aja bocorin jawaban. Buat apa jujur, semua orang korupsi kok. Buat apa ada KPK, bukankah korupsi semakin merajalela…” dan sebagainya.

Pernyataan “Berbicara memang lebih mudah dari pada melakukan…” hendaknya jangan membuat kita mundur. Pesan-pesan, kritik, atau usulan yang positif tetap harus disampaikan baik melalui perkataan maupun perbuatan. Agar penyampaian secara lisan mencapai tujuan dan tidak menjadi senjata makan tuan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama, tentang pemberi pesan.
Jangan hanya tujukan perkataan Anda hanya pada orang lain tapi tujukan juga pada diri Anda sendiri. Sebagai pembicara tanpa disadari kita menempatkan diri kita pada posisi yang benar dan biasanya merasa lebih dari orang lain/pendengar. Posisi ini membuat kita tidak waspada. Ini memudahkan terjadinya kesalahan yang justru datang dari diri sendiri. Sebaliknya jika kita adalah penerima kritik atau nasihat, posisi kita membuat kita mawas diri sehingga tidak mudah jatuh.

Hal kedua adalah tentang pesan itu sendiri.
Kalau kita mendengar perkataan orang lain berupa pesan, kritik, usulan dsb, hendaknya yang lebih kita resapi, ingat dan camkan adalah pesan itu sendiri, melebihi pemberi pesannya. Jadi kalau pemberi pesan berubah, pesan tetap sama karena sudah mempunyai nilai tersendiri.

Belakangan baru saya sadari bahwa apa yang dikatakan kepala sekolah saya ketika kepergok murid-muridnya, itu benar. Ingat, bukan diri kepala sekolah itu yang benar tapi perkataannya tentang larangan jajan di sekolah.

Jadi, KPK harus tetap ada, mungkin harus ada perubahan dalam cara kerja ataupun pekerjanya tapi tujuannya tetap harus kita dukung, yaitu memberantas korupsi. Belajar yang baik dan jujur tetap harus kita lakukan karena menyontek adalah salah satu jalan menuju kebodohan. Seberapa pun banyaknya dokter yang merokok, tidak mengurangi kenyataan bahwa merokok merusak kesehatan. Nilai-nilai moral yang baik tetap harus kita tanamkan tidak peduli berapa pemimpin agama yang telah jatuh dalam kesalahannya sendiri.

Ini hanya beberapa contoh yang terjadi dalam masyarakat kita. Saya yakin masih banyak lagi hal seperti ini yang kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Hendaknya kita mampu memilah antara pemberi pesan dan pesan itu sendiri. Harapan saya, kita tetap mendukung semua pesan, kritik, nasehat dan apa pun yang bertujuan baik. Jangan sampai Anda menjadi pelanggar pesan dan jangan biarkan pesan baik terlupakan hanya karena si pemberi pesan menjadi pelanggar pesan.[kts]

* Kindeng Temminck-Simamora adalah lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sastra Belanda. Ia sudah hobi menulis sejak kecil, tetapi baru belakangan ini mendapat keberanian memunculkan tulisannya untuk umum. Kindeng dapat dihubungi di email:kindeng@yahoo.com.

KUASAI KECERDASAN EMOSI ANDA!

Oleh: Rudi Lim

“Siapa pun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan cara yang baik, bukanlah hal mudah.”
~Aristoteles
The Nicomachean Ethics

Mampu menguasai emosi, sering kali orang menganggap remeh pada masalah ini. Padahal, kecerdasan otak saja tidak cukup menghantarkan seseorang mencapai kesuksesan. Justru, pengendalian emosi yang baik menjadi faktor penting penentu kesuksesan hidup seseorang.

Kecerdasan emosi adalah sebuah gambaran mental dari seseorang yang cerdas dalam menganalisis, merencanakan dan menyelesaikan masalah, mulai dari yang ringan hingga kompleks. Dengan kecerdasan ini, seseorang bias memahami, mengenal, dan memilih kualitas mereka sebagai insan manusia.

Orang yang memiliki kecerdasan emosi bisa memahami orang lain dengan baik dan membuat keputusan dengan bijak. Lebih dari itu, kecerdasan ini terkait erat dengan bagaimana seseorang dapat mengaplikasikan apa yang ia pelajari tentang kebahagiaan, mencintai dan berinteraksi dengan sesamanya.

Ia pun tahu tujuan hidupnya dan akan bertanggung jawab dalam segala hal yang terjadi dalam hidupnya, sebagai bukti tingginya kecerdasan emosi yang dimilikinya.

Kecerdasan emosi lebih terfokus pada pencapaian kesuksesan hidup yang tidak tampak. Kesuksesan bisa tercapai ketika seseorang bisa membuat kesepakatan dengan melibatkan emosi, perasan, dan interaksi dengan sesamanya. Terbukti, pencapaian kesuksesan seperti materi tidak menjamin kepuasan hati seseorang.

Di tahun 1990, Kecerdasan Emosi (yang juga dikenal dengan sebutan “EQ”), dikenalkan secara global. Dinyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengatasi dan menggunakan emosi secara tepat dalam setiap bentuk interaksi lebih dibutuhkan dari pada kecerdasan otak (IQ) seseorang.

Mari kita lihat bagaimana emosi bisa mengubah segala keterbatasan menjadi hal yang luar biasa…

Seorang miliarder terkaya di Amerika Serikat, Donald Trump, adalah contoh apik dalam hal ini. Pada tahun 1980 hingga 1990, Trump dikenal sebagai pengusaha real estate yang cukup sukses, dengan kekayaan pribadi yang diperkirakan sebesar satu miliar US dollar.

Dua buku berhasil ditulis pada puncak karirnya, yaitu The Art of The Deal dan Surviving at the Top. Namun jalan yang dilalui Trump tidak selalu mulus…ingat depresi yang melanda dunia di akhir tahun 1990? Pada saat itu harga saham properti pun ikut anjlok dengan drastis. Hingga dalam waktu semalam, kehidupan Trump menjadi sangat kebalikan.

Trump yang sangat tergantung pada bisnis propertinya ini harus menanggung hutang sebesar 900 juta dollar AS! Bahkan Bank Dunia sudah memprediksi kebangkrutannya. Beberapa temannya yang mengalami nasib serupa berpikir bahwa inilah akhir kehidupan mereka, hingga benar-benar mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Di sini kecerdasan emosi Trump benar-benar diuji. Bagaimana tidak, ketika ia mengharap simpati dari mantan istrinya, ia justru diminta memberikan semua harta yang tersisa sebagai ganti rugi perceraian mereka. Orang-orang yang dianggap sebagai teman dekatnya pun pergi meninggalkannya begitu saja. Alasan yang sangat mendukung bagi Trump untuk putus asa dan menyerah pada hidup. Namun itu tidak dilakukannya.

Trump justru memandang bahwa ini kesempatan untuk bekerja dan mengubah keadaan. Meski secara finansial ia telah kehilangan segalanya, namun ada “intangible asset” yang telah dimilikinya. Ya, Trump memiliki pengalaman dan pemahaman bisnis yang kuat, yang jauh lebi berharga dari semua hartanya yang pernah ada!

Apa yang terjadi selanjutnya?
Fantastis, enam bulan kemudian Trump sudah berhasil membuat kesepakatan terbesar dalam sejarah bisnisnya. Trump mampu mendapat keuntungan sebesar US$ 3 miliar. Ia pun berhasil menulis kembali buku terbarunya yang diberi judul The Art of Comeback.

Dalam bukunya itu Trump bercerita bagaimana kebangkrutan yang menimpanya justru menjadikannya lebih bijaksana, kuat, dan fokus dari pada sebelumnya. Bahkan ia berpikir, jika saja musibah itu tidak terjadi, maka ia tidak akan pernah tahu teman sejatinya dan tidak akan menjadikannya lebih kaya dari yang sebelumnya.

Kecerdasan Emosi memberikan seseorang keteguhan untuk bangkit dari kegagalan, juga mendatangkan kekuatan pada seseorang untuk berani menghadapi tantangan di depan. Tidak sama halnya dengan kecerdasan otak “IQ”, kecerdasan emosi hadir pada setiap orang dan bisa dikembangkan.

Berikut beberapa tips bagaimana cara mengasah kecerdasan emosi Anda:
1. Selalu hidup dengan keberanian. Latihan dan berani mencoba hal-hal baru akan memberikan beragam pengalaman dan membuka pikiran dengan berbagai kemungkinan lain dalam hidup.
2. Selalu bertanggung jawab dalam segala hal. Ini akan menjadi jalan untuk bisa mendapatkan kepercayaan orang lain dan mengendalikan kita untuk tidak menyerah. “being accountable is being dependable”.
3. Berani keluar dari zona nyaman. Mencoba keluar dari zona nyaman akan membuat kita bisa mengeksplorasi banyak hal.
4. Mengenali rasa takut dan berani menghadapinya. Melakukan hal ini akan membangun rasa percaya diri dan dapat menjadi jaminan bahwa segala sesuatu pasti ada solusinya.
5. Bersikap rendah diri. Mau mengakui kesalahan dan kekurangan kita dalam melakukan pekerjaan kita maupun dalam menjalani hidup ini, hal ini justru dapat meningkatkan harga diri kita dan respek dari orang lain.

Jadi kesimpulannya, kuasai kecerdasan emosi karena mengendalikan emosi merupakan salah satu faktor penting yang bisa mengendalikan kita menuju sukses dan juga menikmati warna-warni kehidupan.[rlim]

*Rudy Lim adalah founder of winner’s club, motivator, trainer, inspirator muda, pengusaha, dan penulis buku. Saat ini ia sedang mempersiapkan sebuah buku inspirasi khusus untuk anak muda. Ia juga pendiri dan pemilik YOUNGS Spirit Seminar & Workshop Training. Rudy dapat dihubungi di nomor handphone: 0812-8500-686. atau di: www.rudyhdlim.blogspot.com.

JANGAN JADI DIRI SENDIRI

Oleh: Mugi Subagyo

Saya yakin bahwa Anda sering mendengar nasihat: “Jadilah dirimu sendiri”.

Entah bagaimana Anda menyikapinya, karena buat saya, itu berarti hidup apa adanya. Menjadi diri sendiri sesuai dengan keadaan, kondisi, sarana, mental dan spiritual seadanya. Dengan kata lain hidup tidak perlu macam-macam, jangan neko-neko. Jadilah orang biasa saja seperti apa adanya kamu sekarang. Bukankah seperti itu pemahamannya?

Atau mungkin juga yang dimaksud pesan tersebut adalah: Menjadi diri sendiri, sesuai dengan karakter serta jiwa yang sudah ada pada diri masing-masing individu. Namun jika memang seperti itu, siapa yang dapat menunjukkan tentang karakter Anda? Siapa yang dapat memberitahu jalan hidup Anda? Siapa yang dapat memperlihatkan masa depan Anda kelak? Bagaimana awal langkah untuk bisa menjadi diri sendiri?

Bertahun-tahun sudah saya jalani untuk menjadi diri sendiri, namun apa yang saya peroleh hanya keraguan, kebimbangan; akan jadi apa saya 5, 10, atau 20 tahun yang akan datang? Mungkin Anda juga termasuk dalam golongan orang-orang yang “belum menjadi diri sendiri”. Kita terbiasa mengerjakan apa yang biasa kita kerjakan, maka kita juga mendapatkan apa yang biasa kita dapatkan. Untuk itu, lakukan hal yang luar biasa (seperti judul buku karangan Eni Kusuma: Anda Luar Biasa!!!), maka Anda akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa pula.

Karena manusia hidup, bukan sebagaimana adanya, melainkan bagaimana seharusnya.

Jangan Jadi Diri Sendiri, Jadilah Peniru!

Hal yang menjadi dasar manusia dalam belajar adalah “sifat peniru”. Tuhan memberikan cahaya melalui matahari, manusia menirunya dengan membuat lampu. Tuhan buat hutan, manusia membuat taman. Tuhan tegakkan gunung-gunung sebagai tempat tinggal flora dan fauna, manusia ciptakan gedung-gedung. Tuhan ciptakan lapisan luar dari buah-buahan seperti: pisang, semangka, jeruk, kelapa; sebagai pembungkus yang sangat berkualitas, maka manusia ciptakan plastik. Tuhan ciptakan burung, manusia ciptakan pesawat. Sistem sonar pada lumba-lumba ditiru manusia. Pelukis meniru dari apa yang dilihatnya, dan masih banyak lagi contoh yang membuktikan bahwa kita belajar dengan meniru.

Meniru bukanlah merampok. Jika Anda mengambil tulisan orang lain dan mengakuinya sebagai buah karya Anda (plagiat), itu merampok; bukan meniru! Jika Anda mengambil ide orang lain, lalu membuatnya sama persis, itu mencuri! Anda bisa saja mengambil mutira dari kerang, lalu menunjukkan pada orang-orang yang tinggal di gunung, di mana mereka tidak pernah tahu tentang laut, kemudian Anda menyatakan bahwa mutiara itu Anda buat sendiri. Mungkin mereka percaya. Tapi sampai kapan? Anda tidak bisa memproduksi mobil memakai nama Anda, dengan meniru desain dari Toyota misalnya, karena orang akan tahu; produk Anda tidak akan laku dan itu menjiplak, bukan meniru! Meniru adalah kegiatan mencontoh dari apa yang kita lihat, rasakan, dan pelajari, untuk kemudian diperbaharui. Seiring waktu proses belajar yang Anda jalani, maka akan timbul dan lambat laun tercetak jelas warna dari karakter Anda sendiri.

Sebagai contoh: Sebagai penulis pemula, Anda menulis dengan meniru gaya penulisan, teknik penulisan, format penulisan, bahkan mungkin di tahap awal Anda juga meniru pola pikir penulis idola Anda; bukan menjiplak atau merampok! Sejalan dengan proses belajar menulis tersebut, Anda akan menemukan jiwa yang cocok dalam teknik menulis, akan Anda temukan nyawa tulisan Anda, dan akan Anda sadari bahwa ternyata Anda beda! Anda luar biasa!

Meniru “Sang Idola”, Menggenggam Kesuksesan

Saat ini banyak orang yang masih belum tahu, kapan cita-citanya terwujud. Banyak yang belum bisa dan bingung mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh untuk meraih tujuannya; lebih parah lagi masih ada orang yang belum tahu mau jadi apa, apa cita-citanya, gelap dengan tujuan hidupnya.

Salah satu hal paling mudah untuk menentukan cita-cita atau tujuan hidup di masa depan, adalah kesukaan atau kegemaran (hobi). Jika Anda menyukai berdagang, jadilah pedagang yang sukses. Jika kegemaran Anda berkutat dengan komputer, jadilah ahli di bidangnya. Jika Anda merasa damai dengan melukis, mendesain; jadilah pelukis atau desainer. Dan jika Anda bangga menulis karena yakin tulisan Anda akan membantu banyak orang, ide Anda dapat dimanifestasikan orang lain meski di suatu saat, dan Anda masih tetap “hidup” meski telah tiada, maka jadilah penulis. Jadilah apa saja yang sesuai dengan kegemaran Anda. Karena orang yang melakukan kegemarannya sekaligus sebagai profesi pekerjaannya, dia akan jauh lebih berhasil dibandingkan orang yang melakukan aktivitas kerja karena terpaksa.

Langkah selanjutnya Anda cukup mencari idola, siapa yang Anda kagumi. Kemudian pelajari hal-hal yang membuat idola Anda tersebut bisa sukses, lalu tirulah! Tiru saja apa-apa yang menjadi langkah keberhasilannya, tiru semangatnya, tiru mental berpikirnya. Jangan buang percuma energi mental Anda untuk hal yang tidak ada hubungannya dengan tujuan Anda.

Anda akan menemukan bahwa apa-apa yang Anda tiru dan berhasil untuk sang idola, ternyata dapat lebih berhasil lagi dengan sentuhan pribadi. Karena kita semua tahu, bahwa apa yang baik dan berhasil dilakukan orang lain, belum tentu sukses untuk diri Anda. Di sini Anda akan temukan kekurangan ataupun kelebihan dari formula idola Anda. Anda cukup menambahkan, mengurangi atau mengganti idola dengan idola lain yang sama bidangnya.

Keuntungan lain dari meniru sang idola adalah waktu. Waktu yang ditempuh oleh idola Anda untuk sukses, bisa jadi sebagai waktu yang panjang, kesabaran, juga jerih payah yang berkelanjutan, hingga ia dapat menemukan cara yang tepat atau teknik yang langsung ke sasaran. Sedangkan dengan meniru, Anda sudah tahu ilmunya, dapat membaca langkahnya, dan cukup menambahkan atau mengurangi dari apa-apa yang tinggal kita ikuti, kita tiru. Selanjutnya, perkembangan karakter yang menunjukkan bahwa Anda beda, Anda luar biasa; tidak menjadi pikiran maupun halangan, karena itu terjadi dengan sendirinya selama proses Anda belajar dengan meniru. Bahkan mungkin tanpa sadar Anda sudah menjadi diri sendiri yang berbeda dengan sang idola.

Jadi bagaimana? Cukupkah menjadi diri sendiri? Itu artinya Anda terima keadaan sekarang, terima kenyataan bahwa setelah lahir, besar, sekolah, kerja, menikah kemudian punya anak dan.. mati! Atau jangan menjadi diri sendiri? Dengan meniru idola, mengikuti langkah-langkahnya dengan menjadikan idola Anda sebagai guru sekaligus rival. Anda menjadi seorang pembelajar, dengan menjadikan orang yang Anda kagumi, sebagai kelinci percobaan Anda yang telah berhasil menjalani eksperimen, atau percobaan-percobaan dalam mencari tujuan hidup.

Tidak perlu takut dengan pikiran bahwa Anda akan menjadi sama dengan idola Anda. Karena Tuhan menciptakan masing-masing individu berbeda satu dengan lainnya, bahkan jika Anda ternyata saudara kembar dari idola Anda, maka Anda tetap individu yang berbeda.

Jadilah peniru untuk menjadi diri sendiri, bukan langsung menjadi diri sendiri!

Salam Bahagia.

Jakarta, 27 Juni 2007

* Mugi Subagyo adalah praktisi SDM di perusahaan multinasional, pengamat Teknologi Informasi, graphic designer, senior di dunia percetakan, dan pemerhati bahasa & sastra Indonesia, serta alumnus Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) Angkatan II. Mugi dapat dihubungi melalui email: mugisby@yahoo.co.id

PENCEMOOH TIDAK PERNAH BELAJAR

Oleh: Mario Einstain



Dalam perbincangan dengan salah satu teman baik saya, ada sesuatu perubahan yang terjadi pada percakapan antara saya dan dia. Ia merasakan ada yang berbeda dengan kehidupan saya setelah mengikuti berbagai pertemuan dengan guru-guru terbaik dalam hidup saya dan seminar yang saya datangi

Menurut dia, bahwa saya belum sukses dan belum ada bentuk secara material yang dapat ditunjukan kepada orang banyak. Dia beranggapan kalau saya sudah gila dengan mengikuti saran dan komentar dari situs Pembelajar.com dan pembicara-pembicara sukses lainnya. Dalam posisi ini, saya hanya mencoba mengamati jalan pikirannya, dan ada sesuatu yang saya dapat dari pengalaman ini.

Teman saya ini hanya sibuk mencemooh orang-orang sukses. Dia bilang “Yaa… terang aja mereka bisa ngomong di depan orang banyak karena mereka sudah kaya dan sukses sekarang. Tetapi hal ini hanyalah proses pembenaran diri yang mengatakan bahwa itu pengalaman mereka. Kan berbeda dengan saya? Inilah letak kesalahan fatal yang kita temui dalam mengejar kekayaan dan kesuksesan sejati.”

Orang yang mencemooh orang lain pasti tidak bisa kaya raya dan sukses di dalam hidup ini. Orang seperti ini tidak pernah belajar dari pengalaman sukses orang lain. Ini merupakan hal yang sangat saya sayangkan. Biasanya orang sukses melewati pengalaman itu dalam waktu yang sangat panjang. Dan jika kita bisa belajar dari pengalaman sukses mereka, maka semakin cepatah kesuksesan dan kekayaan yang akan kita terima atau peroleh.

Jika ingin sukses dan kaya, jangan pernah mencemooh orang lain. Baik itu orang yang sudah sukses ataupun orang yang belum sukses. Karena kita juga harus belajar dari orang gagal agar kita tidak menjadi gagal seperti mereka.

Dalam hal ini baik posisi kita sebagai pemimpin perusahaan karyawan, pelajar, buruh, pembantu, tukang parkir, atau apa pun pekerjaan kita, saya ingin membagikan pemikiran saya ini; kalau Anda mencemooh orang lain tanpa belajar dari kelebihan dan kekurangan orang tersebut. Saya sangat yakin sekali kalau Anda pasti tidak akan pernah kaya dan berhasil serta sukses dalam hidup ini. Sebab, pencemooh tidak mendapatkan tempat di dalam kursi kesuksesan. Hanya mereka yang tidak mencemooh dan mau belajar dari keberhasilan atau kegagalan orang lainlah yang dapat mencapai tangga kesuksessan.

Pencemooh hanya membenarkan dirinya dengan menilai jelek orang lain atau organisasi ataupun perusahaan lain, tanpa pernah belajar dari hal itu. Jika hal ini diteruskan, maka kegagalan dan kebodohan akan segera mendatangi Anda ataupun perusahaan Anda.

Proses persaingan adalah sebuah kompetisi di dalam segala bidang. Jika Anda hanya bisa mencemooh orang lain ataupun perusahaan lain, mana mungkin keberhasilan dan kesuksessan akan menghampiri Anda? Sedangkan malapetaka dan kegagalan akan dengan cepat menghampiri kehidupan Anda.

Hidup adalah pilihan. Apakah Anda memilih untuk mencemooh atau belajar sesuatu dari setiap orang yang Anda temui saat ini?

Pilihan ada ditangan Anda….[me]

* Mario Einstain adalah anak seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa yang tidak menyerah dengan keadaan ekonomi keluarga yang sulit. Ia senang berbagi ide dan pemikiran kepada orang banyak. Selain itu senang mempelajari sifat dan karakter manusia untuk mencapai kesuksesan sejati. Saat ini, ia sedang mempelajari dunia perbankan, perencanan keuangan, asuransi, investasi, pengembangan kepribadian, konseling keluarga, dan masalah percintaan. Mario adalah alumnus Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) Angkatan III. Ia ingin menjadi seorang motivator muda. Mario dapat dihubungi di nomor hp: 08159839928, 021-93087935, atau email: mario_einstain@yahoo.com.

I DON’T LIKE MONDAY! ITU MAH SUDAH KUNO!

Oleh: Afra Mayriani

“I don’t like Monday…” adalah sepenggal lirik dari sebuah lagu yang pernah dinyanyikan oleh Bob Geldof (mudah-mudahan saya tidak salah mengeja namanya). Ya, lirik yang ternyata dapat mewakili berbagai perasaan yang dialami kebanyakan oleh karyawan hari gini. Perasaan gundah dan kurang senang akan suatu hari yang bernama Monday (Senin). Hari yang telah terlanjur menjadi momok menyebalkan bagi sebagian besar orang, khususnya karyawan. Mengapa demikian?

Bagi sebagian besar karyawan, hari Senin merupakan penanda dimulainya kembali suatu rutinitas dan kesibukan. Banyak orang menjadi tidak punya waktu dan tidak tahu waktu, dan itu dimulai dari hari Senin. Hari Senin pada akhirnya menjadi hari yang tidak mengenakkan setelah nikmatnya liburan akhir pekan usai. Hari yang menjadi terpaksa untuk dijalani. “Mudah-mudahan terasa cepat lewatnya,” kelakar seorang teman yang pernah saya dengar.

Yang unik dan menggelitik, lirik yang dinyanyikan oleh Bob Geldof tersebut dipelesetkan oleh sekumpulan orang muda. Tentunya sekumpulan orang muda yang memiliki tingkat kreativitas tinggi. Lagu yang tadinya memiliki “ambience” negatif dan cenderung tidak bersemangat tersebut digubah menjadi “jingle” iklan yang dinamis. Irama lagu dibuat semangat, mencerminkan jiwa baru yang menyenangi tantangan. “I Like Monday, itu sudah biasa…” demikian penggalan liriknya. Sungguh lirik yang sangat bertolak belakang, bukan?

Bila kita sadari, sebenarnya lirik iklan tersebut menyindir sekaligus menantang kita semua. Bagaimana tidak, lirik tersebut mengejek kita yang sering berkeluh kesah dan mengumpat bila hari Senin datang. Segudang persoalan baik di kantor maupun dalam bisnis menjadi faktor penghalang kita menikmati hari baru tersebut. Apalagi ditambah kemacetan dan kesemrawutan Jakarta. Kita selalu bersungut-sungut, kening berkerut dan selalu tampak kesal.

Semua dikarenakan kesibukan dan kepadatan waktu kita mengurusi semua pekerjaan yang ada. Nah, hebatnya lagi, iklan tersebut telah mampu menarik benang merah dari semua keluhan-keluhan seputar hari Senin. Diramu menjadi senandung riang sebuah “jingle” pendek yang menyenangkan. Senandung yang mengingatkan bahwa hari Senin itu bukanlah awal dari ke-bete-an tetapi justru awal mulanya hari yang baik.

Lalu apa yang terjadi sehingga kebanyakan karyawan justru memandang hari Senin sebagai momok yang kurang menyenangkan? Pekerjaan yang sudah terlalu bertumpuk, atasan yang menyebalkan, dunia kerja yang tidak sesuai karakter, jalanan ibukota yang kian hari makin macet, bertemu rekan kerja yang tidak bersahabat, atau ada hal yang lain menurut Anda? Mungkin itu beberapa hal yang menjadikan hari Senin menjadi kurang begitu menyenangkan.

“Dari bangun tidur saja saya sudah malas berangkat ke kantor. Karena membayangkan harus bertemu dengan Bos yang menyebalkan!” Itu salah satu kalimat yang pernah saya dengar dari seorang rekan kerja. Fany namanya. Hari Senin menjadi permulaan dari mimpi buruknya dalam menghadapi atasannya yang berusaha menyingkirkannya. Memiliki atasan yang tidak menyenangkan merupakan salah satu faktor saja dari sekian banyak masalah yang dihadapi oleh banyak karyawan.

Lalu, bagaimana mengembalikan hari Senin ini menjadi hari yang menyenangkan sekaligus dapat mengembalikan semangat kita? Mudah saja sebenarnya. Hal-hal kecil yang sering terlupakan oleh kita sebenarnya jurus jitu menghindari dilema Senin ini. Dengan selalu mengerjakan pekerjaan Anda dengan cepat, dan, tidak membiasakan diri kita menumpuk serta menunda pekerjaan. Sehingga, pekerjaan seminggu lalu diselesaikan pada hari Jumat. Semoga Senin Anda pun menjadi lebih ringan.

Berpikirlah positif, karena dengan mengelola pikiran-pikiran positif dalam diri kita niscaya hasil yang didapat pun menjadi positif. Menghadapi tipe atasan dan rekan kerja yang “bossy abis”, seenaknya, tidak pernah mendengarkan ide-ide kita. Apalagi, tipe yang berusaha menjatuhkan Anda. Sampai, menghadapi atasan yang menghendaki Anda berhenti bekerja secara tidak langsung. Tetap berpikirlah dalam ketenangan dan damai. Biarkan semua pikiran positif mengalir ke dalam aliran darah otak dan hati Anda.

Jika sudah mentok, ambillah sisi positifnya. Yakni, Anda dapat berinternet dan pakai telepon gratis di kantor. Maksimalkan penggunaan fasilitas-fasilitas gratisan tersebut untuk kemajuan diri Anda sendiri. Anda dapat memantau bisnis sampingan Anda, meng-email klien-klien side job-an Anda. Bahkan, menyebarkan CV juga portfolio Anda. Tentunya melalui email pribadi, lho.

Kembali ke teman saya tadi. Untungnya, Fany tidak berlarut dalam kesuntukannya menghadapi hari Senin. Ia senantiasa semangat untuk berangkat ke kantor. Ada dua hal yang ia yakini dan membuatnya bersemangat. Satu adalah rasa syukur yang sempat ia lupakan. Syukur akan karunia Tuhan akan hari yang baru dan kesempatan dalam hidupnya.

Yang kedua adalah keinginannya yang besar untuk makin membuktikan pada atasannya bahwa ia mampu menyelesaikan setiap tantangan yang diberikan dengan hasil diatas rata-rata. Memang hanya dua hal itu saja, namun dampaknya bagi Fany sangat luar biasa. Kini ia tidak lagi mengumandangkan “I Don’t Like Monday”-nya Bob Geldof. “I Like Monday, Itu sudah biasa” kini berani dinyanyikan olehnya. Ya, Fany menemukan intisari dari hari yang ternyata luar biasa. Beranikah Anda menyanyikan “jingle” yang sama?

Jurus bersyukurnya Fany akan sangat berkhasiat bila diterapkan dalam kehidupan kita. Bila manjur untuk Fany, tentunya manjur pula untuk Anda dan saya. Belajarlah untuk berterima kasih kepada Tuhan setiap pagi hari setelah Anda bangun. Belajar berterima kasih artinya belajar melakukan segala hal juga beraktivitas dengan sebaik mungkin. Sebagai penutup, ada kutipan dari Alkitab yang begitu bagus. Yakni mengajarkan kita untuk selalu melakukan segala pekerjaan kita layaknya kita mengerjakannya untuk Tuhan.

“Lalukanlah setiap pekerjaan yang kamu lakukan seperti kamu melakukannya untuk Tuhanmu.” Demikian bunyinya. Sekarang marilah kita untuk sama-sama belajar berterima kasih![am]

* Afra Mayriani adalah seorang programing di sebuah perusahaan televisi berlangganan dan alumnus Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) Angkatan II. Ia dapat dihubungi di email: aframayriani@yahoo.com

THE POWER WITHIN YOU

Oleh: Muk Kuang


Pada sebuah festival kesenian seorang penjual balon melepaskan satu balon warna hijau ke udara, dan beberapa saat kemudian dia melepaskan satu buah balon lagi. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menarik perhatian pengunjung festival.

Kemudian seorang anak berumur 6 tahun menghampiri penjual balon tersebut, dan bertanya, "Kalau balon berwarna merah dilepaskan apakah bisa terbang ke udara juga ?"

Kemudian si penjual balon berkata, "Yang membuat balon tersebut terbang ke udara bukan karena warnanya. Tidak peduli mau warna merah, hitam, biru, atau warna lainnya semuanya tetap bisa terbang. Karena yang membuatnya bisa terbang ke udara adalah gas yang terdapat dalam balon tersebut.”

Cerita yang begitu luar biasa ini saya kutip dari buku international bestseller karangan Shiv Kera berjudul You Can Win. Pada dasarnya balon dalam cerita tersebut sama seperti manusia.

Manusia dapat berhasil mencapai puncak kesuksesan karena kekuatan yang dimiliki dari dalam dirinya sendiri.

P.O.W.E.R atau Kekuatan seperti apa yang mampu membuat seseorang lebih berhasil dari sebelumnya?

P = Positive
Apa pun yang Anda pikirkan, Anda katakan, Anda perbuat lakukanlah dengan positif. Berawal dari pikiran atau mindset kita. Jika Anda mau menanam dan memelihara mindset yang negatif, konsekuensinya apa yang dihasilkan dari pikirkan tersebut tidak akan positif.

O = Optimist
Melihat kondisi sulit, mendengar komentar negatif orang lain terhadap kita, mengalami kegagalan terus menerus umumnya membuat kita menjadi down dan pesimis. Manusiawi sekali memang, tapi mau sampai kapan jadi pesimis? Seumur hidup? Saya lebih memilih bangkit dan coba lagi. Gagal dan mengalami penolakan sudah biasa, tapi yang luar biasa adalah keyakinan dalam diri setiap orang.

W = Willingness
Yakin saja tidak cukup, seseorang memang harus ada kemauan dan action untuk mewujudkannya. Kalau ditanya mau berhasil? Pasti semua mau berhasil. Tapi kata orang bijak ”Will is not enough, you have to do”. Kalau memang sudah tidak ada kemauan berhasil, ini perkara sudah repot. Orang tersebut harus menolong dirinya sendiri.

E = Enthusiasm
Manusia kalau tidak punya antusiasme sama seperti mobil kehabisan bensin. Sebagus dan semahal apa pun mobilnya kalau tidak ada bensin percuma saja. Sama seperti kita kalau punya impian yang luar biasa, mindset yang positif, tapi ketika mulai action tidak punya antusiasme maka semuanya sia-sia.

R = Refill
Batu baterai saja ada waktunya habis, apalagi dengan kekuatan dalam diri kita. Adalakalanya kita memasuki masa sulit, sehingga kekuatan dalam diri kita semakin melemah. Apa yang harus kita lakukan?

Isi ulang (refill) kekuatan Anda. Dengan apa?

Isi dengan sesuatu yang mampu meningkatkan power Anda kembali. Baca buku, fokus pada achievement pada masa lalu, bangkitkan kembali potensi, masukkan informasi yang positif ke telinga Anda.

Jadi jangan khawatirkan latar belakang Anda, apa pun pendidikan Anda baik itu lulusan lokal maupun lulusan impor, pesona fisik Anda cantik atau kurang cantik....karena bukan itu semua yang menentukan seberapa tingginya Anda akan mencapai kesuksesan tapi lebih kepada POWER yang ada dalam diri Anda.

Selamat mengembangkan Power Anda.

* Muk Kuang adalah People Development Trainer, Motivational Speaker, Writer Email: mukkuang@gmail.com. Personal Blog : http://ignatiusmk.blogspot.com.

VIRGINIA WOOLF: NOVELIS YANG MENAHAN DERITA DENGAN MENULIS

Oleh: M. Iqbal

Dalam sastra Barat nama Virginia Woolf sudah tak asing lagi. Ia merupakan sastrawan Inggris yang karya-karyanya disejajarkan dengan sastrawan lainnya seperti William Shakespeare, T.S. Elliot, Charles Dickens, atau George Orwel. Namun, di telinga kita nama tersebut memang masih asing, tak sepopuler yang lainnya, seperti halnya william Shakespeare dengan Romeo and Juliet-nya. Mungkin saja dikarenakan karyanya tak lazim dengan selera pembaca Indonesia. Karya-karya Virginia masih sangat jarang untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Memang, karyanya tergolong tak seperti halnya pengarang lainnya. Ia sering membuat karya dengan gaya yang berbeda dengan kebanyakan sastrawan lainnya.

Virginia mengidap penyakit kejiwaan yang amat sangat menyiksa hidupnya. Namun ia masih terus menulis, dan menjadikan obat bagi penyakitnya itu. Seolah-olah derita telah tertahankan saat ia merangkai dunia imajinasinya, walau pada akhirnya ia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Nama lengkapnya adalah Adeline Virginia Woolf, dilahirkan di London pada tahun 1882 dari pasangan Leslie dan Julia Stephen. Ayahnya adalah seorang redaktur Cornhill Magazine dan penyunting Dictionary of National Biography. Bakat menulisnya tertular dari ayahnya. Ia hanya belajar membaca dan menulis dari orangtuanya, dan tak pernah merasakan bangku sekolah. Ia banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan yang letaknya di dalam rumahnya sendiri.

Bimbingan orangtuanya serta semangat belajarnya membuat bakat kepenulisannya cepat berkembang. Semakin lama semakin terasah pula insting menulisnya yang pada akhirnya ia mengabdikan hidupnya untuk menulis. Setelah menikah, ia bersama suaminya membuat penerbit Hogarth Press. Selain menerbitkan karya-karyanya ia juga menerbitkan pengarang lainnya yang terkenal seperti puisi T.S. Elliot.

Dalam penulisan karya sastranya, ia memperkenalkan corak yang tak lazim dilakukan oleh sastrawan lainnya. Ia telah mengembangkan temuannya William James dalam gaya penceritaan yaitu yang dikenal dengan istilah arus kesadaran (stream of consciosness) atau juga dikenal dengan dialog batin, di mana teknik tersebut akan menghasilkan efek yang berbeda di mata pembacanya. Efek dari teknik tersebut adalah seperti yang dituturkan oleh Kurniasih dalam pengantar novel Mrs. Dalloway karya Virginia, “Meski di satu sisi cerita itu terkesan sangat 'dingin', karena minimnya dialog langsung di antara para tokohnya, tetapi pembaca akan menyadari sebuah kenyataan yang tak bisa disangkal karena kelazimannya. Yaitu, kenyataan tentang kesendirian manusia. Kesendirian di sini bukan berarti tanpa keberadaan orang lain, tetapi tentang kondisi ketika manusia pada dasarnya sibuk dengan dirinya sendiri, sebuk dengan kerumitan pikiran dan kecamuk perasaannya sendiri. Pembaca seakan tengah mendengarkan keluhan-keluhan langsung dari orang yang hatinya sedang cemas. Di dalam hatinya seperti tengah terjadi konflik yang luar biasa rumit.”

Selain kegiatan menulis, ia juga pejuang hak asasi perempuan. Ia seorang feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan pada masa itu yang dianggap telah dirugikan kedudukannya. Kedudukannya amat berpengaruh lantaran ide-ide feminisnya yang bisa membuat merah telinga orang yang mendengarnya.

Gangguan jiwa yang dialaminya semenjak remaja semakin hari semakin parah. Mulai dari anorexia (tidak bernafsu makan), sakit kepala, depresi, hypermania (perasaan gembira berlebihan), hingga kehilangan kesadaran akan realitas membuat hidupnya semakin tak bergairah. Menurut para peneliti, badan Virginia adalah badan yang sakit. Keadaan seperti itu mendorong ia mencoba untuk melakukan bunuh diri, tapi selalu saja gagal.

Untunglah ia menulis. Menulis adalah semacam cara untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut. Segala perasaan yang dialaminya ia tuangkan ke dalam karyanya. Maka tak heran jika karya-karyanya sering menggambarkan tentang keadaan dan perasaan yang dimilikinya. Lewat karyanya, ia membuat dunia ciptaannya di mana ia bisa tinggal, sesuai dengan kehendaknya, dan ia merasa nyaman di dalamnya. Namun setelah merampungkan ceritanya sering terjadi dualisme dalam dirinya, yaitu antara rasa plong dan menderita kembali seperti ketika sebelum ia menuliskan cerita tersebut.

Bagai seorang ibu, setiap kali melahirkan tulisannya ia merasa senang sekaligus merasa kehilangan sesuatu setelah diterbitkan karyanya itu. Namun setidaknya dengan menulis ia bisa menghilangkan tekanan jiwanya itu, walau pada akhirnya ia berhasil bunuh diri, lantaran penyakitnya yang sudah akut. Tapi, seandainya tidak karena menulis boleh jadi peristiwa tersebut akan terjadi sedini mungkin. Menulis, bisa dikatakan, adalah penyelamat hidupnya, yang ikut memperlambat proses percobaan bunuh dirinya tersebut.

Virginia bukan hanya menulis novel dan cerpen saja, tetapi ia juga menulis catatan harian, biografi, dan esai-esai tentang hak asasi perempuan. Di antara karya-karyanya ialah The Voyage Out (1915) dan Night and Day (1919), Mondays or Tuesday (1921), Jacob's (1927) dan The Waves (1931), Mrs. Dalloway, dan masih banyak lagi karya yang lainnya.[miq]

* M. Iqbal adalah seorang penulis yang tinggal di Yogyakarta. Ia dapat dihubungi di: ..

TRIAL AND ERROR ATAU TRIAL AND SUCCESS

Oleh: Syahril Syam

“Yang ada hanyalah hasil,” kata Anthony Robbins. Jika hasil yang ada tidak sesuai dengan yang Anda inginkan, maka Anda tidak mengubah cara Anda untuk mendapatkan hasil yang Anda inginkan. Ini mengingatkan saya akan pentingnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Mengenai pembahasan syarat-syarat ini akan kita bicarakan secara lebih detail pada artikel lainnya nanti.

Saya ingin mengajak Anda untuk memikirkan sejenak perkatan Anthony Robbins di atas. Apakah betul bahwa otak kita bekerja berdasarkan “trial and error” atau “trial and success”. Jika merujuk pada perkataan Anthony Robbins, maka sudah pasti yang benar adalah pilihan yang kedua, bahwa manusia itu pada dasarnya bekerja dan otaknya berfungsi sesuai dengan sistem “trial and success”.

Coba Anda bayangkan! Kalau otak itu bekerja dengan cara “trial and error”, maka yang terjadi adalah: mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba. Dan hasilnya adalah kesalahan, kesalahan, kesalahan, kesalahan, kesalahan, kesalahan, kesalahan, kesalahan, kesalahan, kesalahan. Ini berarti apa? Ini berarti bahwa tidak ada satu pun yang bisa berjalan baik di muka bumi, karena setiap kali seseorang mencoba sesuatu, yang terjadi adalah kesalahan melulu. Anda tidak akan melihat kemajuan hidup dengan proses seperti ini. Padahal kenyatan hidup berbicara lain, yaitu senantiasa terjadi kemajuan dalam hidup ini.

Tapi jika kita balik, dengan menggunakan pendekatan “trial and success”, maka yang terjadi adalah: mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba, mencoba. Dan hasilnya adalah keberhasilan, keberhasilan, keberhasilan, keberhasilan, keberhasilan, keberhasilan, keberhasilan, keberhasilan, keberhasilan, keberhasilan. Anda sesungguhnya telah melakukan suatu keberhasilan. Andaikan pun keberhasilan yang terjadi tidak sesuai yang diharapkan, maka Anda sesungguhnya telah mendapatkan informasi baru yang berharga.

Hal ini memberikan implikasi besar dalam hidup ini. Bahwa alam semesta ini sudah dirancang sedemikian rupa, agar kita sebagai manusia dapat memetik hikmah dalam setiap proses perjalanan hidup. Anda (kita semua) adalah makhluk pembelajar yang selalu memberikan hasil dari setiap pengalaman hidup kita. Hanya saja, masih banyak yang belum menyadari hal ini. Mungkin karena hikmah itu begitu dekat dengan kita dan begitu sederhana, sehingga kita tidak melihat dan menyadarinya. Marilah belajar dan membuka diri untuk menerima berbagai hikmah kehidupan!!![bersambung]

* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, publik speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Ia memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Ia sering disebut sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com.

GURU GAYA BARU

Oleh: Lamser Aritonang

Bagi sebagian orang profesi guru adalah pekerjaan yang sangat serius. Berangkat pagi-pagi dengan setumpuk buku dalam tas, berpakaian rapi tersetrika dengan pilihan warna netral. Sifatnya tegas, disiplin, berwibawa dan kadang-kadang jaim (jaga image). Tapi bagi saya profesi guru berbeda.

Penampilan dan pembawaan bukanlah hal yang terlalu penting. Modal menjadi guru cukup suka membaca, suka berbicara, dan suka menulis. Itu saja. Ketiganya berguna untuk bergaul. Ya, bergaul dengan murid, rekan guru, dan orangtua. Pokoknya, bagaimana supaya komunikasi nyambung. Karena itu guru perlu bersikap terbuka. Guru wajib banyak belajar dan mengembangkan keterampilan di bidang yang sangat penting ini. Tak perlu malu dan ragu, juga tak perlu cari-cari dalih.

Dengan membaca guru menambah pengetahuan. Pengetahuan tentang apa yang akan ditulis atau tentang kejadian terbaru. Misalnya, sekarang planet tidak 9 lagi, tetapi 8 saja. Dengan berbicara guru mengungkapkan apa yang ada dalam kepala. Isi kepala yang banyak tanpa dikeluarkan hanya membuat orang besar kepala. Akibatnya, bisa pusing atau sakit kepala. Cuma, pilihan kata dan cara menyampaikannya dengan melihat sikon. Lain bicara di depan kelas, lain dengan guru, lain pula dengan orangtua.

Begitu pula dengan menulis. Kata ahlinya,”Tulis yang kamu lakukan, dan lakukan yang kamu tulis.” Mungkin ini yang mendasari program Departemen Pendidikan Nasional RI supaya guru membuat portofolio. Ini pula yang dilakukan oleh perusahaan nasional dan multinasional untuk memperoleh ISO. Dengan mencatat atau menulis, pengetahuan tersimpan dan tahan lama.

Singkatnya, jadi guru sebenarnya hanya perlu kemampuan komunikasi. Komunikasi dengan stakeholder terpenting; murid, orangtua, dan sesama guru. Lebih baik lagi bila dapat menjalin komunikasi dengan pihak luar seperti Depdiknas dan masyarakat luas. Makin banyak membaca otak makin berisi. Makin banyak bicara, pengetahuan pengetahuan makin tersebar. Makin banyak menulis ilmu makin berkembang dan teruji. Makin berkomunikasi—secara lisan dan tulisan—makin pas jadi guru. Tidak sulit bukan?[la]

* Lamser Aritonang, guru SD Imanuel, Pondok Gede, Jakarta Timur. Ia menyelesaikan studi S-2 pada Program Pascasarjana Fakultas Psikologi UI, Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi. Alumnus Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) Angkatan 4 ini adalah editor “en Theos”, sebuah buletin internal gereja HKI Cililitan, Jakarta. Lamser dapat dihubungi lewat email: lamser_art@yahoo.com atau HP 0913 8565 6398.

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman