Selasa, 11 November 2008

Belajarlah ke dan dari Cina

Oleh Marzuki Usman (Sinar Harapan)


Rasulullah Muhammad S.A.W, lebih dari 14 (empat belas) abad yang lalu telah bersabda, ”Tututlah Ilmu Walaupun ke Negeri Cina”. Kemudian Napoleon Bonaparte lebih dari dua abad yang lalu pernah berkata, ”Biarkan Cina tidur dan jangan sampai dia bangun, karena jika ia terbangun dunia akan geger dibuatnya!”

Ternyata Cina, baca RRC, telah bangun sejak awal tahun 1980-an dan hanya dalam waktu dua dasawarsa telah tumbuh bak meteor dan telah mengoncangkan dunia. Betapa tidak, fakta-fakta berikut ini mendemonstrasikan bahwa RRC telah beralih dari negara miskin yang tertutup diawal tahun 1980-an, sekarang telah menjadi negara kaya yang terbuka.

Dua puluh tahun yang lalu cadangan devisanya masih minus, sekarang di tahun 2004 sudah memiliki cadangan devisa sekitar US$ 500 miliar, yakni nomor dua terbesar setelah Jepang yang cadangan devisanya sekitar US$ 900 miliar.

Dulu di tahun 1980-an, jumlah Penanaman Modal Asing (PMA)-nya sama sekali tidak ada, sekarang setiap tahun terealisasikan Penanaman Modal Asing (PMA) di Cina sebanyak US$ 60 miliar, yakni nomor dua setelah Penanaman Modal Asing (PMA)-nya Amerika Serikat yang jumlahnya sebesar US$ 215 miliar pertahun.

Kenapa RRC begitu drastis bisa berubah? Apa yang menjadi kuncinya? Apakah memang orang-orang RRC itu merupakan mahluk/manusia yang berbeda dari manusia lain di dunia? Sebenarnya tidak ada yang aneh.

Pada prinsipnya di dalam ilmu ekonomi, manusia itu dianggap sama sifatnya. Kalau bisa makan perei, ya mari dinikmati. Jika mencuri atau menggerogoti harta/kekayaan negara tidak dihukum, ya mari rame-rame kita gerogoti saja.

Jika rakyat diberikan milik awal (initial endowment) seperti tanah dan penguasaan terhadap bahan-bahan tambang yang ada di bawah tanah itu, setiap rakyat akan berpotensi untuk menjadi kaya. Rakyat juga masih bisa menjadi kaya walaupun milik awal adalah nol, akan tetapi jika memiliki keterampilan yang misalnya diperoleh dari Balai Latihan Kerja (BLK), ia juga bisa tetap menjadi kaya.

Lihatlah contoh Inul Daratista dengan tarian ngebor-nya. Inul menjadi kaya karena keterampilannya menari yang ditekuninya semenjak masa anak-anak. Terakhir, rakyat pun masih bisa menjadi kaya walaupun tidak memiliki tanah dan atau keterampilan, akan tetapi ia memiliki kepandaian (professional).

Tulisan singkat ini mengajak pembaca untuk belajar dari pengalaman RRC atau belajar ke RRC bagaimana mereka beralih secara dratis dari sistem ekonomi yang direncanakan dan dikontrol oleh Pemimpin Pusat (Central Committee - CC) Partai Komunis Cina ke sistem ekonomi yang bersahabat kepada pasar (market friendly).

Tidak Percaya
Saya tidak percaya bahwa orang Cina itu mahkluk spesial atau mahkluk istimewa. Selama fa’al fisiknya sama dengan rakyat Indonesia, berarti selama itu pula kitapun bisa menyaingi Cina (RRC). Uraian tentang ”Belajar ke dan dari Cina”. kita fokuskan dulu kepada sumber daya alam (tanah). Pada kesempatan berikutnya akan kita bahas pula faktor sumber daya manusianya (SDM).

Sejarah dunia memperlihatkan bahwa negara di mana rakyatnya diberikan modal awal berupa tanah, karena itu rakyatnya lalu doyan bekerja keras. Hasil akhirnya pendapatan rakyat meningkat dan pada gilirannya meningkatkan penerimaan Pemerintah Pusat (pajak penghasilan, pajak pertamabahan nilai, dan sebagainya) dan juga Pemerintah Daerah berupa penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan sebagainya.

Amerika Serikat pada awalnya meneriakkan slogan, ”Go west, you may become rich”. Realisasinya rakyat Amerika Serikat banyak yang eksodus ke Amerika bagian Barat, dan mengambil tanah negara secara bebas bea dan langsung bersertifikat.

Menurut Hernando De Soto, berarti telah terjadi pengkayaan nilai tanah (asset recapitalization) yang dimiliki oleh rakyat. Hal yang sama telah dipraktikkan oleh Cina, Taiwan di tahun 1949 di bawah pimpinan Jenderal Chiang Kai Sek.

Juga oleh Korea Selatan di awal tahun 1960-an oleh Presiden Park Chung He. Jepang juga melaksanakan hal yang sama di zamannya Restorasi Meji. Malaysia pun memberikan tanah kepada rakyat di zamannya Tun Abdurazak dengan proyek Pelda (pemberian lahan dan bantuan untuk membangun kebun sawit rakyat).

RRC juga mempraktikkan hal yang sama, yaitu tanah-tanah yang dikuasai negara oleh rezimnya Mao Tse Dung, oleh Deng Xiou Ping dikembalikan lagi kepada petani. Slogan nasional yang semula oleh Chairman Mao, berbunyi ”From each according to his ability to each according to his need”.

Artinya setiap orang bekerja keras dan hanya mendapat jatah untuk kebutuhan hidup sederhana saja. Tidak heran, di RRC di periode 1960-an dan 1970-an, banyak pengangguran dan banyak kelaparan dan miskin. Tidak ada insentif bagi pelaku ekonomi (economic agent) untuk bekerja lebih keras. Karena, kalaupun bekerja lebih keras, dapatnya sama untuk semua rakyat.

Deng Xiou Ping selanjutnya mengubah slogan nasional dan ia hanya mengubah satu huruf saja, yang lalu berbunyi, ”From each according to his abilitv. to each according to his deed.” Artinya, semakin keras ia bekerja semakin tinggi penghasilannya dan ini bisa langsung ia nikmati. Jadi satu huruf saja yang diubah, yaitu dari huruf n pada kata need menjadi huruf d pada kata deed. Hasil akhirnya, semua rakyat senang bekerja keras dan rakyat tidak mau lagi menganggur.

Keadaan menjadi lebih baik lagi karena peraturan perburuhannya lebih mengacu kepada produktivitas dan bukan kepada prinsip-prinsip sosial. Buruh-buruh yang prestasinya di bawah suatu standard produktivitas yang telah ditetapkan, buruh seperti ini dibebastugaskan. Akibatnya, buruh-buruh di Cina bekerja rajin dan keras sekali, sebanyak 15 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 30 hari sebulan dan sepanjang tahun.

Dikuasai Negara
Di Indonesia tanah dikuasai oleh negara, dan karena negara itu yang memilikinya adalah rakyat, disimpulkan oleh penguasa bahwa tanah ini adalah milik negara dan negara adalah milik rakyat, otomatis tanah ini sudah menjadi milik rakyat. Akhirnya yang menguasai tanah adalah pejabat-pejabat negara atau pengusaha yang dekat dengan pejabat-pejabat.

Adapun rakyat, mereka tidak memiliki atau mendapat pembagian tanah dari negara. Terjadilah distorsi dalam pemilikan/penguasaan tanah. Beberapa pengusaha mengusai tanah/memiliki hak atas tanah itu seluas 5,5 juta hektar Hak Penguasa Hutan (HPH), atau 1 juta hektar sebagai HGU untuk perkebunan sawit, dan sebagainya.

Akibatnya, rakyat miskin setiap hari bertambah banyak. Sekarang sudah hampir 40 juta orang miskin di Indonesia dimana mereka hidup dengan uang kurang dari US$ 2,- ekivalen Rp. 1.800 perhari.Untuk membuat rakyat Indonesia menjadi kaya, pemerintah haruslah mau memberikan tanah milik negara kepada rakyat yang miskin itu dengan sistem yang sederhana, murah, dan efektif, serta langsung bersertifikat.

Untuk itu, orang-orang asli mendapat duluan, setelah itu baru kepada saudara-saudara pendatang (transmigrasi) dan langsung bersertifikat. Misalnya, orang Papua Barat mendapat 50 ha per kepala keluarga langsung bersertifikat dan orang-orang pendatang memperoleh 10 ha per kepala keluarga. Agar rakyat doyan bekerja keras, sistem pengupahannya haruslah berorientasi kepada prioduktivitas dan bukan kepada prinsip sosial.

Lebih jauh, nanti terhadap HPH yang sudah habis masa konsesinya, tanahnya dikembalikan ke negara dan terus dibagi-bagi kepada rakyat disekitar HPH itu. Demikian pula dengan Hak Guna Usaha (HGU), apabila telah selesai masa berlakunya HGU itu, tanahnya dikembalikan kepada negara dan terus dibagi-bagikan kepada rakyat.

Dengan demikian usul Hernando De Soto untuk merekapitalisasi aset rakyat kita terapkan di Indonesia. Pada gilirannya usaha mikro, kecil, dan menengah akan memperoleh kemudahan terhadap pembiayaan dan perbankan berupa kredit, karena, ia para petani telah memiliki kekayaan yang secara legal dapat di agunkan (diajukan sebagai jaminan).

Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara yang mengkayakan rakyat yaitu dengan memberikan tanah kepada rakyat, maka rakyatnya menjadi kaya dan negarapun menjadi kaya, karena rakyatnya menjadi sangat mampu untuk membayar pajak.

Negara-negara seperti ini akan awet. Sebaliknya, negara-negara yang menganut paham bahwa jika negaranya kaya berarti rakyatnya juga menjadi kaya. Di dalam kenyataannya negara seperti ini pada bubar. Contoh Uni Soviet, Rusia, dan beberapa negara Afrika.

Menarik juga untuk disitir tabel yang terbit di Majalah Time edisi bulan Maret 2005, di situ ditayangkan hubungan antara pendapatan per kepala (rich) dengan tingkat kebahagiaan (happy). Ternyata Jepang yang pendapatan per kepala di atas US$ 20.000/tahun, tingkat kebahagiaannya (happy) jauh di bawah Indonesia yang pendapatan per kepala masih tetap berkutat di kisaran US$ 1.000.

Jadi rakyat yang tinggal dikawasan kumuh dan miskin, ternyata lebih happy dibandingkan dengan orang Jepang yang sudah kaya raya. Di Jepang tidak heran kenapa banyak yang merasa tidak bahagia lalu hara kiri.

*Penulis adalah pengamat ekonomi dan mantan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Artikel ini dimuat dengan meminta izin dari redaksi Sinar Hara

BACK TO THE FLOOR

Oleh Arief Yuntanu


Ada sebuah acara stasiun TV swasta yang kebetulan saya lihat. Dalam acara tersebut ada seorang petinggi/direktur sebuah perusahaan jasa pemindahan barang yang cukup besar sedang melakukan pekerjaan survei. Ia mengangkat barang di rumah klien. Pokoknya dia melakukan pekerjaan yang dikerjakan oleh anak buahnya.

Walaupun agak segan melihat bosnya ikut dalam pekerjaan kasar, tetapi si pekerja tersebut semakin akrab dengan bosnya. Sampai akhirnya, keputusan-keputusan strategis yang diambil si bos berasal dari pengalamannya melakukan pekerjaan bersama anak buahnya.

Biasanya seseorang yang punya jabatan tinggi jarang sekali melihat secara langsung atau tahu proses pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya. Mereka hanya senang dan tenang berada di kursi empuk di balik meja kerjanya saja. Tak hanya itu, ruangan yang sejuk oleh ruangan AC tak jarang membuat mereka terlena untuk tidak meninggalkan ruangannya. Alasannya, sibuk mendisposisi surat, meeting, dan sebagainya. Dari kondisi tersebut tak banyak anak buah yang kenal dengan bosnya, demikian pula sebaliknya. Mereka hanya kenal namanya namun kompetensi dan hasil kerja tidak tahu sama sekali.

Pada saat penilaian kinerja karyawan ternyata hanya berdasarkan atas nilai kira-kira dan cenderung subyektif sehingga sangat besar pengaruh biasnya.

Perilaku back to the floor sepertinya layak untuk dilakukan oleh seorang manajer, direktur, petinggi perusahaan, atau para pembuat keputusan strategis lainnya. Baik keputusan-keputusan mengenai sumberdaya manusia maupun tentang strategi bisnis. Kalau saja mereka mau jujur, sebenarnya kontribusi karyawan dalam proses usaha perusahannya sangatlah besar. Sayangnya mereka tahu tetapi tidak mau tahu.

Perilaku yang biasa terjadi pada seorang pejabat, yang sudah mendarah daging, atau sudah jadi penyakit kronis. Yaitu menggunakan kekuasaan dan pengaruh bukan untuk kepentingan perusahaan tetapi untuk kepentingan karir pribadinya. Mereka menumpuk uang untuk disetor sebagai upeti ke atasan yang lebih tinggi demi kelancaran jabatannya. Hubungan kemanusiaan dengan karyawan yang mendukung dirinya malah diabaikan. Seorang dengan tingkat korupsi “tinggi” malah lancar sekali kariernya. Sedang karyawannya yang bekerja setengah mati memeras keringat tidak pernah dapat menikmati jenjang karier yang seharusnya dipikirkan oleh seorang pejabat atau petinggi perusahaan tersebut.

Kekuasaan dan pengaruh seorang manajer seharusnya dipergunakan secara tepat dan lebih luas untuk merujuk kemampuan manusia (karyawan) sebagai hasil dari perwujudan kompetensi manajer tersebut.

Seorang Akio Morita, pendiri perusahaan elektronik terkenal Sony Corp., mengatakan tidak ada keajaiban dalam sukses perusahaan maupun manajernya selain daripada bagaimana memberlakukan karyawan sebagai manusia. Filosofi dasar Sony tentang karyawan adalah mereka diperlakukan sebagai rekan dan asisten, bukan hanya sebagai sarana untuk mendatangkan keuntungan perusahaan saja. Karyawan merupakan faktor penting karena mereka adalah bagian permanen dari sebuah perusahaan.

Sukses yang diraih Sony membuktikan kebenaran pandangan Akio Morita. Morita menegaskan bahwa sumber daya manusia memang paling penting dalam suatu perusahaan. Apalagi mereka yang mampu memberikan kerja, talenta, kreatifitas, inovasi, dan semangat pada perusahaannya. Sangat logis jika salah satu tugas seorang manajer yang paling penting adalah memperhatikan hal-hal tersebut di lingkungan perusahaannya. Proses seleksi, pelatihan dan pengembangan karyawan tidak akan optimal jika seorang manajer tidak “Back To The Floor”

Manajer yang selalu menjadi legenda (dikenang dan dihormati) adalah orang yang selalu bisa mencetak generasi yang lebih baik, perilaku yang lebih baik, memberi bekal kail yang kokoh untuk mencari ikan. Bukan orang yang mudah bagi-bagi uang dan upeti.

Bagaimana dengan Anda?

* Arief Yuntanu adalah seorang pegawai BUMN di Pekanbaru, Riau

Belajarlah ke dan dari Cina

Oleh Marzuki Usman (Sinar Harapan)


Rasulullah Muhammad S.A.W, lebih dari 14 (empat belas) abad yang lalu telah bersabda, ”Tututlah Ilmu Walaupun ke Negeri Cina”. Kemudian Napoleon Bonaparte lebih dari dua abad yang lalu pernah berkata, ”Biarkan Cina tidur dan jangan sampai dia bangun, karena jika ia terbangun dunia akan geger dibuatnya!”

Ternyata Cina, baca RRC, telah bangun sejak awal tahun 1980-an dan hanya dalam waktu dua dasawarsa telah tumbuh bak meteor dan telah mengoncangkan dunia. Betapa tidak, fakta-fakta berikut ini mendemonstrasikan bahwa RRC telah beralih dari negara miskin yang tertutup diawal tahun 1980-an, sekarang telah menjadi negara kaya yang terbuka.

Dua puluh tahun yang lalu cadangan devisanya masih minus, sekarang di tahun 2004 sudah memiliki cadangan devisa sekitar US$ 500 miliar, yakni nomor dua terbesar setelah Jepang yang cadangan devisanya sekitar US$ 900 miliar.

Dulu di tahun 1980-an, jumlah Penanaman Modal Asing (PMA)-nya sama sekali tidak ada, sekarang setiap tahun terealisasikan Penanaman Modal Asing (PMA) di Cina sebanyak US$ 60 miliar, yakni nomor dua setelah Penanaman Modal Asing (PMA)-nya Amerika Serikat yang jumlahnya sebesar US$ 215 miliar pertahun.

Kenapa RRC begitu drastis bisa berubah? Apa yang menjadi kuncinya? Apakah memang orang-orang RRC itu merupakan mahluk/manusia yang berbeda dari manusia lain di dunia? Sebenarnya tidak ada yang aneh.

Pada prinsipnya di dalam ilmu ekonomi, manusia itu dianggap sama sifatnya. Kalau bisa makan perei, ya mari dinikmati. Jika mencuri atau menggerogoti harta/kekayaan negara tidak dihukum, ya mari rame-rame kita gerogoti saja.

Jika rakyat diberikan milik awal (initial endowment) seperti tanah dan penguasaan terhadap bahan-bahan tambang yang ada di bawah tanah itu, setiap rakyat akan berpotensi untuk menjadi kaya. Rakyat juga masih bisa menjadi kaya walaupun milik awal adalah nol, akan tetapi jika memiliki keterampilan yang misalnya diperoleh dari Balai Latihan Kerja (BLK), ia juga bisa tetap menjadi kaya.

Lihatlah contoh Inul Daratista dengan tarian ngebor-nya. Inul menjadi kaya karena keterampilannya menari yang ditekuninya semenjak masa anak-anak. Terakhir, rakyat pun masih bisa menjadi kaya walaupun tidak memiliki tanah dan atau keterampilan, akan tetapi ia memiliki kepandaian (professional).

Tulisan singkat ini mengajak pembaca untuk belajar dari pengalaman RRC atau belajar ke RRC bagaimana mereka beralih secara dratis dari sistem ekonomi yang direncanakan dan dikontrol oleh Pemimpin Pusat (Central Committee - CC) Partai Komunis Cina ke sistem ekonomi yang bersahabat kepada pasar (market friendly).

Tidak Percaya
Saya tidak percaya bahwa orang Cina itu mahkluk spesial atau mahkluk istimewa. Selama fa’al fisiknya sama dengan rakyat Indonesia, berarti selama itu pula kitapun bisa menyaingi Cina (RRC). Uraian tentang ”Belajar ke dan dari Cina”. kita fokuskan dulu kepada sumber daya alam (tanah). Pada kesempatan berikutnya akan kita bahas pula faktor sumber daya manusianya (SDM).

Sejarah dunia memperlihatkan bahwa negara di mana rakyatnya diberikan modal awal berupa tanah, karena itu rakyatnya lalu doyan bekerja keras. Hasil akhirnya pendapatan rakyat meningkat dan pada gilirannya meningkatkan penerimaan Pemerintah Pusat (pajak penghasilan, pajak pertamabahan nilai, dan sebagainya) dan juga Pemerintah Daerah berupa penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan sebagainya.

Amerika Serikat pada awalnya meneriakkan slogan, ”Go west, you may become rich”. Realisasinya rakyat Amerika Serikat banyak yang eksodus ke Amerika bagian Barat, dan mengambil tanah negara secara bebas bea dan langsung bersertifikat.

Menurut Hernando De Soto, berarti telah terjadi pengkayaan nilai tanah (asset recapitalization) yang dimiliki oleh rakyat. Hal yang sama telah dipraktikkan oleh Cina, Taiwan di tahun 1949 di bawah pimpinan Jenderal Chiang Kai Sek.

Juga oleh Korea Selatan di awal tahun 1960-an oleh Presiden Park Chung He. Jepang juga melaksanakan hal yang sama di zamannya Restorasi Meji. Malaysia pun memberikan tanah kepada rakyat di zamannya Tun Abdurazak dengan proyek Pelda (pemberian lahan dan bantuan untuk membangun kebun sawit rakyat).

RRC juga mempraktikkan hal yang sama, yaitu tanah-tanah yang dikuasai negara oleh rezimnya Mao Tse Dung, oleh Deng Xiou Ping dikembalikan lagi kepada petani. Slogan nasional yang semula oleh Chairman Mao, berbunyi ”From each according to his ability to each according to his need”.

Artinya setiap orang bekerja keras dan hanya mendapat jatah untuk kebutuhan hidup sederhana saja. Tidak heran, di RRC di periode 1960-an dan 1970-an, banyak pengangguran dan banyak kelaparan dan miskin. Tidak ada insentif bagi pelaku ekonomi (economic agent) untuk bekerja lebih keras. Karena, kalaupun bekerja lebih keras, dapatnya sama untuk semua rakyat.

Deng Xiou Ping selanjutnya mengubah slogan nasional dan ia hanya mengubah satu huruf saja, yang lalu berbunyi, ”From each according to his abilitv. to each according to his deed.” Artinya, semakin keras ia bekerja semakin tinggi penghasilannya dan ini bisa langsung ia nikmati. Jadi satu huruf saja yang diubah, yaitu dari huruf n pada kata need menjadi huruf d pada kata deed. Hasil akhirnya, semua rakyat senang bekerja keras dan rakyat tidak mau lagi menganggur.

Keadaan menjadi lebih baik lagi karena peraturan perburuhannya lebih mengacu kepada produktivitas dan bukan kepada prinsip-prinsip sosial. Buruh-buruh yang prestasinya di bawah suatu standard produktivitas yang telah ditetapkan, buruh seperti ini dibebastugaskan. Akibatnya, buruh-buruh di Cina bekerja rajin dan keras sekali, sebanyak 15 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 30 hari sebulan dan sepanjang tahun.

Dikuasai Negara
Di Indonesia tanah dikuasai oleh negara, dan karena negara itu yang memilikinya adalah rakyat, disimpulkan oleh penguasa bahwa tanah ini adalah milik negara dan negara adalah milik rakyat, otomatis tanah ini sudah menjadi milik rakyat. Akhirnya yang menguasai tanah adalah pejabat-pejabat negara atau pengusaha yang dekat dengan pejabat-pejabat.

Adapun rakyat, mereka tidak memiliki atau mendapat pembagian tanah dari negara. Terjadilah distorsi dalam pemilikan/penguasaan tanah. Beberapa pengusaha mengusai tanah/memiliki hak atas tanah itu seluas 5,5 juta hektar Hak Penguasa Hutan (HPH), atau 1 juta hektar sebagai HGU untuk perkebunan sawit, dan sebagainya.

Akibatnya, rakyat miskin setiap hari bertambah banyak. Sekarang sudah hampir 40 juta orang miskin di Indonesia dimana mereka hidup dengan uang kurang dari US$ 2,- ekivalen Rp. 1.800 perhari.Untuk membuat rakyat Indonesia menjadi kaya, pemerintah haruslah mau memberikan tanah milik negara kepada rakyat yang miskin itu dengan sistem yang sederhana, murah, dan efektif, serta langsung bersertifikat.

Untuk itu, orang-orang asli mendapat duluan, setelah itu baru kepada saudara-saudara pendatang (transmigrasi) dan langsung bersertifikat. Misalnya, orang Papua Barat mendapat 50 ha per kepala keluarga langsung bersertifikat dan orang-orang pendatang memperoleh 10 ha per kepala keluarga. Agar rakyat doyan bekerja keras, sistem pengupahannya haruslah berorientasi kepada prioduktivitas dan bukan kepada prinsip sosial.

Lebih jauh, nanti terhadap HPH yang sudah habis masa konsesinya, tanahnya dikembalikan ke negara dan terus dibagi-bagi kepada rakyat disekitar HPH itu. Demikian pula dengan Hak Guna Usaha (HGU), apabila telah selesai masa berlakunya HGU itu, tanahnya dikembalikan kepada negara dan terus dibagi-bagikan kepada rakyat.

Dengan demikian usul Hernando De Soto untuk merekapitalisasi aset rakyat kita terapkan di Indonesia. Pada gilirannya usaha mikro, kecil, dan menengah akan memperoleh kemudahan terhadap pembiayaan dan perbankan berupa kredit, karena, ia para petani telah memiliki kekayaan yang secara legal dapat di agunkan (diajukan sebagai jaminan).

Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara yang mengkayakan rakyat yaitu dengan memberikan tanah kepada rakyat, maka rakyatnya menjadi kaya dan negarapun menjadi kaya, karena rakyatnya menjadi sangat mampu untuk membayar pajak.

Negara-negara seperti ini akan awet. Sebaliknya, negara-negara yang menganut paham bahwa jika negaranya kaya berarti rakyatnya juga menjadi kaya. Di dalam kenyataannya negara seperti ini pada bubar. Contoh Uni Soviet, Rusia, dan beberapa negara Afrika.

Menarik juga untuk disitir tabel yang terbit di Majalah Time edisi bulan Maret 2005, di situ ditayangkan hubungan antara pendapatan per kepala (rich) dengan tingkat kebahagiaan (happy). Ternyata Jepang yang pendapatan per kepala di atas US$ 20.000/tahun, tingkat kebahagiaannya (happy) jauh di bawah Indonesia yang pendapatan per kepala masih tetap berkutat di kisaran US$ 1.000.

Jadi rakyat yang tinggal dikawasan kumuh dan miskin, ternyata lebih happy dibandingkan dengan orang Jepang yang sudah kaya raya. Di Jepang tidak heran kenapa banyak yang merasa tidak bahagia lalu hara kiri.

*Penulis adalah pengamat ekonomi dan mantan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Artikel ini dimuat dengan meminta izin dari redaksi Sinar Harapan.

Belajarlah ke dan dari Cina

Oleh Marzuki Usman (Sinar Harapan)


Rasulullah Muhammad S.A.W, lebih dari 14 (empat belas) abad yang lalu telah bersabda, ”Tututlah Ilmu Walaupun ke Negeri Cina”. Kemudian Napoleon Bonaparte lebih dari dua abad yang lalu pernah berkata, ”Biarkan Cina tidur dan jangan sampai dia bangun, karena jika ia terbangun dunia akan geger dibuatnya!”

Ternyata Cina, baca RRC, telah bangun sejak awal tahun 1980-an dan hanya dalam waktu dua dasawarsa telah tumbuh bak meteor dan telah mengoncangkan dunia. Betapa tidak, fakta-fakta berikut ini mendemonstrasikan bahwa RRC telah beralih dari negara miskin yang tertutup diawal tahun 1980-an, sekarang telah menjadi negara kaya yang terbuka.

Dua puluh tahun yang lalu cadangan devisanya masih minus, sekarang di tahun 2004 sudah memiliki cadangan devisa sekitar US$ 500 miliar, yakni nomor dua terbesar setelah Jepang yang cadangan devisanya sekitar US$ 900 miliar.

Dulu di tahun 1980-an, jumlah Penanaman Modal Asing (PMA)-nya sama sekali tidak ada, sekarang setiap tahun terealisasikan Penanaman Modal Asing (PMA) di Cina sebanyak US$ 60 miliar, yakni nomor dua setelah Penanaman Modal Asing (PMA)-nya Amerika Serikat yang jumlahnya sebesar US$ 215 miliar pertahun.

Kenapa RRC begitu drastis bisa berubah? Apa yang menjadi kuncinya? Apakah memang orang-orang RRC itu merupakan mahluk/manusia yang berbeda dari manusia lain di dunia? Sebenarnya tidak ada yang aneh.

Pada prinsipnya di dalam ilmu ekonomi, manusia itu dianggap sama sifatnya. Kalau bisa makan perei, ya mari dinikmati. Jika mencuri atau menggerogoti harta/kekayaan negara tidak dihukum, ya mari rame-rame kita gerogoti saja.

Jika rakyat diberikan milik awal (initial endowment) seperti tanah dan penguasaan terhadap bahan-bahan tambang yang ada di bawah tanah itu, setiap rakyat akan berpotensi untuk menjadi kaya. Rakyat juga masih bisa menjadi kaya walaupun milik awal adalah nol, akan tetapi jika memiliki keterampilan yang misalnya diperoleh dari Balai Latihan Kerja (BLK), ia juga bisa tetap menjadi kaya.

Lihatlah contoh Inul Daratista dengan tarian ngebor-nya. Inul menjadi kaya karena keterampilannya menari yang ditekuninya semenjak masa anak-anak. Terakhir, rakyat pun masih bisa menjadi kaya walaupun tidak memiliki tanah dan atau keterampilan, akan tetapi ia memiliki kepandaian (professional).

Tulisan singkat ini mengajak pembaca untuk belajar dari pengalaman RRC atau belajar ke RRC bagaimana mereka beralih secara dratis dari sistem ekonomi yang direncanakan dan dikontrol oleh Pemimpin Pusat (Central Committee - CC) Partai Komunis Cina ke sistem ekonomi yang bersahabat kepada pasar (market friendly).

Tidak Percaya
Saya tidak percaya bahwa orang Cina itu mahkluk spesial atau mahkluk istimewa. Selama fa’al fisiknya sama dengan rakyat Indonesia, berarti selama itu pula kitapun bisa menyaingi Cina (RRC). Uraian tentang ”Belajar ke dan dari Cina”. kita fokuskan dulu kepada sumber daya alam (tanah). Pada kesempatan berikutnya akan kita bahas pula faktor sumber daya manusianya (SDM).

Sejarah dunia memperlihatkan bahwa negara di mana rakyatnya diberikan modal awal berupa tanah, karena itu rakyatnya lalu doyan bekerja keras. Hasil akhirnya pendapatan rakyat meningkat dan pada gilirannya meningkatkan penerimaan Pemerintah Pusat (pajak penghasilan, pajak pertamabahan nilai, dan sebagainya) dan juga Pemerintah Daerah berupa penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan sebagainya.

Amerika Serikat pada awalnya meneriakkan slogan, ”Go west, you may become rich”. Realisasinya rakyat Amerika Serikat banyak yang eksodus ke Amerika bagian Barat, dan mengambil tanah negara secara bebas bea dan langsung bersertifikat.

Menurut Hernando De Soto, berarti telah terjadi pengkayaan nilai tanah (asset recapitalization) yang dimiliki oleh rakyat. Hal yang sama telah dipraktikkan oleh Cina, Taiwan di tahun 1949 di bawah pimpinan Jenderal Chiang Kai Sek.

Juga oleh Korea Selatan di awal tahun 1960-an oleh Presiden Park Chung He. Jepang juga melaksanakan hal yang sama di zamannya Restorasi Meji. Malaysia pun memberikan tanah kepada rakyat di zamannya Tun Abdurazak dengan proyek Pelda (pemberian lahan dan bantuan untuk membangun kebun sawit rakyat).

RRC juga mempraktikkan hal yang sama, yaitu tanah-tanah yang dikuasai negara oleh rezimnya Mao Tse Dung, oleh Deng Xiou Ping dikembalikan lagi kepada petani. Slogan nasional yang semula oleh Chairman Mao, berbunyi ”From each according to his ability to each according to his need”.

Artinya setiap orang bekerja keras dan hanya mendapat jatah untuk kebutuhan hidup sederhana saja. Tidak heran, di RRC di periode 1960-an dan 1970-an, banyak pengangguran dan banyak kelaparan dan miskin. Tidak ada insentif bagi pelaku ekonomi (economic agent) untuk bekerja lebih keras. Karena, kalaupun bekerja lebih keras, dapatnya sama untuk semua rakyat.

Deng Xiou Ping selanjutnya mengubah slogan nasional dan ia hanya mengubah satu huruf saja, yang lalu berbunyi, ”From each according to his abilitv. to each according to his deed.” Artinya, semakin keras ia bekerja semakin tinggi penghasilannya dan ini bisa langsung ia nikmati. Jadi satu huruf saja yang diubah, yaitu dari huruf n pada kata need menjadi huruf d pada kata deed. Hasil akhirnya, semua rakyat senang bekerja keras dan rakyat tidak mau lagi menganggur.

Keadaan menjadi lebih baik lagi karena peraturan perburuhannya lebih mengacu kepada produktivitas dan bukan kepada prinsip-prinsip sosial. Buruh-buruh yang prestasinya di bawah suatu standard produktivitas yang telah ditetapkan, buruh seperti ini dibebastugaskan. Akibatnya, buruh-buruh di Cina bekerja rajin dan keras sekali, sebanyak 15 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 30 hari sebulan dan sepanjang tahun.

Dikuasai Negara
Di Indonesia tanah dikuasai oleh negara, dan karena negara itu yang memilikinya adalah rakyat, disimpulkan oleh penguasa bahwa tanah ini adalah milik negara dan negara adalah milik rakyat, otomatis tanah ini sudah menjadi milik rakyat. Akhirnya yang menguasai tanah adalah pejabat-pejabat negara atau pengusaha yang dekat dengan pejabat-pejabat.

Adapun rakyat, mereka tidak memiliki atau mendapat pembagian tanah dari negara. Terjadilah distorsi dalam pemilikan/penguasaan tanah. Beberapa pengusaha mengusai tanah/memiliki hak atas tanah itu seluas 5,5 juta hektar Hak Penguasa Hutan (HPH), atau 1 juta hektar sebagai HGU untuk perkebunan sawit, dan sebagainya.

Akibatnya, rakyat miskin setiap hari bertambah banyak. Sekarang sudah hampir 40 juta orang miskin di Indonesia dimana mereka hidup dengan uang kurang dari US$ 2,- ekivalen Rp. 1.800 perhari.Untuk membuat rakyat Indonesia menjadi kaya, pemerintah haruslah mau memberikan tanah milik negara kepada rakyat yang miskin itu dengan sistem yang sederhana, murah, dan efektif, serta langsung bersertifikat.

Untuk itu, orang-orang asli mendapat duluan, setelah itu baru kepada saudara-saudara pendatang (transmigrasi) dan langsung bersertifikat. Misalnya, orang Papua Barat mendapat 50 ha per kepala keluarga langsung bersertifikat dan orang-orang pendatang memperoleh 10 ha per kepala keluarga. Agar rakyat doyan bekerja keras, sistem pengupahannya haruslah berorientasi kepada prioduktivitas dan bukan kepada prinsip sosial.

Lebih jauh, nanti terhadap HPH yang sudah habis masa konsesinya, tanahnya dikembalikan ke negara dan terus dibagi-bagi kepada rakyat disekitar HPH itu. Demikian pula dengan Hak Guna Usaha (HGU), apabila telah selesai masa berlakunya HGU itu, tanahnya dikembalikan kepada negara dan terus dibagi-bagikan kepada rakyat.

Dengan demikian usul Hernando De Soto untuk merekapitalisasi aset rakyat kita terapkan di Indonesia. Pada gilirannya usaha mikro, kecil, dan menengah akan memperoleh kemudahan terhadap pembiayaan dan perbankan berupa kredit, karena, ia para petani telah memiliki kekayaan yang secara legal dapat di agunkan (diajukan sebagai jaminan).

Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara yang mengkayakan rakyat yaitu dengan memberikan tanah kepada rakyat, maka rakyatnya menjadi kaya dan negarapun menjadi kaya, karena rakyatnya menjadi sangat mampu untuk membayar pajak.

Negara-negara seperti ini akan awet. Sebaliknya, negara-negara yang menganut paham bahwa jika negaranya kaya berarti rakyatnya juga menjadi kaya. Di dalam kenyataannya negara seperti ini pada bubar. Contoh Uni Soviet, Rusia, dan beberapa negara Afrika.

Menarik juga untuk disitir tabel yang terbit di Majalah Time edisi bulan Maret 2005, di situ ditayangkan hubungan antara pendapatan per kepala (rich) dengan tingkat kebahagiaan (happy). Ternyata Jepang yang pendapatan per kepala di atas US$ 20.000/tahun, tingkat kebahagiaannya (happy) jauh di bawah Indonesia yang pendapatan per kepala masih tetap berkutat di kisaran US$ 1.000.

Jadi rakyat yang tinggal dikawasan kumuh dan miskin, ternyata lebih happy dibandingkan dengan orang Jepang yang sudah kaya raya. Di Jepang tidak heran kenapa banyak yang merasa tidak bahagia lalu hara kiri.

*Penulis adalah pengamat ekonomi dan mantan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Artikel ini dimuat dengan meminta izin dari redaksi Sinar Harapan.

BACK TO THE FLOOR

Oleh Arief Yuntanu


Ada sebuah acara stasiun TV swasta yang kebetulan saya lihat. Dalam acara tersebut ada seorang petinggi/direktur sebuah perusahaan jasa pemindahan barang yang cukup besar sedang melakukan pekerjaan survei. Ia mengangkat barang di rumah klien. Pokoknya dia melakukan pekerjaan yang dikerjakan oleh anak buahnya.

Walaupun agak segan melihat bosnya ikut dalam pekerjaan kasar, tetapi si pekerja tersebut semakin akrab dengan bosnya. Sampai akhirnya, keputusan-keputusan strategis yang diambil si bos berasal dari pengalamannya melakukan pekerjaan bersama anak buahnya.

Biasanya seseorang yang punya jabatan tinggi jarang sekali melihat secara langsung atau tahu proses pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya. Mereka hanya senang dan tenang berada di kursi empuk di balik meja kerjanya saja. Tak hanya itu, ruangan yang sejuk oleh ruangan AC tak jarang membuat mereka terlena untuk tidak meninggalkan ruangannya. Alasannya, sibuk mendisposisi surat, meeting, dan sebagainya. Dari kondisi tersebut tak banyak anak buah yang kenal dengan bosnya, demikian pula sebaliknya. Mereka hanya kenal namanya namun kompetensi dan hasil kerja tidak tahu sama sekali.

Pada saat penilaian kinerja karyawan ternyata hanya berdasarkan atas nilai kira-kira dan cenderung subyektif sehingga sangat besar pengaruh biasnya.

Perilaku back to the floor sepertinya layak untuk dilakukan oleh seorang manajer, direktur, petinggi perusahaan, atau para pembuat keputusan strategis lainnya. Baik keputusan-keputusan mengenai sumberdaya manusia maupun tentang strategi bisnis. Kalau saja mereka mau jujur, sebenarnya kontribusi karyawan dalam proses usaha perusahannya sangatlah besar. Sayangnya mereka tahu tetapi tidak mau tahu.

Perilaku yang biasa terjadi pada seorang pejabat, yang sudah mendarah daging, atau sudah jadi penyakit kronis. Yaitu menggunakan kekuasaan dan pengaruh bukan untuk kepentingan perusahaan tetapi untuk kepentingan karir pribadinya. Mereka menumpuk uang untuk disetor sebagai upeti ke atasan yang lebih tinggi demi kelancaran jabatannya. Hubungan kemanusiaan dengan karyawan yang mendukung dirinya malah diabaikan. Seorang dengan tingkat korupsi “tinggi” malah lancar sekali kariernya. Sedang karyawannya yang bekerja setengah mati memeras keringat tidak pernah dapat menikmati jenjang karier yang seharusnya dipikirkan oleh seorang pejabat atau petinggi perusahaan tersebut.

Kekuasaan dan pengaruh seorang manajer seharusnya dipergunakan secara tepat dan lebih luas untuk merujuk kemampuan manusia (karyawan) sebagai hasil dari perwujudan kompetensi manajer tersebut.

Seorang Akio Morita, pendiri perusahaan elektronik terkenal Sony Corp., mengatakan tidak ada keajaiban dalam sukses perusahaan maupun manajernya selain daripada bagaimana memberlakukan karyawan sebagai manusia. Filosofi dasar Sony tentang karyawan adalah mereka diperlakukan sebagai rekan dan asisten, bukan hanya sebagai sarana untuk mendatangkan keuntungan perusahaan saja. Karyawan merupakan faktor penting karena mereka adalah bagian permanen dari sebuah perusahaan.

Sukses yang diraih Sony membuktikan kebenaran pandangan Akio Morita. Morita menegaskan bahwa sumber daya manusia memang paling penting dalam suatu perusahaan. Apalagi mereka yang mampu memberikan kerja, talenta, kreatifitas, inovasi, dan semangat pada perusahaannya. Sangat logis jika salah satu tugas seorang manajer yang paling penting adalah memperhatikan hal-hal tersebut di lingkungan perusahaannya. Proses seleksi, pelatihan dan pengembangan karyawan tidak akan optimal jika seorang manajer tidak “Back To The Floor”

Manajer yang selalu menjadi legenda (dikenang dan dihormati) adalah orang yang selalu bisa mencetak generasi yang lebih baik, perilaku yang lebih baik, memberi bekal kail yang kokoh untuk mencari ikan. Bukan orang yang mudah bagi-bagi uang dan upeti.

Bagaimana dengan Anda?

* Arief Yuntanu adalah seorang pegawai BUMN di Pekanbaru, Riau.

Positive Habit Development !

Oleh : Ignatius Muk Kuang*


Masih ingatkah anda saat pertama kali belajar mengendarai motor atau mobil ? Pada awalnya memang begitu sulit, dan belum terbiasa. Anda mungkin harus terus memikirkan sudah gigi berapa ya motor saya, sudah dekat lampu merah maka harus rem, melihat lampu spion jika ingin masuk jalur kanan atau kiri. Semua hal diatas masih dilakukan atas perintah otak kita. Tapi seiring berjalan waktu dan tiap hari harus mengendarainya maka dengan sendirinya hal tersebut menjadi sebuah habit(kebiasaan).

Ayah saya selalu mengatakan bisa dan biasa adalah dua hal yang berbeda. Anda mengatakan bisa mengendarai motor, tapi mungkin anda tidak terbiasa dengannya. Tapi jika anda biasa mengendarai motor otomatis anda bisa. Hal yang perlu dikembangkan dalam hidup anda adalah habit-habit yang positif untuk mendapatkan hasil yang positif

Catherine Levison (Book Author and Presenter to parenting and educational audiences) dalam artikelnya "The Power of Habit" mengatakan Habit merupakan salah satu dari sekian banyak elemen yang dapat menentukan kesuksesan anda. Anda harus mampu mengidentifikasi mana yang good habit dan mana yang bad habit. Sebagai contoh, bayangkan apabila anda lebih memilih tidur sepanjang hari tanpa melakukan apa-apa, coba analisa apa pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada studi anda, pekerjaan anda, dan masa depan anda. Jika disadari bahwa hal tersebut tidak memberi kontribusi yang positif untuk anda dan orang lain, maka sikap perubahan ke habit yang baru harus mulai dilakukan. Mengubah kebiasaan memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa. Catherine mengatakan membentuk habit baru membutuhkan kurang lebih 6 minggu selama anda benar-benar konsisten menjalankannya.

Habit adalah sesuatu yang tidak dapat anda lihat secara fisik tapi dapat anda rasakan dampaknya bagi kehidupan anda. Habit dibentuk ketika anda terus menerus mengulang suatu aktivitas sampai anda menjadi terbiasa.Menciptakan good habit dapat memberikan perbedaan yang signifikan dalam hidup anda, mulai dari hal yang sangat kecil seperti menjadwalkan kegiatan rutin anda maka lama kelamaan anda terbiasa dengan hidup yang teratur.

Banyak orang mengatakan saya sudah mencoba untuk mengubah kebiasaan buruk saya, tapi saya tidak bisa. Permasalahannya adalah bukan karena anda sudah coba atau tidak, tapi sudah berapa kali anda berusaha dan mencoba untuk mengubah habit itu. Segala sesuatunya harus dimulai dari tekad anda dan komitmen yang kuat untuk mengubah habit ke arah yang positif.

Karir, studi, bisnis, kesuksesan, hubungan dengan sesama, semua hal ditentukan dari habit yang anda kembangkan. Tinggal bagaimana anda memilih habit yang mau dikembangkan apakah itu positif atau yang negatif. Jadi mulai ubah habit anda ke arah yang lebih positif mulai detik ini.

“When you change your habit, you change your life”.

Salam sukses!

*Ignatius Muk Kuang: Bachelor Degree from Bina Nusantara University, (2003-2004) President of Bina Nusantara English Club. (2003) Indonesia Representative as Adjudicator in World Universities Debating Championship, Singapore. Trainer and Speaker: Motivation-Self Development, etc. Associate Trainer (Freelance) for Debating, Public Speaking, etc. Invited Jury/Adjudicator for various English tournaments. Actively write some articles related to people-development. Email: mukkuang@yahoo.com & writer_imk@yahoo.com

Multi Stimulus Hasilkan Pengalaman Belajar Efektif

Oleh Rab A. Broto


Mengingat masa kecilnya yang hanya menunjukkan kemampuan akademik pas-pasan, mungkin tidak ada orang menyangka bahwa Albert Einstein, akan bisa sukses dan terkenal dalam hidupnya. Apalagi menjadi mahaguru fisika dan penemu Teori Relativitas.

Cerita yang nyaris sama juga terjadi pada Thomas Alva Edison, penemu lampu listrik, yang bahkan di masa anak-anaknya disebut oleh sebagian guru di sekolahnya sebagai idiot karena kesukaran belajar sehingga sempat beberapa kali pindah sekolah.

Daftar tentang anak-anak yang sebetulnya termasuk cerdas namun tidak dapat berprestasi di sekolah ini pasti bisa Anda perpanjang sendiri dengan cerita dari lingkungan sekitar. Denomena seperti ini sudah sangat lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Dari pengalaman praktiknya, Seto Mulyadi, pakar psikologi anak, mengungkapkan sering menjumpai anak semacam ini. Oleh orangtuanya anak-anak ini dikeluhkan sebagai bodoh, nakal, atau sulit belajar.

"Menurut penelitian ada sekitar 15%-40% anak, kebanyakan laki-laki, yang tampil kurang bersemangat, tidak tertarik pada mata pelajaran di sekolah, atau cenderung mudah putus asa," kata Seto yang juga dosen di Universitas Tarumanegara ini.

Dalam kondisi yang agak berbeda, pada prinsipnya orang dewasa sebenarnya juga mengalami pesoalan menipisnya motivasi belajar. Dengan bertambahnya usia ternyata terjadi learning shutdown yang menguras banyak tenaga kreatif manusia.

"Proses penghancuran kreativitas itu memang terjadi begitu anak masuk sekolah pada usia sekitar lima tahun. Saat awal ketika citra negatif diri mulai terbentuk akibat adanya kritik atau komentar negatif dari lingkungan," kata Seto.

Jack Canfield, psikolog yang meneliti masalah kepercayaan diri, berdasar risetnya tahun 1982 pada 100 anak menemukan bahwa setiap anak dalam sehari rata-rata mendapat 460 komentar negatif dan 75 komentar positif.

"Umpan balik negatif berkesinambungan ini sangat berbahaya karena setelah beberapa tahun sekolah 'kemadekan belajar' yang sesungguhnya benar-benar terjadi."

Anak-anak, lanjutnya, menghalangi atau menutup diri dari pengalaman belajarnya secara tidak sadar. Mulai saat itu, kata Canfield, belajar menjadi tugas berat dan keraguan semakin tumbuh dalam diri sehingga orang mulai mengurangi risiko sedikit demi sedikit.

Quantum Learning
Padahal menurut Marian Diamond, peneliti otak yang telah berpengalaman lebih dari 30 tahun, pada umur berapapun kemampuan mental manusia sebenarnya masih bisa dioptimalkan. "Makin terangsang otak dengan aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, makin banyak kemampuan yang berkembang."

Optimalisasi kemampuan mental manusia ini dapat dilihat dengan jelas pada anak yang belajar berjalan. Dia pasti jatuh bangun berkali-kali, namun tak ada orang mengkritik atau berkomentar negatif melainkan memberi dorongan dan semangat untuk mencoba lagi.

Dalam waktu satu tahun anak biasanya sudah sanggup berjalan. Padahal berjalan adalah sebuah rangkaian gerak yang sangat kompleks baik secara fisik maupun neurologis. Begitu pula saat usia dua tahun anak mulai belajar berbahasa.

Dalam lima tahun, anak mengetahui sekitar 90% dari semua kata yang biasa digunakan oleh orang-orang dewasa. Ajaibnya, semuanya bisa dilakukan tanpa mempelajari buku tatabahasa atau kurikulum yang sistematik.

Menurut Bobbi DePorter, pakar pendidikan, optimalisasi kemampuan mental itu bisa dimunculkan lagi melalui pendekatan baru yang disebut Quantum Learning (QL). "Pendekatan ini berupa seperangkat metode dan falsafah belajar yang efektif untuk semua tipe orang segala usia."

Pendekatan QL yang disebut juga accelerated learning (pemercepatan belajar), lanjut Bobbi, memadukan keterampilan dalam hidup, keterampilan akademik, dan prestasi mengatasi tantangan fisik untuk mencapai sukses.

Pendekatan QL berakar pada upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria, yang bereksperimen dengan suggestology atau suggestopedia. Prinsipnya sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar dan setiap detil apapun memberi sugesti positif maupun negatif.

Beberapa teknik yang diterapkan Lozanov untuk menimbulkan sugesti positif adalah mendudukan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, dan menempel poster berisi kata mutiara untuk menyemangati dan menonjolkan informasi.

Pendekatan QL secara prinsip merupakan metode yang memungkinkan siswa mempelajari sesuatu secara cepat dengan upaya normal yang dibarengi kegembiraan. "Hal terpenting dari QL adalah belajar 'bagaimana cara belajar'."

Cara ini menyatukan unsur-unsur seperti hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional yang sekilas tampak tidak berhubungan namun ternyata bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

Musik berperan
Pendekatan QL, ungkap Bobbi, mencakup aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP) yaitu suatu penelitian bagaimana otak mengatur informasi. Suatu program yang meneliti hubungan bahasa dan perilaku.

"Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa positif untuk meningkatkan tindakan positif yang merupakan faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif untuk belajar."

Selain itu selama belajar yang merupakan pekerjaan mental berat, lanjutnya, tekanan darah naik, frekuensi gelombang otak meningkat, dan otot-otot menjadi tegang. Hal ini tidak bisa diatasi dengan relaksasi meskipun cara ini bisa menguranginya.

"Namun dalam kondisi deeply relaxed sangat sukar untuk berkonsentrasi yang sangat diperlukan saat belajar. Sebaliknya sangat sukar melakukan relaksasi dalam keadaan konsentrasi penuh."

Penelitian Lozanov menunjukkan jenis musik tertentu bisa membuat orang menjadi setengah rileks sehingga tetap mampu berkonsentrasi atau relaxed focus. Jenis musik paling kondusif untuk belajar ini adalah musik barok seperti karya Bach, Handel, Pachelbel, dan Vivaldi.

Saat belajar, belahan otak kiri yang proses berpikirnya bersifat linear, logis, sekuensial, dan rasional, diaktifkan. Sedangkan proses berpikir otak kanan yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik, tidak.

"Belahan otak kanan yang dibiarkan inilah yang sering mengganggu konsentrasi saat belajar [dengan membuat orang berkhayal]. Di sinilah musik berfungsi, yaitu merangsang otak kanan sehingga tidak mengganggu kinerja otak kiri.

Penggunaan unsur estetika, khususnya musik ini, kata dia, diperlukan karena sebagian besar komunikasi, mulai pendidikan, bisnis, sampai sains, diungkapkan secara verbal atau tertulis yang merupakan spesialisasi kemampuan otak kiri.

"Untuk menyeimbangkan kecenderungan masyarakat yang terlalu mengutamakan penggunaan otak kiri inilah yang mendasari perlunya penggunaan unsur estetika dalam pengalaman belajar, selain memberikan umpan balik positif pada diri anak didik."

Semua itu, lanjut Bobbi, menimbulkan siklus emosi positif-kekuatan otak-keberhasilan-kehormatan diri, "Siklus aktif ini akan dapat mengangkat Anda lebih tinggi dan lebih tinggi lagi." Apalagi, kata dia, hal pertama yang dilakukan adalah mempelajari keterampilan belajar mendasar seperti cara mencatat, menghafal, dan membaca cepat.

*Rab A. Broto adalah penulis dan editor alumni Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Yogyakarta (LP3Y) dengan pengalaman 10 tahun. Sebelumnya, ia bekerja sebagai wartawan dan redaktur di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia. Hingga kini ia telah menulis 2.000 straight news (berita pendek ekonomi, politik dan budaya), 400 features (ekonomi, psikologi, iptek dan kesehatan), 5 makalah seminar dan buku Parent Guide (bagian dari paket pendidikan anak My First One Year Activity Book produksi Pustaka Lebah). Kini Rab A. Broto adalah ketua dewan redaksi pada majalah bulanan Indonesian Tax Review Digest dan Buletin Bee Parent yang diterbitkan Lembaga Manajemen Formasi. Ia dapat dihubungi melalui e-mail: nauram@yahoo.com.

MITRA?

Oleh: Ardian Syam


Lebih dari 1 dekade yang lalu banyak ahli manajemen SDM menyatakan bahwa pegawai perusahaan, bila dilihat dari pendekatan akuntansi, dapat dikatakan intangible asset. Saat itu pendekatan ini dianggap paling tepat karena perusahaan mengeluarkan biaya untuk recruitment yang bisa diartikan sebagai invesmen atau pengadaan aktiva.

Kemudian pada saat para SDM tersebut diterima maka perusahaan mulai mengeluarkan biaya untuk gaji, allowances dan benefits, yang dengan konsep tadi dapat diartikan sebagai beban operasi dan pemeliharaan aktiva. Kemudian karena performansi yang luar biasa maka para SDM tersebut diberikan promosi atau kenaikan pangkat yang berarti naik pula gaji, allowances dan benefits yang perlu dikeluarkan perusahaan untuk para SDM, yang bila dilihat dari pendekatan aktiva tetap dapat diartikan sebagai beban penyusutan aktiva tetap.

Namun dari konsep tersebut tidak dapat dikatakan bahwa kita sudah memanusiakan manusia (ngewongke wong) karena kita lalu menganggap manusia adalah barang, benda mati, sesuatu yang dapat diperlakukan sekehendak hati dan tidak perlu dipedulikan apakah aktiva tetap tersebut suka atau tidak diperlakukan demikian. Bila memang aktiva tetap yang sedang dibicarakan adalah alat produksi yang dapat bekerja 24 jam sehari 7 hari seminggu memang kita sedang membicarakan mesin. Tetapi intangible asset yang sedang dibicarakan justru manusia. Mungkin mereka tinggal di rumah di sebelah rumah kita. Mungkin mereka sangat baik ke anak-anak kita. Mungkin mereka setiap siang makan di meja di sebelah meja kita. Mungkin mereka yang menyelamatkan kita ketika kita mengalami kecelakaan akibat tabrakan di jalan.

Benarkah mereka memang intangible asset? Sebuah cara berfikir yang memang pantas dipertanyakan. Apakah kita memang sudah tidak lagi dapat memperlakukan manusia sebagai manusia? Saat anda menganggap SDM di bawah anda sebagai intangible asset, pernahkah terfikir saat mereka menjadi atasan kita suatu hari nanti, bagaimana mereka akan menganggap kita, intangible asset juga? Bagaimana bila satu saat kita sudah pensiun dan mereka yang menjadi pimpinan, bagaimana mereka menganggap kita? Aktiva tetap yang telah dihapuskan?

Kemudian semua pakar manajemen SDM di seluruh dunia beramai-ramai menyebut bahwa SDM perusahaan adalah mitra perusahaan. Bila perusahaan diartikan sebagai manajemen maka berarti SDM di bawah pihak manajemen adalah mitra para manajemen. Konsep yang enak didengar. Berarti para mitra di kedua belah pihak berdiri sejajar. Untuk banyak hal, bargaining position kedua belah pihak berada di level yang sama. Sebuah konsep yang menyenangkan.

Bagaimana dengan kenyataan? Benarkah demikian? Benarkah anda, sebagai manajemen, menganggap SDM yang anda pimpin adalah mitra anda. Berdiri sejajar, berada pada bargaining position yang sama kuat? Benarkah anda bersedia mendengarkan isi hati mereka yang mereka suarakan kepada anda?

Di kondisi-kondisi seperti ini, memang tidak nyaman menjadi manajemen. Di satu sisi, kita memiliki sekumpulan tugas, tanggung-jawab, order, tujuan perusahaan, yang harus kita laksanakan bersama-sama. Di sisi ini kita berarti perlu mendelegasikan seluruh tugas kepada semua SDM di bawah kita. Equally sesuai kompetensi mereka masing-masing. Kondisi ini bukanlah kondisi yang sulit untuk anda jalankan, pasti.

Di sisi lain, bagaimana bila konsep anda, rencana anda untuk mereka bertentangan dengan konsep mereka, rencana mereka untuk diri mereka sendiri?

Dalam kondisi ini sangat tergantung cara berfikir yang mana yang anda pilih untuk anda percayai. Apakah anda benar-benar percaya pada cara berfikir intangible asset atau anda lebih percaya pada cara berfikir bahwa SDM adalah mitra.

Saat anda berfikir bahwa SDM di dalam organisasi yang anda pimpin adalah intangible asset maka akan dengan mudah anda memindahkan mereka ke tempat yang anda anggap tepat, anda tidak merasa perlu mempertanyakan pertimbangan mereka atas rencana anda terhadap mereka. Anda akan dengan mudah pula memposisikan mereka di jabatan yang anda anggap tepat.

Pernahkah anda terfikir bagaimana bila anda adalah mereka dan mereka berada di posisi anda, di jabatan anda sekarang? Pernahkah anda mencoba merasakan apa yang mereka rasakan karena tindakan anda terhadap mereka?

Seringkali SDM yang sedang tidak memegang kekuasaan tidak dapat berdiri sejajar dengan para personil yang menjadi anggota manajemen dari berbagai level. Para manajemen merasa tidak perlu memberitahukan kepada seluruh personil dalam perusahaan bahwa salah satu posisi manajemen telah kosong dan ada serangkaian persyaratan untuk memegang posisi tersebut.

Seringkali pula para manajemen menetapkan seorang personil memegang posisi tertentu tanpa bertanya terlebih dahulu kepada personil tersebut apakah mereka bersedia memegang posisi tersebut atau tidak, bersediakah mereka berada di lokasi tersebut atau tidak. Seringkali kondisi ini menjadi pemicu masalah, kebanyakan personil yang menduduki jabatan tertentu ternyata kinerja mereka menjadi menurun karena mereka tidak merasa senang ditempatkan di posisi tersebut, di lokasi tersebut.

Kinerja menurun? Nah, anda mungkin baru tersadar sekarang. Pernahkah anda perhatikan pejabat tertentu, ketika dia belum menjabat posisi tersebut, dan setelah dia menjabat posisi tersebut? Saya sangat yakin, anda bukan berniat membuat personil ini menjadi terlihat buruk, memiliki kinerja yang menurun, kemudian mendapatkan hukuman dari perusahaan. Tetapi hal ini bisa menjadi kenyataan bila mereka yang anda posisikan tidak merasa senang menjabat posisi tertentu atau berada di lokasi tertentu.

Mungkin anda berfikir bahwa setiap personil yang belum pernah mendapatkan jabatan tertentu berarti mereka masih membutuhkan basic need (masih ingat piramid Abraham H Maslow?) sehingga penghasilan yang lebih besar karena menduduki jabatan tertentu dapat membuat mereka bahagia? Beberapa personil tertentu tidak lagi membutuhkan basic need, mungkin karena mereka telah mempunyai penghasilan cukup besar di luar, mungkin karena mereka bukanlah ‘penduduk material world’. Sehingga mereka sudah berada di lantai self esteem dalam piramid Maslow.

Memang, bila anda menganggap SDM adalah mitra perusahaan maka mau tidak mau anda harus lebih mengalah dalam mengatur organisasi. Anda mungkin merasa posisi tertentu di organisasi anda yang pimpin sudah perlu untuk diisi orang baru. Maka yang dapat anda lakukan adalah mentenderkan posisi tersebut sehingga semua personil dalam perusahaan mengetahui hal ini. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan anda menghubungi orang tertentu untuk ikut mendaftar, bila yang bersangkutan memang ingin menduduki posisi tersebut. Kemudian anda tinggal memilih yang terbaik dari yang telah mendaftar. Dengan metode seperti ini anda dapat menghindari kinerja menurun dari pejabat baru tersebut.

Masihkah SDM merupakan mitra perusahaan?

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Menulis Meningkatkan Kecerdasan Intrapribadi dan Linguistik

Oleh: M. Iqbal Dawami


Kurang lebih lima belas tahun yang lalu Howard Gardner seorang psikolog sekaligus peneliti Barat telah menemukan sebuah teori tentang multiple intelegence (kecerdasan ganda), yang mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang belum dikembangkan. Dan, bahkan kadang potensi tersebut telah kita kubur gara-gara kesibukan kita sehari-hari, seperti pekerjaan dan mengurus rumah tangga atau karena sekolah. Dan dalam budaya kita pada umumnya orang yang dianggap cerdas yaitu orang yang pintar secara otak bukan emosi, atau lebih dikenal IQ (Intelectual Quotient) dan bukan EQ (Emotional Quotient). Dalam penemuannya, setidaknya ada tujuh kecerdasan yang patut diperhitungkan secara sungguh-sungguh sebagai sebuah kecerdasan juga. Tujuh kecerdasan itu di antaranya kecerdasan linguistik¸ logis-matematis, spasial, musikal, kinestetik, jasmani, antarpribadi, dan intrapribadi.

Dengan adanya tujuh kecerdasan tersebut memberikan peluang pada kita bahwa kita pun patut dianggap cerdas walau tidak dalam kacamata adat masyarakat. Hanya kadang kita menganggap sebagai orang bodoh lantaran tidak cerdas dalam berpikir, matematika, atau pandai berkata-kata. Kita harus menganggap bahwa sesungguhnya kita adalah orang yang cerdas dalam salah satu kecerdasan itu atau bahkan lebih. Sekarang tinggal bagaimana kita menemukan dan menggalinya di antara ketujuh kecerdasan itu.

Lantas apa hubungannya multiple intelegence (kecerdasan ganda) dengan menulis sebagaimana judul di atas? Setelah saya amati penelitian Gardner tersebut dan ditambah dengan membaca buku Thomas Armstrong—pengembang teori Gardner—ternyata aktivitas menulis bisa dimasukan pada dua kecerdasan yaitu, kecerdasan linguistik (Word Smart) dan kecerdasan intrapribadi (self smart). Kedua kecerdasan tersebut sama-sama menggunakan alat ‘aktivitas menulis’ untuk meningkatkan kedua kecerdasan tersebut. Setidaknya ‘aktivitas menulis’ ikut andil dalam peningkatan kedua kecerdasan itu. Untuk membedah masalah ini saya menggunakan sebagian besar buku karangan Thomas Armstrong yang berjudul 7 Kinds of Smart yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ia adalah pengajar dan peneliti mengenai pendidikan di California.

Kecerdasan linguistik bertumpu pada kemampuannya dalam berbicara dan menulis. Menurut Armstrong, orang yang mempunyai bakat di bidang ini akan peka dan tajam terhadap bunyi atau fonologi bahasa. Mereka sering menggunakan permainan kata-kata, rima, tongue twister, aliterasi, onomatope, dan lain-lain. Mereka juga mahir memanipulasi sintaksis (struktur atau susunan kalimat), juga kepekaannya terhadap bahasa melalui semantik (pemahaman tentang makna).

Kemampuan tersebut mereka gunakan dalam berbicara (berkomunikasi dan pidato) maupun menulis. Ia pun memberi contoh dengan Marcel Proust, Robert Lowell, dan William Safier. Proust mampu merangkai anak kalimat menjadi kalimat satu paragrap untuk menciptakan dampak yang menakjubkan. Penyair Robert Lowell menjadi masyhur karena mampu mengambil kata apa pun yang dibahas dalam kuliah penulisan puisi di Harvard, kemudian membahas penggunaan kata itu dalam berbagai cara sepanjang sejarah kesusastraan Inggris. Demikian pula William Safier, yang menulis sebuah kolom mingguan di The New York Times, telah memilih karir memeriksa neologisme pembentukan kata baru dan nuansa makna yang subtil dalam bahasa Inggris yang terus menerus berkembang.

Sedangkan kecerdasan intrapribadi (self smart) bertumpu pada kemampuannya mengelola diri, menganggap diri adalah sebagai konsep hidupnya. Diri sejati, bagi mereka kata Armstrong, merupakan sumber kreativitas batin, fasilitas, spontanitas, dan kesejahteraan emosi seseorang. Menurut psikiater James Masterson, penulis buku The Search for the Real Self, diri sejati mempunyai sejumlah komponen, yaitu:

1. kemampuan untuk mengalami berbagai perasaan secara mendalam dengan gairah, semangat, dan spontanitas
2. kemampuan bersikap tegas
3. pengakuan terhadap harga diri
4. kemampuan untuk meredakan perasaan sakit pada diri sendiri
5. mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk mempertahankan niat dalam pekerjaan maupun relasi
6. kemampuan untuk berkreasi dan berhubungan secara dekat
7. kemampuan untuk menyendiri

Thomas Armstrong menerangkan bahwa Masterson telah menunjukkan tentang diri sejati yang mampu bertahan menghadapi waktu dan ruang. “Entah di atas atau di bawah, dalam suasana hati yang baik atau buruk, menerima kegagalan atau hidup dengan keberhasilan, seseorang dengan diri sejati mempunyai inti batin yang tetap sama bahkan sewaktu dia tumbuh dan berkembang.” Ahli psikologi juga mengatakan bahwa diri tak lebih dari suatu peta mental yang amat rumit atau sebuah sistem skema yang memungkinkan kita mengorganisasi informasi tentang dunia secara lebih efisien. William James merangkum gagasan tentang diri. Ia mengatakan: ”Seringkali saya berpikir bahwa cara terbaik untuk merumuskan watak seseorang adalah dengan mencari sikap moral atau mental tertentu, bila menyangkut dirinya, dia dapat mengenal dirinya secara paling mendalam, sangat aktif, dan sangat hidup. Pada saat itu, muncul suara dari dalam batin yang berkata:’inilah Saya yang sejati’”.

Masih dalam buku 7 Kinds of Smart, Howard Gardner menganggap seseorang yang mempunyai kecerdasan intrapribadi yang kuat dapat memilah-milah berbagai emosi batin, kemudian memberinya nama, mengungkapkannya dalam bentuk simbol, lalu memanfaatkan emosi itu sebagai sarana untuk memahami dan membimbing perilaku diri. Orang semacam ini mencakup ahli terapi, tetua masyarakat, dan penulis. Marcel Proust, misalnya, ketika dewasa menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan tiduran di ranjang sambil merenungkan kembali kehidupannya dengan detail yang menakjubkan. Hasil permenungannya merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam peradaban dunia Barat, yakni novel Remembrance of Things Past.

Baiklah, sekarang bagaimana cara melejitkan diri lewat menulis untuk meningkatkan kecerdasan linguistik (word smart) dan intrapribadi (self smart)? Ini adalah latihan yang diberikan Thomas Armstrong.

Latihan Kecerdasan Linguistik (Word Smart)
Duduklah di atas bangku atau meja dengan beberapa lembar kertas dan dua atau tiga pensil terletak di dekat situ. Tutup kedua mata anda dan dengarkanlah arus bawah kata-kata yang mengalir melalui pikiran anda. Amati apakah kata-kata itu muncul dalam bentuk tetesan (kata-kata tunggal), riak lembut (potongan kalimat), aliran deras (arus komentar), atau dengan cara lain. Setelah mendengarkan suara batin selama dua atau tiga menit, ambillah sebatang pensil, masih dengan kedua mata setengah tertutup, mulailah menuliskan secara persis apa yang Anda dengar seandainya Anda mampu mendengar sesuatu. Lakukanlah latihan ini selama kurang lebih lima belas menit.

Latihan tersebut bisa digunakan untuk mencari ilham dalam pembuatan puisi, pidato, cerita, esai, dan yang lainnya, dimana ketika Anda tidak mampu untuk memulainya.

Cara Membuat Aliran Kata
Ini adalah saran Natalie Goldberg, penulis Writing Down the Bones, tentang bagaimana agar kata-kata bisa mengalir. Hal-hal yang perlu diingat ialah ingatan pertama anda, orang yang anda sayangi, orang yang telah meninggalkan anda, peristiwa paling menakutkan yang pernah anda alami, perasaan paling dekat yang pernah anda alami dengan Tuhan atau alam, seorang guru yang anda kenal, kenangan akan kakek-nenek, dan lain-lain.

Selain itu ada juga cara-cara untuk mengembangkan kecerdasan linguistik—terutama menulis—dengan media bahasa:
1. bergabunglah dengan klub pecinta buku
2. hadirilah konferensi pengarang, ceramah, atau lokakarya tentang mengarang pada perguruan tinggi setempat
3. hadirilah acara peluncuran buku atau acara lain yang menampilkan penulis ternama
4. kunjungi perpustakaan/toko buku secara teratur
5. bacalah sebuah buku setiap minggu dan buatlah perpustakaan pribadi
6. belajarlah menggunakan program pengolah kata
7. buatlah buku harian atau usahakan untuk menulis tentang apa saja yang ada dalam pikiran anda setiap harinya sebanyak 250 kata
8. dll

Armstrong mengatakan bahwa penjelajahan bahasa dapat menghabiskan waktu yang tak terbatas ketika bereksperimen, memanipulasi, menafsirkan, memproduksi, memperluas atau memodifikasinya dengan berbagai cara sesuai dengan dimensi yang kita pilih. Dalam proses ini, mungkin kita baru tersadar bahwa pikiran kita sendiri telah berkembang, sebab pada dasarnya bahasa merupakan alat berpikir. Dengan menggunakannya secara sadar untuk meningkatkan kecerdasan, kita dapat mengalami keragaman dan kekayaannya dengan cara yang pragmatis, tetapi juga menyenangkan.

Latihan Kecerdasan Intrapribadi (Self Smart)
Berikut ini adalah beberapa saran untuk berpindah ke citra diri yang positif:
1. jangan mengecewakan diri dengan menjelek-jelekkan diri sendiri
2. lakukanlah sesuatu yang dapat memompa semangat Anda setiap hari
3. tuliskan 20 pernyataan positif tentang diri Anda dan bacalah pernyataan itu secara teratur
4. bentuklah gambaran mental diri sejati Anda
5. kelilingi diri Anda dengan tokoh panutan yang positif
6. bacalah buku self-help yang memperkuat munculnya rasa diri positif

Kunci penting, kata Armstrong, dalam mengembangkan citra diri positif adalah memupuk rasa batin yang menguasai dan berkompeten, atau perasaan batin bahwa kita mempunyai pengaruh terhadap dunia.

Cara-Cara Untuk Mengembangkan Kecerdasan Batiniah
1. tuliskan autobiografi Anda
2. ciptakan ritual pribadi atau ritual perjalanan hidup Anda
3. rekam dan tafsirkan mimpi Anda secara teratur
4. bacalah buku self-help
5. tentukan sasaran jangka pendek dan jangka panjang Anda dan kemudian tindaklanjuti rencana itu
6. buatlah buku atau catatan harian untuk merekam gagasan, perasaan, sasaran, dan kenangan Anda
7. amatilah biografi dan autobiografi orang besar yang memiliki kepribadian hebat
8. dll.

Bagaimana perasaan Anda setelah membaca hal yang di atas? Ternyata menulis bisa menggabungkan dua kecerdasan sekaligus bukan? Selamat mencoba

* M. Iqbal Dawami lahir di Pandeglang, 02 Mei 1982 telah menyelesaikan program pendidikan S-1 jurusan Bahasa dan Sastra Arab di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah aktif di HMI cabang Yogyakarta komisariat fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan sebagai redaktur pelaksana bulletin Progress HMI. Selain itu juga pernah mengurus media kampus yaitu jurnal Wahatul Adab sebagai sekretaris redaksi. Sekarang mengurus lembaga penerjemahan Tape Translation, dan koordinator komunitas GARIS.

Pola Piramida + Keserakahan = Korban

Oleh Rab A. Broto


Konon keledai pun tidak akan mau terjerumus dua kali ke lubang yang sama. Tapi entah mengapa peribahasa itu sepertinya tak berlaku bagi masyarakat investor di berbagai daerah Indonesia yang dalam lima tahun terakhir entah untuk ke berapa kalinya terjerumus dalam kasus sama.

Investor jadi korban karena tergiur iming-iming mendapatkan untung besar dan cepat sejak dari praktik penggandaan uang, bank gelap, pencarian harta karun raja-raja di Nusantara sampai bisnis bagi keuntungan. Sering kebuntungan itu hanya jadi rentetan kisah sedih yang terpapar di media massa.

Akibatnya sampai kini dana berbilang triliun rupiah milik puluhan ribu investor itu terkatung-katung nasibnya. Korban biasanya tak bisa banyak menuntut karena aset pemberi janji—yang mestinya merupakan kumpulan modal yang disetor banyak orang—telah mengkeret jauh bahkan bagai hilang tak berbekas.

Simak kasus Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), Pohon Mas (Pomas), Pro Best, sampai skandal Bank Global. Yang terbaru tak jelasnya nasib dana senilai jutaan dolar yang menurut agen pemasaran Trust Property, Singapura, diinvestasikan pada pembangunan hotel dan resort di Pulau Hainan serta perkebunan lengkeng di Huazhou, China.

Dalam banyak kasus para pelaku kunci biasanya melarikan diri—dan aset usahanya—yang seketika membuat investor blingsatan dan bahkan memicu rusuh massal. Masih segar dalam ingatan saat sebagian kota Pinrang, Sulawesi Selatan, hangus. Juga ketar-ketirnya warga Medan, Surabaya, Jakarta, serta beberapa kota besar lainnya.

Proses itu diawali pemberian keuntungan—setelah korban menyetor modal—yang semula lancar tapi lambat laun kian seret dan mandek. Saat modal akan ditarik, biasanya sudah macet total. Entah itu karena usahanya [yang benar-benar ada] tak bisa memberi tingkat keuntungan sesuai janji maupun proses ‘gali lubang tutup lubang’ sudah mentok.

Jelasnya administrasi usaha mulai kacau dan yang terpenting, setoran modal yang didapat dari nasabah baru yang bergabung dalam bisnis, nilainya sudah tidak mencukupi untuk membayar bonus maupun bagi hasil kepada nasabah yang bergabung sebelumnya. Sistem mulai runtuh karena ‘makin besar pasak, kian mengkerut tiang pendukungnya’.

Misterius malah efektif
Karena itu beruntunglah investor bila masalah ‘tipu-tipu’ ini sudah bisa diendus sejak awal sehingga bisa diselesaikan secara damai maupun ditangani polisi dan diajukan ke pengadilan. Yang sering terjadi investor hanya bisa sekadar menyesali nasib dan tak tahu harus mengadu ke mana.

Modus penawaran bisnis dengan menyetor modal dengan janji pembagian keuntungan atau menyimpan uang dengan rate bunga per bulan yang jauh di atas bunga deposito itu tampaknya akan tetap marak di masa mendatang. Sepertinya tetap ada saja orang ‘pintar’ yang pandai membujuk dan berani menempuh risiko melanggar hukum demi keuntungan besar yang akan diraih.

Mereka sepertinya sudah sangat tahu profil psikologi investor lokal yang belum rasional. Artinya ikut berbisnis atau menyetor modal dengan [hanya] berpedoman pada naluri, ikut-ikutan, tak terbiasa meganalisis detil situasi dan kondisi sektor usahanya, bahkan percaya pada aspek mistik dari investasi yang ditawarkan.

Proposal sistem investasi—yang dalam sejumlah kasus—sengaja dikesankan misterius ini terbukti malah efektif guna menarik perhatian dan menyihir khalayak. Dalam proses yang hanya memperkaya segelintir orang itu,salah satu perusahaan diberitakan bisa merekrut 80 anggota biasa dan 20 anggota kelas eksekutif dalam hitungan bulan.

Setiap anggota memiliki ratusan anggota lain di bawah kendalinya karena organisasinya berkedok maupun mengklaim menerapkan sistem yang lazim terjadi di bisnis MLM (Multi Level Marketing). ‘Bonus’ senilai puluhan sampai ratusan ribu rupiah akan didapat anggota bila bisa memasukkan satu nasabah yang membeli paket yang per buahnya bernilai jutaan rupiah.

Bonus ini membuat setiap anggota berupaya mendapatkan nasabah sebanyak mungkin. Sedangkan nasabah diiming-imingi duitnya akan berbiak jauh lebih cepat daripada perolehan bunga deposito yang hampir stagnan. Jadi satu lagi aspek penting yang tampaknya terlalu penting untuk tidak dimanipulasi, yaitu sifat dasar manusia yang [cenderung] serakah.

Sekte merusak
Praktik penggandaan uang yang berkedok maupun menggunakan metode atau sistem MLM menurut Steve Hassan, psikolog dan penulis Combatting cult mind control, ternyata tak ada bedanya dengan praktek sekte (cults) yang merusak.

Pengertian cults, lanjutnya, adalah sekelompok manusia yang mengorganisasi diri di sekitar figur otoritas yang kuat. Seperti banyak kelompok lain, ungkapnya, sekte juga berupaya memperluas pengaruhnya demi tujuan mendapatkan uang ataupun kekuasaan.

"Organisasi piramid maupun multi-level marketing adalah satu dari empat tipe dasar sekte yang bersifat destruktif. Motivasinya adalah komersial," katanya seraya mengatakan tiga tipe lainnya adalah sekte keagamaan, psikologis, dan politis.

Hassan mengatakan sekte tidak secara otomatis sesuatu yang jelek. Menurutnya sekte baru berkonotasi merusak saat pimpinan kelompok menerapkan cara manipulatif dan destruktif untuk mengendalikan atau menggunakan anggota kelompoknya guna mencapai agendanya sendiri.

"Sekte destruktif biasanya menggunakan gabungan teknik bujukan (influence) dan penipuan untuk mendapatkan kontrol psikologis terhadap anggota atau orang yang baru saja direkrut."

Perbedaan mendasar dengan kelompok agama yang sudah mantap ataupun gerakan sosial lain, kata dia, adalah tujuannya. Sekte, tambahnya, melayani kepentingannya sendiri karena kegiatannya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pemimpinnya.

Menurut psikolog yang pakar sekte Margaret T. Singer, kelompok semacam ini tumbuh subur selama periode ketidakpastian sosial dan politis. Selain itu juga saat hancurnya struktur dan aturan masyarakat yang semula diagung-agungkan.

Menyangkut krisis moral
Kondisi ini sedikit banyak sejalan dengan ungkapan A.S. Munandar, guru besar psikologi UI, bahwa meskipun Indonesia tampak sudah mulai bisa mengatasi krisis ekonomi dan politik, sampai sekarang belum tampak adanya kemajuan dalam mengatasi krisis moral.

"Padahal krisis moral lebih merugikan karena membuat kinerja seseorang kurang atau tidak bermutu akibat rendahnya pengetahuan, keterampilan, motivasi dan etik kerjanya," ungkapnya dalam seminar Membentuk angkatan kerja bermoral dan bermutu serta kaitannya dengan etika bisnis di Indonesia.

Krisis moral dalam kaitannya dengan kerja inilah yang terutama membuat produktivitas angkatan kerja Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Moral tenaga kerja kita sangat rendah dan ini mudah kita saksikan sehari-hari.

Khususnya kesenangan untuk untuk memperoleh uang dengan dengan menyalahgunakan kekuasaan melalui jabatan yang dipegangnya. Prinsipnya senang untuk mendapatkan uang secara mudah tanpa usaha keras.

Untuk mengatasi hal ini, Munandar menyarankan perlunya dilakukan tindakan terpadu dan menyeluruh dari semua kalangan agar masyarakat, khususnya mereka yang tergolong usia kerja, menjadi lebih bermutu dan bermoral.

"Salah satunya adalah bagaimana mengubah cara dan sistem pendidikan untuk merangsang siswa bisa berpikir mandiri dan kreatif. Dengan ini siswa siap untuk menghadapi berbagai masalah di masa depan.”

Ilmu, menurut dia, bukan sekadar untuk diterima dan ditiru tapi bagaimana bisa dikuasai dan selanjutnya dikembangkan. Pendidikan hendaknya diarahkan agar lulusan siap menjadi pencipta kerja atau pekerja andal.

Kiat penanggulangan Untuk mengatasi godaan agar tidak terjerumus praktek sekte merusak yang terbukti akan terus mengancam mengandaskan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan banyak orang itu, Hassan mengungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan.

"Bila Anda berminat pada suatu organisasi, cari tahu latar belakang pimpinannya. Seperti: apakah dia memiliki catatan kriminal serta apakah dia pernah berprofesi salesman, penjual obat, penulis cerita fiksi ilmiah, ataupun pengusaha yang cenderung melanggar hukum."

Dia mengungkapkan tidak ada hal yang salah secara mendasar pada semua profesi itu. Tapi, tambah dia, tampaknya ada persamaan umum bahwa semuanya adalah profesi yang sering menggunakan bujukan.

"Semua profesi itu memberi bekal istimewa untuk berkarir sebagai pemimpin spiritual," ujar Hassan seraya mengatakan banyak pemimpin sekte belajar trik-trik memanipulasi orang pada profesi atau karir yang dijalani sebelumnya.

Sedangkan menyangkut struktur kekuasaan dalam organisasi, katanya, sekte punya satu pemimpin otoriter yang menuntut pengabdian total anggota. Dalam sekte komersial yang merusak, strukturnya berbentuk piramid yang mana orang yang di puncak menjadi penangguk untung terbesar.

"Pertanyaan terpenting yang harus ditanyakan pada diri sendiri adalah apakah Anda merasa direkrut untuk menjadi anggota. Agar tidak terjebak, langkah perekrutan ini perlu diwaspadai karena seringkali dilakukan meski tidak selalu terjadi."

* Rab A. Broto adalah penulis dan editor alumni Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Yogyakarta (LP3Y) dengan pengalaman 10 tahun. Sebelumnya, ia bekerja sebagai wartawan dan redaktur di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia. Hingga kini ia telah menulis 2.000 straight news (berita pendek ekonomi, politik dan budaya), 400 features (ekonomi, psikologi, iptek dan kesehatan), 5 makalah seminar dan buku Parent Guide (bagian dari paket pendidikan anak My First One Year Activity Book produksi Pustaka Lebah). Kini Rab A. Broto adalah ketua dewan redaksi pada majalah bulanan Indonesian Tax Review Digest dan Buletin Bee Parent yang diterbitkan Lembaga Manajemen Formasi. Ia dapat dihubungi melalui e-mail: nauram@yahoo.com

Maximize Yourself

Oleh: Ignatius Muk Kuang


Bagi anda pecinta basket, saya kira sudah sangat paham betul aturan permainan di dalamnya. Untuk mendapat 3 point dalam satu kali lemparan, sang pemain harus melempar di luar garis 3 point yang ada. Logikanya pemain tersebut harus melempar lebih kuat jika ingin memasukkan bola ke dalam keranjang dibandingkan dia ada di dalam garis tersebut. Contoh lain adalah pemain golf, apabila dia ingin memasukkan bola ke dalam hole yang letaknya lebih jauh maka otomatis dia harus mengayunkan stick golfnya lebih kencang.

Hal serupa terjadi dalam hidup anda, jika ingin mendapat hasil yang optimal sesuai harapan anda, maka konsekuensinya anda harus mau dan mampu memaksimalkan kemampuan anda. Banyak orang memiliki perspektif yang salah, di mana mereka mau mendapat hasil yang maksimal tapi enggan untuk memaksimalkan potensi dirinya sendiri. Saya ingat sebuah pepatah mengatakan “Apa yang kau tanam itulah yang akan kau tuai” Sangatlah adil memang jika anda mengeluarkan usaha yang begitu minim, maka mendapat hasil yang minim pula. Usaha yang dikeluarkan sangat maksimal, maka hasilnya pun akan maksimal.

Maksimal yang seperti apa yang seharusnya dilakukan? Apakah harus bekerja terus menerus sampai anda kelelahan? Atau kerja keras tanpa menghiraukan waktu? Setiap orang mungkin memiliki pandangan yang berbeda dan sah-sah saja, tapi salah satu yang cukup efektif untuk dilakukan adalah memaksimalkan potensi diri khususnya talent (bakat) yang anda miliki.

Setiap manusia diciptakan Tuhan memiliki talent yang berbeda, ada yang mahir dalam dunia musik, pandai dalam ilmu eksakta, paham dengan dunia programing, mahir dalam olahraga, atau bidang lainnya. Tidak ada manusia diciptakan tidak memiliki sebuah talent, jika ada yang mengatakan “Saya tidak memiliki talent” maka orang tersebut bukannya tidak ada melainkan belum mencari dan menggali lebih dalam. Anda harus mengidentifikasi sendiri apa yang menjadi kegemaran anda, dan pada bidang apa anda merasa dapat lebih maksimal dibandingkan dengan bidang yang lain. Jika anda sudah menemukan, mulailah untuk dikembangkan dan dimaksimalkan.

Tidak ada manusia yang diciptakan memiliki talent yang lebih dibanding yang lain, tidak ada talent yang porsinya lebih besar di antara manusia. Menurut saya semua hal tersebut diberikan dalam ukuran yang sama. Yang membedakan adalah apakah anda mau memperbesar dan memaksimalkan talent anda tersebut atau hanya membiarkannya saja. Deretan orang sukses dibidangnya masing-masing seperti Bill Gates, Beethoven, Michael Jordan, bukan semata-mata karena mereka memiliki talent lebih dari anda, tapi mereka mau memaksimalkan talent tersebut.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang menggambarkan sebuah perumpamaan seperti ini: bayangkan sebuah kolam air yang tenang, jika anda ingin membuat gelombang di antaranya anda harus melemparkan batu yang cukup besar ke dalamnya. Apabila kerikil yang anda lempar maka gelombang yang dihasilkanpun kecil. Membentuk Batu besar atau batu kerikil tergantung dari anda apakah mau memaksimalkan potensi anda menjadi sebuah batu besar atau cukup dengan kerikil saja. Jika anda mau menciptakan gelombang yang lebih besar dalam hidup anda, anda tahu batu mana yang diperlukan. You will never grow if you never maximize yourself.

Salam sukses!

Ignatius Muk Kuang : (2003-2004) President of Bina Nusantara English Club.(2003) Indonesia Representative as Adjudicator in World Universities Debating Championship, Singapore. Speaker : Motivation-Self Development, etc. Trainer (Freelance) for Debating, Public Speaking, etc. Invited Jury/Adjudicator for various English tournaments. Actively write some articles related to people-development. Email : mukkuang@yahoo.com / writer_imk@yahoo.com

SIAPAKAH YANG RAJA?

Oleh: Ardian Syam


Ada satu pepatah dalam bahasa Indonesia yang saya tidak tahu sejak kapan mulai digunakan: ‘pelanggan (atau pembeli) adalah raja’. Sebuah pepatah yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang bergerak di bidang penjualan atau pemasaran memperlakukan pembeli atau pelanggan.

Bila dilihat dari pepatah itu maka tidak akan banyak pelanggan dari banyak perusahaan terutama yang berlabel badan usaha milik negara/daerah yang perlu mengkeluhkan layanan buruk yang mereka terima. Namun, apa yang kita dengar di mana-mana? Masih banyak pelanggan, pembeli, nasabah, client (atau apapun cara menyebut mereka) yang menyuarakan keluhan mereka. Keluhan yang disampaikan di televisi, radio, majalah, ataupun koran, termasuk ke saluran-saluran resmi perusahaan yang memberikan pelayanan tersebut.

Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar? Di semua industri; perbankan, energi, air minum, telekomunikasi, penerbangan dan masih banyak lagi sektor industri di negara kita yang tercinta ini masih sering kita dengar keluhan dari pengguna jasa tersebut atas kualitas jasa yang mereka terima dari pemberi jasa tersebut.

Bisakah sekarang kita tetap bertahan pada pepatah tersebut; ‘pelanggan (pembeli) adalah raja’? Mari kita melihat dari sisi memberi dan menerima. Saya sangat yakin bahwa seluruh etnis di negara tercinta ini mengenal arti kata raja, karena semua etnis di negara kita yang tercinta ini di jaman dulu pernah memiliki raja atau hidup dalam jaman kerajaan. Sehingga tidak akan terlalu sulit membawa konsep raja dalam tulisan ini.

Benarkah bila saya mengatakan bahwa kepada raja, kita lebih sering memberi terlebih dahulu daripada meminta atau menerima? Bahkan dari kisah-kisah di jaman dulu kita pernah dengar bahwa orang-orang bisa memberi lebih dari satu kali baru kemudian berani meminta, berani mengharapkan raja akan memberi balasan.

Di satu negara lain, kita mungkin pernah mendengar bahwa hampir seluruh sektor industri akan memberikan kesempatan bagi para pembeli untuk menukar kembali barang yang pernah mereka beli sejauh pembeli tersebut masih menyimpan bukti pembelian barang itu. Bahkan untuk alasan yang sangat sederhana; warna barang itu ternyata tidak terlalu cocok untujk si pembeli. Sangat sederhana. Pembeli bahkan mempunyai pilihan yang sangat luas. Dapat menukarkan dengan barang yang sama dengan warna yang berbeda. Menukarkan dengan barang yang berbeda, warna berbeda, tetapi dengan harga yang sama. Menukarkan dengan barang apapun yang memiliki harga lebih tinggi, bila si pembeli mau membayar untuk selisih harga tersebut. Menukarkan dengan barang apa saja yang memiliki harga lebih rendah dan mengembalikan selisih harga yang telah dibayarkan pembeli. Yang paling akhir adalah mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkan pembeli bila barang tersebut dikembalikan kepada penjual.

Ini belum termasuk bila barang tersebut kadaluwarsa dan menyebabkan pembeli menderita sakit. Penjual bahkan tidak meminta kembali barang tetapi membayar biaya berobat yang harus dikeluarkan pembeli atau mengganti sampai dengan sepuluh kali lipat harga barang yang dibeli.

Bagaimana dengan barang yang dibayar dengan cicilan? Di negara kita tercinta kita sering mendengar panjar, down payment, dan istilah lain yang menunjukkan bahwa barang tersebut baru dapat dibawa pulang oleh pembeli bila pembeli telah memberikan sejumlah uang terlebih dahulu. Walaupun kemudian sisa harga barang tersebut akan dibayar secara bertahap, tetapi tetap saja pembeli baru menerima barang bila telah memberikan sejumlah uang. Memberi terlebih dahulu baru menerima.

Di negara yang tadi saya ceritakan, bahkan banyak barang yang dibayar secara cicilan dapat langsung dinikmati oleh pembeli tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang terlebih dahulu. Benar-benar menerima dahulu baru memberi.

Kita masih belum membahas apakah perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa atau menjual produk tersebut benar-benar tahu apa yang diinginkan pelanggan mereka. Tapi lihatlah dalam konteks memberi dan menerima.

Lalu masih bisakah kita mengatakan bahwa pelanggan memang raja? Sementara kita sebagai perusahaan penyedia jasa atau penjual produk justru menuntu pelanggan atau pembeli untuk memberi (uang) terlebih dahulu sebelum mereka menerima (jasa atau produk) dari kita?

Ada pembelaan yang cukup menarik dari teman-teman marketer atau sales person. Bahwa belum tentu para pembeli atau pelanggan tersebut akan bersedia membayar jasa atau produk yang telah mereka nikmati, atau bila pun membayar akan perlu ditagih berkali-kali terlebih dahulu baru melakukan pembayaran. Sebuah pembelaan yang bagus sekali. Sangat bagus dan semakin memperlihatkan bagaimana konteks memberi dan menerima terjadi antara penjual dan pembeli di Indonesia.

Justru terlihat sekali bahwa para penjual sama sekali tidak trust kepada pelanggan atau pembeli. Benarkah kita bisa tidak trust kepada raja? Percayakah anda? Sebagian besar raja di jaman dulu disayang oleh rakyat, karena raja menunjukkan bahwa dia amanah, dan karena itu pula rakyat trust pada raja. Mereka percaya raja tidak akan menyalah gunakan rasa percaya rakyat.

Mari kita balik ke konteks pembeli dan penjual, benar kekhawatiran tentang tidak bayar, karena perusahaan akan segera berhenti beroperasi bila tidak ada cash in flow. Tetapi coba anda lihat statistik anda sendiri berapa banyak pembeli atau pelanggan, baik yang pasca bayar maupun yang membayar secara cicilan, yang lalai melakukan pembayaran? Dari beberapa perusahaan yang saya tahu ternyata yang lalai melakukan pembayaran berjumlah jauh di bawah 20%. Sebagian besar perusahaan memiliki pelanggan atau pembeli yang lalai membayar bahkan kurang dari 3%. Itu berarti sebagian besar pembeli atau pelanggan anda, baik yang melakukan pembayaran secara cicilan maupun yang pasca bayar saja akan sangat sedikit.

Pertanyaan saya berikut, apakah menurut anda, di negeri yang saya katakan tadi tidak seorangpun pembeli atau pelanggan yang lalai melakukan pembayaran, apapun alasan mereka? Ada! Jumlah pelanggan atau pembeli yang lalai melakukan pembayaran juga tidak banyak berbeda dengan yang terjadi di negara kita yang tercinta ini. Lalu apakah kita masih harus terus mempertahankan sikap untrust kita kepada para pelanggan atau pembeli?

Sekarang jadi pertanyaan buat saya, apakah benar kata-kata ‘pelanggan adalah raja’? Apakah itu bukan sekedar terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sebuah sikap yang nyata-nyata tidak kita miliki? Sebuah sikap yang ada di negara tempat kata-kata tersebut berasal. Karena dengan begitu banyak bukti statistik yang kita punya, tetap saja kita tidak memperlakukan pelanggan sebagai raja.

Pemikiran yang saya usulkan, adalah seberapa besar kesediaan kita untuk mulai trust kepada pelanggan sehingga kita benar-benar dapat memperlakukan mereka sebagai raja? Memberi lebih banyak kepada mereka daripada yang dapat kita terima dari mereka. Tentu saja tanpa melupakan cost and benefit, serta tetap mempertahankan konsep bahwa perusahaan adalah wealth multiplying organization.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

SIAPAKAH YANG RAJA?

Oleh: Ardian Syam


Ada satu pepatah dalam bahasa Indonesia yang saya tidak tahu sejak kapan mulai digunakan: ‘pelanggan (atau pembeli) adalah raja’. Sebuah pepatah yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang bergerak di bidang penjualan atau pemasaran memperlakukan pembeli atau pelanggan.

Bila dilihat dari pepatah itu maka tidak akan banyak pelanggan dari banyak perusahaan terutama yang berlabel badan usaha milik negara/daerah yang perlu mengkeluhkan layanan buruk yang mereka terima. Namun, apa yang kita dengar di mana-mana? Masih banyak pelanggan, pembeli, nasabah, client (atau apapun cara menyebut mereka) yang menyuarakan keluhan mereka. Keluhan yang disampaikan di televisi, radio, majalah, ataupun koran, termasuk ke saluran-saluran resmi perusahaan yang memberikan pelayanan tersebut.

Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar? Di semua industri; perbankan, energi, air minum, telekomunikasi, penerbangan dan masih banyak lagi sektor industri di negara kita yang tercinta ini masih sering kita dengar keluhan dari pengguna jasa tersebut atas kualitas jasa yang mereka terima dari pemberi jasa tersebut.

Bisakah sekarang kita tetap bertahan pada pepatah tersebut; ‘pelanggan (pembeli) adalah raja’? Mari kita melihat dari sisi memberi dan menerima. Saya sangat yakin bahwa seluruh etnis di negara tercinta ini mengenal arti kata raja, karena semua etnis di negara kita yang tercinta ini di jaman dulu pernah memiliki raja atau hidup dalam jaman kerajaan. Sehingga tidak akan terlalu sulit membawa konsep raja dalam tulisan ini.

Benarkah bila saya mengatakan bahwa kepada raja, kita lebih sering memberi terlebih dahulu daripada meminta atau menerima? Bahkan dari kisah-kisah di jaman dulu kita pernah dengar bahwa orang-orang bisa memberi lebih dari satu kali baru kemudian berani meminta, berani mengharapkan raja akan memberi balasan.

Di satu negara lain, kita mungkin pernah mendengar bahwa hampir seluruh sektor industri akan memberikan kesempatan bagi para pembeli untuk menukar kembali barang yang pernah mereka beli sejauh pembeli tersebut masih menyimpan bukti pembelian barang itu. Bahkan untuk alasan yang sangat sederhana; warna barang itu ternyata tidak terlalu cocok untujk si pembeli. Sangat sederhana. Pembeli bahkan mempunyai pilihan yang sangat luas. Dapat menukarkan dengan barang yang sama dengan warna yang berbeda. Menukarkan dengan barang yang berbeda, warna berbeda, tetapi dengan harga yang sama. Menukarkan dengan barang apapun yang memiliki harga lebih tinggi, bila si pembeli mau membayar untuk selisih harga tersebut. Menukarkan dengan barang apa saja yang memiliki harga lebih rendah dan mengembalikan selisih harga yang telah dibayarkan pembeli. Yang paling akhir adalah mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkan pembeli bila barang tersebut dikembalikan kepada penjual.

Ini belum termasuk bila barang tersebut kadaluwarsa dan menyebabkan pembeli menderita sakit. Penjual bahkan tidak meminta kembali barang tetapi membayar biaya berobat yang harus dikeluarkan pembeli atau mengganti sampai dengan sepuluh kali lipat harga barang yang dibeli.

Bagaimana dengan barang yang dibayar dengan cicilan? Di negara kita tercinta kita sering mendengar panjar, down payment, dan istilah lain yang menunjukkan bahwa barang tersebut baru dapat dibawa pulang oleh pembeli bila pembeli telah memberikan sejumlah uang terlebih dahulu. Walaupun kemudian sisa harga barang tersebut akan dibayar secara bertahap, tetapi tetap saja pembeli baru menerima barang bila telah memberikan sejumlah uang. Memberi terlebih dahulu baru menerima.

Di negara yang tadi saya ceritakan, bahkan banyak barang yang dibayar secara cicilan dapat langsung dinikmati oleh pembeli tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang terlebih dahulu. Benar-benar menerima dahulu baru memberi.

Kita masih belum membahas apakah perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa atau menjual produk tersebut benar-benar tahu apa yang diinginkan pelanggan mereka. Tapi lihatlah dalam konteks memberi dan menerima.

Lalu masih bisakah kita mengatakan bahwa pelanggan memang raja? Sementara kita sebagai perusahaan penyedia jasa atau penjual produk justru menuntu pelanggan atau pembeli untuk memberi (uang) terlebih dahulu sebelum mereka menerima (jasa atau produk) dari kita?

Ada pembelaan yang cukup menarik dari teman-teman marketer atau sales person. Bahwa belum tentu para pembeli atau pelanggan tersebut akan bersedia membayar jasa atau produk yang telah mereka nikmati, atau bila pun membayar akan perlu ditagih berkali-kali terlebih dahulu baru melakukan pembayaran. Sebuah pembelaan yang bagus sekali. Sangat bagus dan semakin memperlihatkan bagaimana konteks memberi dan menerima terjadi antara penjual dan pembeli di Indonesia.

Justru terlihat sekali bahwa para penjual sama sekali tidak trust kepada pelanggan atau pembeli. Benarkah kita bisa tidak trust kepada raja? Percayakah anda? Sebagian besar raja di jaman dulu disayang oleh rakyat, karena raja menunjukkan bahwa dia amanah, dan karena itu pula rakyat trust pada raja. Mereka percaya raja tidak akan menyalah gunakan rasa percaya rakyat.

Mari kita balik ke konteks pembeli dan penjual, benar kekhawatiran tentang tidak bayar, karena perusahaan akan segera berhenti beroperasi bila tidak ada cash in flow. Tetapi coba anda lihat statistik anda sendiri berapa banyak pembeli atau pelanggan, baik yang pasca bayar maupun yang membayar secara cicilan, yang lalai melakukan pembayaran? Dari beberapa perusahaan yang saya tahu ternyata yang lalai melakukan pembayaran berjumlah jauh di bawah 20%. Sebagian besar perusahaan memiliki pelanggan atau pembeli yang lalai membayar bahkan kurang dari 3%. Itu berarti sebagian besar pembeli atau pelanggan anda, baik yang melakukan pembayaran secara cicilan maupun yang pasca bayar saja akan sangat sedikit.

Pertanyaan saya berikut, apakah menurut anda, di negeri yang saya katakan tadi tidak seorangpun pembeli atau pelanggan yang lalai melakukan pembayaran, apapun alasan mereka? Ada! Jumlah pelanggan atau pembeli yang lalai melakukan pembayaran juga tidak banyak berbeda dengan yang terjadi di negara kita yang tercinta ini. Lalu apakah kita masih harus terus mempertahankan sikap untrust kita kepada para pelanggan atau pembeli?

Sekarang jadi pertanyaan buat saya, apakah benar kata-kata ‘pelanggan adalah raja’? Apakah itu bukan sekedar terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sebuah sikap yang nyata-nyata tidak kita miliki? Sebuah sikap yang ada di negara tempat kata-kata tersebut berasal. Karena dengan begitu banyak bukti statistik yang kita punya, tetap saja kita tidak memperlakukan pelanggan sebagai raja.

Pemikiran yang saya usulkan, adalah seberapa besar kesediaan kita untuk mulai trust kepada pelanggan sehingga kita benar-benar dapat memperlakukan mereka sebagai raja? Memberi lebih banyak kepada mereka daripada yang dapat kita terima dari mereka. Tentu saja tanpa melupakan cost and benefit, serta tetap mempertahankan konsep bahwa perusahaan adalah wealth multiplying organization.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Psikologi Duit, Kesejahteraan dan Keberlimpahan

Oleh: Rab A Broto


Apa yang menghentikan seseorang dari sukses secara finansial? Jawabnya karena orang biasanya terfokus pada keyakinan (belief) bahwa sukses keuangan bukan merupakan satu kemungkinan (possibility). Tegasnya banyak orang yang menciptakan beragam hambatan sehingga terus mencegahnya meraih keberlimpahan (abundance).

“Pasalnya saat punya keyakinan pembatas (limiting) tentang uang pada level bawah sadar (unconscious), Anda akan sangat susah bergerak mengatasi berbagai keterbatasan finansial karena pikiran bawah sadar itu akan selalu melawan upaya yang dilakukan untuk sukses.”

“Itulah mengapa sejumlah orang menghabiskan seluruh hidupnya dari tagihan yang satu ke tagihan yang lain dalam kadar berbeda karena mereka tidak percaya bisa berbuat lebih baik,” tandas pakar NLP (Neuro Linguistic Programming) Kris Hallbom dan Armand D’alo dalam artikelnya.

Bahkan saat ada niat positif untuk mengatasi berbagai hambatan finansial, banyak orang tidak mengenali bagaimana keseluruhan kehendaknya. Sementara mereka yang mengetahui sejumlah niat dalam tingkatan yang lebih baik pun masih belum tahu bagaimana bisa mengatasi berbagai hambatan yang ditemui.

Pada level kesadaran, hampir semua orang berpikir mereka akan melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk mewujudkan keinginannya. Sayangnya ada bagian bawah sadarnya yang yang tidak yakin bisa berhasil. Semakin menghindari bagian bawah sadar ini, kian banyak hambatan yang akan muncul dalam kesehariannya. “Itulah cara pikiran (mind) bekerja.”

Sebagai contoh, bayangkan kenalan yang Anda ketahui membaca semua buku cara menjadi kaya, menghadiri berbagai seminar keuangan, menyatakan ikrar harian, dan masih terus bokek. Apa yang dilakukan jelas sangat berharga, meskipun sering semuanya belum cukup mencapai ‘inti’ (core) masalah yang biasanya melibatkan sejumlah keyakinan negatif.

Sikap Hidup
Masing-masing orang punya beragam keyakinan atau asumsi berbeda tentang uang. Beberapa yang umum adalah:

- Perlu uang untuk menghasilkan uang.
- Tidak punya cukup uang untuk dikelola dengan baik.
- Sudah terlambat dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
- Saat saya berinvestasi, pasar pasti akan melesu.
- Soal perduitan terlalu rumit.

Itu semua adalah keyakinan sebab-akibat (cause/effect) yang sungguh sedikit kaitannya dengan bagaimana mencapai keberlimpahan. Kepercayaan jenis itu akan membatasi seseorang karena mencari jawaban di luar diri orang bersangkutan. Padahal faktanya kunci menuju ke sana ada di dalam diri karena keberlimpahan bukan apa yang orang miliki.

Keberlimpahan adalah sikap hidup (state of mind). Banyak orang yang sukses hidupnya dari sisi keuangan, sering punya kepercayaan positif tentang kekayaan dan keberlimpahan. Saat memahami dan bergerak dari kungkungan kepercayaan sebab-akibat menuju ide “Apa yang mungkin?” dalam dunianya, orang bergerak ke tingkat pemikiran yang secara keseluruhan berbeda.

Dengan berpikir apa yang mungkin terjadi atau dilakukan, orang akan lebih bersikap dan berperilaku lebih positif dalam jangka panjang. Ini bisa terjadi, kata Hallbom yang wakil direktur NLP Institute of California di situs www.nlpcomprehensive.com, karena dengan begitu seseorang telah mengembangkan kerangka mentalnya berkaitan dengan uang.

Ironisnya sebagai ganti memusatkan perhatian pada apa yang mungkin, banyak orang menghabiskan waktunya memikirkan apa yang tidak dimiliki. Satu pola menarik pun berkembang dan membuat mereka menjadi marah dan putus asa atas situasi yang dihadapi yang melahirkan lebih banyak keterbatasan dan hambatan dalam hidupnya.

Perlu diingat bahwa jauh lebih mudah mengawali dan melakukan terobosan dalam hidup saat anda datang dari pikiran yang damai dan tenang (peaceful) dibandingkan bila datang dari kerangka pikir yang kemrungsung dan dipenuhi kemarahan. Langkah pertama untuk menolong orang yang terjebat dalam kerangka pikir negatif adalah dengan mengeksplorasi penyebab asal.

Langkah Pertama: Identifikasi
Sebagai contoh, orang itu mungkin punya orangtua yang miskin dan selanjutnya membentuk mentalitas ‘masa krisis’. Sejak itu mereka mengembangkan keyakinan bawah sadar bahwa dia akan selalu harus berjuang secara finansial karena itulah yang dilakukan orangtuanya.

Atau bisa jadi memang mereka punya orangtua yang selalu mengatakan berulang kali bahwa mereka tak akan pernah sukses dan akhirnya mereka mulai meyakininya. Jadi sangat biasa bagi anak secara tak sadar membentuk keyakinan yang membatasi seputar soal uang pada masa awal kehidupannya.

Tipe keyakinan semacam itu dalam NLP disebut imprints yang pada dasarnya adalah satu memori yang terbentuk pada masa awal yang bisa berperan sebagai asal muasal (root). Baik menyangkut kepercayaan yang membatasi maupun yang memberdayakan (empowering) yang kita kembangkan sebagai anak.

Sejumlah keyakinan yang kita kembangkan di usia muda tidak selalu menyehatkan. Itu semua lahir sebagai hasil pengalaman yang traumatik atau membingungkan yang mestinya dilupakan. Bagaimana kita secara sadar atau tak sadar melihat dunia dari kacamata keuangan biasanya berdasarkan keyakinan tidak sehat ini.

Jadi mengidentifikasi keyakinan pembatas adalah langkah pertama yang penting. Begitu Anda mengetahui apa saja keyakinan dasar tersebut, Anda bisa menggunakan sejumlah teknik NLP untuk mengatasi berbagai hambatan mental terkait soal uang. Teknik ini memungkinkan Anda melihat dan mengalami semua peluang finansial yang tersedia.

Perbedaan psikologis utama antara mereka yang sukses secara finansial dan yang gagal berputar di sekitar keyakinan tentang kemungkinan. Sebut soal banyak orang yang bahkan tak mempertimbangkan sukses finansial sebagai pilihan. Mereka tak mampu membuka diri pada semua peluang tersedia untuk meraih keberlimpahan.

Dua Cara
Sering mereka terjerat dalam tagihan rutin dari bulan ke bulan dan tak berkehendak mengambil risiko atau mencoba sesuatu yang lain karena takut akhirnya akan lebih terpuruk dari kondisi saat ini. Apa yang tidak diketahui oleh orang-orang jenis ini adalah hal biasa melangkah mundur bila diperlukan untuk bisa melangkah maju.

Banyak jutawan bangkrut di satu masa hidupnya dan mendadak membalik situasi finansialnya menjadi lebih baik. Selain itu orang yang memulai bisnisnya sendiri sering awalnya harus kehilangan uang. Namun mereka tetap gigih karena percaya bahwa bisnis barunya akan berkembang dan suatu saat akan bisa melunasi semua kerugian dan untung.

Tidak semua orang harus ambil risiko atau melangkah mundur untuk maju, meskipun penting untuk secara sadar membuka diri pada ide tentang apa yang mungkin untuk Anda. Untuk bisa bertahan pada ide ini, pertama Anda harus punya kemampuan mengubah kegiatan harian rutin dengan melakukan sesuatu secara berbeda.

Ini termasuk belajar bagaimana melihat dunia Anda lewat kacamata kekayaan dan keberlimpahan sebagai pengganti kelangkaan dan kemiskinan. Untuk itu cobalah cara ini setiap ada kesempatan. Pertama, pikirkan sesuatu yang diinginkan dan semua kemungkinan yang dimiliki untuk mendapatkannya.

Tanyakan kepada diri sendiri: “Apa saja yang mungkin dilakukan?” Kemudian coba cara berbeda (cara kedua): pikirkan sesuatu yang tidak dimiliki tapi ingin dimiliki. Pikirkan kenapa Anda kini tidak memilikinya dan apa yang ingin dilakukan agar dapat memilikinya. Rasakan sepenuhnya mana yang membuat Anda lebih nyaman.

Dengan mudah bisa dirasakan cara pertamalah yang membuat perasaan lebih baik karena pernyataan ‘apa yang mungkin’ didesain untuk memperluas kerangka sadar dan bawah sadar seputar kekayaan dan keberlimpahan. Menakjubkan membayangkan apa yang bisa terjadi begitu seseorang mengubah sikap dan keyakinannya terkait kemungkinan ini.

Begitu orang berkehendak mulai berubah, dia akan menyaksikan hasilnya nyaris seketika. Hasil perubahan itu mungkin kecil saat pertama. Tapi bila yang bersangkutan terus konsisten melakukan cara berpikir barunya, banyak kemungkinan ‘keajaiban’ akan terbuka untuknya.

Rab A. Broto adalah penulis dan editor alumni Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Yogyakarta (LP3Y) dengan pengalaman 10 tahun. Sebelumnya, ia bekerja sebagai wartawan dan redaktur di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia. Hingga kini ia telah menulis 2.000 straight news (berita pendek ekonomi, politik dan budaya), 400 features (ekonomi, psikologi, iptek dan kesehatan), 5 makalah seminar dan buku Parent Guide (bagian dari paket pendidikan anak My First One Year Activity Book produksi Pustaka Lebah). Kini Rab A. Broto adalah ketua dewan redaksi pada majalah bulanan Indonesian Tax Review Digest dan Buletin Bee Parent yang diterbitkan Lembaga Manajemen Formasi. Ia dapat dihubungi melalui e-mail: nauram@yahoo.com.

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman