Selasa, 28 Oktober 2008

KENAPA KITA TIDAK BISA MEREALISASIKAN IMPIAN KITA?

Oleh: Rudy Lim


Pada saat ini, banyak dari kita berdiam diri membiarkan apa yang kita cita-citakan tetap menjadi impian saja tampa benar-benar berusaha untuk mewujudkannya. Lantas apa yang menyebabkan kita tidak bisa merealisasikan impian kita? Bukankah kita sudah menginginkannya sejak lama bahkan sudah merencanakan berbagai cara maupun strategi untuk mencapainya dan sudah bekerja keras untuk mengejarnya?

Setiap orang pasti mempunyai cita-cita dan impian dalam hidupnya seperti: memiliki rumah dan mobil mewah, menjadi orang terkenal, mengunjungi tempat-tempat eksotik di seluruh dunia, menikmati pola hidup yang luar biasa, bebas waktu, finansial, dan bisa melakukan apa saja yang ingin kita lakukan bersama keluarga serta orang-orang yang paling kita sayangi dalam hidup kita. Tetapi pertanyaannya: “Kenapa banyak dari kita tidak bisa merealisasikan impian kita?”

Pertama: Selalu mengaitkan dengan masa lalu. Di saat kita mempunyai sesuatu yang berarti untuk diwujudkan, sering kali kita tidak bisa lepas dari bayangan masa lalu. Kita mengingat kondisi hidup yang susah, segala keterbatasan, semua kegagalan kita sebelumnya dan menemukan semua alasan kenapa kita tidak bisa berhasil, dst…

Kedua: Kita menpunyai ketakutan dan kecemasan. Sebelum melakukan sesuatu kita sering kali mempunyai ketakutan dan kecemasan yang berlebihan. Bagaimana kalau saya tidak berhasil? Apa yang dikatakan orang tentang saya? Mereka akan menertawakan saya? Saya akan tambah frustasi jika saya sudah berusaha dan ternyata tidak mencapainya, dst…

Ketiga: Membiarkan orang lain mengintimidasi kita. Sering kali kita membiarkan orang lain mengintimidasi kita dengan kata-kata yang menurunkan semangat dan mengacaukan fokus kita bahkan mencuri impian kita. Anda tidak mungkin bisa berhasil, jangan bermimpi, lakukan yang biasa-biasa aja, terlalu besar dan sulit dicapai. Sudah terima nasib saja, dst…

Keempat: Tidak bisa melalukan sampai tuntas. Ini yang paling sering terjadi dalam hidup kita. Memulainya dengan antusias dan semangat yang mengebu-gebu, tetapi ketika menghadapi kendala cepat menyerah, tidak sanggup menderita, dan tidak mau bayar harga sehingga melepaskannya begitu saja.

Kelima : Kita mempunyai sifat malas. Salah satu kebiasaan kita dan penyakit lama yaitu suka menunda-nunda pekerjaan dan rencana tindakan yang sudah ditetapkan. Menganggap masih ada banyak waktu untuk mengerjakannya sehingga sering kali tidak pernah memulai ataupun sudah terlambat ketika kita sadar. Pesan:
Jika kita mau berhasil mewujudkan semua cita-cita dan impian kita, kita harus segera menghancurkan lima penghalang mental (mental block) kita di atas dan mengantikannya dengan 5 kebiasaan baru yang akan menjadi titik tolak perubahan yang mendorong kita untuk segera merealisasikan impian kita. Saat ini juga!

Pertama: Fokus ke masa depan dan impian Anda. Pikirkan apa yang benar-benar Anda inginkan, susun rencana kerja, gali potensi, dan kelebihan Anda, temukan strategi, cara dan segala kemungkinan untuk mewujudkannya.

Kedua: Yakin dan percaya 100% bahwa Anda bisa. Keyakinan adalah modal utama untuk mendapatkan apa pun yang Anda inginkan. Segala sesuatu yang tidak mungkin dalam hidup ini hanya sering kali belum pernah dicoba.

Ketiga: Lakukan saja sesuai dengan keinginan Anda. Ikuti kata hati Anda, tulikan telingga Anda dari orang-orang negatif dan pesimis di sekeliling Anda. Ingat: A great pleasure in life is doing what other people say you can’t do it, so just do it ! Buatlah record dan sejarah baru dalam hidup Anda.

Keempat: Selesaikan apa yang telah Anda mulai. Berani bayar harga dan miliki mental Sang Juara. Ingat: The winner never quit, and quitter never win! Jangan pernah memalingkan mata Anda sedetik pun dari garis finish.

Kelima: Mulailah sekarang, saat ini juga. Lakukan segera apa yang Anda rencanakan, apa saja. Ingat: Action is Power! Sebenarnya orang sukses bukanlah orang yang hebat tetapi mereka adalah orang yang selalu take action dan memulai lebih awal sehingga sering kali satu langkah lebih maju dari kita.

Inilah 5 kebiasaan baru yang bisa membantu kita untuk segera merealisasikan semua impian kita. Semoga bermanfaat, selamat menyongsong tahun baru 2008, semoga tahun 2008 ini menjadi tahun terobosan buat kita semua. Hidup lebih sukses, sehat, kaya dan bahagia![rl]

*Rudy Lim adalah seorang Inspirator Muda, pengusaha, dan penulis buku, saat ini Ia sedang mempersiapkan sebuah buku Inspirasi khusus buat anak muda, dan Ia juga seorang Motivator & Trainer, Founder & Owner YOUNGS Spirit - Seminar & Workshop Training. Rudy dapat dihubungi di nomor handphone: 0812-8500-686 atau websitenya: www.rudylim.com.

MENJADI JUARA KEHIDUPAN

- Oleh: Alpiyanto

“Mengapa orang yang dilahirkan dengan begitu banyak kelebihan sering kali hanya meraih begitu sedikit, sementara yang dilahirkan dengan begitu sedikit meraih begitu banyak? Jawabannya adalah keinginan kuat. Anda harus punya keinginan besar.”
~ Lou Holtz

Kita sebagai manusia dilahirkan begitu sempurna dengan berbagai kelebihan yang diberikan Allah, dan juga hidup kita didesain untuk menjadi sang juara dalam bidang dan potensi yang kita miliki. Bahkah setiap dari kita juga punya keinginan untuk menjadi juara, dan oleh karena itulah kita bertahan hidup. Namun dengan kesempurnaan dan potensi tersebut, terkadang tidak menjadikan kita seperti apa yang kita harapkan, justru sebaliknya. Banyak dari diri kita gagal mengemban misi suci keilahian dan gagal dalam bidang kehidupan kita. Jumlah orang-orang yang meraih kesuksesan dengan mudah dari kesempurnaan dan kelebihan yang dimilikinya, berkisar 10 persen. Tetapi selebihnya harus melalui proses. Jadi apa saja yang menyebabkan kegagalan dan sedikitnya orang menjadi juara? Berikut ini akan kita bahas satu per satu penyebabnya.

1. Tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
Bila kita ingin memenangi suatu kompetisi, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui siapa dan apa kelebihan kita. Dan, dari kelebihan itulah kita bangun sebuah kekuatan yang kokoh. Kita hanya bisa menang bila kita berangkat dan membangun dari kekuatan diri kita sendiri. Akan tetapi, kemanangan sejati seorang juara adalah mengalahkan musuh yang ada pada dirinya sendiri. Yaitu mengalahkan ego dan keterbatasannya sendiri, bukan dengan mengalahkan orang lain.

Sedangkan kelemahan diri, merefleksikan bahwa hidup membutuhkan orang lain untuk saling mengisi dan berbagi, dan dengan begitulah terjadi reaksi dan sinergi bahwa kemanangan itu adalah untuk kemanangan bersama bagi kedamaian dan cinta sesama di muka bumi dalam misi keilahian. Kesadaran kelemahan seperti ini tidak menyebabkan sang juara menyombongkan diri dan bersifat individual, tetapi kemenangan kesemestaan yang universal. Untuk itulah kita diciptakan-Nya.

Oleh karena itu, sang sufi mengatakan, “Bila kita mengenal diri kita yang sesungguhnya, maka kita akan mengenal Tunah kita.” Dan, Muhammad SAW berkata, “Jangan serahkan suatu pekerjaan pada yang bukan ahlinya. Bila dikerjakan oleh yang bukan ahlinya, maka tunggu kehancuran.” Ungkapan ini mempunyai makna mendalam, bahwa kita tidak mungkin unggul bila kita tidak mengenal dan membangun keunggulan yang ada pada diri kita sendiri. Dan, kita tidak mungkin ahli bila kita tidak membangun keunggulan sesuai dengan potensi atau bakat yang kita miliki.

2. Tidak memiliki impian
Orang-orang sukses pasti punya impian (visi), meskipun tidak semua orang yang punya impian itu akan sukses. Namun dengan kita punya impian, berarti kita membentangkan jalan kehidupan yang akan kita tempuh. Jalan yang menjadikan kita ingin dikenang seperti apa, dan jalan yang menuntun kita ke mana akan berlabuh.

Kejelasan sebuah impian akan mendorong kita untuk bergerak dan bertindak mewujudkan impian tersebut. Impian besar yang jelas dan didasari oleh niat yang mulia adalah magnet, motivasi, keyakinan, fokus, dan power serta obat dari derita dan rasa sakit yang mendorong kita untuk melakukan apa pun untuk mewujudkannya.

Di sinilah pentingnya mempunyai dan mempertahankan impian besar yang jelas dan mulia agar kita tetap terjaga dan hidup melalui keyakinan dan nilai-nilai yang benar. Mewujudkan impian yang mulia akan menuntun kita pada pribadi yang berkarakter, tidak hanya mengantarkan kita untuk sukses dalam belajar, karier, bisnis, dan kekayaan, tetapi juga dapat menjadi manusia sejati yang berguna demi manusia lain. Hal ini dapat mengingatkan kita pada sosok pribadi yang memiliki fondasi pribadi yang kuat akan sebuah impian besar yang mulia dan menjadi sumber inspirasi oleh bagi sebagian pemimpin dunia, yaitu Nelson Mandela. Seperti diungkapkan dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden pada tahun 1994, yang berbunyi:

“Kita bertanya pada diri sendiri, ‘Siapakah sebenarnya saya untuk bisa menjadi luar biasa, hebat, berbakat, terkenal?’ Sebenarnya, siapa Anda untuk tidak bisa menjadi seperti itu? Ketika kita memancarkan sinar pribadi kita sendiri, secara tidak sadar kita memberi izin kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama. Ketika kita terbebas dari ketakutan kita, kehadiran kita secara otomatis membebaskan orang lain.”

Jika kita tidak memiliki impian atau impian kita tidak jelas, maka sama halnya kita berlayar tanpa arah, berjalan tanpa tujuan dan hidup tanpa makna. Artinya kita telah menggadaikan misi keilahian kita pada kehampaan yang tidak berarti, atau ibarat buih ke mana angin bertiup ke sana pula kita ikut terbawa. Maka tidak heran bila banyak yang menjadi “Pak Turut dan Bu Turut” dalam bidang kehidupan kita. Lebih celaka bila sebuah bangsa menjadi bangsa Pak Turut atau Bu Turut atau bangsa yang keinginannya (visi) diatur oleh bangsa lain alias tidak mandiri dan tidak percaya diri pada keunggulannya.

3. Tujuan tidak jelas
Tujuan adalah tempat di mana kita berlabuh sementara di pelabuhan-pelabuhan kecil untuk sekedar mensyukuri hasil perjalanan jangka pendek yang kita lalui sembari melepaskan lelah dan dahaga untuk menyiapkan perjalanan-perjalanan berikutnya. Tujuan adalah proses atau mata rantai dari sebuah impian, bukan segala-galanya. Dan, tujuan akan memandu kita untuk sampai kepada impian. Atau dengan kata lain, pepatah China mengatakan, “Perjalanan satu mil dimulai dari langkah pertama.”

Kendati tujuan merupakan pelabuhan-pelabuhan kecil yang harus disinggahi, tetapi tujuan mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar kalau kita menjadikannya pribadi, menyatakan secara spesifik, menuliskannya, membuatnya serasi dengan nilai-nilai dan kemampuan serta potensi kita, menyatakannya dengan positif, dan menjadikannya cukup menantang untuk memotivasi kita untuk mencapainya.

Tujuan adalah kunci sukses. Jika kita tidak mempunyai tujuan yang Jelas—apalagi tidak punya tujuan sama sekali—kita tidak tahu kapan kita mencetak dan mengumpulkan skor kita. Kita ataupun pelajar terkadang jarang bahkan tidak susngguh-sungguh untuk mencapai sebuah tujuan. Bekerja atau belajar dilalui bagaikan air mengalir. Belajar bila ada tugas atau ketika kita akan menghadapi ulangan maupun ujian.

Ada pengalaman menarik ketika saya mengikuti konferensi pendidikan di kampus UII Yogyakarta. Seorang pembicara mengatakan perbedaan antara siswa Indonesia dengan siswa Inggris ketika dia berkunjung ke sekolah di sana. Si pembicara bertanya kepada salah seorang siswa setingkat SMA, “Hari ini kamu sedang belajar apa?” “Saya sedang belajar matematika untuk menjadi seorang ankuntan profesional di Bank Central,” jawab siswa tersebut. Ketika si pembicara pulang ke Yogyakarta, dia menanyakan pertanyaan yang sama pada seorang siswa SMA di Yoghyakarta. Apa jawaban siswa tersebut? “Saya belajar matematika, karena hari ini pelajaran matematika.” Inilah fenomena kebanyakan para pelajar kita bahkan sampai kuliah, dan tidak heran setelah selesai kuliah tidak bisa berbuat banyak alias pengangguran.

4. Mindset yang salah
Visi merupakan gambaran mental, dan gambaran mental adalah bahasa alam bawah sadar (subconscious). Sedangkan mindset adalah refleksi dari bahasa alam bawah sadar yang men-setting pikiran (conscious) untuk mencari cara menerjemahkan visi ke dunia aktual. Mindset sering terserang virus-virus dari realitas kehidupan yang salah melalui pancaindra. Baik dari apa yang kita lihat, dengar, rasakan, bau-bauan, maupun perabaan dari lingkungan kita yang akhirnya menjadi hambatan mental (mental blocking) yang membuat kita kehilangan spirit dan potensi serta peforma kita terbelenggu. Seperti disebutkan bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan.

Semua berawal dari pikiran.
Bila Anda menabur pikiran, maka Anda akan menuai sikap.
Bila Anda menabur sikap, maka Anda akan menuai perbuatan.
Bila Anda menabur perbuatan, maka Anda akan menuai karakter.
Bila anda menabur karakter, maka Anda menuai nasib.

Meskipun kita adalah seperti apa yang kita pikirkan sebagaimana disebutkan, tetapi pikiran harus dikawal dan tunduk pada hati nurani, agar pikiran dapat berjalan dalam bimbingan moral dalam mencari cara atau jalan terbaik untuk mewujudkan impian kita. Pikiran yang dituntun hari nurani akan membuahkan sikap yang baik dalam mewujudkan impian yang mulia dan mengakhirinya dengan cara yang baik pula. Tetapi pikiran tanpa bimbinngan hati nurani sekalipun cerdas, banyak orang yang mengakhirinya dengan cara yang tidak baik. Kita boleh mengawali dari tempat yang sama, tetapi yang membedakan seorang juara adalah dari sikapnya memilih cara dan mengakhirinya.

Jika kita menjadikan hati nurani sebagai panglima dalam mengambil keputusan untuk bersikap, maka kita adalah seperti apa yang kita rasakan. Mengapa? Karena hati lebih peka untuk merasakan baik tidaknya, atau benar salahnya sesuatu. Hati atau jantung lebih tua umurnya dibandingkan pikiran, dan jantung yang memompa darah agar otak bisa bekerja untuk berpikir. Sejak kita berada dalam kandungan Allah berdialog dengan ruh atau hakekat kedirian kita yang sesungguhnya (lihat QS. 7:172). Sedangkan otak sebagai sarana berpikir mengalami masa pertumbuhan setelah lahir (diadaptasi dari Dr Robert).

Oleh karena itulah Muhammad SAW menyuruh kita untuk miminta fatwa kepada hati kita ketika kita ingin memutuskan sesuatu, karena hati adalah pusat spiritualitas atau God-Spot, “Mintalah fatwa kepada hatimu.” Allah berkomunikasi kepada kita melalui hati, dan hati dapat kita rasakan. Oleh karena itu dapat kita formulasi seperti berikut:

Semua berawal dari perasaan (alam perasaan/bawah sadar).
Bila Anda menabur perasaan, maka Anda akan menuai pikiran.
Bila Anda menabur pikiran, maka Anda akan menuai sikap.
Bila Anda menabur sikap, maka Anda akan menuai perbuatan.
Bila Anda menabur perbuatan, maka Anda akan menuai karakter.
Bila Anda menabur karakter, maka Anda akan menuai nasib.

Untuk sekadar memberi contoh, ketika kita haus, haus itu adalah rasa. Kemudian rasa itu direspon oleh pikiran. Pikiran bekerja bagaimana caranya untuk mendapatkan air agar rasa haus atau dahaga bisa hilang. Setelah pikiran menemukan caranya, maka kemudian diikuti oleh tindakan. Artinya pikiran diperintahkan oleh perasaan. Sedangkan hati sebenarnya bersifat fitrah, bila hati yang terkontaminasi maka dia akan memerintahkan pikiran untuk mencari jalan pintas di luar bimbingan moral. Demikian sebaliknya.

Hal ini dapat kita rujuk pemikiran Einstein--imajinasi juga adalah bahasa alam bawah sadar. “Imajinasi lebih penting dari pengetahuan”. Dan, “Urusan yang berhubungan dengan sarana logis sama sekali hampa Realitas”. Kemudian Einstein membubuhkan logika pada apa yang ke luar dari kran bawah sadarnya.

Sementara hasil penelitian atas otak menunjukan bahwa di dalam otak, neokorteks berhubungan dengan pengambilan keputusan berdasarkan pikiran, perencanaan dan pengambilan jalan keluar. Di bagian bawah neokorteks adalah otak bagian tengah, yang dapat membaca, menulis atau berpikir. Akan tetapi bagian ini merasakan emosi dan sering kali disebut otak “perasaan”. Apakah kita adalah orang yang mengatakan, “Saya bangga pada diri saya sendiri dalam membuat keputusan yang masuk akal.” Berikut kabar buruknya. Pada tahun 1996, ahli bedah saraf dari Iowa, Antonio Damasio menunjukan dalam salah satu penemuan paling penting dekade sebelumnya, bahwa bagian neokorteks tidak membuat keputusan sebelum “keluar” dari otak bagian tengah. Dengan pengertian lain, emosi adalah pusat untuk memperoses pikiran rasional. Jadi, perasaan kita adalah pusat bagi kebanyakan keputusan yang kita ambil. Hal yang mengubah diri kita adalah perasaan, bukan logika.

Demikian halnya juga, sebagaimana dikemukakan DR Ebrahim Karim, bahwa para ilmuan sudah menemukan “God-Spot” atau pusat spiritualitas di bagian temporal lobe otak manusia, sirkuit saraf ini, jika diaktifkan dapat berfungsi seperti antena yang membuat kita bisa “tersambung” dengan kekuatan ilahi.

Jadi, mindset yang benar adalah ketika kita memperoleh nilai 4 pada suatu mata pelajaran, misalnya, maka kita akan mengucapkan terimakasih atas nilai yang kita terima. Karena dengan nilai 4 ini adalah titik tolak bagi kita untuk memulai belajar lebih baik lagi ke depan, sehingga tidak terjadi hal yang sama untuk hasil pelajaran berikutnya. Lain halnya bila kita ber-mindset salah. Kita akan menyalahkan sesuatu yang ada di luar diri kita, seperti menyalahkan guru, sekolah, teman, orangtua bahkan keadaan dan sebagainya. Bisa juga menyalahkan diri sendiri, seperti, saya tidak berbakat dalam mata pelajaran ini, mungkin saya terlalu bodoh untuk sekolah dan lain sebagainya.

5. Tidak memiliki perencanaan yang spesifik
Orang manajemen mengatakan, bahwa perencanaan menyumbangkan 90 persen dari sebuah keberhasilan, dan 10 persen adalah action-nya. Mayoritas para siswa kita tidak memiliki self-management skill, bahkan sekolah juga tidak membekali mereka akan keterampilan yang satu ini. Bagaimana mungkin kita mengajarkan siswa kita, kita saja sebagai guru juga ketika membuat perencanaan pembelajaran atau RPP (leason plan) hanya sebatas untuk kelengkapan persyaratan administrasi? Ketika mengajar juga tidak dijadikan acuan untuk diikuti karena menganggap sudah diingat di luar kepala. Tidak heran ketika program sertifikasi guru digelar, mereka tidak mempunyai dokumen rencana pembelajaran. Bila guru dan siswanya sama-sama tidak memiliki rencana kerja dan rencana belajar, maka akan jadi seperti apa hasil pendidikannya?

6. Tidak mencintai apa yang dikerjakan dan mengerjakan apa yang tidak Dicintai
Jika kita tidak mencintai apa yang kita pelajari dan apa yang kita kerjakan, serta mempelajari dan mengerjakan apa yang tidak kita cintai, maka kita melalukannya dengan penuh rasa keterpaksaan dan merasa beban. Orang-orang seperti ini biasanya banyak mengeluh, tuntutan, terjebak pada rutinitas, pribadi yang tidak berkembang, menyalahkan nasib dan orang lain, dan banyak alasan untuk mencari pembenaran atas ketidak berhasilannya. Karena bukan dari hati, dan juga tidak sesuai dengan bakat atau potensi diri, atau ketidakmampuan kita untuk melihat dari perspektif lain dan mengaitkan antara visi pribadi (manfaatnya untuk kehidupan kita nanti) dengan visi sekolah.

Bila hal ini dipaksakan kita tidak bisa menjadi pribadi sebagaimana yang kita harapkan, atau hasil yang didapat tidak sesuai dengan pengorbanan yang kita keluarkan. Kita harus belajar dan bekerja dua kali lipat lebih ekstra bila dibandingkan kita belajar atau bekerja dengan apa yang menjadi keinginan kita. Karena bila kita belajar atau bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan atau sukai, maka kita akan mengerjakannya dengan penuh rasa suka cita dan mencurahkan segala daya dan upaya untuk melakukannya.

Kita tidak cukup hanya sekedar berpengetahuan, dan terampil, tetapi tidak pernah benar-benar mencintai apa yang kita kerjakan dengan tulus. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan menjadi sang juara tanpa sepenuhnya kita mencurahkan cinta sepenuhnya terhadap belajar atau bekerj? Karena, cinta memberi nilai tambah yang luar biasa bagi keberhasilan kita.

Cinta hampir sama halnya dengan hobi, yaitu pada saat kita menekuni PEKERJAAN-BELAJAR yang berangkat dari hobi kita, kita berpotensi besar untuk berhasil, karena alasan yang sederhana yaitu ada CINTA yang terlibat di dalamnya. Karena, cinta mampu membuat kita bertahan dalam kondisi sulit, cinta mampu membuat kita untuk terus menerus menjadi romantis terhadap kerja-belajar kita, cinta mampu membuat perasaan rela berkorban, cinta membuat kita mau melakukan lebih baik dari hari ke hari dan cinta mampu membuat kita menembus semua halangan, keterbatasan dan persepsi gagal dan merubahnya menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan. Cinta dapat membimbing kita pada kerinduan untuk terus belajar, bertumbuh dan merenungkan bidang kita siang dan malam (Raja Daud).

7. Tidak punya mentor yang tepat
Mentor atau guru yang sesungguhnya adalah orang yang membimbing dan memberi arah yang benar ke mana kita harus melangkah. Karena, mereka tahu dan bisa melihat potensi ke depan kita seperti apa. Dan, mereka adalah orang yang berpengalaman dan banyak belajar dari kehidupan mereka. Saya mempunyai guru yang bisa membaca potensi ke depan saya. Saya sebenarnya suka membaca dan menulis, tapi saya belum pernah menulis buku. Suatu ketika saya bertemu dengan ketiga guru saya dalam bidang menulis pada acara pelatihan. Ketika saya mengutarakan ide saya dan mecoba untuk praktik menulis cepat, kemudian ide dan tulisan tersebut mereka komentari dengan memberikan saran-saran konstruktif. Saya merasakan saran ketiga guru saya ini benar-benar pas di hati saya dan memberi saya pencerahan yang luar biasa dalam menulis. Sehingga, keinginan menulis saya sampai tidak bisa terhentikan (unstoppable) siang (libur/minggu) dan malam. Inilah hasilnya, buku pertama yang saya tulis dalam waktu dua minggu, yang saya kerjakan malam hari, karena siangnya saya bekerja seperti biasa. Capek dan ngantuk seakan tidak ada. Kemudian dua minggunya saya gunakan untuk memperbaiki tulisan dan memperkaya dengan referensi-referensi lain yang mendukung.

Seandainya saja saya tidak bertemu dengan mentor atau guru yang tepat, maka potensi menulis saya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Saya sangat bersyukur kepada Allah yang telah menunjukan dan mempertemukan saya kepada guru yang tepat dalam menulis, dan saya sangat berterimakasih kepada meraka bertiga, yaitu Andrias Harefa, Edy Zaqeus, dan Her Suryanto.

Bila potensi atau talenta kita berada di tangan atau dibimbing oleh guru yang tepat, maka pengembangan pribadi dan potensi kita akan tumbuh dan berkembang melesat. Seorang guru yang benar, menurut Einstein, ketika sang guru tidak dapat menjelaskan sesuatu pada anak 6 tahun, sesungguhnya guru itu sendiri tidak mengerti. Tidak ada siswa yang bodoh, kata Wiwoho, yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajar.

Oleh karena itu, jika kita ingin pintar bergurulah kepada orang yang pintar, bila kita ingin sukses bergurulah kepada orang sukses, bila kita ingin kaya bergurulah pada orang kaya, dan bila kita ingin juara bergurulah kepada sang juara. Guru saya, Pak Aziz Zamzami, ketika di Madrasah Aliyah dulu menganalogikannya seperti orang pandai besi. Besi itu, katanya, berwarna hitam atau kecoklat-coklatan. Bila lama-lama dibakar dalam api, maka besi tadi akan sama merahnya seperti api. Artinya, bila kita berguru atau berteman dengan orang cerdas, meskipun kita tidak secerdas mereka, paling tidak kita mendekati atau sudah berguru atau berteman pada orang yang tepat. Dan, Tung Desem Waringin menyarankan 80 persen dari waktu kita harus digunakan seperti orang-orang tersebut, dan 20 persen pada yang lainnya bila ingin berhasil.

Sebaik apa pun potensi yang kita miliki tanpa guru yang tepat, kita akan menguras energi untuk mencapai keberhasilan, bahkan bisa jadi potensi luar biasa yang kita miliki sirna ditelan sikap dan kebiasaan negatif kita maupun lingkungan kita. Karena kebanyakan orang tidak suka melihat orang lain berhasil.[al]

* Alpyanto adalah seorang pendidik di Tunas Global School, Bekasi, Jawa Barat. Ia adalah alumnus SPP dan saat ini sedang merampungkan sebuah naskah buku tentang program sekolah unggulan. Alpyanto dapat dihubungi di email: alpiyanto@yahoo.co.id.

KENAPA KITA TIDAK BISA MEREALISASIKAN IMPIAN KITA?

Oleh: Rudy Lim


Pada saat ini, banyak dari kita berdiam diri membiarkan apa yang kita cita-citakan tetap menjadi impian saja tampa benar-benar berusaha untuk mewujudkannya. Lantas apa yang menyebabkan kita tidak bisa merealisasikan impian kita? Bukankah kita sudah menginginkannya sejak lama bahkan sudah merencanakan berbagai cara maupun strategi untuk mencapainya dan sudah bekerja keras untuk mengejarnya?

Setiap orang pasti mempunyai cita-cita dan impian dalam hidupnya seperti: memiliki rumah dan mobil mewah, menjadi orang terkenal, mengunjungi tempat-tempat eksotik di seluruh dunia, menikmati pola hidup yang luar biasa, bebas waktu, finansial, dan bisa melakukan apa saja yang ingin kita lakukan bersama keluarga serta orang-orang yang paling kita sayangi dalam hidup kita. Tetapi pertanyaannya: “Kenapa banyak dari kita tidak bisa merealisasikan impian kita?”

Pertama: Selalu mengaitkan dengan masa lalu. Di saat kita mempunyai sesuatu yang berarti untuk diwujudkan, sering kali kita tidak bisa lepas dari bayangan masa lalu. Kita mengingat kondisi hidup yang susah, segala keterbatasan, semua kegagalan kita sebelumnya dan menemukan semua alasan kenapa kita tidak bisa berhasil, dst…

Kedua: Kita menpunyai ketakutan dan kecemasan. Sebelum melakukan sesuatu kita sering kali mempunyai ketakutan dan kecemasan yang berlebihan. Bagaimana kalau saya tidak berhasil? Apa yang dikatakan orang tentang saya? Mereka akan menertawakan saya? Saya akan tambah frustasi jika saya sudah berusaha dan ternyata tidak mencapainya, dst…

Ketiga: Membiarkan orang lain mengintimidasi kita. Sering kali kita membiarkan orang lain mengintimidasi kita dengan kata-kata yang menurunkan semangat dan mengacaukan fokus kita bahkan mencuri impian kita. Anda tidak mungkin bisa berhasil, jangan bermimpi, lakukan yang biasa-biasa aja, terlalu besar dan sulit dicapai. Sudah terima nasib saja, dst…

Keempat: Tidak bisa melalukan sampai tuntas. Ini yang paling sering terjadi dalam hidup kita. Memulainya dengan antusias dan semangat yang mengebu-gebu, tetapi ketika menghadapi kendala cepat menyerah, tidak sanggup menderita, dan tidak mau bayar harga sehingga melepaskannya begitu saja.

Kelima : Kita mempunyai sifat malas. Salah satu kebiasaan kita dan penyakit lama yaitu suka menunda-nunda pekerjaan dan rencana tindakan yang sudah ditetapkan. Menganggap masih ada banyak waktu untuk mengerjakannya sehingga sering kali tidak pernah memulai ataupun sudah terlambat ketika kita sadar. Pesan:
Jika kita mau berhasil mewujudkan semua cita-cita dan impian kita, kita harus segera menghancurkan lima penghalang mental (mental block) kita di atas dan mengantikannya dengan 5 kebiasaan baru yang akan menjadi titik tolak perubahan yang mendorong kita untuk segera merealisasikan impian kita. Saat ini juga!

Pertama: Fokus ke masa depan dan impian Anda. Pikirkan apa yang benar-benar Anda inginkan, susun rencana kerja, gali potensi, dan kelebihan Anda, temukan strategi, cara dan segala kemungkinan untuk mewujudkannya.

Kedua: Yakin dan percaya 100% bahwa Anda bisa. Keyakinan adalah modal utama untuk mendapatkan apa pun yang Anda inginkan. Segala sesuatu yang tidak mungkin dalam hidup ini hanya sering kali belum pernah dicoba.

Ketiga: Lakukan saja sesuai dengan keinginan Anda. Ikuti kata hati Anda, tulikan telingga Anda dari orang-orang negatif dan pesimis di sekeliling Anda. Ingat: A great pleasure in life is doing what other people say you can’t do it, so just do it ! Buatlah record dan sejarah baru dalam hidup Anda.

Keempat: Selesaikan apa yang telah Anda mulai. Berani bayar harga dan miliki mental Sang Juara. Ingat: The winner never quit, and quitter never win! Jangan pernah memalingkan mata Anda sedetik pun dari garis finish.

Kelima: Mulailah sekarang, saat ini juga. Lakukan segera apa yang Anda rencanakan, apa saja. Ingat: Action is Power! Sebenarnya orang sukses bukanlah orang yang hebat tetapi mereka adalah orang yang selalu take action dan memulai lebih awal sehingga sering kali satu langkah lebih maju dari kita.

Inilah 5 kebiasaan baru yang bisa membantu kita untuk segera merealisasikan semua impian kita. Semoga bermanfaat, selamat menyongsong tahun baru 2008, semoga tahun 2008 ini menjadi tahun terobosan buat kita semua. Hidup lebih sukses, sehat, kaya dan bahagia![rl]

*Rudy Lim adalah seorang Inspirator Muda, pengusaha, dan penulis buku, saat ini Ia sedang mempersiapkan sebuah buku Inspirasi khusus buat anak muda, dan Ia juga seorang Motivator & Trainer, Founder & Owner YOUNGS Spirit - Seminar & Workshop Training. Rudy dapat dihubungi di nomor handphone: 0812-8500-686 atau websitenya: www.rudylim.com

UJUNG DARI RAJIN

Oleh: Mugi Subagyo

Kalau rajin pangkal pandai, lantas apa ujungnya?
Pertanyaan ini berkecamuk di kepala saat memikirkan kegagalan dari sebuah ambisi yang jauh hari sudah direncanakan. Dan ini sudah keempat kalinya.

Sudah lebih dari empat tahun saya bekerja menjadi staf IT dengan kualitas dedikasi dan kedisiplinan yang tinggi. Tidak pernah sekalipun dalam empat tahun tersebut, saya tidak masuk karena sakit, izin apalagi mangkir. Kalaupun saya mengambil cuti tahunan yang memang menjadi hak karyawan, itu tidak lebih dari dua hari. Tapi tidak ada keuntungan atau benefit yang saya terima. Memang ada insentif yang diberikan untuk seluruh karyawan saat perusahaan profit, dan itu artinya perusahaan tidak membedakan karyawannya, rajin atau tidak. Pokoknya bila profit, karyawan dapat insentif.

Lantas apa untungnya saya rajin? Agar jadi pandai? Sedikit pun saya tidak merasa jadi pandai. Keahlian yang saya miliki sekarang bukanlah kepandaian, hanya sebuah kebiasaan, siapa pun dapat melakukannya jika terbiasa melakukan pekerjaan ini berulang-ulang.

Keinginan untuk sukses membuat saya pantang menyerah untuk terus bekerja dengan sebaik-baiknya. Semua pekerjaan selesai tepat waktu seperti halnya kehadiran, demi ambisi menjadi manajer IT di kantor cabang, tapi selalu berakhir dengan kegagalan.

Saat jatuh gagal, saya bangun lagi, mencoba lagi, berusaha lagi! Seperti kata orang sukses, bahwa “mereka sukses bukan dari berapa banyak mereka jatuh gagal, tapi dari berapa banyak mereka bangun untuk mencoba lagi”. Dan – gagal lagi.

Memaknai nasihat dari orang sukses
Pagi ini saya sarapan di sebuah rumah makan sederhana yang berdekatan dengan tempat tinggal. Saya duduk dekat pintu masuk dan dinding kaca bening dengan sebuah tulisan besar pada bagian atas, yang memberitahu nama rumah makan tersebut. Setelah memesan sop kaki yang menjadi menu favorit, Saya memandang keluar melalui dinding kaca tersebut. Tiba-tiba seekor lalat terbang dengan cepat dan langsung menabrak dinding kaca, kemudian terjatuh. Setelah berjalan berputar beberapa saat, lalat itu terbang kembali untuk kemudian berusaha keluar melalui dinding kaca tersebut, menabrak dan jatuh lagi. Kejadian ini terjadi beberapa kali hingga lalat itu jatuh dan tidak bergerak lagi.

Rupanya kebodohan lalat tersebut adalah kebodohan yang juga saya lakukan. Memang misi dan visi sudah jelas di depan mata, tapi kegagalan seharusnya dapat dimaknai sebagai pembelajaran untuk tidak melakukan hal tersebut berulang-ulang. Artinya, bangun dan berusaha kembali, harus dengan pertimbangan akal dari kesalahan sebelumnya. Sehingga, kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Bukankah bila kita melakukan apa yang biasa kita lakukan, maka kita akan mendapat apa yang biasa kita dapatkan? Dan, lalat itu tentu akan berhasil keluar jika dia bergeser ke kiri 7 cm saja, terbang melalui pintu masuk rumah makan yang selalu terbuka.

Ujung dari Rajin
Memaknai “Rajin Pangkal Pandai” akan tepat bila melihatnya secara garis besar. Dalam artian kata rajin terhadap sesuatu akan membuat pandai terhadap sesuatu pula. Jika rajin bekerja, maka akan pandai dalam melakukan pekerjaan tersebut. Jika rajin menulis, akan pandai menulis. Jika rajin menggambar, akan pandai menggambar. Jika rajin berpikir akan pandai berpikir. Tidak dapat dicampur-aduk, misalkan rajin bekerja akan membuat pandai berpikir, tidak seperti itu.

Rajin dapat membuat potensi seseorang cepat muncul ke permukaan, menjadikan tubuh bersemangat, berpikir rasional dan bertanggung-jawab. Rajin akan menjadikan seseorang mengerti apa yang harus dilakukan dengan tidak menunda pekerjaan. Dan semangat yang besar dalam bekerja justru datang saat kita melakukan pekerjaan, bukan menundanya.

Saat bekerja dipenuhi semangat, ide dan pikiran cemerlang biasanya datang. Segera lakukan ide tersebut. Bila ide tersebut tidak berkenaan langsung dengan apa yang sedang dikerjakan, maka ambil kertas dan pena untuk membuat catatan agar ide tidak menguap begitu saja.

Ide lebih berharga dari ilmu pengetahuan, bahkan kalimat “Yang menguasai informasi adalah menguasai segalanya” pun menjadi tidak berguna tanpa ide. Bukankah surat kabar berisi banyak informasi? Namun, setelah Anda baca seluruh halaman koran tersebut, apakah lantas merasa menguasai segalanya? Atau, setidaknya memiliki manfaat? Tentu tidak!

Lain halnya saat melakukan kegiatan membaca koran tersebut, tiba-tiba muncul ide yang membantu Anda untuk membuat sebuah tulisan misalnya, atau memberi Anda sebuah ide membuka suatu usaha yang memiliki prospek cerah. Kegiatan apa pun yang dilakukan harus terus diperbaharui dengan peningkatan, dan ini bisa datang dari ide yang ditemukan saat melakukan pekerjaan dengan semangat. Semangat yang timbul dari kerajinan.

Jadi dapat dikatakan bahwa ujung dari rajin adalah ide.

Ide dan Sikap Optimis
Dapat dipastikan bahwa seseorang yang memiliki ide akan terpacu motivasinya. Akan tergerak akal dan pikirannya guna melaksanakan apa yang menjadi idenya. Orang yang penuh semangat, benaknya akan dipenuhi pikiran yang positif. Motivasi akan membuat ia melakukan kegiatan yang positif.

Gabungan dari pikiran dan kegiatan/aksi positif (Positive Thinking + Positive Action) akan melahirkan sikap optimis.

Sikap optimis akan menyingkirkan bahkan mungkin tidak memikirkan lima hal penghambat utama keberhasilan seseorang yang dimiliki seorang pesimis, kelima hal tersebut adalah:

1.No Hope (tak punya harapan)
Seorang pesimis akan merasa hidupnya tak memiliki harapan untuk menjadi lebih baik. Dia pasrah menerima nasib, karena merasa.

2.No Choice (tak punya pilihan)
Permasalahan yang dihadapi, dianggap sebagai beban bukan tantangan yang harus dikalahkan, Dia merasa tak punya pilihan untuk sukses. Merasa beban hidupnya sudah sangat berat, sehingga berpikir bahwa itulah yang harus diterima.

3.No Luck (tak beruntung)
Merasa tidak bernasib baik, karena tidak lahir dari orangtua yang kaya atau sukses. Merasa apa yang dikerjakan selalu dan pasti akan gagal.

4.No Useful (tak berguna)
Seorang pesimis selalu dibayangi ketakutan bahwa apa yang akan dikerjakan tidak berguna, tidak akan membawanya menuju keberhasilan. 5.No Action (Tak ada tindakan) Efek dari ke-empat poin di atas adalah hal terburuk ini. Sikap pesimis akan membuat seseorang akhirnya tidak mau melakukan apa-apa.

Dengan ide dan sikap optimis, kelima hal buruk tersebut mampu dibuang jauh-jauh. Meskipun akhirnya jabatan sebagai manajer IT tidak saya dapatkan, namun saya berhasil membangun sendiri perusahaan IT.[ms]

* Mugi Subagyo adalah praktisi SDM di perusahaan multinasional, pengamat Teknologi Informasi, Graphic Designer, senior di dunia percetakan dan pemerhati Bahasa & Sastra Indonesia. Mugi dapat dihubungi melalui email: mugisby@yahoo.co.id.

PANDANGLAH KEHIDUPAN INI FRAME PER FRAME

Oleh: Syahril Syam

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”
~ (QS 3:8)

Anda pasti pernah melihat kamera foto, dan mungkin sudah pernah menggunakannya. Sekarang ini teknologi telah memudahkan kita untuk mendapatkan kamera foto, karena hampir semua HP yang Anda beli saat ini sudah dilengkapi dengan kamera foto. Jadi Anda tidak mesti membeli kamera foto tersendiri dengan harga yang cukup mahal. Kenapa saya memulai tulisan ini dengan membicarakan kamera foto? Tak peduli kamera jenis apa yang Anda pernah gunakan, ketika Anda membidik sebuah gambar, maka hasilnya adalah satu kali klik untuk satu gambar. Anda hanya bisa membidik gambar apa pun untuk satu kali klik per satu frame (bingkai). Anda mustahil mengambil semua gambar dengan hanya satu kali klik saja, karena tak peduli seberapa cepat Anda mengambil gambar, yang terjadi adalah hanya satu klik pengambilan gambar untuk satu frame. Jadi jika Anda membidik sepuluh jenis gambar, maka hasilnya adalah sepuluh frame. Film yang Anda tonton di bioskop pun dihasilkan dari kumpulan gambar yang berada dalam setiap frame, tentunya dengan kecepatan tertentu, maka pergerakan setiap frame akan menghasilkan gambar yang nampak hidup. Bagi Anda yang menggeluti dunia fotografi atau dunia di balik layar film, pasti memahami betul apa yang saya maksud.

Pengambilan gambar frame per frame ini terjadi karena adanya konsep waktu. Seperti yang telah saya kemukakan di atas, mustahil seseorang bisa mengambil gambar yang berbeda-beda dengan hanya satu kali klik saja atau menempatkan banyaknya pengambilan gambar hanya dalam satu frame. Hal ini terjadi, ya, karena adanya konsep waktu. Dunia materi (dunia materi adalah istilah filsafat yang menjadi sebutan untuk dunia yang kita tempati saat ini, jadi bukan dalam pengertian materi yang bersifat materialistik) senantiasa dipengaruhi oleh waktu. Adanya waktu meniscayakan pengambilan gambar hanya untuk satu gambar per satu frame. Adanya urutan waktu meniscayakan adanya urutan frame atau gambar per gambar atau adanya pergerakan hidup. Jika Anda memotret sebuah gunung, maka berapa kali pun Anda membidik gunung tersebut, selalu terjadi pengambilan gambar frame per frame, dan tentunya setiap frame menghasilkan gambar gunung yang berbeda-beda. Kenapa gambarnya berbeda setiap frame? Bukankah gambar gunung yang kita ambil adalah gunung yang sama untuk setiap pengambilan gambar? Jawabannya sederhanya saja, karena konsep waktu juga meniscayakan bahwa setiap urutan waktu meniscayakan perubahan. Anda yang beberapa menit lalu membaca tulisan saya, pasti berbeda dengan Anda saat ini, dan Anda tak bisa melakukan perubahan mundur ke belakang.

Dengan adanya konsep waktu, maka apa yang terjadi tidak akan pernah sama lagi. Konsep waktu meniscayakan gerakan progresif. Konsep waktu meniscayakan perubahan. Dengan konsep waktu, Anda hanya bisa melakukan sesuatu yang baru. Anda diharuskan berubah, suka atau tidak suka. Namun, di dunia materi ini, ada satu hal yang tidak dipengaruhi oleh waktu, yaitu PIKIRAN. Hanya pikiranlah di dunia ini yang tidak dipengaruhi oleh konsep waktu. Tak ada satu pun yang bisa kembali ke masa lalu dan berpindah dengan segera ke masa depan, kecuali hanya pikiran. Pikiranlah yang dapat melanglang buana ke mana saja tanpa dipengaruhi oleh waktu. Jika segalanya senantiasa berubah, maka pikiran dapat membuat dirinya untuk tidak mau berubah. Jika segalanya terjadi frame per frame, maka pikiran dapat melakukan sesuatu hanya dengan satu atau beberapa frame saja.

Contoh untuk penjelasan ini sering terjadi dalam kehidupan kita masing-masing. Apa itu? Anda mungkin sering mengalaminya dalam kehidupan keluarga besar Anda. Waktu Anda masih kecil atau dalam umur tertentu di kehidupan kecil Anda, Anda dilihat oleh keluarga besar Anda sebagai anak yang nakal, bandel, cerewet, dan segala macam label negatif. Anda dilihat dalam frame negatif. Nah, biasanya ketika Anda sudah beranjak dewasa, frame negatif itu masih melekat dalam pikiran keluarga besar Anda. Frame negatif itu hanya bisa berubah ketika Anda melakukan sesuatu yang membuat mereka mengakuinya dan terkagum-kagum. Begitu pula ketika Anda mengenal teman Anda sewaktu masih duduk di SD atau SMP. Frame apa pun yang melekat di pikiran Anda mengenai teman Anda, akan selalu terbawa hingga Anda bertemu dengannya kembali di saat sudah dewasa. Anda terkadang begitu sulit untuk melepaskan frame yang sudah melekat itu.

Memandang segala sesuatunya hanya dalam satu frame ini sering juga disebut dengan over-generalisasi. Jika Anda pernah diputusin oleh pacar pria atau wanita Anda, maka cenderung Anda akan memandang semua pria atau wanita hanya dalam satu frame saja. Anda cenderung memasukkan semua gambar hanya dalam satu bingkai saja, dan biasanya, bingkai tersebut sangat negatif. Inilah konsekuensi logis kalau tidak ada yang namanya konsep waktu, yaitu Anda akan membingkai semua kejadian hanya dalam satu bingkai saja. Padahal konsep waktu meniscayakan perubahan, selalu saja ada yang baru. Konsep waktu meniscayakan konsep ke-baru-an.

Jika pikiran Anda tidak dilatih untuk memahami konsep waktu (memahami perubahan, ke-baru-an), maka dalam kehidupan Anda, mungkin, hanya terdapat beberapa bingkai kehidupan saja. Dan ingat, Anda hidup berdasarkan bingkai kehidupan yang Anda buat sendiri. Memandang seluruh kehidupan hanya dalam beberapa frame saja, membuat Anda terlalu banyak melakukan generalisasi untuk semua rentang kehidupan Anda. Dan ini pasti berefek pada kebahagiaan dan kesuksesan Anda sendiri. Melihat seluruh kehidupan hanya dalam beberapa frame, cenderung membuat Anda hidup dalam kehidupan yang amat sempit. Anda cenderung menilai beragam kehidupan dengan pikiran yang sangat sempit. Anda cenderung tidak seiring-sejalan dengan ritme kehidupan yang setiap saat berubah, setiap saat baru. Alam semesta senantiasa mengalami perubahan, senatiasa hadir sesuatu yang baru. Mengapa demikian? Jawaban sederhananya adalah karena Tuhan itu Mahapencipta. Mahapencipta meniscayakan adanya ciptaan yang setiap saat, selalu ada ciptaan yang baru. Jika tidak ada ciptaan yang baru, maka itu berarti bahwa Tuhan itu tidak Mahapencipta, dan hal ini adalah sesuatu yang sangat mustahil. Itulah sebabnya selalu saja ada yang baru, dan inilah adalah konsekuensi logis dari adanya konsep waktu.

Dengan demikian, jika Anda ingin seiring-sejalan dengan ritme alam semesta, jika Anda ingin meraih kebahagiaan dan kesuksesan hidup, jika Anda ingin bersama Tuhan yang Mahapencipta “menciptakan” sesuatu yang baru, maka pandanglah kehidupan ini frame per frame. Milikilah banyak bingkai di sepanjang umur Anda, karena hidup ini sangat berharga yang menyimpan begitu banyak kejadian dan harmoni. Sangat sayang, jika banyaknya kejadian dalam hidup ini, hanya dibingkai dengan satu atau beberapa bingkai saja. Anda tentu tak ingin menumpukkan foto-foto kenangan Anda hanya dalam satu bingkai saja, bukan? Semoga bermanfaat![ss]

* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, publik speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com

MENAMBAH NILAI BARU SILATURAHMI

Oleh: Gagan Gartika



Konsumen mempunyai kebiasaan suka membanding-bandingkan produk. Baik dari kualitas, harga, model dan kemasannya. Perhatian konsumen terhadap nilai produk, bisa menimbulkan hubungan emosional antara produk dengan konsumennya. Dan ketika konsumen tersebut mencoba produk lain, ia akan merasa ada yang hilang atau ada sesuatu yang kurang dan berbeda. Ia tak merasakan seperti pengalamannya ketika menggunakan produk sebelumnya. Hubungan emosional seperti inilah yang harus kita bangun, agar pelanggan merasakan keunikan dan kelebihan dari suatu produk. Karena itu, dalam berhubungan dengan pelanggan, selayaknya, kita selalu menambah nilai-nilai baru.

Hal itu diperlukan mengingat persaingan pasar saat ini sudah semakin crowded. Perusahaan saling menggempur pasar dengan produk-produk baru dan masing-masing gencar berpromosi. Namun, bagi mereka yang tahu, tentu ia tak hanya asal berpomosi dan mengeluarkan produk, tetapi berusaha untuk memberikan nilai tambah pada produk yang ditawarkan. Semakin bernilai, biasanya konsumen akan loyal untuk terus menggunakan produk.

Contohnya, mal yang memberikan layanan tambahan terhadap pengunjungnya. Ketika pengunjung masuk mal, bagi mereka yang membawa mobil, sering menemui area parkir penuh sesak. Menyadari kendala parkir yang dialami konsumen, pengelola mal ada yang memberikan solusinya berupa pelayanan valet parking. Meskipun konsumen harus membayar lebih, tetapi layanan ini membuat pelanggan puas dan kembali datang lagi. Sebab, mereka tak perlu khawatir lagi dengan kesulitan memarkir kendaraannya. Begitu juga ketika ada larangan merokok di dalam area mal, pengelola mal telah menyediakan ruangan khusus bagi penikmat rokok. Layanan seperti itu menjadi nilai tambah yang perlu terus kita kembangkan. Sebab, persaingan bisnis mal sekarang begitu tinggi. Hampir di setiap daerah berdiri mal. Pengunjung menjadi punya banyak alternatif pilihan berbelanja. Karena itu, hanya mal yang terus memberi nilai tambah terbaiklah, yang mendapatkan serbuan pengunjung.

Mal Kelapa Gading dan Pondok Indah, misalnya. Dua mal ini terus berbenah diri menambah nilai-nilai baru, yaitu nilai yang membuat pelanggan merasa lebih puas ketika mengunjunginya. Semula mal tesebut memiliki ruang terbatas. Karena ingin memberikan nilai baru, mereka terus mengembangkan dan melebarkan areanya. Gedung dibangun dengan artitistik baru yang membuat mal lebih fresh dan nyaman dikunjungi, tak kalah dengan mal baru lainnya. Kedua mal tersebut terus bersolek dan mengundang pemilik produk dengan merek terkenal untuk berjualan di sana. Sehingga, pengunjung berkantong tebal tak segan untuk datang membelanjakan uangnya. Selain itu, mereka juga menyediakan aneka jajanan tradisional serta makanan internasional, yang menjadikan mal ini cocok untuk dijadikan tempat wisata kuliner bagi keluarga.

Inilah kekuatan nilai baru untuk pelanggan yang sangat penting diperhatikan. Karena, nilai baru bisa mempererat silaturahmi produsen dengan konsumen, hasilnya customer akan semakin loyal. Untuk itu, ada beberapa cara untuk menambah nilai baru, di antaranya: menciptakan nilai baru lewat inovasi produk dan menambahkan nilai promosi saat berjualan.

Menciptakan Nilai Baru Melalui Inovasi
Dalam melakukan silaturahmi dengan konsumen, kita harus menyadari, bahwa konsumen tak tinggal diam. Tetapi konsumen terus berhubungan dan mengamati perkembangan sebuah produk yang dicintainya. Karena itu, kita jangan sampai terlena dan membiarkan produk di pasaran ketinggalan dari produk lainnya, sehingga mengecewakan pelanggan. Karena ujian yang terberat dialami perusahaan, adalah ketika produk sudah mulai menurun. Kita dituntut untuk melakukan inovasi baru untuk menambah nilai barang.

Dalam membuat inovasi ini, perusahaan perlu mencari tahu kebutuhan konsumen. Untuk itu, kita perlu benar-benar menyatu dengan jiwa konsumen. Di sinilah, fungsi silaturahmi berperan untuk mengenal hati konsumen. Bila perlu, kita memosisikan diri dari kacamata kosumen. Sehingga kita mampu melakukan perubahan sesuai kebutuhan konsumen. Dengan begitu, konsumen bisa merasakan dari nilai tambah tersebut.

Sebagai contoh, produk kacang kulit keluaran Garuda Food. Perusahaan ini mampu melakukan sebuah inovasi dengan membuat kacang berbagai rasa. Sebelumnya, di pasaran, kacang hanya dijual dengan satu rasa. Tetapi kini muncul kacang dengan rasa bawang dan rasa keju. Inilah yang membuat konsumen tidak merasa jenuh makan kacang. Karena kacang memiliki berbagai alternatif pilihan rasa. Perubahan rasa inilah yang membuat produk mempunyai nilai baru yang dibutuhkan konsumen. Sehingga konsumen langsung memburu barang yang bernilai ini.

Begitulah, adanya inovasi mampu memberikan tambahan nilai baru. Karena itu, inovasi dapat menjadi kekuatan kita bersilaturahmi dengan pelanggan. Harapannya, konsumen akan terkesan ketika melihat tampilan produk yang baru, dan ujung-ujungnya, akan menjadi setia dengan produk tersebut.

Menambahkan Nilai Promosi
Perusahaan sering memberikan tambahan nilai lewat bentuk promosi. Dan, agar tidak monoton, promosi dikemas menjadi lebih menarik. Hadiah, misalnya. Pemberiannya, dilakukan tak secara langsung, tetapi dalam bentuk lain atau lewat progam promosi yang lebih dikemas secara kreatif dan menarik.

Matahari yang memiliki jaringan Hypermarket dan Matahari Departemen Store, misalnya. Mereka mengemas hadiah atau discount lewat beragam bentuk nilai baru promosi, antara lain: Direct Discount, Bonus Buys (belanja dengan bonus belanja gratis), Dazzler (beli dua lebih murah), Lucky Draw (hadiah langsung setelah diundi), Strong Benefit Installment (kredit lebih murah daripada tunai atau bunga 0%), Exciting Rate (program promo dengan hadiah motor), Fun Walk (lomba Fun walk dengan hadiah), Point Redemption (tukar point belanja dengan hadiah tertentu) dan Customer Loyalty Program lewat pengumpulan stamp (perangko) yang ditukar dengan hadiah discount produk, dll.

Produk-produk kreatif promosi seperti di atas banyak sekali dan dikemas sedemikian rupa, yang tujuannya menambah nilai baru promosi untuk memberikan pengalaman bagi pembeli agar tidak bosan saat menerima hadiah atau discount. Hebatnya, promosi hadiah ini biasanya dilakukan saat penjualan langsung di toko, sehingga pembeli langsung merasakan nilai baru tersebut. Dengan begitu, nilai baru yang ditambahkan saat promosi pun bisa menguatkan hubungan silaturahmi produsen dengan konsumen.

Begitulah, dua cara penambahan nilai baru tersebut. Inovasi untuk menambah nilai bisa dilakukan dengan memberi nilai lebih pada rasa, kemasan, harga, desain dan modelnya. Selain itu, lewat promosi, kita bisa merancang nilai kreatif dari berbagai program promosi dalam bentuk hadiah atau discount. Semuanya ini bertujuan agar kita selalu tampil menarik, berwarna, indah, dan memberikan pengalaman emosional yang dalam, menyentuh hati, serta menyenangkan pelanggan. Harapannya, Sehingga konsumen lebih tertarik lagi untuk selalu berhubungan dengan produk dan merek yang kita keluarkan ke pasar.[gg]

* Gagan Gartika, praktisi Silaturahmi Marketing, pemilik beberapa bidang usaha serta Ketua Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bisnis (LPPB) Sinergi, Alumni Sekolah Penulis Pembel

BISNIS ALA ORANG CINA

-Oleh: M. Iqbal Dawami


Ann Wan Seng, pengusaha Cina sekaligus penulis buku-buku bestseller, lahir dari keluarga pedagang. Sejak kecil, ia sudah mengikuti dan membantu orangtuanya berdagang. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya bahwa cara orang Cina berdagang agak berbeda dengan kaum dan bangsa yang lain. Mereka mempunyai pandangan, cara, konsep, dan falsafah dagang tersendiri. Orang Cina jarang berbagi petuah dan rahasia berdagangnya pada orang lain. Petuah dan rahasia dagang inilah sesungguhnya menjadi senjata utama keberhasilan orang Cina dalam perdagangan serta bidang ekonomi lainnya. Melalui bukunya, Rahasia Bisnis Orang Cina (Hikmah: 2007) Ann mencoba memaparkan sebagian rahasia dan petuah dagang orang Cina tersebut. Buku ini diklaim sebagai buku bisnis paling laris di Malaysia pada tahun 2006, dan di Indonesia pada tahun 2007.

Kita menyadari bahwa untuk menjadi pedagang yang berhasil, seseorang perlu memiliki wawasan dan pandangan yang dapat melihat jauh ke depan. Selain itu, dituntut juga komitmen, disiplin, kesabaran, kekuatan, dan pengorbanan yang tidak sedikit. Perdagangan adalah bidang yang dapat dipelajari dan tidak menjadi monopoli kelompok masyarakat tertentu. Itu adalah nilai-nilai universal yang dapat diterapkan oleh siapa saja yang ingin menjadi pegadang. Namun, harus diakui usaha-usaha untuk mematahkan dominasi orang Cina di bidang ekonomi, sampai saat ini masih belum berhasil dilakukan. Hal ini, kata Ann Wan Seng, karena hubungan perdagangan di antara orang Cina begitu erat sehingga tidak dapat dipisahkan.

Menurut Ann, orang Cina adalah bangsa yang fleksibel, mudah berubah, dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang bagaimanapun. Mereka akan dapat hidup dan mencari makan di mana pun mereka berada. Inilah salah satu kepandaian orang Cina. Orang Cina bisa berdagang di mana saja termasuk di kawasan yang paling tidak produktif sekalipun. Hal ini senada dengan ungkapan, bahwa “Orang Cina bisa berdagang di kampung Melayu, tetapi orang Melayu belum tentu bisa berdagang di kawasan orang Cina.”

Kita memang dapat melihat, bahwa orang Cina mudah berkembang di mana saja. Lihat saja di kota-kota yang ada di Indonesia, pengusaha Cina berkembang pesat. Mengapa bisa demikian? Hal itu dikarenakan totalitas. Bahwa orang Cina selalu menginginkan perubahan secara total, maka hijrah adalah sebuah keharusan. “Orang itu harus hijrah bukan saja secara fisik melainkan juga mental, jiwa, dan mendekatkan diri pada-Nya. Keinginan seseorang untuk berubah adalah kunci utama keberhasilan orang Cina,” ujar Ann Wan Seng.

Namun, bukan tanpa kegagalan mereka berdagang. Nasib gagal tidak dijadikan alasan untuk menerima kekalahan dalam perdagangan mereka. Setiap pedagang Cina dapat mengambil hikmah dan belajar dari kegagalannya. Mereka mengevaluasi segala kekurangan, kelemahan, kesalahan, dan kegagalan. Mereka terus belajar dari segala kegagalan itu. Kegagalan pertama tidak dapat melunturkan semangatnya, sebaliknya justru akan membuatnya lebih gigih. Kegagalan yang kedua dijadikannya sebagai pelajaran. Kegagalan yang ketiga menjadikannya lebih bijak. Kegagalan yang seterusnya akan menguji kesabaran dan ketabahannya. Gagal beberapa kali bagi orang Cina tidak berarti akan gagal untuk seterusnya. Ann Wan Seng mengatakan, “Orang Cina percaya dan yakin mereka pasti akan berhasil suatu hari nanti.”

Usaha orang Cina dalam mengalami kegagalan dan menghadapi persaingan adalah dengan terus belajar dan meningkatkan etos kerjanya. Mau tak mau kinerja mereka tingkatkan. Tokoh konglomerat Korea Selatan, Kim Woo Choong, pernah menyatakan, “Jika kita sama rajinnya dengan orang-orang di Barat, kita tidak akan dapat menyaingi mereka. Jika ingin lebih berhasil dari orang lain, kita tidak punya pilihan, kecuali bekerja dengan lebih giat dan rajin.”

Barangkali akan aneh dan “gila” jika dilihat oleh orang Indonesia tentang hal di bawah ini, bahwa orang Cina yang sudah berhasil pun ternyata masih menjaga etos kerja tingginya. Mereka bangun dan mulai bekerja sepagi mungkin dan tidur menjelang tengah malam. Jumlah jam kerja mereka melebihi jumlah jam kerja orang lain. Jika pekerja biasa bekerja 8 hingga 10 jam sehari, mereka bekerja antara 16 sampai 18 jam sehari. Mereka bukannya gila kerja, melainkan pekerja keras. Mereka juga tidak berhenti ketika telah berhasil mencapai tujuan karena perjalanan dalam perdagangan masih panjang. “Satu tujuan terlewati, tujuan yang lain sudah menunggu,” ujar Ann Wan Seng. Orang Cina rela untuk bangun dini hari dan terus bekerja sampai malam hari. Mereka bekerja keras.

Sinonim dari kerja keras adalah tekun. Ketekunan merupakan salah satu faktor keberhasilan orang Cina dalam kegiatan berdagang. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak menjadi sukses jika mereka tekun dan rajin, seperti halnya orang Cina. Ada sebuah pertanyaan menarik, mengapa orang cina identik dengan berdagang? Menurut Ann Wan Seng orang Cina dan perdagangan sudah bersatu padu serta menjadi satu entitas yang tidak dapat dipisahkan. Mereka yang berdagang sama dengan bekerja untuk diri sendiri. Ini lebih baik daripada bekerja dengan dan untuk orang lain. Orang yang bekerja dan mendapat gaji dianggap belum dewasa. Sejak kecil, orang Cina sudah ditanamkan pada pemikiran mereka agar tidak bergantung pada orang lain. Mereka memiliki kemampuan dan potensi. Untuk membuktikannya dengan cara melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan. Berdagang dapat menjadikan seseorang lebih bijak, disiplin, dan tahan banting.

Orang Cina tidak suka mendapat gaji. Golongan yang mendapat gaji tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat. Orang Cina dianjurkan berdagang meskipun hanya kecil-kecilan. Pendapatannya mungkin lebih kecil dibandingkan mereka yang mendapat gaji, tetapi akan dianggap lebih baik dibandingkan bekerja pada orang lain. Berdagang sendiri berarti seseorang dapat menjadi bos dan tuan. Bekerja dengan orang, sampai kapan pun akan dianggap sebagai kuli. Orang yang berdagang dikatakan berani dan hanya orang yang beranilah yang memiliki kesempatan menjadi kaya dan sukses.

Sedikit tip dari Ann Wan Seng tentang rahasia sukses berdagang orang Cina, bahwa pedagang tidak boleh mengharapkan keuntungan pada saat baru memulai perdagangannya. Mereka harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, seperti kerugian dan kegagalan pada tahap awal. Untuk itu, mereka harus mempunyai modal yang kuat dan sumber keuangan yang dapat digunakan selama masa kritis itu. Keuntungan yang diperoleh sebaiknya tidak dibelanjakan. Keuntungan harus digunakan untuk menambah modal kerja dan melakukan investasi. Keuntungan yang bakal diperoleh bergantung pada berapa banyak invetasi yang sudah dilakukan. Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan juga, bahwa jangan sekali-kali menghardik pelanggan karena mereka membayar bukan untuk mendapatkan kata-kata yang tidak enak didengar. Siapkah kita menaladani cara berdagang orang Cina?[mid]

* M. Iqbal Dawami adalah pengusaha telor bebek di Tayu, Pati, dan alumni Pasca-Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

MEMBUAT DIRI BAHAGIA SETIAP SAAT

- Oleh: Sugeng Widodo

Apa mungkin seseorang merasa bahagia setiap saat? Tak peduli apakah ia orang kaya atau miskin, punya jabatan atau tidak, tua atau muda, sehat atau sakit, kapan saja atau di mana saja dalam semua keadaan. Jawaban dari pertanyaan itu bisa mungkin atau tidak mungkin. Anda pilih yang mana, kalau Anda punya jawaban “mungkin” ada baiknya meneruskan membaca artikel ini. Siapa tahu Anda bisa merasa bahagia setiap saat. Caba saja.

Apa sih yang disebut bahagia itu? Setiap orang memiliki jawaban yang berbeda, karena bisa membuat definisi sendiri-sendiri. Sekadar untuk menyamakan persepsi, ada baiknya saya ajak Anda untuk membuka kamus. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, karya Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, ditulis bahwa bahagia merupakan keadaan atau suasana hati yang tentram dan damai, suasana hati yang bebas dari rasa susah.

Dalam pengertian bahagia seperti itu, setiap orang bisa merasakannya sesuai dengan keadaan yang diinginkan. Pemuda yang mendambakan pasangan wanita yang cantik, berkulit putih, memiliki tinggi di atas rata-rata, cerdas, dan setia, tentu akan merasa bahagia apabila pasangan yang memenuhi kriteria itu berhasil dimiliki.

Sama halnya, orang yang mengharapkan memiliki mobil BMW terbaru, ia akan merasa bahagia apabila harapan memiliki mobil BMW terbaru itu menjadi kenyataan. Demikian pula, mereka yang berjuang mewujudkan sasaran bisnisnya terpenuhi tahun ini, akan merasa bahagia apabila sasaran itu berhasil dipenuhi. Dan, masih banyak lagi contoh lain sesuai dengan keinginan dan harapan masing-masing.

Kalau keinginan, harapan, dan sasaran dapat dicapai otomatis saat itu puas, tentram, dan damai. Persoaalannya adalah bagaimana agar tetap merasa bahagia walaupun keinginan, harapan, atau sasaran tidak menjadi kenyataan?

Kebahagiaan terkait dengan perasaan. Kabar baiknya, keadaan perasaan itu bisa dipengaruhi oleh pikiran, fisiologis, dan spiritualitas. Dalam perspektif ilmu pengetahuan, meminjam konsep NLP (Neuro Linguistic Programming), yang diciptakan oleh Richard Bandler dan John Grinder, bahwa untuk mengubah perasaan kita, tak peduli bagaimana keadaan perasaan saat itu, kita dapat mengubahnya dengan mengubah keadaan (state) kita, dengan cara mengubah fokus pikiran atau fisiologis kita. Dalam konteks ini tentu saja, kalau perasaan Anda sedang kecewa, sedih, malas, takut, atau perasaan yang dianggap negatif, Anda bisa mengubah seketika perasaan negatif menjadi perasaan yang positif seperti tentram, damai, dan bebas dari rasa susah.

Contohnya, ketika Anda merasa kecewa karena bisnis Anda tidak berhasil, saat itu juga Anda dapat mengubah perasaan kecewa itu menjadi bahagia. Bagaimana bisa begitu. Cara kerjanya, ketika Anda merasa kecewa, saat itu pula bisa mengubah fokus pikiran Anda dari masalah yang membuat Anda kecewa kepada masalah lain yang dapat membuat perasaan Anda bahagia. Misalnya, Anda mengingat saat-saat ketika mengalami keberhasilan dalam bisnis. Atau, bisa juga Anda mengubah fokus pikiran Anda kepada keadaan ketika Anda merasa bahagia ketika bercinta dengan pasangan Anda. Buatlah setidaknya 10 daftar pengalaman dan ide yang membuat Anda bahagia. Selanjutnya jika Anda mengalami emosi negatif, seketika Anda bisa berbahagia dengan mengingat pengalaman atau ide-ide yang membuat Anda bahagia tadi.

Cara lain yang lebih mudah, dengan mengubah fisiologis Anda. Misalnya, ketika Anda kecewa, ubahlah postur tubuh Anda seperti memandang ke atas, tertawa, jogging, mengatur nafas agar lebih teratur, meditasi, loncat tali, atau melakukan gerakan-gerakan fisik yang berbeda dari saat Anda kecewa. Dengan mengubah fisiologis Anda, perasaan Anda pun akan berubah seketika, dari emosi negatif menjadi positif.

Dalam perspektif spiritual, setiap agama mengajarkan agar kita selalu bersadar kepada kekuasaan Tuhan. Hidup adalah perjuangan untuk mengatasi masalah. Apa pun masalahnya, kita seyogianya memandang masalah itu tidak hanya dalam perspektif keilmuan saja, apalagi hanya perspektif bisnis yang ujung-ujungnya tidak lain adalah masalah materi. Kita perlu memiliki pandangan lain yang bertumpu pada iman atau perspektif spiritual.

Jika kita melandasi cara berpikir, berperasaan, berkehendak, bersikap, dan bertindak termasuk dalam berbisnis dengan landasan nilai-nilai keimanan (spiritual) maka kita akan selalu bahagia dalam menghadapi situasi apa pun dan di mana pun. Mengapa? Karena perasaan itu dalam hati, hati hanya akan terpenuhi kebutuhanya dengan nilai-nilai yang non materi atau spiritual. Itu sebabnya, masalah keimanan kepada Tuhan janganlah diabaikan.

Dalam Alquran, Allah SWT menyatakan secara tegas bahwa “Orang-orang yang beriman hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Dan, hanya dengan mengingat Allah, maka hati akan menjadi tentram.” Keimanan kepada Allah di dalamnya mengandung prinsip bahwa “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung,” (QS. Ali Imron: 173) dan “Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS. Al Anfal: 40).

Jika prinsip bersumber dari iman itu kita pegang teguh, maka tak ada kekuatan apa pun yang mampu membuat kita kecewa, sedih, takut, apa pun perasaan negatif itu. Sebaliknya, kita akan selalu dapat menikmati setiap keadaan dengan perasaan yang tentram dan damai, serta jauh dari rasa susah. Bukan hanya setiap saat, tetapi juga sepanjang waktu hidup kita.

Perlu diingat bahwa perasaan-perasaan yang negatif itu bisa menjadi beban. Kalau Anda ingin lari cepat, ke mana pun akan menuju. Sebaiknya beban itu dilepaskan dan ditinggalkan. Jika Anda tanpa beban, Anda akan mampu berlari lebih cepat menuju impian Anda. Hidup hanya sekali di dunia ini mengapa kita mesti dikendalikan oleh perasaan kecewa, sedih, dan perasan lain yang bersifat negatif. Tuhan telah memberikan semua modal dan bekal bagi kita agar dapat menikmati hidup ini. Singkatnya, Anda bisa merasa bahagia setiap saat, kenapa tidak mencoba.

Tidak usah menunggu, nanti kalau sudah sukses, baru merasa bahagia. Mari menikmati momen demi momen hidup yang kita jalani ini dengan perasaan bahagia, kapan saja, di mana saja, dan dalam keadaan apa saja, sepanjang masa hidup kita.

Untuk itu, kita bisa menggunakan tiga pendekatan, yaitu mengubah fokus pikiran, mengubah keadaan fisiologis, serta senantiasa mengingat Allah.[sw]

* Sugeng Widodo, S.Sos, MM, AAIJ, LUTCF adalah alumnus Fisip Universitas Indonesia tahun 1999 dan program magister manajemen STIE Dharma Bumiputera tahun 2000. Saat ini ia menjabat Kepala Bagian Pemberdayaan Organisasi, Divisi Askum, AJB Bumiputera 1912. Ia adalah alumnus SPP workshop “Cara Gampang Menerbitkan Buku Sendiri” Angkatan I yang suka menulis artikel di harian “Bisnis Indonesia” dan majalah “Proteksi”. Sugeng dapat dihubungi di: sugeng_widodo@bumiputera.com.

JATUH CINTA, BERJUTA RASANYA

Oleh: Saumiman Saud

“Jatuh cinta, berjuta rasanya.” Kalimat ini sangat populer sewaktu saya masih remaja, tatkala lagu ciptaan si cantik Titik Puspa yang dikumandangkan oleh Eddy Silitonga, masuk deretan hits tangga lagu-lagu Indonesia. Saat ini, saya kurang tahu lagu-lagu cinta yang beredar di Indonesia yang popular. Tetapi, saya yakin ada banyak lagu-lagu yang diciptakan dan pasti berbumbu cinta.

Pada umumnya, semua orang sangat terkesan dengan yang namanya cinta. Beberapa film yang sangat terkenal semenjak zaman dahulu hingga saat ini, mulai dari Romeo and Juliet, Endless love, Titanic, dan Sam Pek Eng Tai. Lalu, sederetan film lain Gita Cinta dari SMA, Meteor Garden yang dari F-4, dan Ada Apa dengan Cinta?. Belum lagi ditambah film telenovela baik dari Mexico maupun dari Korea yang penuh air mata, semuanya masuk kategori film box office. Sementara itu, penontonnya dari berbagai kalangan dan usia, orang kaya hingga abang becak, dari yang nggak ngecap sekolah sampai para sarjana.

Mengapa sedahsyat itu? Jawabannya karena cinta itu sangat indah, menarik, dan menakjubkan. Cinta dapat melahirkan tertawa hingga cucuran air mata. Cinta dapat menghasilkan kasih sayang juga dendam.

Tatkala kita berbicara tentang cinta, maka bakal timbul kesan yang berbeda bagi orang yang mendengarnya. Dan, itu tergantung bagaimana pengalaman masing-masing tentang cinta itu sendiri. Ada yang menangkapnya dengan wajah cemberut, ada yang tersipu malu, ada yang memerah pipinya, bahkan ada yang tersenyum bahagia. Ada lagi yang pura-pura tidak tahu, malu tetapi mau, dan ada yang marah. Yang terakhir ini, bagi mereka yang marah, mungkin pernah kecewa karena cinta. Cinta memang bisa membuat orang makan es krim segelas berdua. Tetapi, cinta juga bisa membuat orang meneguk Baygon berdua.

Jarak antara cinta dan benci itu bertetangga. Sedikit saja orang yang bercinta itu melanggar komitmen, maka cinta akan berubah menjadi benci. Mungkin pertama seperti judul lagu pop lima belasan tahun yang lalu, “Benci Tapi Rindu” yang dinyanyikan oleh Diana Nasution. Lalu, kalau tidak bertahan lagi akan berubah menjadi “Selamat Jalan Sayang” yang dinyanyikan oleh Nur Afni Oktavia. Dan akhirnya, muncul kalimat di dalam nyanyian lagu itu yang berkata, “Terlambat sudah kau datang padaku.” Cinta dapat menghasilkan kalimat tiada maaf bagimu!

Cinta itu membuat orang geregetan, serba salah, salah tingkah, gengsi, dan hidup necis. Sebaliknya, yang putus cinta dapat berbalik 180 derajat menjadi loyo, malas merawat tubuh, dan frustrasi. Seorang penyanyi yang bernama Gombloh pernah bilang cinta itu membuat “tahi kucing terasa cokelat”. Tetapi, saya kurang yakin tentunya. Kalau Anda hendak mencoba mencicipinya, saya tidak melarang.

Sekarang kita bertanya, sebenarnya apa itu cinta?
Anda masih ingat pantun seperti ini, Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati. Jadi, cinta itu dikatakan dari pandangan mata turun ke hati seseorang. Tetapi, mungkin Anda ingin protes. Sebab, ternyata orang buta pun bisa bercinta. Nah, yang ini bagaimana? Apakah pantun tersebut salah atau bagaimana?

Mari, kita bertanya kembali arti cinta itu. Cinta itu merupakan suatu ungkapan perasaan sayang yang paling dalam dan tidak dapat diwujudkan oleh suatu barang atau apa pun. Cinta itu menyangkut perasaan kita terhadap seseorang atau suatu benda. Namun, biasanya cinta itu identik dengan rasa sayang antarlawan jenis, misalnya cowok kepada cewek atau sebaliknya. Namun, di zaman gila-gilan ini, ternyata mereka yang cowok dengan cowok atau sebaliknya pun dapat bercinta. Itu sebabnya ada seorang ibu pernah mengatakan, bersyukurlah kalau anak Anda mengerti berpacaran. Jadi, dia tahu cara pilih pasangan lawan jenisnya.

Cinta berawal dari suka yang kemudian terus berkembang dan terbentuk tanpa terasa, bahkan menjadi sangat terikat antara satu dengan lainnya dengan wujud sayang. Sehingga, mereka yang sudah terpikat tidak mudah menghapuskan rasa cinta dari dalam hatinya. Apabila orang tersebut tidak siap, maka putus cinta dapat berakibat malapetaka. Misalnya, sakit jiwa atau bahkan ada yang bunuh diri. Ada pula yang gara-gara pernah kecewa pada cinta seseorang memutuskan untuk hidup selibat.

Kata cinta itu (love) merupakan suatu kata yang sangat banyak maknanya. Anda akan bingung sendiri ketika mencoba mendefinisikan sesuai dengan kamus cinta yang Anda baca. Misalnya, ada orang yang mengatakan kita mencintai jantung hati kita, akan tetapi kita juga mencintai bakmi atau orange juice. Apakah dengan kata lain kita membandingkan kekasih kita sepadan dengan bakmi atau orange juice? Tidak juga! Itu sebabnya bingung, bukan?

Bagaimana rasanya jatuh cinta?
Pertanyaan ini cukup menarik untuk disimak, bukan? Orang yang jatuh cinta merasa semuanya berbunga-bunga. Kadang senyum- senyum sendiri, lalu mulai nyisir rambut berulang kali. Para gadis yang tubuhnya subur pun berusaha diet hingga mencapai berat yang standar. Ia rela meninggalkan makanan yang enak-enak. Padahal, kemarin sebelum jatuh cinta makanan itu disantapnya, dari mulai cokelat, ayam goreng, dan sebagianya. Namun sekarang, tatkala ia jatuh cinta maka makanannya menjadi vegetarian, minumannya pun berubah menjadi teh pahit atau air putih.

Menarik juga kalau Anda pernah menonton salah satu saja film India. Biasanya, selain menyajikan adegan perkelahian juga ada adegan cinta. Nah, kenapa kalau di film India orang-orang yang bercinta itu selalu berlari-lari dan sembunyi di bawah pohon-pohon, kadang sambil bergandengan tangan menyanyi? Ini merupakan ciri khas orang India. Beda kalau orang Barat yang bercinta, mainannya di kamar. Hal ini lebih repot lagi dan sering melewati “batas teritorial”.

Seorang penulis pernah mengatakan bahwa jatuh cinta itu dapat membuat orang jadi bodoh. Kenapa bisa jadi bodoh? Saya coba mengerti apa maksudnya. Pikir punya pikir, benar juga! Orang yang jatuh cinta bisa jadi seperti orang bodoh. Kadang senyum sendiri, tertawa sendiri, kadang bicara sendiri, kadang lihat cermin lama-lama sambil bolak-balik kayak fashion show. Namun, kadang juga menangis sendiri, menjerit, atau marah-marah. Sungguh aneh, bukan? Syukurlah, ini masih batas yang normal. Namun, ada yang lebih parah; kadang pergi ke tempat yang jauh menyendiri, lalu mencoba lompat ke sungai, mencoba gantung diri. Kalau di pohon cabe rawit sih nggak masalah. Namun kalau yang dipilih pohon kedondong? Bisa repot, bahaya sekali!. Inilah kira-kira rasanya orang yang sedang jatuh cinta.[ss]

* Saumiman Saud adalah seorang pendeta dan penulis buku-buku rohani yang saat ini berdomisili di Lynnwood, Washington USA. Ia dapat dihubungi via email: saumiman@gmail.com.

CINTA TAK PERNAH SALAH

Oleh: Vina Tan

“Love is infalliable, it has no errors, for all the errors are the want of love.
Cinta tidak pernah keliru, tidak pernah salah, karena semua kesalahan yang terjadi adalah karena menginginkan cinta.”
~ William Law

Awalnya, ketika seorang pria benar-benar jatuh cinta kepada seorang wanita, dunia terasa indah. Hidup jadi lebih bersemangat dan penuh arti. Apa saja tentang wanita tersebut pasti akan menarik perhatiannya. Setiap kali bertemu, hati bergetar dan jantung pun berdebar. Kemudian, ketika pria menyatakan cinta dan wanita menerima, mereka pun sepakat untuk pacaran. Masa pacaran adalah masa yang paling indah karena memberikan kesempatan untuk mengenal satu sama lain secara lebih mendalam.

Ketika pasangan akhirnya memutuskan untuk menikah dan mengucapkan janji setia; dalam suka maupun duka, ketika sehat ataupun sakit, di saat senang ataupun susah—kata-kata tersebut pastilah keluar dari lubuk hati yang terdalam. Artinya, pasangan tersebut telah bersepakat untuk memulai hidup baru bersama dengan modal utama adalah cinta yang mereka miliki. Cinta yang dipercaya akan menjadi perekat hati mereka untuk selama-lamanya sampai maut datang memisahkan.

Akan tetapi, yang sering kita jumpai adalah cinta menjadi luntur hanya setelah beberapa tahun menikah. Bahkan, ada yang di saat pernikahan baru berjalan beberapa bulan atau bahkan ada yang dalam hitungan minggu saja. Mengapa ini bisa terjadi?

Kita semua tahu bahwa di saat pacaran, cinta itu selalu ada karena adanya rasa penasaran yang menyebabkan letupan-letupan kecil di dalam hati. Ketika akan bertemu, pria mungkin bertanya-tanya dalam hati, “Apa yang akan saya katakan kepadanya jika dia keluar menyambut kedatangan saya?” Ketika pasangannya marah, pria selalu tertantang untuk memenangkan hatinya kembali. Segalanya terasa indah sampai ketika pasangan memasuki fase yang namanya ‘perkawinan’.

Setelah resmi menikah dan tinggal di bawah satu atap, di sinilah masalah berawal. Tanpa disadari, kita mulai terbelenggu dengan apa yang disebut ‘rutinitas’ dan ditambah lagi dengan kehadiran anak dalam keluarga. Wanita yang bekerja di luar rumah dan juga harus menjalankan perannya sebagai seorang ibu pasti memiliki beban yang lebih berat dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.

Akibatnya, tanpa disadari, ketika anak dan pekerjaan menjadi prioritas utama, wanita hampir tidak mempunyai waktu luang untuk memadu kasih dengan pria yang menjadi pasangan hidupnya. Kasih itu bagaikan tanaman yang membutuhkan pupuk untuk menjadi besar dan subur. Pupuk yang utama dalam agar cinta dan kasih dapat tumbuh subur adalah ‘komunikasi’.

Kurangnya komunikasi membuat bagi pasangan suami istri sulit untuk mengungkapkan perasaaan satu sama lain. Ketika ini terjadi, yang sering ada adalah wanita menjadi lebih sensitif, gampang marah, dan sering menyalahkan pria karena merasa tidak dimengerti dan diperhatikan. Pria yang juga merasakan bahwa dia pun memiliki kebutuhan emosional yang harus dipenuhi, biasanya lebih memilih diam dan menyimpannya di dalam hati daripada harus ribut.

“Apa boleh buat, inilah salah satu konsekuensi berumah tangga yang harus saya pikul,” begitulah biasanya yang ada di pikiran laki-laki.

“Saya tidak mungkin meninggalkan istri saya karena saya tidak mau kehilangan anak-anak.”

Akhirnya, perlahan tapi pasti, hidup bekeluarga terasa monoton dan membosankan. Hubungan suami-istri menjadi hambar dan kering sehingga hidup serasa hanya untuk memenuhi sebuah kewajiban saja.

Hal ini terus berjalan sampai suatu hari, ketika pria tersebut jatuh cinta lagi kepada wanita lain...

“I slept and dreamed that life was beauty, I woke and found that life was duty.— Saya tidur dan bermimpi bahwa hidup itu indah. Saya terjaga dan menemukan bahwa hidup itu adalah kewajiban.”
~ Nono Sarwono, DTM

Apa yang Membuat Pria Jatuh Cinta Lagi kepada Wanita Lain?
Ketika ditanya, apa yang biasanya membuat pria tertarik atau jatuh cinta lagi kepada wanita lain, beginilah kira-kira jawabannya:

“Saya suka senyumannya yang manis.”

“Saya merasa nyambung ketika berbicara dengannya.”

“Ketika bersamanya, saya menemukan kembali sesuatu yang hilang dalam hidup saya selama ini.”

“Akhirnya, saya menemukan wanita yang saya idam-idamkan selama ini.”

“Dia begitu sempurna.”

“Dia sangat pintar.”

“Dia berasal dari keluarga terpandang.”

“Dia cantik luar dalam.”

“Dia sangat perhatian dan mau mengerti kekuranganku.”

“Saya tidak tahu kenapa saya bisa jatuh cinta kepadanya.”

“Dia memiliki daya tarik seksual yang tinggi.”

“Dia membuat hidup saya menjadi berarti.”

Ini cerita tentang seorang pria asing yang berumur 32 tahun dan telah menikah selama 8 tahun. Istrinya memiliki kedudukan yang tinggi di perusahaan tempatnya bekerja dan sangat sibuk. Ketika WIL-nya (wanita idaman lain), seorang gadis berumur 20 tahun bertanya apakah dia masih mencintai istrinya, dia pun menjawab dengan singkat:

“I loved her with ‘d’ (dibaca di-pen).”

Maksudnya adalah, “Saya mencintainya, tapi sekarang tidak lagi (dalam Bahasa Inggris, untuk melukiskan kejadian yang sudah berlalu, banyak kata kerja diberi imbuhan d atau ed).

Pria tersebut sampai ingin mendapatkan pekerjaan di Jakarta agar dapat selalu dekat dengan WIL-nya. Dia ingin sekali menceraikan istrinya dan menikahi wanita idamannya. Walaupun wanita tersebut menikmati hubungannya dengan pria asing yang telah berkeluarga, tetapi dia tidak mau dinikahi karena tidak ingin menghancurkan kehidupan rumah tangga wanita lain. Mereka pun akhirnya berpisah dan hubungan tersebut meninggalkan banyak kenangan yang terindah.

Jadi, belajar dari kata-kata yang diucapkan pria ketika mereka jatuh cinta lagi, kita dapat menduga bahwa ada hal-hal yang dulu membuat dia jatuh cinta kepada istrinya, yang kini telah hilang. Hubungan yang dibiarkan apa adanya akhirnya akan mengikis rasa cinta yang dulunya ada. Dan, ketika cinta itu telah hilang, ia akan dengan mudah digantikan oleh cinta yang lain. Cinta memang tidak pernah keliru ataupun salah. Mungkin, yang salah adalah perasaan yang menginginkan rasa cinta itu.[vin]

* Vina Tan adalah seorang parent coach. Alumnus workshop SPP “Cara Gampang Menulis Buku Bestseller” Angkatan ke-2 ini sedang menyusun sebuah buku tentang keluarga dan parenting. Ia dapat dihubungi di nomor 021-5604207 atau melalui email: vina.coach@yahoo.com

RENUNGAN PARA MANAJER SEBELUM AJAL

Oleh: Suyanto Suyadi

”Pekerjaan belum selesai kok ditinggal pulang... Perusahaan sudah memberikan segalanya, tetapi apa yang kita berikan kepada perusahaan?”

Saat keluar dari toilet (kamar kecil) setelah jam kerja usai pukul 17.45, tiba-tiba mata Edy, salah seorang manajer, tertuju pada tulisan menarik yang tertempel di papan pengumunan dekat dapur. ”Wah itu sih gambarnya manajer. Pasti yang buat juga manajer. Tapi, siapa yang punya pemikiran seperti itu?” tanya Edy pada dirinya sendiri.

Langsung saja Edy kembali keruangan kerjanya. Di situ ia masih melihat ada beberapa rekan manajer lain seperti Hendra dan Narso yang sudah hendak pulang. Di sudut ruangan lain terlihat pula satu manajer yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya. ”Terlihat sangat serius dan semoga saja memang sedang menyelesaikan pekerjaan yang tertunda atau memang harus selesai saat itu juga,” kata Edy.

”Apa kira-kira maksud tulisan itu?” tanya Edy kepada salah satu rekannya. Hendra yang belum membaca tulisan yang ada di dinding itu langsung ingin tahu lebih lanjut.

”Tulisan apa, sih? Heboh banget...?!” tanya Hendra.

”Itu yang ditempel di papan pengumunan dekat dapur,” jawab Edy. ”Tulisannya menarik, ada gambar orang bekerja dengan kertas kerja menumpuk dan satunya lagi siap-siap mau pulang. Di samping itu ada lagi yang lebih menarik...tulisan yang berbunyi; ’Pekerjaan belum selesai kok ditinggal pulang. Perusahaan sudah memberikan segalanya, tetapi apa yang kita berikan kepada perusahaan?’,” tambah Edy.

Kemudian Hendra menjelaskan, ”Memang benar, perusahaan sudah memberikan fasilitas mobil bagi setiap manajer, jaminan kesehatan, dan pinjaman uang. Tetapi, kata-kata ’Pekerjaan belum selesai kok ditinggal pulang. Perusahaan sudah memberikan segalanya tetapi apa yang kita berikan kepada perusahaan?’ seharusnya tidak boleh ada. Terlebih di pasang pada papan pengumumnan yang semua orang membacanya. Yang masang pasti belum pernah mengikuti pendidikan dan pemahaman tentang SATPAM.”

Tiba-tiba Narso ikut bertanya, ”Pendidikan SATPAM model apa bagi kita para manajer?”

”SATPAM maksudnya bukan Satuan Pengamanan. SATPAM itu sebuah akronim, yang intinya adalah faktor penting yang harus selalu menjadi acuan bagi kita semua sebagai manajer,” Hendra menjelaskan.

”Merenung adalah melakukan introspeksi diri tentang sesuatu yang telah dilakukan. Ini penting, terlebih sebelum ajal kita tiba. Berbicara tentang ajal, kita tidak tahu kapan dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa. Waktulah yang menentukan, apakah ajal kita habis hari ini, esok, lusa, atau kapan. Kita tidak tahu,” jelas Hendra.

”Yang pasti, di dalam hidup dan kehidupan ini kita harus selalu merenung untuk terus berbuat lebih baik lagi di masa mendatang. Sebagai manusia, harus saling berhubungan baik dengan manusia lainnya. Selalu menyenangkan orang lain, tidak saling menyerang, atau menjadikan persoalan sendiri menjadi konsumsi semua orang. Saling menghormati, saling membantu, dan tidak saling menyalahkan. Apabila merasa salah langsung minta maaf. Jangan gengsi hanya karena kedudukan,” lanjut Hendra.

”Kita ini,” kata Hendra sambil menatap Edy dan Larso, ”adalah manajer sehingga jangan mudah terpancing atau berpikir negatif, bahkan menanggapi suatu masalah secara emosional. Jangan karena melihat tulisan seperti tadi, atau hanya mendengar dari orang lain tanpa berdasarkan fakta, lalu menjadikannya perdebatan berkepanjangan. Akhirnya, kita malah saling menjatuhkan atau menarik perhatian atasan dengan cara-cara yang tidak sehat.”

”Kalaupun melihat tulisan seperti yang ada di dinding tadi, lebih baik masing-masing dari kita melakukan introspeksi. Bertanya pada diri sendiri, mengapa tulisan itu ada? Apa hikmah yang didapat dari tulisan itu? Adakah cara lain yang lebih terpuji?” jelas Hendra setengah bertanya.

PEKERJAAN BELUM SELESAI KOK … DI TINGGAL PULANG ...
PERUSAHAAN SUDAH MEMBERIKAN SEGALANYA ….
TETAPI, APA YANG KITA BERIKAN KEPADA PERUSAHAAN...?

Masalah pulang atau meneruskan pekerjaan—walapun jam kerja usai—itu adalah urusan masing-masing orang. Bisa saja sampai tengah malam, atau hari libur pun kalau perlu tetap kerja. Itulah salah satu bentuk tanggung jawab sebagai manajer.

Mari kembali kepada akronim SATPAM dan makna pentingnya. SATPAM itu berarti:

S – Sense of belonging and sense of responsibility, yang artinya setiap manajer harus mempunyai rasa ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap maju mundurnya perusahaan. Ini tidak bisa ditawar lagi. Mereka harus memahami fungsi dan keberadaannya sebagai manajer secara utuh. Manajer harus paham dengan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, termasuk mengelola sumber daya yang ada, kontrbusinya, serta memastikan bahwa kinerja yang dihasilkan terus memberikan perubahan ke arah positif.

A – Assure, yang artinya memberikan jaminan, memastikan bahwa setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan benar-benar sudah selesai secara prima. Excellence, bukan selesai ‘asal-asalan’. Ada hasil nyata. Di samping itu, ada mindset atau pola pikir bahwa apa yang telah diselesaikan adalah awal dari kegiatan orang lain. Ini berarti, manajer harus siap melayani orang lain.

T – Target oriented, artinya berorientasi pada target, bukan proses. Manajer harus berani membuat perencanaan yang relalistis, terukur, dan mempunyai komitmen tinggi untuk meraih serta merealisasikannya. Manajer pun sebaiknya tahu bagaimana menjadikan orang-orang di bawahnya mempunyai semangat untuk meraih sesuatu yang telah direncanakan dan dipahami bersama. Kalaupun mendapatkan kegagalan, itu berarti manajerlah yang pertama harus berani mengatakan, ”Saya gagal!” Bukan yang lainnya.

P – Punctuality, yaitu ketepatan waktu pembuatan laporan kepada atasan, berikut akurasinya, serta sistematis, terarah, dan terukur. Manajer selalu bicara dengan data serta berani menepati janji yang telah disampaikan, termasuk kepada bawahannya.

A – Acceptable, yaitu dapat diterima baik sikap, pemikiran, maupun tindakannya. Manajer harus punya spirit untuk menjadi pemain tim (team player), selalu menghargai orang lain, tidak mudah menyalahkan, serta mempunyai rasa empaty. Ibarat sebuah satuan mata rantai, maka manajer tidak boleh meninggalkan salah satu rantai yang paling lemah sekalipun.

M – Maturity level of thinking, yang artinya manajer senantiasa harus berpikir secara dewasa. Dalam berpikir dan bertindak dewasa, seorang manajer selalu memerhatikan untung ruginya. Apa pun tindakan yang dilakukan akan didasari dengan pemikiran yang rasional dan selalu mempertimbangkan dampaknya. Sebab, dalam mengelola bisnis yang paling rumit adalah mengatur dan mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan manusia, bukan yang lainnya.

“Jadi intinya…,” kata Hendra sambil melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 18.15, “tulisan tadi tidak perlu dibahas lebih lanjut. Kita ambil maknanya mengapa tulisan itu ada. Kalau kita ada masalah dengan sesama manajer atau dengan atasan, kita harus membicarakan pada tempat dan waktu yang tepat. Bukankah kalau kita menegur orang atau mengingatkan tentang kekeliruan orang lain, tidak harus diketahui banyak orang? Kalau memberikan pujian atau apresiasi atas keberhasilan, itu baru boleh di tempat umum. Mari kita renungkan bersama.”

Selanjutnya, Hendra mengajak Edy dan Narso pulang serta menyampaikan salam kepada seorang rekan di sudut ruangan yang masih bekerja, “Pulang duluan ya… Sampai besok.”[ss]

* Suyanto Suyadi adalah seorang trainer dan konsultan personal and organization management dari PT Sedya Sandika. Peserta ”Two Days Workshop: Writing for Managers and Executives Batch VIII”, ini sedang menulis sebuah buku tentang renungan bagi para manajer. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: ss_otnay@yahoo

EMPLOYEE ENGAGEMENT: APAKAH SEKADAR SLOGAN? -

Oleh: Sunarso

Hari itu, Kamis, tanggal 21 Februari 2008, sekitar jam lima sore, saya mendengar percakapan dua orang karyawan di sebuah toilet. Karena berada di dalam WC, saat itu saya tidak tahu persis siapa kedua karyawan itu. Namun, dari suara dan isi pembicaraannya, saya bisa menduga mereka adalah karyawan dari unit sebelah yang kebetulan satu lantai dengan kantor saya.

Ceritanya, hari itu listrik padam sejak jam 12 siang. Lampu dan AC semuanya mati karena genset sebagai cadangan supply listrik ternyata juga bermasalah. Setelah empat jam listrik tak kunjung hidup, manajemen pun memulangkan para karyawan. Di antara ratusan karyawan yang tampak berseri-seri karena bisa pulang lebih awal, ternyata ada sebagian yang masih setia di kantor menunggu listrik menyala lagi. Mereka sedang mengejar date line pekerjaan yang sudah dijanjikan kepada nasabah.

”Hai, kenapa belum pulang? Sudah jam lima, lho...” sapa karyawan pertama.

”Iya, nih. Saya harus menyelesaikan pekerjaan sore ini juga karena besok ditunggu nasabah,” jawab karyawan satunya.

”Ah, kayak nggak ada hari lagi. Bilang saja karena listrik mati maka pekerjaannya belum selesai. Beres, kan?” timpal karyawan pertama. ”Ah, tidak. Buat saya, kalau masih memungkinkan kenapa harus ditunda?” ujar karyawan kedua.”Malu rasanya kalau memikirkan apa yang saya berikan kepada perusahaan. Saya merasa apa yang saya berikan kepada perusahaan masih belum sepadan dengan apa yang saya terima. Ketika saya butuh rumah, perusahaan membelikannya. Ketika saya butuh kendaraan, perusahaan memenuhinya. Ketika keluarga sakit, perusahaan mengobatinya. Ketika anak masuk SMA, perusahaan juga meminjami biayanya. Ketika saya perlu training pun, perusahaan membayarinya. Ya, saya benar-benar malu pada diri saya sendiri,” tambah karyawan kedua ini.

”Alah… jangan sok pahlawan, lu!” cemooh karyawan pertama seraya ngeloyor pergi.

Employee Engagement
Percakapan kedua karyawan di toilet itu mengingatkan saya pada apa yang kita sebut employee engagement. Saya percaya, bagi karyawan Permata Bank—tempat saya bekerja saat ini—istilah itu sudah tidak asing lagi. Namun, seberapa banyak dari mereka yang benar-benar memahami maknanya? Jawabannya tentu ada pada diri mereka masing-masing.

Menurut Towers Perrin, seperti saya kutip dari “Q-12 Information Pack” Bank Permata, employee engagement adalah kesediaan dan kemampuan karyawan untuk memberikan kontribusi kepada kesuksesan perusahaan, di mana karyawan mengerahkan upayanya atas kemauan sendiri pada pekerjaan mereka, dalam bentuk usaha ekstra, kemampuan berpikir, dan energi.

Gambaran tentang employee engegement mungkin dapat diambil dari sebuah bank, yang dulu dikenal sebagai bank pribumi yang hebat, namun sekarang dimiliki oleh Khasanah Berhad. Bank tersebut merupakan salah satu perusahaan yang diidolakan oleh para lulusan baru perguruan tinggi terkenal di negeri ini. Reputasinya sebagai perusahaan idola pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia pertengahan tahun lalu, bersamaan dengan Astra Internasional, Citibank, dll.

Konon, setiap karyawan merasa bangga bekerja di bank ini. Karyawannya merasa malu kalau pulang jam lima ’teng’. Di antara karyawan telah tumbuh budaya self control maupun interpersonal control yang kuat. Ketika salah seorang karyawan tercium akan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang, karyawan lain langsung menegurnya. Bahkan, seorang driver--menurut informasi dari salah satu teman yang pernah bekerja di bank ini—dapat menegur pejabat setingkat group head. Ia pernah menolak perintah pejabat ini karena diminta mengantar ke suatu tempat yang tidak sesuai dengan surat jalannya. Sebaliknya, sang pejabat tinggi tersebut juga secara ’legowo’ dapat menerima peringatan tersebut, sekalipun peringatan datang dari hanya seorang driver.

Di bank ini juga tidak ada serikat pekerja. Ketika saya mencoba mengonfirmasi hal ini, teman saya menjelaskan, ”Esensi serikat pekerja adalah memperjuangkan hak-hak pekerja. Kalau tanpa serikat pekerja saja manajemen telah memberikan seluruh hak-hak mereka, bahkan dalam beberapa hal lebih dari sekedar yang dibutuhkan karyawan, lalu apa urgensinya membentuk serikat pekerja?”

Sebagai contoh, dalam hal tunjangan kesehatan, bank ini menanggung seluruh biaya rawat inap karyawannya yang sedang sakit tanpa batasan waktu. Karyawan diobati sampai benar-benar sembuh. Lain lagi bila bicara pinjaman karyawan, katakan saja pinjaman rumah. Seluruh biaya yang terkait dengan proses pinjaman seperti BPHTB, notaris, asuransi, appraisal, dll., semuanya dibayari dulu oleh perusahaan. Biaya-biaya tersebut baru dibebankan kepada karyawan setelah pinjaman cair dengan memotong gaji karyawan secara bertahap sesuai kemampuannya.

Yang tidak kalah menarik, kabarnya perusahaan memberikan subsidi atas biaya-biaya tersebut. Bahkan, ada item-item tertentu seperti biaya appraisal yang ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Kalau karyawan merasa telah ’diorangkan’—telah diperlakukan sangat istimewa—tampaknya akan sulit bagi mereka untuk tidak mencintai perusahaan, bukan?

Apakah perusahaan tempat Anda bekerja telah memperlakukan karyawannya sebagaimana contoh bank di atas? Saya kira jawaban dari masing-masing karyawan akan sangat bermacam-macam. Bagi saya, kalau ditanyakan apakah kita butuh waktu dalam merealisasikan hal ini, saya kira ’Ya’. Namun, sepanjang yang saya ketahui, saat ini manajemen sedang berusaha ke arah sana. Sebagai contoh, manajemen baru saja selesai melakukan survei Q-12 (question twelve) untuk mengetahui tingkat engagement karyawan. Saat ini hasil suvei sedang ditindaklanjuti melalui Impact Planning. Perusahaan juga telah meningkatkan plafond kredit karyawan meskipun tidak berarti karyawan bisa secara otomatis memanfaatkannya. Ketentuan DBR dan perhitungan cicilan secara flat tampaknya menjadi penyebab masalah ini. Perusahaan juga sedang menciptakan tempat kerja dengan apa yang disebut great place to work.

Menurut saya, yang harusnya sama-sama disadari oleh perusahaan maupun karyawan sendiri adalah bahwa menciptakan employee engagement itu tidaklah mudah. Walaupun, bukan pula itu sesuatu yang ’mustahil’ diwujudkan. Upaya realisasi ini merupakan sebuah proses yang tidak akan pernah berakhir. Dibutuhkan kesabaran! Harus ada ’gayung bersambut’ antara karyawan dengan perusahaan. Perusahaan harus ’mengorangkan’ dan memperlakukan karyawan secara istimewa.

Di sisi lain, karyawan harus siap mengubah mindset-nya. Karyawan harus bekerja sesuai aturan yang telah digariskan perusahaan serta mematuhi kode etik yang ditetapkan oleh perusahaan. Karyawan harus memiliki etos kerja yang tinggi (kinerja, keinginan memberikan dukungan, energi, keuletan, antusiasme, komitmen, dll.) dan—ini yang tidak kalah penting—karyawan harus mau dan mampu berubah sesuai tuntutan perkembangan perusahaan.[sun]

* Sunarso adalah seorang auditor di Bank Permata yang juga aktif menulis artikel untuk ”PermataInfo”, media internal perusahaannya. Alumnus workshop SPP ”Writing Skill for Executives & Managers” Angkatan Ke-8 ini sudah menghasilkan sejumlah artikel menarik di bidang yang dia geluti. Sunarso dapat dihubungi melalui email: snarso@permatabank.co.id

QUANTUM ISTIQAMAH -

Oleh: Rusdin S. Rauf

Saya telah beberapa kali mengikuti pelatihan motivasi, baik yang diselenggarakan oleh teman-teman kampus maupun yang saya ikuti melalui lembaga manajemen pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM). Pelatihan-pelatihan tersebut, saya akui, memang dahsyat. Sebagian besar peserta ter-“setrum” oleh ungkapan-ungkapan sang motivator. Tidak itu saja, peserta pun diberikan beberapa permainan yang menggugah semangat juang guna mencapai motivasi tertinggi.

Awalnya, seluruh peserta bersemangat dan menikmati jalannya pelatihan dengan baik, tak terkecuali saya. Bahkan, sepanjang pelatihan, tak satu pun peserta merasakan adanya kekecewaan. Namun, beberapa hari usai pelatihan, semangat saya dan sebagian peserta mulai drop. Adapun yang semangatnya menyala-nyala, hanya segelintir orang saja. Itu pun sudah cukup menggembirakan.

Saya termenung. Diam-diam saya bertanya dalam hati terdalam,”Salahkah saya? Salahkah pelatihan motivasi tersebut?”

Beberapa hari saya merenung menemukan jawaban kegundahan saya itu. Akhirnya, saya sadar, untuk mentransformasi diri saya belum cukup hanya mengikuti pelatihan motivasi. Perubahan diri saya sangat tergantung pada tekad dari dalam diri saya sendiri. Saya sangat yakin dalam diri manusia tersimpan harta karun ajaib, sumber motivasi tertinggi; motivasi yang senantiasa hidup dalam diri.

Saya bertambah yakin saat berkenalan dengan buku Life Excellent, karya Reza M.Syarif Super Trainer. Tulisannya mengingatkan saya supaya tidak terlalu bergantung pada pelatihan motivasi. Berikut penuturannya...

Kalau kita menggantungkan diri kepada external motivasi, saya tidak bisa bayangkan dan saya tidak bisa memvisualisasikan berapa biaya yang harus Anda keluarkan untuk membayar seorang motivator 24 jam penuh untuk memberikan motivasi bagi Anda. Karena setiap orang akan mengalami sesuatu, apa yang disebut dengan istilah fluktuasi emosi. Hari ini mungkin Anda bisa bersemangat, tapi besok mungkin Anda tidak bersemangat...(Life Excellent: Menuju Hidup Lebih baik, hal.254) Saya sadar, tugas motivator hanya memberikan “sinyal-sinyal” kebaikan kepada peserta, selebihnya, kembali pada diri peserta. Terserah apakah peserta tersebut mau berubah atau tidak? Dengan kata lain, hidayah bukanlah hak dari motivator, tetapi hak Tuhan. Sang motivator hanya memfasilitasi diri saya untuk menemukan hidayah Tuhan.

Fenomena berikutnya, ternyata bukan hanya pelatihan-pelatihan motivasi yang memberikan semangat ”semu”, sebagian buku motivasi pun tak jauh berbeda, hanya memberikan pesan-pesan bijak kepada saya. Saya dimotivasi melalui kekuatan kata-kata bijak, tanpa ada penjelasan mengenai satu hal penting, yaitu sumber motivasi dalam diri saya yang bersifat hakiki. Karena memang buku pun hanya sebagai salah satu ”alat” motivasi eksternal.

Senada dengan itu, Darmadi Darmawangsa dan Imam Munadhi dalam bukunya Fight Like A Tiger Win Like A Champion menyadarkan saya. Keduanya menegaskan, ia dan teman-temannya yang bergerak dalam bidang personal development (pengembangan diri) tidaklah bisa memotivasi peserta. Apa yang ia lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin memberikan inspirasi kepada peserta, baik dari segi presentasi, maupun suasana pelatihan yang telah dikemas sedemikian rupa. Hakikatnya, motivasi pada diri setiap orang datangnya dari internal diri mereka masing-masing.

Dalam kegelisahan itu, saya sangat berterima kasih kepada Danah Zohar dan Ian Marshall yang kembali menyadarkan saya. Saya diberikan sebuah pemahaman yang dalam mengenai kekuatan dalam diri saya. ”Manusia punya bentangan potensi yang amat luas, dari yang paling buruk yang bisa kita bayangkan hingga sublimitasi tertinggi. Terlampau sering kebanyakan dari kita bersikap sembrono sehingga berkutat di level yang lebih rendah daripada titik pertengahan dalam skala ini. Kita membiarkan diri kita dikendalikan oleh motivasi-motivasi rendah [motivasi eksternal]...” (Spiritual Capital, Danah Zohar dan Ian Marshall, hal. 17)

Lalu, saya kembali merenung: Siapakah yang patut dipersalahkan ketika mengikuti pelatihan/membaca buku motivasi akan tetapi saya tak jua berubah?

Saya pikir, tak ada yang patut dipersalahkan. Justru, saya harus menyadari akan kekurangan-kekurangan saya ketika mengikuti pelatihan. Jangan-jangan, saya tidak bersinergi dengan sang motivator. Jangan-jangan kata-kata sang motivator tidak saya resapi baik-baik. Mungkin itulah yang menyebabkan saya tidak terkoneksi antara kemauan sang motivator dan diri saya sendiri. Atau jangan-jangan, saya tidak mau menyadari bahwa diri saya punya kekuatan dahsyat yang harus segera saya nyalakan.

Perasaan, pikiran, dan tindakan. Inilah kekuatan yang mesti saya maksimalkan. Sebenarnya, dalam pelatihan dan buku motivasi sudah banyak diungkapkan. Hanya saja, saya lupa mengolaborasikan ketiga komponen tersebut. Saya lupa, apabila ketiganya dijadikan satu, disinergikan, dan diselaraskan, maka saya akan menjadi tenang, sukses, dan bahagia. Saya tidak butuh berkali-kali mengikuti pelatihan motivasi. Cukup satu dua kali saja. Lalu, saya daya gunakan semaksimal mungkin ketiganya.

Lagi-lagi, sayangnya, saya sering kali menemukan ketiga komponen itu tidak sejalan dalam diri saya. Terkadang dalam hati saya mengatakan ”A”, eh, pikiran saya mengatakan ”B”. Atau terkadang perasaan dan pikiran saya mengatakan ”A”, malah tindakan saya jauh dari perasaan dan pikiran saya. Dengan kata lain, saya belum mampu mensinergikan ketiganya dalam satu kotak. Oleh karenanya saya membutuhkan istiqamah. Alias saya membutuhkan cara untuk memadukan ketiganya.

Apabila saya berhasil mensinergikan ketiganya, saya yakin hidup saya menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hidup saya akan melejit. Karena pikiran dan perasaan adalah sebuah energi yang tak terlihat namun dapat Anda rasakan. Inilah yang disebut-sebut sebagai kekuatan kuantum. Sayangnya, belum banyak dimanfaatkan secara benar dan tepat oleh kebanyakan orang.

Akhirnya, saya mulai ngeh. Ya, saya harus menggunakan energi kuantum itu untuk mendorong tindakan-tindakan saya. Saya pasti secepat kilat melejit, mencapai keinginan-keinginan saya. Analoginya, tindakan-tindakan saya digerakkan oleh energi yang sangat dahsyat. Dan, mau tak mau, semua perilaku saya, karakter saya, dan akhlak saya akan digerakkan oleh energi kuantum yang berasal dari perasaan saya dan pikiran saya. Saya menyebutnya Quantum Istiqamah. Bagaimana dengan Anda?[rsr]

* Rusdin S. Rauf adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, statistican, penulis buku pengembangan diri islami yang dipadukan dengan psikologi modern, dan motivator muda. Pemuda asal Gorontalo ini dapat dihubungi melalui email: rusdin_pecintabuku@yahoo.com atau kunjungi blog-nya di: Web: http://rusdin.wordpress.com

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman