Lagi, dunia perbukuan di Tanah Air diramaikan oleh penulis gaya metropolis dengan karya yang ringan, menghibur, kosmopolis, tapi juga sarat pesan moral. Alexandra Dewi bersama rekannya Cynthia Agustina menelurkan sebuah karya berjudul I Beg Your Prada (Gramedia, 2006), yang segera di-launching pada 19 September 2006 ini di sebuah toko buku di Jakarta Pusat.
Buku yang berisi cerita-cerita keseharian ini asal mulanya adalah coretan-coretan dalam jurnal dan curhat melalui email. Tak disangka, topik-topik yang dibahas dalam jurnal dan curhatan tersebut ternyata mengandung sejumlah keprihatinan atas situasi sosial di sekeliling para penulisnya. Banyak pesan moral di dalamnya yang patut dilongok siapa saja.
Namun bukan sekadar keprihatinan yang menyentuh. Dewi—yang sehari-hari adalah pimpinan puncak perusahaan sekaligus ibu rumah tangga—dan Cynthia yang masih single dan suka melancong keluar negeri, mampu menyajikan tulisan-tulisan yang sangat menghibur. Semua menyangkut polah tingkah kelas menengah di perkotaan, baik di Jakarta maupun di luar negeri. Jadilah I Beg Your Prada sebuah racikan yang benar-benar menghibur tapi juga menyentuh.
“Kisah-kisah dalam buku ini semuanya nyata, bukan fiksi. Aku alami sendiri dan benar-benar ada di sekelilingku,” jelas Dewi kepada Edy Zaqeus dari Pembelajar.com. “Saya inginnya menulis sesuatu yang ada emotional attachment-nya. Tidak melulu yang berorientasi pasar. Susah menulis kalau orientasinya melulu pasar,” terang Dewi, jebolan American College for the applied arts, Los Angeles, USA, ini.
Yang unik dari buku ini adalah perpaduan dua cara pandang—antara Dewi yang sudah berumah tangga dengan Cynthia yang masih single—dalam rangkaian tulisan yang kadang bertolak belakang, kadang pula saling menguatkan. Tapi, menurut Dewi yang kelahiran 11 Mei 1974 dan sudah dikarunia dua putera ini (Jessie Chen 6 tahun dan Mason Chen 3 tahun), perbedaan yang ada justru semakin menguatkan pesan-pesan moral yang hendak disampaikan. Alhasil, perpaduan tulisan keduanya tetap enak dinikmati dan tampak dijagokan oleh penerbitnya. Berikut petikan dari obrolan ringan dengan Alexandra Dewi di kantornya di Jalan Radio Dalam Raya, Jakarta Selatan:
Apa yang mengilhami Anda menulis buku I Beg Your Prada ini?
Kebetulan aku kan suka nulis-nulis di komputer. Temen-temenku yang deket-deket kan semuanya di luar negeri. Jadi aku pasti ngemail dong sama mereka, ceritanya seperti apa. Mereka seperti saudara sendiri, kenal dari remaja sampai sekarang. Nah, hal-hal yang diobrolin itu kan hanya ke temen-temen deket aja. Nggak mungkin dong kalau baru kenal sama orang nanya-nanya hal yang... Kalau nggak deket pasti mereka nggak discuss. Tapi kalau boleh tahu, kan pasti pingin nanya juga, gitu lho! Kadang-kadang aku wondering, kalau pikiran orang lain itu seperti apa sih? Tapi aku pikir, alangkah enaknya kalau ini bisa dibagikan ke orang lain.
Bentuk awal tulisan-tulisan ini seperti apa?
Jurnal. Diary.
Kenapa memilih bentuk itu?
Karena lebih dari dalam hati. Apa adanya, ya kan? Jadi bukan untuk mempengaruhi orang. Bukan untuk mengritik. Tapi ya kejadian sehari-hari aja. Jadi bener-bener datang dari hati aja. Jujur.
Bagaimana perasaan Anda saat tulisan-tulisan itu bisa diterbitkan jadi buku?
Ya senang. Nggak nyangka aja. Ke-GR-an malah. Trus udah itu, mikir-mikir sampai aku baca-baca lagi, apa sih sebetulnya yang menarik dari tulisanku itu? Karena ini kan sebenarnya obrolan sehari-hari. Jadi, kalau aku bisa lihat dari sini, mungkin kalau kita nulis bukan karena motivasi uang, bukan mengikuti kesenangan pembaca saja, kira-kira yang laku itu apa, mungkin akan lebih menghasilkan sesuatu yang otentik. Katanya kalau nulis fiksi kayak novel itu kan lebih bagus ya pasarannya. Tapi, kalau itu bukan aku, susah juga aku nulisnya. Bisa aja aku bikin novel, tapi nggak dari dalam hatiku, gitu lho! Trus aku mikirnya begini, “Apa kira-kira yang dimaui pembaca itu?” Itu aku mikirin dia. Tapi kalau buku ini, aku mikirin ini pengalamanku—yang menurut pendapatku—yang kalau dibaca pun akan menjadi sebuah entertainment. Selain inspiratif dan membuat orang mau berpikir. Susah kalau orientasinya bukan karya tapi melulu pasar. Kecuali orang yang benar-benar writer ya.
Padahal Anda orang bisnis, kan?
Ya. Kalau bisnis ya bisnis. Kalau penulisan kan art, karya.
Itu menimbulkan kepuasan yang lebih besar?
Ya.
Apa aja sih yang dibicarakan di buku ini?
Isinya seputar jalan hidup yang berbeda-beda. Yang single tentu problemnya beda-beda sama yang sudah berumah tangga. Trus, yang sudah berumah tangga pun problemnya juga berbeda-beda. Ada yang belum punya anak. Ada yang anaknya enam. Ada yang pingin nggak punya anak sama sekali.
Ada soal-soal benturan budaya dalam buku ini?
Ya. Benturan budaya lebih banyak dari tulisan Cynthia ya. Kayak jam karet. Jam karetnya itu numpuk gitu lho. Dalam tulisan dia nih ya, misalnya sehari kita janji jam delapan, ntar datengnya jam 10. Akhirnya yang jam 10 diundurin ke jam 12. Nah, yang jam 12 ini nggak janji lagi, nggak tahu datangnya jam berapa. Akhirnya kan setiap hari seperti itu. Kalau di dunia Barat, orangnya cukup on time ya. Di sini, ada yang kadang-kadang telat pun nggak ngomong. Nanti datangnya sesuka-suka dia, kesulitannya itu ndak diomongin. “Lu di mana?” Nggak dijawab. Nanti aja kalau mukanya nongol baru, “Sorry!”
Kalau model tulisan Cynthia awalnya seperti apa?
Kalau Cynthia awalnya dari blog. Dia menuliskan pengalamannya. Cynthia itu kan orangnya begini. Dia tuh sukanya kerja-kerja. Kalau uangnya cukup lalu dia travel, uangnya dihabiskan, gitu lho. Kira-kira seperti itu. Dia nggak worry dia nggak punya tabungan nggak punya apa. Dia nggak worry. Nah, kalau aku kan bertolak belakang sama sekali sama Cynthia. Karena dia travel terus, tentu dia kontaknya sama orang-orang lewat blog itu, kan? Pengalaman dia tentu lebih bervariasi dari aku. Makanya aku ajak dia nulis. Dia kan belum married. Jadi biar buku ini pandangannya bukan dari orang married aja. Tapi toh kami punya pikiran yang mirip-mirip juga.
Jadi daya tariknya adalah menggabungkan dua perspektif tulisan-tulisan yang dijadikan satu buku?
Heem... Ya. Pasti ada pula perbedaannya. Tapi yang aku lihat di sini Cynthia ini masih single, jauh lebih yunior, dibanding aku yang sudah married, sudah punya anak. Tapi tetap kan kita sama-sama perempuan. Pikiran kita ke soal cowok itu—walau tidak sama, tapi—ada miripnya juga.
Proses penemuan Cynthia itu bagaimana kok akhirnya bisa kerjasama membuat buku?
Aku bilang ke temenku, aku ingin nulis buku. Lalu aku bilang, untuk buku yang pertama aku nggak mau nulis sendiri. Karena tema buku ini kan perempuan banget. Nah, aku maunya ada pendamping yang single, yang sangat bertolak belakanglah. Temenku kenal dengan Cynthia, dia minta aku cek blog-nya. Aku cek, aku suka gaya penulisannya, aku kontak dia, ternyata dia mau.
Itu juga pengalaman pertama Cynthia menulis buku?
Ya. Selain di blog yang diterbitkan jadi buku, ini yang pertama kali sama aku.
Jurnal kan biasanya tulisan mentah. Bisa juga dijadikan buku?
Ya, memang amburadul. Kayak gini nih... di buku kecil ini. Semua hari ini apa. Kadang berapa lama lupa nggak ngisi. Tapi yang sering aku ngemail sama temen. Dia pasti bales. Aku tanya misalnya, “Halo, kamu lagi ngapain? Aku lagi sebel banget deh... gini..gini...” Begitu aku bercerita. Lalu aku nanya, “Si cowok itu sekarang bagaimana?”, nah... nanti kan dia ganti yang cerita. Dari situ aja terbentuk cerita-cerita.
Jadi buku ini terbentuk dari komunikasi melalui email?
Ya, bahan ceritanya banyak dari sana. Email-emailan sama temen-temen yang deket dan mau berbagi. Kadang-kadang ya, salah satu yang lebih bagus dari email itu begini; walaupun jawabannya agak instan, tapi karena dia itu menulis, kadang cara dia menumpahkan perasaan itu lebih dalam dibanding kalau ketemu begini.
Bahasanya ada muatan emosinya?
Ya. Kalau cuma omong langsung, mungkin dia kurang comfortable karena ada orang lain misalnya. Kalau email begini kan privat ya. Aku tanya soal-soal keluarga, dia jawabnya juga dari hatinya dia. Aku menangkapnya, semua temenku itu—kalau mau jujur—punya banyak problem punya banyak dilema. Tapi... dia kan nggak bisa buka ke semua orang? Nggak bisa dan nggak comfortable cerita ke orang lain. Makanya dalam bukuku ini semua namanya diganti. Dan kebanyakan temen-temenku nggak tinggal di sini.
Saat dikabari cerita-cerita mereka jadi bahan buku, tanggapan mereka?
Mereka bilang, “Ya baguslah kalau ceritaku ini bisa menginspirasi yang lain...” Kecuali untuk cerita sepatu temanku yang kita ketawain itu ya. Itu aku nggak bilang-bilang ha ha ha... “Demam Versace” itu lho! Cerita sepatu yang palsu itu, aku nggak cerita-cerita. Dia juga nggak tahu sepatunya diomongin. Kalau pun tahu bukunya, dia nggak bisa baca bahasa Indonesia. Dia kan tinggalnya di Amerika.
Apa visi penulisan buku ini?
Visinya? Aku pingin sekali mereka yang baca buku ini—kalau dia itu orangnya yang seperti aku ceritakan dalam buku itu—mbok mereka nyadar dikit, gitu lho! Mereka sadar nggak memperlakukan orang lain seperti cerita-cerita yang kutulis di situ.
Contohnya?
Contoh, ini di luar yang aku tulis dalam bukuku ya. Orang-orang yang pamer, “Aku ini bangsawan...”, “Aku ini kenal si ini... Aku kenal si itu...”, “Lu tahu nggak bokap gue tuh siapa?”, itu kan banyak banget yang seperti itu. So what, gitu lho! Mengapa sih setiap kata-kata diakhiri dengan, “Lu tahu nggak bokap gue siapa?”
Itu salah satu gambaran kultur masyarakat kita?
Ya, seperti itu. Jangan seperti itulah! Untuk orang-orang kayak gini ya, dalam pesan moralku, “Kamu tuh bukan lebih baik dari aku. Kamu tuh cuma punya lebih banyak uang, you know! Like in english, you’re not better than me, you just have more money than me.” Kalau kultur kita ini kan asal punya banyak duit...wah, semuanya... Padahal secara manusiawi, kualitas kemanusiaannya itu belum tentu lebih baik. Soal moral, soal kesetiaan, soal pertemanan yang baik, soal compassion atau perasaan empati ke orang lain masih tanda tanya. Seperti reality show “Tolong Dong”, itu kan ada yang lebih miskin tapi kan mau menolong! Coba yang kaya-kaya itu mau nggak dibikin reality show kayak gitu? Banyak faktor lain yang menentukan kita itu manusia yang berkualitas seperti apa. Bukan hanya uang. Aku nggak bilang orang kaya itu selalu nggak bagus. Aku cuma bilang, “Bukan hanya karena punya uang itu kamu jadinya wah... everything is perfect.
Yang tertulis di buku ini kisah-kisah nyata?
Ya. Bukan fiksi. Benar-benar aku alami sendiri. Orang-orangnya ada semua. Cuma nama-namanya nggak bisa disebutkan apa adanya.
Salah satu tulisanmu mengisahkan diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia. Mengapa menulis hal itu?
Ya. Soalnya, yang kukisahkan ini kan mulai dari aku waktu kecil ya. Di sekolah mayoritas kan pribumi. Nah, sebagian etnis Cina itu suka dikata-katain. Kejadiannya bukan pada aku saja. Banyak teman-temanku yang mengalami, gitu lho. Sampai suatu kali, gurunya nggak ngelihat, ada temanku yang disuruh nggambar muka orang Cina di atas kertas karton manila trus ngadep ke tembok. Trus kalau gurunya datang, baru kertasnya diambil. Itu kan menimbulkan suatu rasa berbeda tapi jelek.
Usia berapa itu?
Waktu SMP kelas satu. Yang digodain temenku yang cowok. Dan sedihnya, aku kan orang Cina juga. Dalam hati kecilku, aku mau nolongin temenku itu. Tapi karena aku itu minoritas, nanti kalau aku nolongin, aku bisa kena masalah. Jadi bulan-bulanan juga. Yang digodain memang lebih yang cowok. Sekarang setelah lebih dewasa, aku pikir... aduh... mbok waktu itu setidak-tidaknya aku lebih mengerti perasaan dia. Atau setidaknya nolonglah. Tapi aku tidak berbuat apa-apa karena takut.
Kejadian seperti itu sering dialami teman-temanmu?
Ya, ada lagi waktu SMA. Ada temenku yang emang mukanya itu Cina banget! Itu dia dibawa ke kamar mandi, lalu dipukuli sampai berdarah-darah. Trus ada yang terakhir itu aku lihat di tempat isi bensin. Ada satu grup Cina semua, empat cowok. Mungkin srempet-srempetan sama orang pribumi yang cuma satu. Yang pribumi ini keluar dari mobilnya, lalu meludah cuah... cuah..., “Cina lu! Cina lu...!” Cinanya kan empat, yang pribumi cuma satu, tapi mereka yang empat itu ketakutan semua lho... Karena bukan soal empat orang dengan satu orang, tapi karena di negara ini kami adalah minoritas.
Ada dalam suasana “ketakutan”?
Ya, seperti itu. Nah, dalam tulisanku itu, pesan moralnya adalah, kayak aku ini. Aku ini kan nggak bisa milih mau lahir jadi orang apa. Aku nggak bisa milih. Kalau misalnya aku memang orang Chinese, ya memang aku orang Chinese. Tapi aku sudah nggak bisa ngomong Chinese. Udah generasi keempat. Jadi, aku suruh ke mana? Lebih dilemanya lagi, kalau aku lagi hang out sama orang-orang yang Chinese, mereka bilangnya ke aku, “Lu ini Cina Baba!” Tahu apa?
Apa maksudnya?
Cina Baba itu Cina yang sudah keturunan jauh sekali. To the point aja ya, aku tuh dah dianggap masuk golongan pribumi. Nggak bisa bahasa Mandarin, nggak bisa baca tulis Mandarin, cepek nopek kurang hafal... Buat mereka Chinese yang di Kelapa Gading atau mana, yang totok itu, saya nih Cina Baba. “Lu itu Cina Baba, cari duit sama ngeceng doang, gitu!” Jadi kan aneh, aku ini di mana sebenarnya. Kalau aku ini orang Cina, sama komunitasku dibilang bukan orang Cina lagi, sedangkan kepada orang pribuminya aku nih nggak dianggap pribumi juga...
Semangat salah satu tulisan itu, kita itu jangan rasis, gitu ya?
Ya. Jangan seperti itu. Soalnya, nggak cuma ras Chinese, ras-ras yang lain pun pasti ada gimananya. Kayak orang kulit hitam itu, dianggapnya kalau nggak dari musik, sport, pasti drug dealer... itu kan stereotype. Padahal kan banyak juga yang jadi profesor, jadi dokter, lawyer. Tapi stereotype-nya sudah seperti itu. Pesan tulisanku itu, ya jangan kita jadi rasis. Kita jangan menilai orang karena suku bangsanya apa. Lihat dari berbagai faktor bagaimana kepribadian seseorang itu terbentuk. Jangan karena orang itu Chinese. Seperti bayi-bayi perempuan di Cina itu, aku dengar kan nggak laku. Kebanyakan dikasih ke adoption agency, trus dibawa ke Amerika dan dibesarkan orang di sana. Trus, apa dia tetap jadi orang Cina, wong kultur, bahasa, gaya hidupnya, cara dia dididik dan dibesarkan persis orang bule. Wong orangtuanya juga bule. Intinya, jangan lihat orang dari bungkusnya.
Bungkus yang tidak bisa diganti ya...?
Ya. Mudah-mudahan yang aku alami dulu di sekolahan itu udah nggak ada. Yang aku alami sendiri waktu kecil, aku sedih sekali waktu itu. Jangan sampai gap karena masalah seperti itu lebih meluas nantinya.
Setelah I Beg Your Prada ini, karya apalagi yang Anda siapkan?
Aku tetap ingin—kalau boleh dibilang trade mark atau alurku atau style-ku—aku tetap ingin menulis kehidupan sehari-hari. Tetap ingin menulis hal yang membuat pembacanya tuh ada emotional attachment melalui story itu. Kemarin itu ada yang kasih lihat novel grafis. Setelah aku lihat, oh... lucu banget, gitu lho! Jadi aku pingin buat novel grafis yang inti ceritanya ada pesan moralnya, ada lucunya juga, trus dari sisi gambar itu ekspresinya lebih lucu lagi. Aku pinginnya, orang baca bukuku dan bisa ketawa itu aku sudah seneng banget.(ez)