Oleh: Adjie
Apa yang ada di benak Anda kala mendengar konsep “audit”? Dengan latar belakang yang berbeda, Anda bisa punya pandangan yang berbeda atas konsep di atas. Sementara bagi Anda yang bekerja di kantoran, sebagai karyawan, maka konsep audit akan memiliki warna yang nyaris senada. Secara khusus, sebagian dari Anda mungkin tak sedikit yang pernah terlibat dalam audit manajemen mutu, audit lingkungan, audit kesehatan dan keselamatan kerja (K3), atau audit jenis lainnya.
Sempat beberapa tahun merasakan diaudit oleh auditor luar (external auditor) dan juga berperan sebagai internal audit, maka terus terang saya sampaikan bahwa proses audit adalah salah satu bagian pengalaman yang kurang menyenangkan buat saya. Saya pernah sedemikian terganggu oleh proses audit.
Karena tak bisa menghindari, maka perlahan saya berupaya membangun sudut pandang baru terhadap audit. Melakukan ”reframing” sedikit mampu menghibur saya. Melihat dengan kaca mata berbeda sempat membuat audit sedikit menarik. Paling tidak saya dapat menemukan sejumlah hal positif, yang antara lain adalah terkait dengan aplikasi proses audit dalam konteks kehidupan kita. Menurut saya, kita juga perlu melakukan audit atas aspek ”karier”, ”keuangan”, ”hubungan dengan keluarga”, ”kepuasan” dan aspek lain dalam kehidupan kita. Untuk yang ini, saya membayangkan proses audit akan jadi lebih berwarna dan menggairahkan!
***
”Saya menyesal, Mas. Saya sudah amat terlambat untuk sadar situasi saya. Baru belakangan ini saya tahu bahwa saya mungkin terjebak di tempat ini. Awalnya mungkin karena saya sendiri nggak tahu apa yang saya mau,” begitu kira-kira lontaran ’nelangsa’ seorang kawan. Ia mengungkap betapa ia tengah dalam pergulatan yang berat terkait dengan masa depan kariernya. Ia merasakan banyak tekanan dan benturan, dan kini merasa harus segera keluar dari tempatnya bekerja.
Waktu itu, saya hanya bisa bengong mendengar kisahnya. Awalnya saya tak terlalu mendalami persoalannya. Diskusi yang kami lakukan cuma berakhir pada sebatas empati kelas permukaan. Namun, lama-kelamaan saya makin memahami betapa berat bebannya. Dan ia benar: ia memang harus segera mengambil langkah konkret terkait dengan karier dan masa depannya.
Seorang manajer usia muda juga sempat ”curhat” pada saya. ”Saya bingung nih, habis ini saya mau ngapain lagi. Jadi manager sudah. Gaji besar sudah saya dapat seperti yang saya mau,” suaranya bergetar tanpa maksud menyombongkan diri. Ia memang dalam situasi genting dan harus mengambil langkah terkait dengan kariernya.
Pasti ada banyak lagi contoh nyata yang bisa jadi Anda temui dalam keseharian di lingkungan kantor. Persoalan karier bergerak dalam dimensi yang luas. Ada yang mulai sekadar isu gaji hingga perkara aktualisasi diri dan keseimbangan hidup. Menarik!
Memahami peta persoalan karier yang demikian berwarna, maka gagasan untuk melakukan ”career audit” kian menjadi penting. Ini adalah langkah awal untuk kelanjutan masa depan karier Anda. Sebagaimana layaknya audit-audit lain, ”career audit” bisa membantu kita menemukan akar masalah lalu menuntun kita menemukan ”corrective dan preventive action”. Ada langkah pencegahan yang bisa dilakukan agar kita tak terperangkap dalam lubang hitam karier Anda. Untuk yang sudah dan tengah terperangkap dalam lubang itu, maka terbuka kesempatan untuk memperbaiki permasalahan.
***
Audit adalah proses dialog, komunikasi dua arah bermodalkan ketajaman dalam melontarkan pertanyaan. Bedanya, dalam ”career audit” Andalah yang juga harus menyiapkan jawaban atas pertanyaan yang muncul. Dalam hubungannya dengan ”career audit”, maka sejumlah pertanyaan yang bisa diajukan antara lain adalah:
1. Apakah hari ini Anda merasa bahwa karier Anda masih dalam bentuk yang Anda inginkan? Kita perlu waspada agar karier kita tak tumbuh berantakan tak proporsional.
2. Apakah sudah mulai ada rasa muak terhadap karier Anda?
3. Apakah sudah ada tanda-tanda meningkatnya tekanan darah sebagai akibat stres kerja? Saya beruntung di kantor saya ada program cek tekanan darah secara rutin.
4. masihkah Anda bahagia dengan apa yang Anda kerjakan setiap hari di kantor?
Pertanyaan sederhana yang tentu tak selalu mudah untuk dijawab. Apalagi ketika ini melibatkan masa depan karier kita yang pada banyak titik juga berarti masa depan hidup kita.
Terus terang saja, menuliskan coretan ini adalah bagian dari usaha saya untuk juga mengontrol arah karier pribadi saya. Tegasnya, ini adalah skenario versi saya sendiri dalam melakukan ”career audit”. Saya berkepentingan melakukan ”career audit” antara lain ketika saya mendapat sejumlah tawaran untuk pindah ke perusahaan lain. Ini bukan pola yang tepat.
Idealnya Anda tetap melakukan ”career audit” tanpa menunggu sesuatu terjadi di luar sana. Pendekatan yang proaktif akan membuat Anda lebih tenang melihat permasalahan. Ketajaman dalam menemukan dan menimbang persoalan akan membantu Anda sampai pada alternatif solusi.
Melakukan ”career audit” secara sederhana akan membantu kita sampai pada beberapa pencerahan, antara lain:
1. Akan sampai pada pemahaman akan siapa diri Anda, pada pekerjaan apa Anda mampu memberikan kinerja terbaik, dan bagaimana biasanya Anda melakukan sesuatu agar dapat memberi hasil optimal.
2. Anda akan mengenali keterampilan, minat, nilai-nilai, kecenderungan preferensi pribadi dan juga pengalaman-pengalaman Anda. Apakah hal-hal tersebut masih bisa diandalkan untuk bersaing?
3. Anda akan menemukan apa saja prestasi yang sudah Anda peroleh. Dari prestasi tersebut, kompetensi apa saja yang berhasil Anda kembangkan. Ke depan, kompetensi apa lagi yang harus Anda improve? Bagaimana caranya?
4. Anda disadarkan akan prioritas Anda. Mau apa? Mau ke mana Anda? Dengan bekerja apa saja yang Anda harapkan? Berdasarkan pemahaman akan diri sendiri tersebut, coba jajaki pilihan-pilhan yang tersedia untuk pengembangan ke depan. hal-hal di atas akan mengantar kita pada titik keseimbangan yang sebenarnya kita cari.
5. Mengenali seberapa besar sebenarnya harapan dan kebutuhan Anda akan penghargaan orang lain. Apakah penghargaan jadi hal yang penting? Penghargaan seperti apa yang sebenarnya Anda butuhkan?
Buat saya, kesadaran seperti di atas sungguh menjadi modal untuk melakukan tindak lanjut. Karenanya, saya pun merekomendasikan langkah ini bagi Anda semua. Perlahan Anda pasti akan menemukan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih tajam, yang akan mendorong Anda untuk lebih jujur. Semakin tajam pertanyaan, makin jujur Anda merespon, maka makin jelaslah gambar karier yang Anda maksud.
***
Menjalani “career audit” yang sederhana juga membuat saya teringat pada apa yang pernah disampaikan oleh Paul Stevens, pakar dan penulis buku tema “Career Management”, yang berujar sebagai berikut:
"...employees will need to act as if they are self-employed in order to preserve their employability. They will need to analyse what they want, what they can contribute and provide a Career Action Step Proposal to their employer. Neglect of this will threaten their job security."
Buat saya, pernyataan di atas menarik. Pertama, karena ini sekali lagi berhubungan dengan konsep employability expired date. Ya, pada dasarnya kita memang harus menaruh perhatian pada sejauh mana keterampilan yang kita miliki masih layak pakai. Tak sedikit orang yang terperangkap sehingga lupa mengasah gergajinya. Pada satu saat mereka terkejut karena apa yang mereka miliki tak lagi dibutuhkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Kita harus waspada pada sejauh mana ”employability” kita.
Kedua, hal di atas berarti terkait dengan gagasan untuk melihat diri sendiri sebagai satu product atau barang jasa (service). Kerangka besarnya adalah tantangan kita semua untuk memuaskan customer kita, yakni perusahaan tempat kita bekerja. Untuk memuaskan ”customer” kita, maka ada banyak tindakan yang tentunya menuntut keterampilan tertentu.
Ketiga, tulisan kutipan di atas kembali mengajak kita untuk terus melakukan action, terus melakukan aktivitas pengembangan diri. Ini sejalan dengan dua poin sebelumnya. Kata kuncinya adalah mempertahankan spirit pembelajar dalam diri kita. Terus mengasah diri adalah kewajiban.
Jadi, jelas bahwa “career audit” pada dasarnya adalah salah satu langkah untuk mempertahankan ”employability” kita. Melakukan “career audit” lalu memperhatikan ”employability” tampaknya juga sejalan dengan gagasan tentang ”self-employed mind set”. Karyawan perlu berpikir seakan dia adalah “self employee”. Dia tak bisa lagi banyak bergantung pada orang lain atau bahkan perusahaan. Tak ada ”job security”. ”Security” hanya berarti terus mengasah diri dan meningkatkan keterampilan. ”Security” akan tercapai tergantung kepada sejauh mana Anda mampu menjual keterampilan Anda.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa menjadi reminder buat kita semua.[adjie] * Adjie adalah karyawan sebuah perusahaan multi-national. Sehari-hari, selain terus berlatih menulis, ia juga menempatkan diri sebagai Facilitator for Human Resiliency Development (FHRD). Ayah empat orang anak ini adalah peminat tema life balance dan mind empowerment. Ia dapat dihubungi di:
Rabu, 29 Oktober 2008
AURA KEBAHAGIAAN
Oleh: Eriman Muslim
Hidup ini adalah masalah, tantangan, harapan, ujian, dan sebagainya. Bila kita ingin mendefinisikannya lebih banyak lagi, mungkin tiada terhingga banyaknya definisi yang akan didapatkan. Tergantung persepi orang yang memandangnya dari berbagai sudut. Namun dalam kesempatan ini, saya ingin mencoba menyederhanakan definisi pada empat definisi di atas saja. Agar setidaknya energi kita tidak habis berkutat dialam fikiran, namun bisa segera mereaktualisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hidup kita sudah pasti dipenuhi masalah yang harus kita selesaikan. Penyelesaian masalah adalah cara kita mendidik menjadi pribadi yang lebih baik, dewasa, dan lebih matang menghadapi masalah baru. Sekaligus juga tantangan untuk mendapatkan kepuasaan batin dan eksistensi diri. Sehingga, kita merasa bahwa hidup adalah anugerah terbesar dari Yang Maha Kuasa.
Hidup juga merupakan harapan setiap manusia untuk mendapatkan berbagai kenikmatan. Lebih jauh lagi, kehidupan adalah harapan menggapai akhirat yang kekal dan abadi. Bagaimana mungkin mendapatkan akhirat ataupun dunia seutuhnya bila kita enggan diuji? Karena, hakikatnya ujian adalah pembuktian bahwa kita ingin menikmati dunia. Walaupun sering kali kita enggan dengan ujian. Toh ujian pun kan menghampiri kita, suka atau tidak suka.
Satu hal cara kita menikmati hidup adalah bagaimana kita memiliki rasa bahagia yang sebenarnya secara alamiah telah ada dalam diri kita. Tidak semua orang dikaruniakan rasa bahagia dalam hidupnya, kecuali ia mau jujur pada dirinya sendiri.
Dalam suatu sesi pelatihan, sang trainer menjelaskan arti menikmati kurang lebih sebagai berikut:
• Banyak orang memiliki kemewahan tapi ia tidak mendapatkan kebahagiaan.
• Banyak orang merasakan berbagai jenis makanan tapi ia tidak mendapatkan selera.
• Banyak orang mendapatkan sertifikat/gelar tapi ia tidak memiliki kemampuan atau skill.
• Banyak orang memiliki rumah atau vila tapi ia tidak dapat merasakan arti tempat tinggal.
• Banyak orang menempuh pencapaian seks tapi ia tidak mendapatkan cinta kasih dan sayang.
• Banyak orang memiliki berbagai jenis tempat tidur tapi ia tidak mampu merasakan apa arti sebenarnya dari tidur.
Cobalah kita hitung satu per satu karunia tersebut. Lihatlah diri kita lahir maupun batin kita. Perlahan dan pasti. Kita akan menemukan sesuatu yang ‘dahsyat’ dalam diri kita. Sebuah hasil Maha Karya yang rumit dan kompleks menjelma menjadi sesuatu yang punya arti. Punya makna. Punya aura, yaitu kebahagian menikmati hidup. Itulah kehidupan yang kita rasakan setiap detik.
Rasakanlah tarikan napas kita. Aliran darah kita. Denyut jantung kita. Kedipan mata kita. Dan seluruh detak kehidupan yang ada pada diri kita. Tidakkah ia menjadi sebuah inspirasi kebahagiaan kita? Tidakkah kita merasakan kebahagiaan tatkala mereka bisa berfungsi normal? Rasakanlah saat kita mengalami sakit.
Itulah sebabnya aura kebahagiaan adalah kemutlakan yang harus ada dalam jenak-jenak kehidupan kita selaku manusia. Kemampuan untuk membandingkan sesuatu yang kita miliki dengan apa yang orang lain miliki. Baik secara sadar dan penuh syukur adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kebahagiaan yang kita miliki. Sebab, rasa bahagia itu mudah tergerus waktu, bila kita tidak arif dan nrimo apa yang kita punya. Seperti kemampuan kita bersyukur atas apa-apa yang kita miliki saat ini. Entah itu bernama kesehatan, keluarga yang harmonis, kecukupan harta, dsb.
Akhirnya, sangatlah beralasan bila seorang pemikir muda mengatakan bahwa vitalitas (daya tahan) hidup seseorang sangatlah ditentukan oleh paduan keberanian, harapan hidup dan kegembiraan hidup.
Ayo kita jaga aura kebahagiaan kita, dengan terus-menerus mengembangkan sikap syukur, empati sosial dan kebermanfaatan diri dalam setiap ruang dan waktu hidup di dunia. Karena kita adalah manusia yang diberikan pilihan hidup Yang Maha Kuasa untuk menjadi bahagia ataukah sebaliknya.
Senyumku untuk semua… semoga bermanfaat.[em]
* Eriman Muslim adalah praktisi SDM, trainer, edukator dan social worker di Kota Kembang.
Hidup ini adalah masalah, tantangan, harapan, ujian, dan sebagainya. Bila kita ingin mendefinisikannya lebih banyak lagi, mungkin tiada terhingga banyaknya definisi yang akan didapatkan. Tergantung persepi orang yang memandangnya dari berbagai sudut. Namun dalam kesempatan ini, saya ingin mencoba menyederhanakan definisi pada empat definisi di atas saja. Agar setidaknya energi kita tidak habis berkutat dialam fikiran, namun bisa segera mereaktualisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hidup kita sudah pasti dipenuhi masalah yang harus kita selesaikan. Penyelesaian masalah adalah cara kita mendidik menjadi pribadi yang lebih baik, dewasa, dan lebih matang menghadapi masalah baru. Sekaligus juga tantangan untuk mendapatkan kepuasaan batin dan eksistensi diri. Sehingga, kita merasa bahwa hidup adalah anugerah terbesar dari Yang Maha Kuasa.
Hidup juga merupakan harapan setiap manusia untuk mendapatkan berbagai kenikmatan. Lebih jauh lagi, kehidupan adalah harapan menggapai akhirat yang kekal dan abadi. Bagaimana mungkin mendapatkan akhirat ataupun dunia seutuhnya bila kita enggan diuji? Karena, hakikatnya ujian adalah pembuktian bahwa kita ingin menikmati dunia. Walaupun sering kali kita enggan dengan ujian. Toh ujian pun kan menghampiri kita, suka atau tidak suka.
Satu hal cara kita menikmati hidup adalah bagaimana kita memiliki rasa bahagia yang sebenarnya secara alamiah telah ada dalam diri kita. Tidak semua orang dikaruniakan rasa bahagia dalam hidupnya, kecuali ia mau jujur pada dirinya sendiri.
Dalam suatu sesi pelatihan, sang trainer menjelaskan arti menikmati kurang lebih sebagai berikut:
• Banyak orang memiliki kemewahan tapi ia tidak mendapatkan kebahagiaan.
• Banyak orang merasakan berbagai jenis makanan tapi ia tidak mendapatkan selera.
• Banyak orang mendapatkan sertifikat/gelar tapi ia tidak memiliki kemampuan atau skill.
• Banyak orang memiliki rumah atau vila tapi ia tidak dapat merasakan arti tempat tinggal.
• Banyak orang menempuh pencapaian seks tapi ia tidak mendapatkan cinta kasih dan sayang.
• Banyak orang memiliki berbagai jenis tempat tidur tapi ia tidak mampu merasakan apa arti sebenarnya dari tidur.
Cobalah kita hitung satu per satu karunia tersebut. Lihatlah diri kita lahir maupun batin kita. Perlahan dan pasti. Kita akan menemukan sesuatu yang ‘dahsyat’ dalam diri kita. Sebuah hasil Maha Karya yang rumit dan kompleks menjelma menjadi sesuatu yang punya arti. Punya makna. Punya aura, yaitu kebahagian menikmati hidup. Itulah kehidupan yang kita rasakan setiap detik.
Rasakanlah tarikan napas kita. Aliran darah kita. Denyut jantung kita. Kedipan mata kita. Dan seluruh detak kehidupan yang ada pada diri kita. Tidakkah ia menjadi sebuah inspirasi kebahagiaan kita? Tidakkah kita merasakan kebahagiaan tatkala mereka bisa berfungsi normal? Rasakanlah saat kita mengalami sakit.
Itulah sebabnya aura kebahagiaan adalah kemutlakan yang harus ada dalam jenak-jenak kehidupan kita selaku manusia. Kemampuan untuk membandingkan sesuatu yang kita miliki dengan apa yang orang lain miliki. Baik secara sadar dan penuh syukur adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kebahagiaan yang kita miliki. Sebab, rasa bahagia itu mudah tergerus waktu, bila kita tidak arif dan nrimo apa yang kita punya. Seperti kemampuan kita bersyukur atas apa-apa yang kita miliki saat ini. Entah itu bernama kesehatan, keluarga yang harmonis, kecukupan harta, dsb.
Akhirnya, sangatlah beralasan bila seorang pemikir muda mengatakan bahwa vitalitas (daya tahan) hidup seseorang sangatlah ditentukan oleh paduan keberanian, harapan hidup dan kegembiraan hidup.
Ayo kita jaga aura kebahagiaan kita, dengan terus-menerus mengembangkan sikap syukur, empati sosial dan kebermanfaatan diri dalam setiap ruang dan waktu hidup di dunia. Karena kita adalah manusia yang diberikan pilihan hidup Yang Maha Kuasa untuk menjadi bahagia ataukah sebaliknya.
Senyumku untuk semua… semoga bermanfaat.[em]
* Eriman Muslim adalah praktisi SDM, trainer, edukator dan social worker di Kota Kembang.
BAHAGIA DAN LAW OF ATTRACTION
Oleh: Syaril Syam
“Kita dapat meningkatkan kebahagiaan kita sendiri, tak peduli apa pun gen yang kita warisi.
~ D.G. Myers, The Pursuit of Happiness
“Kebahagiaan itu adalah mengembangkan fitrah kemanusiaan kita sendiri.”
~ Syahril Syam
Pada beberapa tahun yang lalu, sekitar awal tahun 2005, saya gencar menawarkan proposal pelatihan ke beberapa perusahaan dan BUMN di Makassar; isi proposal tersebut menawarkan pelatihan tentang kebahagiaan. Dan apa yang terjadi? Tidak satu pun proposal saya diterima dengan berbagai alasan. Namun, ada satu alasan utama yang dikatakan oleh semua perusahaan tersebut, bahwa apa hubungan antara kebahagiaan dengan kinerja perusahaan. Bukankah bahagia itu urusan personal masing-masing karyawan? Biar sajalah kebahagiaan itu menjadi pencarian jati diri masing-masing karyawan. Begitulah alasan yang dikemukakan, seolah-olah bahwa bahagia itu adalah pencarian personal dan tidak ada hubungan sama sekali dengan kinerja perusahaan, apalagi menaikkan tingkat keuntungan perusahaan.
Namun di saat ini, sangat ramai orang membicarakan tentang Law of Attraction (LOA), bahkan muncul sebuah film dengan judul The Secret yang mengungkapkan hukum ini kepada seluruh dunia, dan inti dari menerapkan LOA adalah bahagia. Coba Anda simak perkataan Rhonda Byrne, sang penulis dan penggagas The Secret, “Jalan pintas ke segala sesuatu yang Anda inginkan dalam hidup adalah MENJADI dan MERASA bahagia sekarang juga.”
Anda lihat bukan? Kebahagiaan itu justru menjadi inti dari LOA; kebahagiaan itu justru akan membuat Anda mudah meraih impian Anda, kebahagiaan itu justru membantu sebuah perusahaan untuk menaikkan tingkat penjualannya. Dengan kata lain, kebahagiaan itu bukan hanya menjadi pencarian personal saja, tapi juga cara yang sangat ampuh dalam meraih kesuksesan. Lantas, apa itu kebahagiaan, dan bagaimana hubungan erat antara kebahagiaan dan LOA?
Sebelumnya saya ingin mengajak Anda untuk melihat dulu sejarah psikologi. Dalam sejarah psikologi kita akan mengenal seorang ahli yang bernama Martin Seligman. Seligman dibesarkan dalam psikologi klinis, yakni psikologi yang melihat jiwa manusia sebagai mesin yang sering mengalami kerusakan. Ia menyebut psikologinya waktu itu sebagai psikologi bengkel, yang hanya berkutat memperbaiki jiwa manusia. Ratusan tahun psikologi diwarnai oleh pandangan seperti ini, bahwa jika seseorang tidak mencapai apa yang diinginkan, maka ada satu atau beberapa gangguan kejiwaan yang dialami. Pandangan ini juga telah melahirkan banyak teknik terapi. Seligman sendiri adalah orang yang jarang tersenyum, sampai ia mengalami suatu epifani (titik balik) yang merubah hidupnya dan merubah sejarah psikologi. Martin Seligman kemudian mengisahkan dirinya:
Waktu itu saya sedang menyiangi taman kami bersama putri saya, Nikki, yang berumur lima tahun. Saya harus mengakui bahwa walaupun telah menulis sebuah buku dan banyak artikel tentang anak-anak, saya tidak terlalu pandai menghadapi mereka. Saya berorientasi-tujuan dan hemat waktu, dan ketika menyiangi taman, saya hanya menyiangi. Namun, Nikki melemparkan rumput-rumput liar itu ke udara sambil menari dan menyanyi. Oleh karena dia mengganggu, saya berteriak kepadanya, dan dia berjalan menjauh. Beberapa menit kemudian dia kembali, dan berkata, “Ayah, saya ingin bicara dengan Ayah.”
“Ya, Nikki?”
“Ayah ingat sebelum ultahku yang ke-5? Sejak berumur 3 tahun sampai 5 tahun, aku suka merengek. Aku merengek setiap hari. Pada hari ultahku yang ke-5, aku memutuskan untuk tidak lagi merengek. Itu hal tersulit yang pernah kulakukan. Dan kalau aku bisa berhenti merengek, Ayah juga bisa berhenti menjadi penggerutu.”
Setelah “menemukan” epifani di atas, Martin Seligman kemudian berkata, “Ini ilham bagi saya. Perkataan Nikki tepat sasaran. Saya memang penggerutu. Saya telah menghabiskan lima puluh tahun hidup saya sebagian besar dengan cuaca mendung di dalam jiwa, dan sepuluh tahun terakhir saya bagaikan awan nimbus yang berjalan di sebuah rumah tangga yang disinari mentari. Nasib apa pun yang saya dapatkan barangkali bukan karena saya seorang penggerutu, lebih tepatnya saya tetap bernasib baik walaupun saya penggerutu. Pada saat itu, saya memutuskan untuk berubah.”
Dari sinilah kemudian Seligman melihat manusia bukan lagi sebagai sarang penyakit, tetapi khazanah kelebihan dan keutamaan. Hingga ketika ia menjadi presiden perkumpulan psikologi Amerika, ia kemudian mengumandangkan dan mengajak rekan-rekannya untuk beralih dari psikologi klinis (bengkel) ke psikologi positif, yang melihat manusia sebagai ladang keutamaan dan kelebihan. Secara singkat, psikologi ini mengajarkan tentang hal-hal yang membuat kita bahagia. Psikologi seharusnya bukan saja untuk menyembuhkan tapi juga membuat hidup kita menjadi lebih bahagia. Dalam penelitian telah ditemukan bahwa banyak orang yang telah “mati”; secara fisik ia hidup tapi secara jiwa ia kering; banyak orang telah kehilangan kebahagiaan, belum lagi dengan berbagai macam tuntutan hidup dan impian-impian yang ingin dicapai; maka semakin banyaklah orang yang “mati”.
Untuk mengukuhkan mazhab barunya, Seligman kemudian mengadakan berbagai penelitian dan salah satunya ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Authentic Happiness. Sebenarnya, sebelum Seligman sudah banyak pakar psikologi yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari tentang psikologi positif ini. Olehnya itu, saya akan mengemukakan berbagai penelitian tersebut yang berkenaan dengan kebahagiaan.
Mari kita mulai dengan mendefenisikan kebahagiaan itu dulu. Banyak orang mendefenisikan tentang kebahagiaan, dan apa pun defenisi tersebut adalah benar, karena setiap orang memandang kebahagiaan dengan caranya masing-masing. Namun saya tertarik untuk mengutip defenisi kebahagiaan yang dikemukakan oleh Haidar Bagir berikut ini:
1. Kesejahteraan (well-being), yakni kepuasaan atau pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup (eksternal). Lawannya adalah ketiadaan atau kekurangan (deprivation) hal-hal tersebut.
2. Kerelaan, yakni terhadap keadaan yang di dalamnya seseorang berada (internal). Lawannya adalah kegelisahan atau kecemasan.
3. Perasaan mengetahui makna hidup.
Pada bagian pertama kebahagiaan erat kaitannya dengan pemenuhan keinginan-keinginan dalam hidup; dan biasanya ketika keinginan tersebut tidak terpenuhi maka yang terjadi adalah ketidakbahagiaan. Defenisi pertama ini mengungkapkan tentang kebahagiaan yang dipengaruhi oleh kondisi eksternal; kebahagiaan dilihat berdasarkan suatu peristiwa yang menyenangkan.
Lebih tinggi dari yang pertama, defenisi yang kedua banyak dibicarakan oleh psikologi kognitif dan sering dibicarakan oleh banyak motivator. Defenisi kedua ini mengemukakan kebahagiaan dilihat dari sisi internal, melihat kebahagiaan bukan lagi karena pengaruh kondisi eksternal tapi kebahagiaan dilihat dari pandangan kita terhadap kondisi eksternal. Bagaimana persepsi kita terhadap suatu peristiwa dan bagaimana reaksi kita terhadap suatu peristiwa adalah bahasan utama dari defenisi kedua ini.
Pada tingkatan tertinggi, kita akan melihat defenisi yang ketiga, yaitu kemampuan untuk memaknai hidup. Defenisi ketiga ini sering juga disebut sebagai pencerahan atau biasa juga disebut sebagai kecerdasan spiritual. Berada pada tingkatan kebahagiaan mana Anda saat ini, hanya Andalah yang mengetahuinya.
Setelah kita melihat defenisi kebahagiaan ini, dapat kita simpulkan bahwa bahagia itu adalah kondisi pikiran dan emosi yang bersifat positif. Jika kondisi pikiran dan emosi seseorang itu negatif maka secara otomatis dia tidak akan bahagia. Nah, ketika kita berbicara tentang pikiran dan emosi inilah, sesungguhnya kita berbicara tentang teori kuantum. Apa itu teori kuantum?
Werner Heisenberg adalah salah seorang perumus komprehensif pertama teori kuantum. Dia menantang fisika mekanika klasik dengan menunjukkan bagaimana gagasan-gagasan tradisional tentang dunia perlu diubah. Aplikasi dari teori kuantum ini menghasilkan akselerasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, yang berujung pada tergelarnya Internet yang membongkar batas-batas antarnegara.
Bagaimana penjelasan ilmiah tentang teori kuantum Heisenberg ini? Gerakan pada tingkat sub-atom, menurutnya, tidak lagi dapat dijelaskan sebagai pergerakan kontinyu. Melalui eksperimen, dia menunjukkan bahwa tindakan mengamati mampu mengakibatkan gangguan pada tingkat sub-atom. Jadi, posisi ataupun momentum tidak dapat diukur dengan tepat.
Ketidakmungkinan dalam memprediksi secara akurat jalur partikel partikel sub-atom melalui pengukuran posisi dan momentum ini selanjutnya dikenal dengan nama Prinsip Ketidakpastian Heisenberg atau Prinsip Indeterminisme. (Sebenarnya teori ini sangat berimplikasi besar pada pemikiran filosofis manusia. Dalam bahasa filsafat, teori ini berujung pada perdebatan antara aliran determinisme dan aliran indeterminisme. Kita tidak akan masuk pada pembahasan filosofis tersebut, yang jelas menurut saya, pembahasan ini berkenaan dengan kemerdekaan individu dan keharusan universal atau dalam bahasa agama adalah pembahasan mengenai keadilan Tuhan).
Saat mengukur cahaya, Heisenberg menunjukkan bahwa momentum dan posisi dari sebuah atom secara potensial ada, namun tidak ada secara aktual, sampai seseorang melakukan usaha untuk mengukurnya. Dalam hal ini, tindakan mengamati akan menentukan apakah panjang gelombang (momentum) dari realita atau partikel (posisi) realita yang muncul.
Jika tindakan mengamati mampu mengubah apa yang terjadi pada tingkat sub-atom, coba bayangkan apa arti teori ini terhadap persepsi kita atas kehidupan sehari-hari. Hal ini membuka berbagai macam kemungkinan. Sebagai contoh, Heisenberg mengatakan, “Jalur tersebut ada hanya pada saat kita mengamatinya.” Dengan kata lain, pengamat berperan dalam penciptaannya. Teori ini juga menjelaskan bahwa sesungguhnya kita bersama-sama Tuhan melakukan proses penciptaan.
Jika, misalnya saja, kita memilih menghubungkan segala sesuatu yang kita lihat dan kita lakukan dalam konteks fisika kuantum, maka kita dapat mengambil posisi di mana kita bisa membentuk realita setiap saat dalam kehidupan kita. Secara sadar atau tidak sadar, kita menetapkan pilihan di antara berbagai pilihan yang terus-menerus ditawarkan.
Dengan uraian singkat tentang teori kuantum, dapat kita lihat bahwa setiap orang—sadar atau tidak sadar—telah menciptakan realitas kehidupannya sendiri. Jika pikiran dan emosi Anda negatif, maka realitas negatif (yang Anda tidak inginkan) akan selalu hadir dalam kehidupan Anda. Dan sebaliknya, begitu pikiran dan emosi Anda positif (dengan kata lain Anda selalu bahagia) maka Anda akan selalu menciptakan (baca: menarik) kehidupan positif yang Anda inginkan. Jadi, meraih kesuksesan itu begitu sederhana dan mudah; Anda tinggal merubah kondisi pikiran dan emosi Anda ke arah bahagia, maka Anda pun akan menarik kesuksesan tersebut.
Seperti yang telah kita lihat di atas, bahwa bahagia itu pada defenisi yang tertinggi adalah memaknai kehidupan; kebahagiaan yang bersifat pencapai spiritualitas diri, maka dapat kita simpulkan bahwa semakin seseorang itu dekat dengan Sang Maha maka semakin mudah dan cepat seseorang itu meraih sukses dan bahagia. Dengan kata lain bahagia adalah jalan bagi manusia untuk mengembangkan fitrah kemanusiaannya sendiri untuk menjadi manusia sempurna. Dan, jalan untuk mencapainya adalah senantiasa bersyukur atas apa yang telah Anda miliki dan yang akan Anda miliki (untuk pembahasan bersyukur akan kita bahas pada tulisan yang lain). Sebagai penutup tulisan ini saya akan mengutipkan kepada Anda hasil-hasil penelitian yang berkenaan dengan kebahagiaan:
1. Orang bahagia dapat melihat, mengecap, membaui, dan mendengar lebih baik, dan mereka dapat mendeteksi perbedaan-perbedaan yang tidak kentara dalam sentuhan.
2. Penglihatan itu seketika membaik ketika seseorang memikirkan pikiran-pikiran yang menyenangkan.
3. Obat psikosomatik telah membuktikan bahwa perut, hati, jantung, dan semua organ internal kita berfungsi lebih baik ketika kita bahagia.
4. Ketidak-bahagiaan adalah satu-satunya penyebab dari segala penyakit psikosomatik dan bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya pengobatannya.
5. Hidup lebih lama/berumur panjang.
6. Memiliki sistem imun yang kuat.
7. Memperbaiki sistem pernapasan dan menghilangkan rasa sakit.
8. Memiliki hubungan manusiawi yang hangat.
9. Sukses dalam pekerjaan dan belajar.
10. Menikmati hidup.
11. Yang paling mudah menyebar–di antara kelompok kerja–adalah kegembiraan dan kehangatan, sedangkan emosi mudah tersinggung dan depresi hampir tidak menyebar sama sekali.
12. Semakin positif suasana hati secara keseluruhan orang-orang yang berada di tim manajemen puncak, semakin erat kerjasama mereka dan semakin bagus bisnis perusahaan.
13. Pemimpin yang menggunakan humor dengan bebas, bahkan pada saat-saat menegangkan, dan mengirim pesan-pesan positif akan membuat simpatik relasi seorang pemimpin.
14. Orang bahagia mampu meningkatkan penjualannya secara signifikan.
Maka, BERBAHAGIALAH!!![ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, publik speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com atau kunjungi http://syahril-ril.blogspot.com.
“Kita dapat meningkatkan kebahagiaan kita sendiri, tak peduli apa pun gen yang kita warisi.
~ D.G. Myers, The Pursuit of Happiness
“Kebahagiaan itu adalah mengembangkan fitrah kemanusiaan kita sendiri.”
~ Syahril Syam
Pada beberapa tahun yang lalu, sekitar awal tahun 2005, saya gencar menawarkan proposal pelatihan ke beberapa perusahaan dan BUMN di Makassar; isi proposal tersebut menawarkan pelatihan tentang kebahagiaan. Dan apa yang terjadi? Tidak satu pun proposal saya diterima dengan berbagai alasan. Namun, ada satu alasan utama yang dikatakan oleh semua perusahaan tersebut, bahwa apa hubungan antara kebahagiaan dengan kinerja perusahaan. Bukankah bahagia itu urusan personal masing-masing karyawan? Biar sajalah kebahagiaan itu menjadi pencarian jati diri masing-masing karyawan. Begitulah alasan yang dikemukakan, seolah-olah bahwa bahagia itu adalah pencarian personal dan tidak ada hubungan sama sekali dengan kinerja perusahaan, apalagi menaikkan tingkat keuntungan perusahaan.
Namun di saat ini, sangat ramai orang membicarakan tentang Law of Attraction (LOA), bahkan muncul sebuah film dengan judul The Secret yang mengungkapkan hukum ini kepada seluruh dunia, dan inti dari menerapkan LOA adalah bahagia. Coba Anda simak perkataan Rhonda Byrne, sang penulis dan penggagas The Secret, “Jalan pintas ke segala sesuatu yang Anda inginkan dalam hidup adalah MENJADI dan MERASA bahagia sekarang juga.”
Anda lihat bukan? Kebahagiaan itu justru menjadi inti dari LOA; kebahagiaan itu justru akan membuat Anda mudah meraih impian Anda, kebahagiaan itu justru membantu sebuah perusahaan untuk menaikkan tingkat penjualannya. Dengan kata lain, kebahagiaan itu bukan hanya menjadi pencarian personal saja, tapi juga cara yang sangat ampuh dalam meraih kesuksesan. Lantas, apa itu kebahagiaan, dan bagaimana hubungan erat antara kebahagiaan dan LOA?
Sebelumnya saya ingin mengajak Anda untuk melihat dulu sejarah psikologi. Dalam sejarah psikologi kita akan mengenal seorang ahli yang bernama Martin Seligman. Seligman dibesarkan dalam psikologi klinis, yakni psikologi yang melihat jiwa manusia sebagai mesin yang sering mengalami kerusakan. Ia menyebut psikologinya waktu itu sebagai psikologi bengkel, yang hanya berkutat memperbaiki jiwa manusia. Ratusan tahun psikologi diwarnai oleh pandangan seperti ini, bahwa jika seseorang tidak mencapai apa yang diinginkan, maka ada satu atau beberapa gangguan kejiwaan yang dialami. Pandangan ini juga telah melahirkan banyak teknik terapi. Seligman sendiri adalah orang yang jarang tersenyum, sampai ia mengalami suatu epifani (titik balik) yang merubah hidupnya dan merubah sejarah psikologi. Martin Seligman kemudian mengisahkan dirinya:
Waktu itu saya sedang menyiangi taman kami bersama putri saya, Nikki, yang berumur lima tahun. Saya harus mengakui bahwa walaupun telah menulis sebuah buku dan banyak artikel tentang anak-anak, saya tidak terlalu pandai menghadapi mereka. Saya berorientasi-tujuan dan hemat waktu, dan ketika menyiangi taman, saya hanya menyiangi. Namun, Nikki melemparkan rumput-rumput liar itu ke udara sambil menari dan menyanyi. Oleh karena dia mengganggu, saya berteriak kepadanya, dan dia berjalan menjauh. Beberapa menit kemudian dia kembali, dan berkata, “Ayah, saya ingin bicara dengan Ayah.”
“Ya, Nikki?”
“Ayah ingat sebelum ultahku yang ke-5? Sejak berumur 3 tahun sampai 5 tahun, aku suka merengek. Aku merengek setiap hari. Pada hari ultahku yang ke-5, aku memutuskan untuk tidak lagi merengek. Itu hal tersulit yang pernah kulakukan. Dan kalau aku bisa berhenti merengek, Ayah juga bisa berhenti menjadi penggerutu.”
Setelah “menemukan” epifani di atas, Martin Seligman kemudian berkata, “Ini ilham bagi saya. Perkataan Nikki tepat sasaran. Saya memang penggerutu. Saya telah menghabiskan lima puluh tahun hidup saya sebagian besar dengan cuaca mendung di dalam jiwa, dan sepuluh tahun terakhir saya bagaikan awan nimbus yang berjalan di sebuah rumah tangga yang disinari mentari. Nasib apa pun yang saya dapatkan barangkali bukan karena saya seorang penggerutu, lebih tepatnya saya tetap bernasib baik walaupun saya penggerutu. Pada saat itu, saya memutuskan untuk berubah.”
Dari sinilah kemudian Seligman melihat manusia bukan lagi sebagai sarang penyakit, tetapi khazanah kelebihan dan keutamaan. Hingga ketika ia menjadi presiden perkumpulan psikologi Amerika, ia kemudian mengumandangkan dan mengajak rekan-rekannya untuk beralih dari psikologi klinis (bengkel) ke psikologi positif, yang melihat manusia sebagai ladang keutamaan dan kelebihan. Secara singkat, psikologi ini mengajarkan tentang hal-hal yang membuat kita bahagia. Psikologi seharusnya bukan saja untuk menyembuhkan tapi juga membuat hidup kita menjadi lebih bahagia. Dalam penelitian telah ditemukan bahwa banyak orang yang telah “mati”; secara fisik ia hidup tapi secara jiwa ia kering; banyak orang telah kehilangan kebahagiaan, belum lagi dengan berbagai macam tuntutan hidup dan impian-impian yang ingin dicapai; maka semakin banyaklah orang yang “mati”.
Untuk mengukuhkan mazhab barunya, Seligman kemudian mengadakan berbagai penelitian dan salah satunya ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Authentic Happiness. Sebenarnya, sebelum Seligman sudah banyak pakar psikologi yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari tentang psikologi positif ini. Olehnya itu, saya akan mengemukakan berbagai penelitian tersebut yang berkenaan dengan kebahagiaan.
Mari kita mulai dengan mendefenisikan kebahagiaan itu dulu. Banyak orang mendefenisikan tentang kebahagiaan, dan apa pun defenisi tersebut adalah benar, karena setiap orang memandang kebahagiaan dengan caranya masing-masing. Namun saya tertarik untuk mengutip defenisi kebahagiaan yang dikemukakan oleh Haidar Bagir berikut ini:
1. Kesejahteraan (well-being), yakni kepuasaan atau pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup (eksternal). Lawannya adalah ketiadaan atau kekurangan (deprivation) hal-hal tersebut.
2. Kerelaan, yakni terhadap keadaan yang di dalamnya seseorang berada (internal). Lawannya adalah kegelisahan atau kecemasan.
3. Perasaan mengetahui makna hidup.
Pada bagian pertama kebahagiaan erat kaitannya dengan pemenuhan keinginan-keinginan dalam hidup; dan biasanya ketika keinginan tersebut tidak terpenuhi maka yang terjadi adalah ketidakbahagiaan. Defenisi pertama ini mengungkapkan tentang kebahagiaan yang dipengaruhi oleh kondisi eksternal; kebahagiaan dilihat berdasarkan suatu peristiwa yang menyenangkan.
Lebih tinggi dari yang pertama, defenisi yang kedua banyak dibicarakan oleh psikologi kognitif dan sering dibicarakan oleh banyak motivator. Defenisi kedua ini mengemukakan kebahagiaan dilihat dari sisi internal, melihat kebahagiaan bukan lagi karena pengaruh kondisi eksternal tapi kebahagiaan dilihat dari pandangan kita terhadap kondisi eksternal. Bagaimana persepsi kita terhadap suatu peristiwa dan bagaimana reaksi kita terhadap suatu peristiwa adalah bahasan utama dari defenisi kedua ini.
Pada tingkatan tertinggi, kita akan melihat defenisi yang ketiga, yaitu kemampuan untuk memaknai hidup. Defenisi ketiga ini sering juga disebut sebagai pencerahan atau biasa juga disebut sebagai kecerdasan spiritual. Berada pada tingkatan kebahagiaan mana Anda saat ini, hanya Andalah yang mengetahuinya.
Setelah kita melihat defenisi kebahagiaan ini, dapat kita simpulkan bahwa bahagia itu adalah kondisi pikiran dan emosi yang bersifat positif. Jika kondisi pikiran dan emosi seseorang itu negatif maka secara otomatis dia tidak akan bahagia. Nah, ketika kita berbicara tentang pikiran dan emosi inilah, sesungguhnya kita berbicara tentang teori kuantum. Apa itu teori kuantum?
Werner Heisenberg adalah salah seorang perumus komprehensif pertama teori kuantum. Dia menantang fisika mekanika klasik dengan menunjukkan bagaimana gagasan-gagasan tradisional tentang dunia perlu diubah. Aplikasi dari teori kuantum ini menghasilkan akselerasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, yang berujung pada tergelarnya Internet yang membongkar batas-batas antarnegara.
Bagaimana penjelasan ilmiah tentang teori kuantum Heisenberg ini? Gerakan pada tingkat sub-atom, menurutnya, tidak lagi dapat dijelaskan sebagai pergerakan kontinyu. Melalui eksperimen, dia menunjukkan bahwa tindakan mengamati mampu mengakibatkan gangguan pada tingkat sub-atom. Jadi, posisi ataupun momentum tidak dapat diukur dengan tepat.
Ketidakmungkinan dalam memprediksi secara akurat jalur partikel partikel sub-atom melalui pengukuran posisi dan momentum ini selanjutnya dikenal dengan nama Prinsip Ketidakpastian Heisenberg atau Prinsip Indeterminisme. (Sebenarnya teori ini sangat berimplikasi besar pada pemikiran filosofis manusia. Dalam bahasa filsafat, teori ini berujung pada perdebatan antara aliran determinisme dan aliran indeterminisme. Kita tidak akan masuk pada pembahasan filosofis tersebut, yang jelas menurut saya, pembahasan ini berkenaan dengan kemerdekaan individu dan keharusan universal atau dalam bahasa agama adalah pembahasan mengenai keadilan Tuhan).
Saat mengukur cahaya, Heisenberg menunjukkan bahwa momentum dan posisi dari sebuah atom secara potensial ada, namun tidak ada secara aktual, sampai seseorang melakukan usaha untuk mengukurnya. Dalam hal ini, tindakan mengamati akan menentukan apakah panjang gelombang (momentum) dari realita atau partikel (posisi) realita yang muncul.
Jika tindakan mengamati mampu mengubah apa yang terjadi pada tingkat sub-atom, coba bayangkan apa arti teori ini terhadap persepsi kita atas kehidupan sehari-hari. Hal ini membuka berbagai macam kemungkinan. Sebagai contoh, Heisenberg mengatakan, “Jalur tersebut ada hanya pada saat kita mengamatinya.” Dengan kata lain, pengamat berperan dalam penciptaannya. Teori ini juga menjelaskan bahwa sesungguhnya kita bersama-sama Tuhan melakukan proses penciptaan.
Jika, misalnya saja, kita memilih menghubungkan segala sesuatu yang kita lihat dan kita lakukan dalam konteks fisika kuantum, maka kita dapat mengambil posisi di mana kita bisa membentuk realita setiap saat dalam kehidupan kita. Secara sadar atau tidak sadar, kita menetapkan pilihan di antara berbagai pilihan yang terus-menerus ditawarkan.
Dengan uraian singkat tentang teori kuantum, dapat kita lihat bahwa setiap orang—sadar atau tidak sadar—telah menciptakan realitas kehidupannya sendiri. Jika pikiran dan emosi Anda negatif, maka realitas negatif (yang Anda tidak inginkan) akan selalu hadir dalam kehidupan Anda. Dan sebaliknya, begitu pikiran dan emosi Anda positif (dengan kata lain Anda selalu bahagia) maka Anda akan selalu menciptakan (baca: menarik) kehidupan positif yang Anda inginkan. Jadi, meraih kesuksesan itu begitu sederhana dan mudah; Anda tinggal merubah kondisi pikiran dan emosi Anda ke arah bahagia, maka Anda pun akan menarik kesuksesan tersebut.
Seperti yang telah kita lihat di atas, bahwa bahagia itu pada defenisi yang tertinggi adalah memaknai kehidupan; kebahagiaan yang bersifat pencapai spiritualitas diri, maka dapat kita simpulkan bahwa semakin seseorang itu dekat dengan Sang Maha maka semakin mudah dan cepat seseorang itu meraih sukses dan bahagia. Dengan kata lain bahagia adalah jalan bagi manusia untuk mengembangkan fitrah kemanusiaannya sendiri untuk menjadi manusia sempurna. Dan, jalan untuk mencapainya adalah senantiasa bersyukur atas apa yang telah Anda miliki dan yang akan Anda miliki (untuk pembahasan bersyukur akan kita bahas pada tulisan yang lain). Sebagai penutup tulisan ini saya akan mengutipkan kepada Anda hasil-hasil penelitian yang berkenaan dengan kebahagiaan:
1. Orang bahagia dapat melihat, mengecap, membaui, dan mendengar lebih baik, dan mereka dapat mendeteksi perbedaan-perbedaan yang tidak kentara dalam sentuhan.
2. Penglihatan itu seketika membaik ketika seseorang memikirkan pikiran-pikiran yang menyenangkan.
3. Obat psikosomatik telah membuktikan bahwa perut, hati, jantung, dan semua organ internal kita berfungsi lebih baik ketika kita bahagia.
4. Ketidak-bahagiaan adalah satu-satunya penyebab dari segala penyakit psikosomatik dan bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya pengobatannya.
5. Hidup lebih lama/berumur panjang.
6. Memiliki sistem imun yang kuat.
7. Memperbaiki sistem pernapasan dan menghilangkan rasa sakit.
8. Memiliki hubungan manusiawi yang hangat.
9. Sukses dalam pekerjaan dan belajar.
10. Menikmati hidup.
11. Yang paling mudah menyebar–di antara kelompok kerja–adalah kegembiraan dan kehangatan, sedangkan emosi mudah tersinggung dan depresi hampir tidak menyebar sama sekali.
12. Semakin positif suasana hati secara keseluruhan orang-orang yang berada di tim manajemen puncak, semakin erat kerjasama mereka dan semakin bagus bisnis perusahaan.
13. Pemimpin yang menggunakan humor dengan bebas, bahkan pada saat-saat menegangkan, dan mengirim pesan-pesan positif akan membuat simpatik relasi seorang pemimpin.
14. Orang bahagia mampu meningkatkan penjualannya secara signifikan.
Maka, BERBAHAGIALAH!!![ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, publik speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com atau kunjungi http://syahril-ril.blogspot.com.
GORESKAN PENA KETIKA DEPRESI MENYAPA
Oleh: Sofa Nurdiyanti
“Goreskan pena saat Anda tidak bisa bercerita pada orang lain. Hal ini akan membuat Anda merasa lebih nyaman bila mampu mengeluarkan beban sekaligus melatih mengatasi depresi.”
~ Sofa Nurdiyanti
Kebanyakan orang mungkin pernah merasakan depresi. Kalau ada suatu kondisi tertentu yang membuat kita tidak siap menerimanya, terkadang kondisi itu membuat kita mengalami depresi. Depresi tidak mengenal perbedaan umur, status sosial, tempat, dan waktu. Hal ini terjadi karena setiap orang mempunyai potensi mengalami depresi, sama dengan potensi untuk menjadi gila.
Perbedaan yang tampak ketika orang mengalami depresi adalah pada cara mengatasi masalah serta pengungkapan depresi itu sendiri. Orang yang positive thinking akan lebih mudah menyelesaikan masalahnya. Mungkin, awalnya individu tersebut mengalami perubahan sikap. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Sementara itu, orang yang mempunyai orientasi negative thinking akan sulit mengatasi depresi. Ini berarti, orang berego kuat dan berorientasi pada realitas, biasanya relatif akan lebih mampu mengatasi konflik serta mempertahankan keseimbangan emosinya. Kalau tidak matang secara emosional, akan terjadi banyak masalah.
Banyak hal dilakukan oleh individu ketika mengalami depresi. Individu akan melakukan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Bentuk-bentuk dari mekanisme pertahanan diri menurut Freud (psikoanalisis) ada 15 macam, yaitu penolakan, represi, asketisisme, isolasi, melawan diri sendiri, proyeksi, tawanan altruistik, pembentukan reaksi, penghapusan, introjeksi, identifikasi dengan penyerang, regresi, rasionalisasi, dan sublimasi.
Hal yang paling sering dilakukan individu ketika mengalami depresi adalah penolakan, penghapusan, dan rasionalisasi. Penolakan dilakukan dengan cara memblokade peristiwa-peristiwa yang datang dari luar kesadaran. Penghapusan adalah menghapus pikiran atau perasaan yang tidak mengenakkan. Rasionalisasi adalah pendistorsian kognitif terhadap “kenyataan” dengan tujuan agar kenyataan tersebut tidak lagi memberi kesan menakutkan.
Sebenarnya, apa arti depresi itu sendiri? Depresi dalam batas-batas tertentu berhubungan dengan pilihan-pilihan negatif dan keputusan-keputusan yang menghancurkan diri sendiri. Sering kali orang menyamakan arti depresi dengan stres. Padahal, stres dan depresi mempunyai makna yang berbeda. Stres lebih pada tidak seimbangnya antara sumber stres dan resource, atau tidak seimbangnya tekanan dari lingkungan dengan kemampuan kita untuk menghadapinya.
Depresi merupakan salah satu gangguan afeksi dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1. Secara umum, orang tidak pernah merasa senang dalam hidup. Aktivitas yang dilakukan setiap harinya tidak bisa memberikan kepuasan pada individu. Segala aktivitas, hobi, dan pekerjaan yang dilakukan sehari-hari kurang memberikan tantangan serta membuat si individu tidak mengalami kesenangan. Fase ini secara klinis disebut dengan anhedonia atau ahedonia.
2. Distorsi dalam perilaku makan. Ada orang yang makan terlalu banyak ketika mengalami depresi tingkat sedang. Namun, orang yang mengalami depresi tingkat parah tidak mempunyai selera makan.
3. Gangguan tidur, dalam hal ini individu bisa menjadi sulit tidur atau bahkan menjadi lebih banyak tidur.
4. Gangguan dalam tingkat aktivitas normal seseorang. Individu yang mengalami depresi akan cenderung melakukan pekerjaan secara berlebihan atau cepat merasa letih dan lemah.
5. Kurang energi. Individu cenderung mengatakan bahwa dirinya lelah. Hal ini bisa disebabkan oleh proses-proses biologis. Depresi merupakan masalah psikobiologis. Artinya, kehidupan mental dan emosional seseorang mempunyai basis biologis yang kuat.
6. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna. Individu merasa apa yang dilakukannya tidak mempunyai manfaat yang berarti. Hal ini karena individu mempunyai kepercayaan diri yang rendah.
7. Kapasitas yang menurun untuk bisa berpikir dengan jernih serta untuk memecahkan masalah secara efektif. Gejalan lain, yaitu kesulitan untuk memfokuskan perhatian pada sebuah masalah dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat mengurangi produktivitas dan mengacaukan rutinitas.
8. Perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung, seperti makan berlebihan sekalipun yang bersangkutan, misalnya, mempunyai masalah kesehatan semacam diabetes, minum-minuman keras, dsb.
9. Mempunyai pikiran ingin bunuh diri. Tentu saja perilaku ingin bunuh diri merupakan tindakan merusak diri secara langsung.
Jika mempunyai lima atau lebih dari tanda-tanda atau gejala tersebut, jelas kalau individu tersebut mempunyai kemungkinan besar mengalami depresi. Hal yang wajar ketika setiap ada masalah tertentu kita merasa tidak bisa menceritakannya pada orang lain. Ada masalah-masalah tertentu yang tidak bisa diceritakan pada orang lain meskipun kita mempunyai sahabat karib sekalipun. Setiap orang mempunyai wilayah privat yang tidak bisa dimasuki orang lain.
Nah, hal ini terkadang membuat kita tertekan. Karena, kita menyimpan masalah sendiri tanpa tahu bagaimana cara mengatasinya. Padahal, kita membutuhkan cara dan sarana untuk mengatasi masalah itu.
Memang, mengungkapkan masalah pada orang lain belum tentu bisa membantu. Namun, ini berguna untuk mengeluarkan beban pikiran. Bercerita pada orang lain dapat membantu kita mengontrol perilaku yang merusak yang kadang tidak kita sadari. Misalnya saja jarang makan, tidak melakukan aktivitas sehari-hari secara teratur, dan lainnya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan jika tidak bisa bercerita pada orang lain? Menulis merupakan salah satu alternatif pilihan yang dapat kita ambil. Menulis dapat membantu kita untuk mengungkapkan beban dan kegundahan hati tanpa perlu bercerita pada orang lain. Menulis membantu kita untuk memahami lebih jauh apa yang sedang menimpa diri kita.
Mengurai tulisan dapat meningkatkan kesadaran tentang hal-hal tertentu yang tidak atau belum kita sadari sebelumnya. Menulis bisa berarti juga mengungkapkan masalah pada objek lain sebagai pengganti teman atau orang yang kita percayai. Diari merupakan salah satu contoh yang tepat untuk belajar menguraikan masalah. Karena, dengan terbiasa menulis kita dapat belajar berkompromi dan secara mandiri menciptakan ide-ide untuk memecahkan masalah kita.
Jika tidak bisa memecahkan masalah kita tidak perlu berkecil hati. Karena, terkadang ada hal-hal yang tidak perlu kita selesaikan. Terlalu fokus pada masalah dan melupakan hidup yang kita jalani juga bisa menimbulkan masalah baru. Menulis saja sudah membantu kita meluapkan emosi atau peristiwa yang tiba-tiba terungkap kembali (katarsis).
Seiring berjalannya waktu, kita akan semakin terampil dalam memecahkan masalah tanpa melibatkan dan tergantung pada orang lain. Pertimbangan orang lain dibutuhkan jika kita benar-benar tidak bisa menyelesaikannya, atau karena keputusan kita memang memengaruhi orang lain. Kita tidak bisa disebut dewasa jika kita tidak bisa mengambil keputusan sendiri, bukan?
Belajar membuat keputusan atas masalah yang kita hadapi merupakan salah satu proses dalam pengembangan diri menuju ke kedewasaan atau kematangan pribadi. Di sinilah kita dituntut untuk dapat mengambil keputusan yang tepat atas setiap masalah yang kita hadapi. Karena, kita sendirilah yang lebih tahu tentang keadaan diri kita sendiri.[sn]
* Sofa Nurdiyanti adalah mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Suka baca buku cerita, nonton kartun Detective Conan, Bintang, dan tertarik dengan bidang sejarah, arkeologi, bahasa, budaya, dan politik. Tapi, sekarang ia lagi “nyasar” ke bidang psikologi. Nur aktif menulis di “eksis” sebuah wadah jurnalistik Fakultas Psikologi, Sanata Dharma. Ia tengah semangat berlatih untuk menjadi penulis dan trainer. Email: nurrohmah_06@yahoo.com.
“Goreskan pena saat Anda tidak bisa bercerita pada orang lain. Hal ini akan membuat Anda merasa lebih nyaman bila mampu mengeluarkan beban sekaligus melatih mengatasi depresi.”
~ Sofa Nurdiyanti
Kebanyakan orang mungkin pernah merasakan depresi. Kalau ada suatu kondisi tertentu yang membuat kita tidak siap menerimanya, terkadang kondisi itu membuat kita mengalami depresi. Depresi tidak mengenal perbedaan umur, status sosial, tempat, dan waktu. Hal ini terjadi karena setiap orang mempunyai potensi mengalami depresi, sama dengan potensi untuk menjadi gila.
Perbedaan yang tampak ketika orang mengalami depresi adalah pada cara mengatasi masalah serta pengungkapan depresi itu sendiri. Orang yang positive thinking akan lebih mudah menyelesaikan masalahnya. Mungkin, awalnya individu tersebut mengalami perubahan sikap. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Sementara itu, orang yang mempunyai orientasi negative thinking akan sulit mengatasi depresi. Ini berarti, orang berego kuat dan berorientasi pada realitas, biasanya relatif akan lebih mampu mengatasi konflik serta mempertahankan keseimbangan emosinya. Kalau tidak matang secara emosional, akan terjadi banyak masalah.
Banyak hal dilakukan oleh individu ketika mengalami depresi. Individu akan melakukan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Bentuk-bentuk dari mekanisme pertahanan diri menurut Freud (psikoanalisis) ada 15 macam, yaitu penolakan, represi, asketisisme, isolasi, melawan diri sendiri, proyeksi, tawanan altruistik, pembentukan reaksi, penghapusan, introjeksi, identifikasi dengan penyerang, regresi, rasionalisasi, dan sublimasi.
Hal yang paling sering dilakukan individu ketika mengalami depresi adalah penolakan, penghapusan, dan rasionalisasi. Penolakan dilakukan dengan cara memblokade peristiwa-peristiwa yang datang dari luar kesadaran. Penghapusan adalah menghapus pikiran atau perasaan yang tidak mengenakkan. Rasionalisasi adalah pendistorsian kognitif terhadap “kenyataan” dengan tujuan agar kenyataan tersebut tidak lagi memberi kesan menakutkan.
Sebenarnya, apa arti depresi itu sendiri? Depresi dalam batas-batas tertentu berhubungan dengan pilihan-pilihan negatif dan keputusan-keputusan yang menghancurkan diri sendiri. Sering kali orang menyamakan arti depresi dengan stres. Padahal, stres dan depresi mempunyai makna yang berbeda. Stres lebih pada tidak seimbangnya antara sumber stres dan resource, atau tidak seimbangnya tekanan dari lingkungan dengan kemampuan kita untuk menghadapinya.
Depresi merupakan salah satu gangguan afeksi dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1. Secara umum, orang tidak pernah merasa senang dalam hidup. Aktivitas yang dilakukan setiap harinya tidak bisa memberikan kepuasan pada individu. Segala aktivitas, hobi, dan pekerjaan yang dilakukan sehari-hari kurang memberikan tantangan serta membuat si individu tidak mengalami kesenangan. Fase ini secara klinis disebut dengan anhedonia atau ahedonia.
2. Distorsi dalam perilaku makan. Ada orang yang makan terlalu banyak ketika mengalami depresi tingkat sedang. Namun, orang yang mengalami depresi tingkat parah tidak mempunyai selera makan.
3. Gangguan tidur, dalam hal ini individu bisa menjadi sulit tidur atau bahkan menjadi lebih banyak tidur.
4. Gangguan dalam tingkat aktivitas normal seseorang. Individu yang mengalami depresi akan cenderung melakukan pekerjaan secara berlebihan atau cepat merasa letih dan lemah.
5. Kurang energi. Individu cenderung mengatakan bahwa dirinya lelah. Hal ini bisa disebabkan oleh proses-proses biologis. Depresi merupakan masalah psikobiologis. Artinya, kehidupan mental dan emosional seseorang mempunyai basis biologis yang kuat.
6. Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna. Individu merasa apa yang dilakukannya tidak mempunyai manfaat yang berarti. Hal ini karena individu mempunyai kepercayaan diri yang rendah.
7. Kapasitas yang menurun untuk bisa berpikir dengan jernih serta untuk memecahkan masalah secara efektif. Gejalan lain, yaitu kesulitan untuk memfokuskan perhatian pada sebuah masalah dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat mengurangi produktivitas dan mengacaukan rutinitas.
8. Perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung, seperti makan berlebihan sekalipun yang bersangkutan, misalnya, mempunyai masalah kesehatan semacam diabetes, minum-minuman keras, dsb.
9. Mempunyai pikiran ingin bunuh diri. Tentu saja perilaku ingin bunuh diri merupakan tindakan merusak diri secara langsung.
Jika mempunyai lima atau lebih dari tanda-tanda atau gejala tersebut, jelas kalau individu tersebut mempunyai kemungkinan besar mengalami depresi. Hal yang wajar ketika setiap ada masalah tertentu kita merasa tidak bisa menceritakannya pada orang lain. Ada masalah-masalah tertentu yang tidak bisa diceritakan pada orang lain meskipun kita mempunyai sahabat karib sekalipun. Setiap orang mempunyai wilayah privat yang tidak bisa dimasuki orang lain.
Nah, hal ini terkadang membuat kita tertekan. Karena, kita menyimpan masalah sendiri tanpa tahu bagaimana cara mengatasinya. Padahal, kita membutuhkan cara dan sarana untuk mengatasi masalah itu.
Memang, mengungkapkan masalah pada orang lain belum tentu bisa membantu. Namun, ini berguna untuk mengeluarkan beban pikiran. Bercerita pada orang lain dapat membantu kita mengontrol perilaku yang merusak yang kadang tidak kita sadari. Misalnya saja jarang makan, tidak melakukan aktivitas sehari-hari secara teratur, dan lainnya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan jika tidak bisa bercerita pada orang lain? Menulis merupakan salah satu alternatif pilihan yang dapat kita ambil. Menulis dapat membantu kita untuk mengungkapkan beban dan kegundahan hati tanpa perlu bercerita pada orang lain. Menulis membantu kita untuk memahami lebih jauh apa yang sedang menimpa diri kita.
Mengurai tulisan dapat meningkatkan kesadaran tentang hal-hal tertentu yang tidak atau belum kita sadari sebelumnya. Menulis bisa berarti juga mengungkapkan masalah pada objek lain sebagai pengganti teman atau orang yang kita percayai. Diari merupakan salah satu contoh yang tepat untuk belajar menguraikan masalah. Karena, dengan terbiasa menulis kita dapat belajar berkompromi dan secara mandiri menciptakan ide-ide untuk memecahkan masalah kita.
Jika tidak bisa memecahkan masalah kita tidak perlu berkecil hati. Karena, terkadang ada hal-hal yang tidak perlu kita selesaikan. Terlalu fokus pada masalah dan melupakan hidup yang kita jalani juga bisa menimbulkan masalah baru. Menulis saja sudah membantu kita meluapkan emosi atau peristiwa yang tiba-tiba terungkap kembali (katarsis).
Seiring berjalannya waktu, kita akan semakin terampil dalam memecahkan masalah tanpa melibatkan dan tergantung pada orang lain. Pertimbangan orang lain dibutuhkan jika kita benar-benar tidak bisa menyelesaikannya, atau karena keputusan kita memang memengaruhi orang lain. Kita tidak bisa disebut dewasa jika kita tidak bisa mengambil keputusan sendiri, bukan?
Belajar membuat keputusan atas masalah yang kita hadapi merupakan salah satu proses dalam pengembangan diri menuju ke kedewasaan atau kematangan pribadi. Di sinilah kita dituntut untuk dapat mengambil keputusan yang tepat atas setiap masalah yang kita hadapi. Karena, kita sendirilah yang lebih tahu tentang keadaan diri kita sendiri.[sn]
* Sofa Nurdiyanti adalah mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Suka baca buku cerita, nonton kartun Detective Conan, Bintang, dan tertarik dengan bidang sejarah, arkeologi, bahasa, budaya, dan politik. Tapi, sekarang ia lagi “nyasar” ke bidang psikologi. Nur aktif menulis di “eksis” sebuah wadah jurnalistik Fakultas Psikologi, Sanata Dharma. Ia tengah semangat berlatih untuk menjadi penulis dan trainer. Email: nurrohmah_06@yahoo.com.
CARA SUKSES MELUNCURKAN BUKU SENDIRI
Oleh: Hartati Nurwijaya Papafragkos
"Try not to become a man of success but rather try to become a man of value."
~ Albert Einstein
Jika Anda pernah membaca artikel saya beberapa waktu lalu di milis Penulis Bestseller berjudul “Long and Winding Road”, nah tulisan kali ini merupakan lanjutannya.
Ketika saya mengirim naskah ke penerbit besar belum mendapat jawaban, maka akhirnya saya putuskan untuk mengirim ke penerbit kecil. Restu Agung, sebuah penerbit yang berada di Jakarta, memutuskan akan menerbitkan hanya dalam waktu dua minggu setelah menerima naskah saya.
Setelah naskah diterima, saya ingin naskah itu cepat menjadi buku. Buku yang ingin dilihat dan dibaca oleh salah seorang kontributor yang terus memberi dukungan. Kindeng namanya, yang juga memperkenalkan saya dengan artis Jajang C. Noer. Jajang pula yang menulis kata pengantar di buku pertama saya ini.
Hal pertama yang saya pikirkan dari sebuah buku adalah kavernya. Saya meminta suami membuat desain kaver buku serta membuat diagram ke dalam bahasa Indonesia yang telah diberi izin oleh pembuat aslinya. Suami saya tampak “ogah-ogahan” ketika saya minta membuat desain kaver sesuai keinginan saya.
Membuat desain kaver itu sangat penting. Sebab, hasil riset pasar menyatakan bahwa banyak pembeli melirik buku dari bentuk kavernya. Hasil riset kaver ini saya pelajari dari toko buku online Amazon.com (www.amazon.com).
Naskah buku pertama saya Perkawinan Antarbangsa: LOve and ShOck melibatkan sejumlah kontributor perempuan. Nah, bagaimana agar buku ini tidak mencerminkan sebagai buku “cewek”? Jadilah saya berpikir agar kaver tidak “berbau” perempuan. Kaver saya ciptakan sebagai buku serius dan tidak segmented. Saya ingin buku ini dibaca oleh semua kalangan dan semua lapisan masyarakat di dunia.
Hasilnya, memang tampak kaver sebagai buku ilmiah walaupun warna kaver kurang terang seperti yang saya harapkan. Sebelumnya saya meminta agar warna radio BBC World dipakai. Ketika saya riset pasar di Jakarta, tampak sebuah buku yang telah lebih dahulu dicetak dengan desain warna kaver yang hampir sama. Hanya bedanya, buku saya warnanya lebih gelap.
Ada sejumlah kali ide kaver dari pihak penerbit yang saya tolak. Sebab, gambar kaver sangat berbau perempuan. Misalnya; ada gambar bunga mawar, ada gambar pengantin, bahkan gambar hati yang dipanah.
Setelah setuju dengan kaver seharusnya isi layout buku selayaknya diperlihatkan pada penulis. Namun, akibat kejar terbit dan buku harus jadi sebelum tanggal 28 Oktober 2007 lalu, akhirnya saya tidak menerima cetak-coba (dummy).
Saya tiba di Jakarta tanggal 25 Oktober 2007 malam hari. Keesokannmya langsung bertemu EO (event organizer) dan penerbit. Memang, sejak beberapa bulan sebelumnya saya sudah mempersiapkan bagaimana bentuk promosi buku pertama saya ini. Ide yang terlintas adalah peluncuran buku di universitas-universitas, tempat di mana banyak anak muda berkumpul.
Mau tidak mau saya membutuhkan EO yang bersedia mengatur segala acara. Sebab, jarak yang jauh antara Yunani dan Indonesia tidak memungkinkan saya bergerak mencari sponsor sendiri serta mengatur segala sesuatunya.
Mencari EO juga susah-susah gampang. Ada EO yang sudah beken ternyata tidak tertarik melakukan peluncuran buku. Akhirnya, bertemulah dengan seorang anak muda di internet yang punya jiwa seni tinggi. EO Evonica namanya, yang dimotori oleh Yurie. Ia bersedia menerima tawaran kerjasama, tanpa imbalan uang cash. Saya hanya menawarkan hasil penjualan buku dari nilai diskon yang diberikan oleh penerbit. Penerbit Restu Agung tidak memberi bantuan dana promosi sepeser pun sesuai dengan isi perjanjian di SPP (Surat Perjanjian Penerbitan).
Karena berkenalan di internet, maka komunikasi makin lancar. Setiap hari saya chatting dengan EO tersebut. Chatting untuk mengarahkan dan memberi tahu harus ke mana mencari sponsor. Sayang, waktu yang sempit menjadi kendala utama sehingga EO tidak bisa bergerak mencari dana. Saat itu bulan Ramadhan dan beberapa perusahaan sulit memberi keputusan sebagai sponsor dalam waktu singkat.
Yurie yang biasa menangani band dengan mudah bisa masuk ke kampus-kampus. Dua bulan sebelumnya melalui pendekatan personal, saya minta izin pada Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang untuk acara diskusi buku.
Izin dan respon dari beberapa universitas didapatkan. Masalah tempat teratasi. Sekarang bagaimana membuat sebuah event yang besar? Datanglah ide dari EO agar acara diadakan di Blizt Megaplex. Saya baru dengar nama Blizt dan langsung melakukan search. Tampak di layer monitor Blizt ternyata tempat anak muda nongkrong juga. Blizt adalah bioskop dan tampak modern. Saya sangat antusias melihatnya, maklum di tempat saya tinggal tidak ada gedung bioskopnya.
Tempat peluncuran awal sudah didapatkan. Kemudian masalah membayar Blizt. Yurie yang kenal dengan salah seorang supervisor Blizt Jakarta mulai melakukan pendekatan pribadi. Ia minta tolong bantuan agar dapat menggunakan Blizt dan diberi harga diskon. Usahanya berhasil, kami dapat tempat di Blizt tepat sesuai keinginan yaitu tepat pada hari Sumpah Pemuda.
Ide awal hanya untuk peluncuran buku, langsung saya ganti konsepnya menjadi Perayaan Sumpah Pemuda. Dalam hati saya ingin memberi sesuatu pada negeri tercinta. Saya membaca isi Sumpah Pemuda dan terharu mengenang negeri nan jauh di mata. Tekad semakin bulat agar acara lebih fokus pada Sumpah Pemuda.
Karena sudah sering chatting dan diskusi melalu telepon dengan Yurie, maka ketika pertama kali bertemu saya sudah langsung akrab dengannya. Setelah bertemu kami langsung menuju ke penerbit di daerah Kwitang. Di kantor penerbit sudah ada pemiliknya dan manager BDD-nya. Setelah basa-basi, langsung saya menandatangai surat kontrak penerbitan buku (SPP). Isi SPP bahwa buku dicetak 2000 ekslemplar dan judul buku masih memakai judul lama.
Selain kaver judul merupakan “paru-paru” dari sebuah buku. Buku perdana ini sudah mengalami beberapa kali ganti judul. Dari mulai judul “Suamiku Bule”, “Ketika Timur Bertemu Barat”, dan “ Bagaimana Sih Punya Suami Asing?”. Hingga pada saat terakhir buku hendak dicetak, saya tiba-tiba mendapat ide judulnya menjadi, “Perkawinan Antarbangsa; LOve and ShOck”. Sengaja saya ingin huruf O ditulis besar agar semua yang melihat dan membaca bukunya akan berkata “Oooo.... begitu ya...”
Proses pemberian judul sebuah buku memang hak penerbit. Tetapi, sebagai penulis kita harus punya ide sendiri. Penulis harus rajin melakukan riset sendiri. Dari hasil riset saya berkesimpulan bahwa pangsa pasar anak muda suka dengan nama yang berbau asing. Mulai film yang berjudul “Eiffel in Love” hingga “I Beg You Prada” sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Jadilah “Love and Shock”, judul yang mantap dipilih. Bersambung.[hnp] * Hartati Nurwijaya Papafragkos adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama keluarganya di Megara, Yunani. Penulis buku “Perkawinan Antar Bangsa: Love and Shock”, ini dapat dihubungi di email: tatia30@yahoo.com.
"Try not to become a man of success but rather try to become a man of value."
~ Albert Einstein
Jika Anda pernah membaca artikel saya beberapa waktu lalu di milis Penulis Bestseller berjudul “Long and Winding Road”, nah tulisan kali ini merupakan lanjutannya.
Ketika saya mengirim naskah ke penerbit besar belum mendapat jawaban, maka akhirnya saya putuskan untuk mengirim ke penerbit kecil. Restu Agung, sebuah penerbit yang berada di Jakarta, memutuskan akan menerbitkan hanya dalam waktu dua minggu setelah menerima naskah saya.
Setelah naskah diterima, saya ingin naskah itu cepat menjadi buku. Buku yang ingin dilihat dan dibaca oleh salah seorang kontributor yang terus memberi dukungan. Kindeng namanya, yang juga memperkenalkan saya dengan artis Jajang C. Noer. Jajang pula yang menulis kata pengantar di buku pertama saya ini.
Hal pertama yang saya pikirkan dari sebuah buku adalah kavernya. Saya meminta suami membuat desain kaver buku serta membuat diagram ke dalam bahasa Indonesia yang telah diberi izin oleh pembuat aslinya. Suami saya tampak “ogah-ogahan” ketika saya minta membuat desain kaver sesuai keinginan saya.
Membuat desain kaver itu sangat penting. Sebab, hasil riset pasar menyatakan bahwa banyak pembeli melirik buku dari bentuk kavernya. Hasil riset kaver ini saya pelajari dari toko buku online Amazon.com (www.amazon.com).
Naskah buku pertama saya Perkawinan Antarbangsa: LOve and ShOck melibatkan sejumlah kontributor perempuan. Nah, bagaimana agar buku ini tidak mencerminkan sebagai buku “cewek”? Jadilah saya berpikir agar kaver tidak “berbau” perempuan. Kaver saya ciptakan sebagai buku serius dan tidak segmented. Saya ingin buku ini dibaca oleh semua kalangan dan semua lapisan masyarakat di dunia.
Hasilnya, memang tampak kaver sebagai buku ilmiah walaupun warna kaver kurang terang seperti yang saya harapkan. Sebelumnya saya meminta agar warna radio BBC World dipakai. Ketika saya riset pasar di Jakarta, tampak sebuah buku yang telah lebih dahulu dicetak dengan desain warna kaver yang hampir sama. Hanya bedanya, buku saya warnanya lebih gelap.
Ada sejumlah kali ide kaver dari pihak penerbit yang saya tolak. Sebab, gambar kaver sangat berbau perempuan. Misalnya; ada gambar bunga mawar, ada gambar pengantin, bahkan gambar hati yang dipanah.
Setelah setuju dengan kaver seharusnya isi layout buku selayaknya diperlihatkan pada penulis. Namun, akibat kejar terbit dan buku harus jadi sebelum tanggal 28 Oktober 2007 lalu, akhirnya saya tidak menerima cetak-coba (dummy).
Saya tiba di Jakarta tanggal 25 Oktober 2007 malam hari. Keesokannmya langsung bertemu EO (event organizer) dan penerbit. Memang, sejak beberapa bulan sebelumnya saya sudah mempersiapkan bagaimana bentuk promosi buku pertama saya ini. Ide yang terlintas adalah peluncuran buku di universitas-universitas, tempat di mana banyak anak muda berkumpul.
Mau tidak mau saya membutuhkan EO yang bersedia mengatur segala acara. Sebab, jarak yang jauh antara Yunani dan Indonesia tidak memungkinkan saya bergerak mencari sponsor sendiri serta mengatur segala sesuatunya.
Mencari EO juga susah-susah gampang. Ada EO yang sudah beken ternyata tidak tertarik melakukan peluncuran buku. Akhirnya, bertemulah dengan seorang anak muda di internet yang punya jiwa seni tinggi. EO Evonica namanya, yang dimotori oleh Yurie. Ia bersedia menerima tawaran kerjasama, tanpa imbalan uang cash. Saya hanya menawarkan hasil penjualan buku dari nilai diskon yang diberikan oleh penerbit. Penerbit Restu Agung tidak memberi bantuan dana promosi sepeser pun sesuai dengan isi perjanjian di SPP (Surat Perjanjian Penerbitan).
Karena berkenalan di internet, maka komunikasi makin lancar. Setiap hari saya chatting dengan EO tersebut. Chatting untuk mengarahkan dan memberi tahu harus ke mana mencari sponsor. Sayang, waktu yang sempit menjadi kendala utama sehingga EO tidak bisa bergerak mencari dana. Saat itu bulan Ramadhan dan beberapa perusahaan sulit memberi keputusan sebagai sponsor dalam waktu singkat.
Yurie yang biasa menangani band dengan mudah bisa masuk ke kampus-kampus. Dua bulan sebelumnya melalui pendekatan personal, saya minta izin pada Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang untuk acara diskusi buku.
Izin dan respon dari beberapa universitas didapatkan. Masalah tempat teratasi. Sekarang bagaimana membuat sebuah event yang besar? Datanglah ide dari EO agar acara diadakan di Blizt Megaplex. Saya baru dengar nama Blizt dan langsung melakukan search. Tampak di layer monitor Blizt ternyata tempat anak muda nongkrong juga. Blizt adalah bioskop dan tampak modern. Saya sangat antusias melihatnya, maklum di tempat saya tinggal tidak ada gedung bioskopnya.
Tempat peluncuran awal sudah didapatkan. Kemudian masalah membayar Blizt. Yurie yang kenal dengan salah seorang supervisor Blizt Jakarta mulai melakukan pendekatan pribadi. Ia minta tolong bantuan agar dapat menggunakan Blizt dan diberi harga diskon. Usahanya berhasil, kami dapat tempat di Blizt tepat sesuai keinginan yaitu tepat pada hari Sumpah Pemuda.
Ide awal hanya untuk peluncuran buku, langsung saya ganti konsepnya menjadi Perayaan Sumpah Pemuda. Dalam hati saya ingin memberi sesuatu pada negeri tercinta. Saya membaca isi Sumpah Pemuda dan terharu mengenang negeri nan jauh di mata. Tekad semakin bulat agar acara lebih fokus pada Sumpah Pemuda.
Karena sudah sering chatting dan diskusi melalu telepon dengan Yurie, maka ketika pertama kali bertemu saya sudah langsung akrab dengannya. Setelah bertemu kami langsung menuju ke penerbit di daerah Kwitang. Di kantor penerbit sudah ada pemiliknya dan manager BDD-nya. Setelah basa-basi, langsung saya menandatangai surat kontrak penerbitan buku (SPP). Isi SPP bahwa buku dicetak 2000 ekslemplar dan judul buku masih memakai judul lama.
Selain kaver judul merupakan “paru-paru” dari sebuah buku. Buku perdana ini sudah mengalami beberapa kali ganti judul. Dari mulai judul “Suamiku Bule”, “Ketika Timur Bertemu Barat”, dan “ Bagaimana Sih Punya Suami Asing?”. Hingga pada saat terakhir buku hendak dicetak, saya tiba-tiba mendapat ide judulnya menjadi, “Perkawinan Antarbangsa; LOve and ShOck”. Sengaja saya ingin huruf O ditulis besar agar semua yang melihat dan membaca bukunya akan berkata “Oooo.... begitu ya...”
Proses pemberian judul sebuah buku memang hak penerbit. Tetapi, sebagai penulis kita harus punya ide sendiri. Penulis harus rajin melakukan riset sendiri. Dari hasil riset saya berkesimpulan bahwa pangsa pasar anak muda suka dengan nama yang berbau asing. Mulai film yang berjudul “Eiffel in Love” hingga “I Beg You Prada” sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Jadilah “Love and Shock”, judul yang mantap dipilih. Bersambung.[hnp] * Hartati Nurwijaya Papafragkos adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama keluarganya di Megara, Yunani. Penulis buku “Perkawinan Antar Bangsa: Love and Shock”, ini dapat dihubungi di email: tatia30@yahoo.com.
JANGAN PERNAH MERASA MATANG
-
Oleh: Nilna Iqbal
“Selalulah merasa hijau. Jangan pernah merasa matang.
Sebab jika sudah merasa matang, yang tinggal hanya busuknya ….”
Ini masalah sikap. Sikap untuk mau berubah, sikap untuk mau berkembang. Dalam menghadapi berbagai keadaan, umumnya kita cenderung berharap, orang lainlah yang berubah, lingkunganlah yang berubah, situasilah yang berubah. Saya tidak!
Kalau skripsi tidak beres-beres kita berharap dosen mau “baik hati”. Jika bisnis mulai bangkrut, yang salah selalu karyawan, saingan, bahkan juga produk. Kalau banyak kader tidak bergerak, kita mulai “meragukan” komitmen mereka. Pokoknya “mereka”-lah yang perlu berubah! Mereka perlu menyesuaikan diri dengan “pikiran atau kehendak kita”. Mengapa bisnis yang kita lakukan selalu harus berakhir dengan kegagalan? Mengapa puluhan lamaran kerja saya selalu tak memperoleh jawaban? Mengapa istri saya belum juga mau berhenti mengkritik saya? Mengapa suami saya masih saja pulang terlalu malam? Mengapa? Mengapa?
Apa yang salah? Apa rahasianya bisa mengubah orang lain? Berbagai buku kita pelajari. Berbagai diskusi dilakukan, untuk mencari tahu resep mujarab: Bagaimana Caranya Mengubah Orang Lain?!
Seorang suami ingin sekali mengubah istrinya menjadi seperti yang ia impikan. Sementara istri pun mati-matian berusaha mengubah suaminya menjadi “sang suami idaman”. Seorang pedagang sering ragu memulai bisnisnya, lalu bersikap menunggu sampai situasinya berubah seperti yang ia inginkan. Dan, umumnya kita pun banyak bersikap menunggu tak mau melakukan apa-apa sampai akhirnya “keputusan” itu datang. Begitulah kita. Semua kita ingin lingkunganlah yang berubah. Dunialah yang berubah. Orang lainlah yang berubah.
Akan tetapi, sekalipun sudah begitu banyak upaya yang kita lakukan untuk mengubah seseorang dan situasi, telah berhamburan program dan biaya diluncurkan, mengapa apa yang kita lakukan tak juga berhasil?
Mari sejenak kita berhenti menginginkan orang lain berubah. Bukalah pintu hati-bersih kita, dan mulailah dari diri kita sendiri. Mulailah dari cara berpikir kita. Mulailah dari cara kerja kita. Mulailah dari sikap kita!
Kita dulu yang harus berubah. Bukan orang lain. Bukan situasi. Bukan lingkungan. Selama ini kita cenderung menginginkan orang lain yang berubah. Inginnya rumah kita yang berubah. Inginnya teman-teman kita yang berubah. Inginnya struktur organisasi berubah. Inginnya situasi berubah. Inginnya semuanya… selain diri kita.
Selama cara berpikir kita tidak pernah kita ubah, cara kerja kita tidak kita ubah, cara kita memimpin tidak kita ubah, cara kita mengader tidak kita ubah, cara kita membangun tim-kerja tak kita ubah, maka sampai bertahun-tahun ke depan pun, tidak perlu heran ketika hasilnya pasti tetap sama. Sekalipun kita lakukan berulang-ulang, bertahun-tahun…… Pertumbuhan nol atau bisa jadi bahkan negatif.
Perubahan hanya akan terjadi lewat proses belajar. Sikap untuk selalu mau belajar adalah satu-satunya sikap penting agar seseorang mencapai puncak keberhasilan. Dalam keadaan bagaimanapun seseorang memulai tangga kehidupannya, di level apa pun latar belakang pendidikannya, setiap orang yang mau belajar dan mau berkembang …. maka sesungguhnya ia sedang menaiki tangga keberhasilannya sendiri.
Sikap untuk selalu mau belajar, mau diajar, mau berkembang, sering disebut sikap teacheable, dengan siapa pun orangnya, apa pun latar belakangnya. Mereka yang paling teacheable, merekalah yang paling cepat menaiki tangga kesuksesannya, di bidang apa pun.
Sebuah organisasi akan tak terbatas pertumbuhannya jika sikap teacheable ini mendarah daging menjadi kebiasaan (budaya) organisasi tersebut. Tak ada istilah berhenti belajar. Fokus seluruh sistem adalah “pembelajaran”. Besar atau kecilnya suatu organisasi akan lebih banyak ditentukan oleh seberapa banyak orang-orang teacheable di dalam organisasi tersebut.
Semakin banyak anggota yang teacheable dalam organisasi, maka akan lahir banyak kader. Jika banyak kader yang terus belajar dan mengasah kemampuan memimpin mereka, maka akan lahir banyak leader (pemimpin). Tak heran jika kemudian organisasi itu akan mengalami pertumbuhan dahsyat tak terbatas secara amat luar biasa. Sebabnya satu, sikap mau belajar tanpa pernah merasa matang, di level apa pun jabatan dan tingkatannya.
Belajar memang tidak mudah. Bahkan untuk selalu konsisten memiliki sikap belajar, memang luar biasa sulit. Kita harus mau mengantongi ego kita. Baru kita akan punya sikap belajar yang luar biasa. Belajar dari orang di atas kita, itu sih biasa-biasa saja. Namun, maukah kita belajar dari musuh kita, belajar dari bawahan kita, belajar sesama kita, belajar dari saingan kita. Itu memang tidak mudah. Tapi itu bukan berarti tidak bisa!
“Untuk mendapatkan hasil yang berbeda, lakukanlah hal yang berbeda,” itu rahasianya. Karena itu, mari kita selalu berubah (berkembang lewat proses belajar tanpa henti). Maka insya Allah, orang-orang yang kita sayangi, orang-orang yang kita pimpin, perlahan tapi pasti, mereka pun akan berubah![ni]
* Nilna Iqbal adalah alumni Jurusan Astronomi ITB. Saat ini, pria kelahiran 8 Mei 1967 ini menekuni pekerjaanya sebagai penulis, trainer, dan entrepreneur. Nilna tercatat pernah aktif sebagai anggota redaksi sejumlah media serta mendapat tiga penghargaan penulisan tingkat nasional dari 1990-1992. Ia dapat dihubungi di: nilnaiqbal@yahoo.com.
Oleh: Nilna Iqbal
“Selalulah merasa hijau. Jangan pernah merasa matang.
Sebab jika sudah merasa matang, yang tinggal hanya busuknya ….”
Ini masalah sikap. Sikap untuk mau berubah, sikap untuk mau berkembang. Dalam menghadapi berbagai keadaan, umumnya kita cenderung berharap, orang lainlah yang berubah, lingkunganlah yang berubah, situasilah yang berubah. Saya tidak!
Kalau skripsi tidak beres-beres kita berharap dosen mau “baik hati”. Jika bisnis mulai bangkrut, yang salah selalu karyawan, saingan, bahkan juga produk. Kalau banyak kader tidak bergerak, kita mulai “meragukan” komitmen mereka. Pokoknya “mereka”-lah yang perlu berubah! Mereka perlu menyesuaikan diri dengan “pikiran atau kehendak kita”. Mengapa bisnis yang kita lakukan selalu harus berakhir dengan kegagalan? Mengapa puluhan lamaran kerja saya selalu tak memperoleh jawaban? Mengapa istri saya belum juga mau berhenti mengkritik saya? Mengapa suami saya masih saja pulang terlalu malam? Mengapa? Mengapa?
Apa yang salah? Apa rahasianya bisa mengubah orang lain? Berbagai buku kita pelajari. Berbagai diskusi dilakukan, untuk mencari tahu resep mujarab: Bagaimana Caranya Mengubah Orang Lain?!
Seorang suami ingin sekali mengubah istrinya menjadi seperti yang ia impikan. Sementara istri pun mati-matian berusaha mengubah suaminya menjadi “sang suami idaman”. Seorang pedagang sering ragu memulai bisnisnya, lalu bersikap menunggu sampai situasinya berubah seperti yang ia inginkan. Dan, umumnya kita pun banyak bersikap menunggu tak mau melakukan apa-apa sampai akhirnya “keputusan” itu datang. Begitulah kita. Semua kita ingin lingkunganlah yang berubah. Dunialah yang berubah. Orang lainlah yang berubah.
Akan tetapi, sekalipun sudah begitu banyak upaya yang kita lakukan untuk mengubah seseorang dan situasi, telah berhamburan program dan biaya diluncurkan, mengapa apa yang kita lakukan tak juga berhasil?
Mari sejenak kita berhenti menginginkan orang lain berubah. Bukalah pintu hati-bersih kita, dan mulailah dari diri kita sendiri. Mulailah dari cara berpikir kita. Mulailah dari cara kerja kita. Mulailah dari sikap kita!
Kita dulu yang harus berubah. Bukan orang lain. Bukan situasi. Bukan lingkungan. Selama ini kita cenderung menginginkan orang lain yang berubah. Inginnya rumah kita yang berubah. Inginnya teman-teman kita yang berubah. Inginnya struktur organisasi berubah. Inginnya situasi berubah. Inginnya semuanya… selain diri kita.
Selama cara berpikir kita tidak pernah kita ubah, cara kerja kita tidak kita ubah, cara kita memimpin tidak kita ubah, cara kita mengader tidak kita ubah, cara kita membangun tim-kerja tak kita ubah, maka sampai bertahun-tahun ke depan pun, tidak perlu heran ketika hasilnya pasti tetap sama. Sekalipun kita lakukan berulang-ulang, bertahun-tahun…… Pertumbuhan nol atau bisa jadi bahkan negatif.
Perubahan hanya akan terjadi lewat proses belajar. Sikap untuk selalu mau belajar adalah satu-satunya sikap penting agar seseorang mencapai puncak keberhasilan. Dalam keadaan bagaimanapun seseorang memulai tangga kehidupannya, di level apa pun latar belakang pendidikannya, setiap orang yang mau belajar dan mau berkembang …. maka sesungguhnya ia sedang menaiki tangga keberhasilannya sendiri.
Sikap untuk selalu mau belajar, mau diajar, mau berkembang, sering disebut sikap teacheable, dengan siapa pun orangnya, apa pun latar belakangnya. Mereka yang paling teacheable, merekalah yang paling cepat menaiki tangga kesuksesannya, di bidang apa pun.
Sebuah organisasi akan tak terbatas pertumbuhannya jika sikap teacheable ini mendarah daging menjadi kebiasaan (budaya) organisasi tersebut. Tak ada istilah berhenti belajar. Fokus seluruh sistem adalah “pembelajaran”. Besar atau kecilnya suatu organisasi akan lebih banyak ditentukan oleh seberapa banyak orang-orang teacheable di dalam organisasi tersebut.
Semakin banyak anggota yang teacheable dalam organisasi, maka akan lahir banyak kader. Jika banyak kader yang terus belajar dan mengasah kemampuan memimpin mereka, maka akan lahir banyak leader (pemimpin). Tak heran jika kemudian organisasi itu akan mengalami pertumbuhan dahsyat tak terbatas secara amat luar biasa. Sebabnya satu, sikap mau belajar tanpa pernah merasa matang, di level apa pun jabatan dan tingkatannya.
Belajar memang tidak mudah. Bahkan untuk selalu konsisten memiliki sikap belajar, memang luar biasa sulit. Kita harus mau mengantongi ego kita. Baru kita akan punya sikap belajar yang luar biasa. Belajar dari orang di atas kita, itu sih biasa-biasa saja. Namun, maukah kita belajar dari musuh kita, belajar dari bawahan kita, belajar sesama kita, belajar dari saingan kita. Itu memang tidak mudah. Tapi itu bukan berarti tidak bisa!
“Untuk mendapatkan hasil yang berbeda, lakukanlah hal yang berbeda,” itu rahasianya. Karena itu, mari kita selalu berubah (berkembang lewat proses belajar tanpa henti). Maka insya Allah, orang-orang yang kita sayangi, orang-orang yang kita pimpin, perlahan tapi pasti, mereka pun akan berubah![ni]
* Nilna Iqbal adalah alumni Jurusan Astronomi ITB. Saat ini, pria kelahiran 8 Mei 1967 ini menekuni pekerjaanya sebagai penulis, trainer, dan entrepreneur. Nilna tercatat pernah aktif sebagai anggota redaksi sejumlah media serta mendapat tiga penghargaan penulisan tingkat nasional dari 1990-1992. Ia dapat dihubungi di: nilnaiqbal@yahoo.com.
KEYAKINAN YANG MEMBERDAYAKAN
-
Oleh: Sugeng Widodo
Anda kurang puas dengan apa yang telah Anda capai saat ini, baik dalam kehidupan pribadi, karir, maupun bisnis? Dan, Anda ingin mencapai kondisi ideal di kemudian hari? Maka, mulai sekarang berhati-hatilah dengan apa yang anda percayai. Mengapa? Karena pada hakikatnya, hasil apa pun yang saat ini dicapai oleh seseorang—baik dalam bisnis maupun kehidupan pribadi—sesungguhnya hanyalah buah dari suatu tindakan kita sendiri. Faktanya, tindakan-tindakan kita itu dipengaruhi oleh kepercayaan serta keyakinan kita sendiri.
Kepercayaan dari kata dasar ‘percaya’ berarti sikap menerima kebenaran atas sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa pendapat, orang, peristiwa, atau yang lainnya. Kepercayaan itu bisa benar dan bisa salah tergatung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan, maupun nilai-nilai yang menjadi pengangan pribadi seseorang. Jadi, tidak semua kepercayaan itu benar. Suatu kepercayaan bisa saja salah.
Kepercayaan yang didukung oleh bukti-bukti yang pasti benar disebut keyakinan. Semua kepercayaan maupun keyakinan di dunia ini tetap saja bersifat relatif. Kepercayaan yang mutlak benar dan wajib menjadi keyakinan kita adalah kepercayaan yang dilandasi oleh hukum-hukum maupun firman Tuhan yang bersumber dari kitab suci yang pasti benar.
Tidak memberdayakan dan memberdayakan
Apa pun kepercayaan Anda terhadap sesuatu janganlah membuat Anda menjadi tidak berdaya. Kepercayaan yang tidak memberdayakan inilah kepercayaan yang salah. Ini penting, karena kalau Anda memiliki kepercayaan yang salah maka itu akan mempengaruhi sikap dan tindakan Anda. Kepercayaan yang salah akan melahirkan sikap dan tindakan yang salah. Kepercayaan tersebut berarti tidak memberdayakan Anda. Jika ini yang terjadi, maka sasaran apa pun yang Anda inginkan tidak akan terwujud.
Beberapa kepercayaan yang tidak memberdayakan contohnya: Saya kurang pengalaman; saya tidak mampu meyakinkan; saya tidak punya relasi; saya tidak berbakat berbisnis; masa depan saya tampak suram; dll. Termasuk kalau Anda berpendapat bahwa diri Anda tidak mampu mencapai suatu sasaran tertentu, maka Anda pun tidak akan mampu mencapai sasaran tersebut.
Jika pendapat, asumsi, dan pernyataan itu dipercayai atau diterima sebagai sesuatu yang benar, maka sikap maupun tindakan Anda akan menjadi terbatas. Artinya, Anda menjadi tidak berdaya, karena dibatasi oleh pendapat yang dipercayai oleh pikiran Anda. Pendapat yang Anda percayai inilah yang membatasi sikap dan tindakan Anda sehingga gagal mencapai sasaran yang Anda inginkan.
Kalau kita ingin tetap eksis, bertumbuh secara professional, dan mencapai sasaran-sasaran kita, maka pendapat-pendapat seperti itu—baik yang timbul dari pikiran kita sendiri, pendapat orang lain, maupun pengalaman kita sebelumnya—haruslah diganti dengan kepercayaan yang memberdayakan.
Kepercayaan yang memberdayakan itu sangat penting agar kita selalu termotivasi untuk bersikap positif dan bertindak menuju sasaran yang kita ingin capai. Berikut beberapa contoh kepercayaan yang memberdayakan, seperti; Anda pasti berhasil kalau tidak pernah menyerah; ada kemauan pasti ada jalan; semua bisa dilakukan kalau kita mau; hidup adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri; kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda; hidup seperti roda pedati kadang kita di bawah dan kadang kita di atas, dll.
Keyakinan berbasis nilai-nilai spiritual
Kepercayaan yang mutlak benar, yang tidak perlu diragukan lagi adalah bersumber dari firman atau janji-janji Tuhan. Atau, bisa juga disebut keyakinan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual.
Keyakinan inilah yang menjadi sumber energi yang tidak pernah habis. Energi yang siap setiap saat dipergunakan untuk memberdayakan diri kita. Dalam kitab suci Alquran, Allah SWT berfirman: Innama tuu’aduuna la waaqi’ yang artinya “Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti terjadi” (Alquran, 77: 7).
Nilai-nilai spiritual yang mengandung energi luar biasa itu antara lain: Bersyukur dan berkontribusi.
Dalam Alquran Surat Ibrahim ayat 7, Allah berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-KU, maka sesungguhnya azab-KU sangat pedih.”
Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya bersyukur kepada Tuhan. Bersyukur mengandung makna bahwa kita mengakui keberadaan Tuhan. Kita mengakui bahwa apa yang kita miliki adalah semata-mata berasal dari Tuhan. Itu juga berarti bahwa kita meyakini bahwa Tuhan adalah sumber dari semua yang kita inginkan. Yang lebih penting lagi, ketika kita bersyukur maka kita menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Hubungan harmonis yang dilandasi rasa syukur dan terima kasih itu, melahirkan kondisi psikologis yang tenang dan optimistis, yang pada gilirannya melahirkan sikap dan tindakan yang positif. Sikap dan tindakan yang positif inilah yang kemudian melahirkan buah kesuksesan yang lebih besar.
Benarlah janji Tuhan, bahwa kalau kita beryukur niscaya Dia akan menambah nikmat yang telah diberikan kepada kita.
Terkait dengan masalah kontribusi, firman Allah dalam QS. Albaqarah ayat 261, menyatakan yang artinya, “Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan; sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir/tangkai, pada tiap-tiap bulir/tangkai menumbuhkan 100 biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang dikehendaki, dan Allah Maha Luas kurnianya lagi Maha Mengetahui.”
Allah berjanji melipatgandakan imbalan atas setiap kontribusi kita. Tentu kontribusi kita bukan hanya dalam bentuk harta benda, tetapi bisa dalam bentuk harta yang lain seperti tenaga, waktu, gagasan, dorongan moril, dan lain lain. Maknanya, dengan berkontribusi, sesungguhnya kita mengalami suatu proses pembelajaran dan pertumbuhan pada internal pribadi kita yang otomatis melipatgandakan kemampuan kita untuk menghasilkan kembali apa yang telah kita berikan kepada orang lain.
Ketika berkontribusi kepada pihak lain misalnya kepada customer, organisasi, maupun perusahaan, maka kita juga memproses peningkatan kualitas diri maupun kompetensi kita dalam aspek fisik, intelektual, emosi, maupun spiritual yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan kita dalam meraih hasil yang lebih baik atau mencapai apa yang kita inginkan.
Nabi Muhammad SAW, yang juga dikenal sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia, dalam hadis beliau memberikan nasihat; kalau Anda memiliki suatu keinginan maka dianjurkan untuk banyak bersedekah (berkontribusi). Dengan banyak bersedekah secara ikhlas, maka Allah akan membuat yang sulit menjadi mudah, yang jauh menjadi dekat, dan akhirnya apa yang kita inginkan menjadi kenyataan.
Akhirnya, kepercayaan atau keyakinan yang memberdayakan sangatlah diperlukan sebagai dasar tindakan yang positif. Kepercayaan yang bersumber dari nilai-nilai spiritual khususnya janji-janji Tuhan dalam kitab suci Alquran yang pasti dan mutlak benar adalah sumber energi dan dasar tindakan yang paling tepat dan kondusif dalam mencapai sasaran mulia dan terpuji yang kita inginkan. Dan, rahmat Allah senantiasa tersedia dan tercurah untuk kita.[sw]
* Sugeng Widodo, S.Sos, MM, AAIJ, LUTCF adalah alumnus Fisip Universitas Indonesia tahun 1999 dan program magister manajemen STIE Dharma Bumiputera tahun 2000. Saat ini ia menjabat Kepala Bagian Pemberdayaan Organisasi, Divisi Askum, AJB Bumiputera 1912. Ia adalah alumnus SPP workshop “Cara Gampang Menerbitkan Buku Sendiri” Angkatan I yang suka menulis artikel di harian “Bisnis Indonesia” dan majalah “Proteksi”. Sugeng dapat dihubungi di: sugeng_widodo@bumiputera.com.
Oleh: Sugeng Widodo
Anda kurang puas dengan apa yang telah Anda capai saat ini, baik dalam kehidupan pribadi, karir, maupun bisnis? Dan, Anda ingin mencapai kondisi ideal di kemudian hari? Maka, mulai sekarang berhati-hatilah dengan apa yang anda percayai. Mengapa? Karena pada hakikatnya, hasil apa pun yang saat ini dicapai oleh seseorang—baik dalam bisnis maupun kehidupan pribadi—sesungguhnya hanyalah buah dari suatu tindakan kita sendiri. Faktanya, tindakan-tindakan kita itu dipengaruhi oleh kepercayaan serta keyakinan kita sendiri.
Kepercayaan dari kata dasar ‘percaya’ berarti sikap menerima kebenaran atas sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa pendapat, orang, peristiwa, atau yang lainnya. Kepercayaan itu bisa benar dan bisa salah tergatung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan, maupun nilai-nilai yang menjadi pengangan pribadi seseorang. Jadi, tidak semua kepercayaan itu benar. Suatu kepercayaan bisa saja salah.
Kepercayaan yang didukung oleh bukti-bukti yang pasti benar disebut keyakinan. Semua kepercayaan maupun keyakinan di dunia ini tetap saja bersifat relatif. Kepercayaan yang mutlak benar dan wajib menjadi keyakinan kita adalah kepercayaan yang dilandasi oleh hukum-hukum maupun firman Tuhan yang bersumber dari kitab suci yang pasti benar.
Tidak memberdayakan dan memberdayakan
Apa pun kepercayaan Anda terhadap sesuatu janganlah membuat Anda menjadi tidak berdaya. Kepercayaan yang tidak memberdayakan inilah kepercayaan yang salah. Ini penting, karena kalau Anda memiliki kepercayaan yang salah maka itu akan mempengaruhi sikap dan tindakan Anda. Kepercayaan yang salah akan melahirkan sikap dan tindakan yang salah. Kepercayaan tersebut berarti tidak memberdayakan Anda. Jika ini yang terjadi, maka sasaran apa pun yang Anda inginkan tidak akan terwujud.
Beberapa kepercayaan yang tidak memberdayakan contohnya: Saya kurang pengalaman; saya tidak mampu meyakinkan; saya tidak punya relasi; saya tidak berbakat berbisnis; masa depan saya tampak suram; dll. Termasuk kalau Anda berpendapat bahwa diri Anda tidak mampu mencapai suatu sasaran tertentu, maka Anda pun tidak akan mampu mencapai sasaran tersebut.
Jika pendapat, asumsi, dan pernyataan itu dipercayai atau diterima sebagai sesuatu yang benar, maka sikap maupun tindakan Anda akan menjadi terbatas. Artinya, Anda menjadi tidak berdaya, karena dibatasi oleh pendapat yang dipercayai oleh pikiran Anda. Pendapat yang Anda percayai inilah yang membatasi sikap dan tindakan Anda sehingga gagal mencapai sasaran yang Anda inginkan.
Kalau kita ingin tetap eksis, bertumbuh secara professional, dan mencapai sasaran-sasaran kita, maka pendapat-pendapat seperti itu—baik yang timbul dari pikiran kita sendiri, pendapat orang lain, maupun pengalaman kita sebelumnya—haruslah diganti dengan kepercayaan yang memberdayakan.
Kepercayaan yang memberdayakan itu sangat penting agar kita selalu termotivasi untuk bersikap positif dan bertindak menuju sasaran yang kita ingin capai. Berikut beberapa contoh kepercayaan yang memberdayakan, seperti; Anda pasti berhasil kalau tidak pernah menyerah; ada kemauan pasti ada jalan; semua bisa dilakukan kalau kita mau; hidup adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri; kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda; hidup seperti roda pedati kadang kita di bawah dan kadang kita di atas, dll.
Keyakinan berbasis nilai-nilai spiritual
Kepercayaan yang mutlak benar, yang tidak perlu diragukan lagi adalah bersumber dari firman atau janji-janji Tuhan. Atau, bisa juga disebut keyakinan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual.
Keyakinan inilah yang menjadi sumber energi yang tidak pernah habis. Energi yang siap setiap saat dipergunakan untuk memberdayakan diri kita. Dalam kitab suci Alquran, Allah SWT berfirman: Innama tuu’aduuna la waaqi’ yang artinya “Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti terjadi” (Alquran, 77: 7).
Nilai-nilai spiritual yang mengandung energi luar biasa itu antara lain: Bersyukur dan berkontribusi.
Dalam Alquran Surat Ibrahim ayat 7, Allah berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-KU, maka sesungguhnya azab-KU sangat pedih.”
Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya bersyukur kepada Tuhan. Bersyukur mengandung makna bahwa kita mengakui keberadaan Tuhan. Kita mengakui bahwa apa yang kita miliki adalah semata-mata berasal dari Tuhan. Itu juga berarti bahwa kita meyakini bahwa Tuhan adalah sumber dari semua yang kita inginkan. Yang lebih penting lagi, ketika kita bersyukur maka kita menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Hubungan harmonis yang dilandasi rasa syukur dan terima kasih itu, melahirkan kondisi psikologis yang tenang dan optimistis, yang pada gilirannya melahirkan sikap dan tindakan yang positif. Sikap dan tindakan yang positif inilah yang kemudian melahirkan buah kesuksesan yang lebih besar.
Benarlah janji Tuhan, bahwa kalau kita beryukur niscaya Dia akan menambah nikmat yang telah diberikan kepada kita.
Terkait dengan masalah kontribusi, firman Allah dalam QS. Albaqarah ayat 261, menyatakan yang artinya, “Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan; sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir/tangkai, pada tiap-tiap bulir/tangkai menumbuhkan 100 biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang dikehendaki, dan Allah Maha Luas kurnianya lagi Maha Mengetahui.”
Allah berjanji melipatgandakan imbalan atas setiap kontribusi kita. Tentu kontribusi kita bukan hanya dalam bentuk harta benda, tetapi bisa dalam bentuk harta yang lain seperti tenaga, waktu, gagasan, dorongan moril, dan lain lain. Maknanya, dengan berkontribusi, sesungguhnya kita mengalami suatu proses pembelajaran dan pertumbuhan pada internal pribadi kita yang otomatis melipatgandakan kemampuan kita untuk menghasilkan kembali apa yang telah kita berikan kepada orang lain.
Ketika berkontribusi kepada pihak lain misalnya kepada customer, organisasi, maupun perusahaan, maka kita juga memproses peningkatan kualitas diri maupun kompetensi kita dalam aspek fisik, intelektual, emosi, maupun spiritual yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan kita dalam meraih hasil yang lebih baik atau mencapai apa yang kita inginkan.
Nabi Muhammad SAW, yang juga dikenal sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia, dalam hadis beliau memberikan nasihat; kalau Anda memiliki suatu keinginan maka dianjurkan untuk banyak bersedekah (berkontribusi). Dengan banyak bersedekah secara ikhlas, maka Allah akan membuat yang sulit menjadi mudah, yang jauh menjadi dekat, dan akhirnya apa yang kita inginkan menjadi kenyataan.
Akhirnya, kepercayaan atau keyakinan yang memberdayakan sangatlah diperlukan sebagai dasar tindakan yang positif. Kepercayaan yang bersumber dari nilai-nilai spiritual khususnya janji-janji Tuhan dalam kitab suci Alquran yang pasti dan mutlak benar adalah sumber energi dan dasar tindakan yang paling tepat dan kondusif dalam mencapai sasaran mulia dan terpuji yang kita inginkan. Dan, rahmat Allah senantiasa tersedia dan tercurah untuk kita.[sw]
* Sugeng Widodo, S.Sos, MM, AAIJ, LUTCF adalah alumnus Fisip Universitas Indonesia tahun 1999 dan program magister manajemen STIE Dharma Bumiputera tahun 2000. Saat ini ia menjabat Kepala Bagian Pemberdayaan Organisasi, Divisi Askum, AJB Bumiputera 1912. Ia adalah alumnus SPP workshop “Cara Gampang Menerbitkan Buku Sendiri” Angkatan I yang suka menulis artikel di harian “Bisnis Indonesia” dan majalah “Proteksi”. Sugeng dapat dihubungi di: sugeng_widodo@bumiputera.com.
PENERIMAAN DIRI APA ADANYA ADALAH MODAL AWAL UNTUK SUKSES
Oleh: Soesilowati
Kita tentu masih ingat pepatah “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Pepatah ini juga berlaku saat kita ingin meraih sukses atau tujuan tertentu. Manusia mempunyai pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Sederhananya, semua informasi yang diterima oleh manusia akan direkam dalam pikirannya. Informasi yang sering digunakan/baru didengar masuk ke pikiran sadar, sedangkan informasi yang jarang sekali digunakan/pernah didengar akan direkam dalam pikiran bawah sadar. Nah, untuk mencapai suatu tujuan diperlukan kekompakan antara pikiran sadar dan bawah sadar.
Wah, penjelasannya kok ruwet, ya? Eit… hati-hati dengan perkataan yang digunakan. Menurut pakar teknologi pikiran, kalimat yang negatif menyebabkan hidup jadi lebih negatif (bukan lebih hidup, lho…).
Beberapa alasan mengapa kita tidak dapat menerima diri apa adanya:
1. Persepsi orang di sekeliling kita (misal, karena gender, keturunan, dll)
2. Kondisi fisik
3. Tindakan orang lain yang tidak dapat kita terima (trauma).
Bahkan, anak kecil pun dapat mengalami trauma dari kejadian yang tampaknya sepele. Contoh, anak saya yang baru berumur empat tahun. Kemarin, dia mengalami trauma untuk pergi ke dokter. Selidik punya selidik, ternyata saat ke dokter terakhir kali volume suara dokter cukup tinggi. Dan, nada suaranya pun kurang bersahabat. Meskipun hal itu tidak ditujukan pada anak saya, tapi itu sudah ‘dianggap’ kejadian yang tidak menyenangkan.
Salah satu ciri orang yang tidak dapat menerima diri sendiri adalah suka marah dan memaksakan kehendak. Sebaliknya, ciri-ciri orang yang dapat menerima diri sendiri adalah suka senyum dan mudah mengucapkan terima kasih atau bersyukur.
Mungkin saja kita berkomentar, “Bagaimana kita disuruh bersyukur kalau kita sedang mendapat masalah?” Untuk lebih jelasnya saya kutipkan cerita berikut ini.
Sejak sakitnya menjadi parah, Masaru Emoto bangun tiap pukul empat pagi (meskipun kata dokter hal itu tidak banyak membantu karena umurnya akibat kanker tinggal tiga bulan) Pesan yang diberikan dokternya hanya banyak istirahat, mengurangi pekerjaan, dan berdoa. Siapa tahu Tuhan memberi waktu lebih panjang? Karena pesan ketiga itulah sekarang ia sangat mencintai suasana pagi hari.
Maka, usai mencuci muka, ia keluar dan menaiki atap rumahnya. Ada yang selalu indah ketika ia menatap ke Timur. Udara segar dihirupnya dalam-dalam. Setiap kali dihembuskan napas, tiba-tiba bibirnya terbisik kata “terima kasih”.
Mula-mula ia hanya merasa, kalau pagi hari memang indah. Perasaannya jadi lebih tenang. Mengherankan, lama-kelamaan ia tidak memikirkan lagi sakitnya. Ia hanya merasa Tuhan begitu baik. Tuhan memberinya hari demi hari yang indah. Belum pernah ia mengalami perasaan setenang dan sebahagia itu.
Masaru Emoto akhirnya terbebas dari kanker ganas dan ia menyerukan kepada dunia, “Dengan hati yang dipenuhi syukur dan cinta, Anda akan memiliki kekuatan untuk mengalahkan segalanya!”
Apakah Anda mau menerima diri apa adanya?[soe]
* Soesilowati mengawali kariernya sebagai staf IT di Kasogi. Kecintaannya pada dunia anak, dan apa yang dapat membantu anak dalam belajar mendorongnya mempelajari sempoa dan metode memori, akhirnya mempertemukannya dengan Adi W. Gunawan (pemilik sekolah Anugerah Pekerti). Sekarang, ia menjadi guru di sekolah tersebut. Soesilowati dapat dihubungi di soesi_wati@yahoo.com.
Kita tentu masih ingat pepatah “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Pepatah ini juga berlaku saat kita ingin meraih sukses atau tujuan tertentu. Manusia mempunyai pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Sederhananya, semua informasi yang diterima oleh manusia akan direkam dalam pikirannya. Informasi yang sering digunakan/baru didengar masuk ke pikiran sadar, sedangkan informasi yang jarang sekali digunakan/pernah didengar akan direkam dalam pikiran bawah sadar. Nah, untuk mencapai suatu tujuan diperlukan kekompakan antara pikiran sadar dan bawah sadar.
Wah, penjelasannya kok ruwet, ya? Eit… hati-hati dengan perkataan yang digunakan. Menurut pakar teknologi pikiran, kalimat yang negatif menyebabkan hidup jadi lebih negatif (bukan lebih hidup, lho…).
Beberapa alasan mengapa kita tidak dapat menerima diri apa adanya:
1. Persepsi orang di sekeliling kita (misal, karena gender, keturunan, dll)
2. Kondisi fisik
3. Tindakan orang lain yang tidak dapat kita terima (trauma).
Bahkan, anak kecil pun dapat mengalami trauma dari kejadian yang tampaknya sepele. Contoh, anak saya yang baru berumur empat tahun. Kemarin, dia mengalami trauma untuk pergi ke dokter. Selidik punya selidik, ternyata saat ke dokter terakhir kali volume suara dokter cukup tinggi. Dan, nada suaranya pun kurang bersahabat. Meskipun hal itu tidak ditujukan pada anak saya, tapi itu sudah ‘dianggap’ kejadian yang tidak menyenangkan.
Salah satu ciri orang yang tidak dapat menerima diri sendiri adalah suka marah dan memaksakan kehendak. Sebaliknya, ciri-ciri orang yang dapat menerima diri sendiri adalah suka senyum dan mudah mengucapkan terima kasih atau bersyukur.
Mungkin saja kita berkomentar, “Bagaimana kita disuruh bersyukur kalau kita sedang mendapat masalah?” Untuk lebih jelasnya saya kutipkan cerita berikut ini.
Sejak sakitnya menjadi parah, Masaru Emoto bangun tiap pukul empat pagi (meskipun kata dokter hal itu tidak banyak membantu karena umurnya akibat kanker tinggal tiga bulan) Pesan yang diberikan dokternya hanya banyak istirahat, mengurangi pekerjaan, dan berdoa. Siapa tahu Tuhan memberi waktu lebih panjang? Karena pesan ketiga itulah sekarang ia sangat mencintai suasana pagi hari.
Maka, usai mencuci muka, ia keluar dan menaiki atap rumahnya. Ada yang selalu indah ketika ia menatap ke Timur. Udara segar dihirupnya dalam-dalam. Setiap kali dihembuskan napas, tiba-tiba bibirnya terbisik kata “terima kasih”.
Mula-mula ia hanya merasa, kalau pagi hari memang indah. Perasaannya jadi lebih tenang. Mengherankan, lama-kelamaan ia tidak memikirkan lagi sakitnya. Ia hanya merasa Tuhan begitu baik. Tuhan memberinya hari demi hari yang indah. Belum pernah ia mengalami perasaan setenang dan sebahagia itu.
Masaru Emoto akhirnya terbebas dari kanker ganas dan ia menyerukan kepada dunia, “Dengan hati yang dipenuhi syukur dan cinta, Anda akan memiliki kekuatan untuk mengalahkan segalanya!”
Apakah Anda mau menerima diri apa adanya?[soe]
* Soesilowati mengawali kariernya sebagai staf IT di Kasogi. Kecintaannya pada dunia anak, dan apa yang dapat membantu anak dalam belajar mendorongnya mempelajari sempoa dan metode memori, akhirnya mempertemukannya dengan Adi W. Gunawan (pemilik sekolah Anugerah Pekerti). Sekarang, ia menjadi guru di sekolah tersebut. Soesilowati dapat dihubungi di soesi_wati@yahoo.com.
MEMILIH MEDIA SILATURAHMI BISNIS YANG TEPAT
Oleh: Gagan Gartika
Anda tahu nepotisme? Atau, pernahkah Anda mendengar kata koneksi? Dua hal tersebut, meski belakangan dimaknai sebagai suatu hal yang cenderung negatif, sebenarnya punya dampak yang sangat positif. Sebab, berhasilnya sebuah bisnis, kadang ditentukan oleh seberapa besar jaringan yang dimiliki oleh pemilik bisnis. Jaringan itu bisa berupa pertemanan, jaringan distribusi, jaringan pemasaran, atau jaringan lainnya.
Sayangnya, kadang kita kurang mampu memaksimalkan potensi jaringan ini. Padahal, caranya cukup mudah. Salah satunya, yaitu dengan membuat berbagai media sebagai wadah untuk berkomunikasi.
Ada berbagai macam cara untuk mendapatkan media yang tepat. Salah satunya dengan memanfaatkan hobi. Tenis atau golf misalnya. Berapa banyak orang yang menjadikan olahraga tersebut sebagai media untuk pengembangan bisnis. Cara lain, dengan media sharing pengetahuan. Coba lihat, klub-klub eksekutif kini bertebaran. Mereka biasanya punya agenda membahas aneka masalah seputar bisnis atau hal lain. Dari sini, perbincangan soal pengembangan bisnis pun bisa dilakukan. Tengok pula munculnya berbagai asosiasi dalam berbagai bidang. Asosiasi tersebut selain untuk mengakomodasi kepentingan anggotanya, juga menjadi sebuah media interaksi antaranggota demi kemajuan bisnis mereka.
Jika menilik manfaat positif media-media semacam ini, maka sebenarnya urusan nepotisme atau koneksi sebenarnya bukan sesuatu yang negatif. Sepanjang sama-sama saling menguntungkan, serta tetap mengindahkan aspek dan norma hukum yang berlaku, memanfaatkan media semacam ini sah-sah saja dilakukan.
Bahkan, dengan menggunakan media semacam ini, jaringan bisnis bisa makin diperluas. Upaya saling dukung antarbidang yang terhubung melalui media-media semacam ini dapat memajukan pelaku bisnis yang bersangkutan. Inilah suatu bentuk implementasi silaturahmi yang saling menguntungkan. Kekuatan dari potensi silaturahmi yang dikembangkan, bisa dimaksimalkan dalam media-media semacam ini.
Masalahnya, bagaimana agar bentuk silaturahmi ini benar-benar bisa mencapai sasaran seperti yang diinginkan? Media seperti apakah yang bisa dimaksimalkan potensinya agar bisa menyokong kemajuan bisnis kita? Seperti contoh di atas, berikut akan kita bahas beberapa bentuk media yang bisa kita pilih agar maksimal potensinya.
Menggunakan media berdasarkan hobi
Hampir setiap orang mempunyai hobi atau kesenangan masing-masing. Kadang, ada yang unik. Misalnya, hobi memelihara burung kicau jenis tertentu. Ada pula yang hobinya sangat menantang, seperti pecinta alam. Selain itu, banyak pula yang hobinya berolahraga, seperti tenis dan golf.
Dua hobi terakhir inilah yang selama ini paling sering dijadikan ajang silaturahmi bisnis. Dari klub-klub tenis dan golf, biasanya banyak eksekutif berkumpul. Selain bersantai, mereka pun acap kali membicarakan persoalan bisnis di lapangan. Tak jarang, ’deal-deal’ besar bisnis pun ditentukan di lapangan.
Bisa dikatakan, keuntungan menggunakan hobi sebagai media silaturahmi bisnis cukup banyak. Selain bisa rileks, kita juga bisa sekaligus meningkatkan kemampuan dalam hobi yang kita tekuni. Suasana rileks inilah yang bisa mendukung kita untuk bicara mengenai hal apa pun. Termasuk, urusan pengembangan bisnis. Namun, perlu kita ingat. Tak semua orang ingin menjadikan hobi sebagai media silaturahmi bisnis. Kadang, ada juga yang benar-benar ingin menjadikan hobi sekadar pelepas stres. Karena itu, kita harus pandai-pandai melihat situasi.
Yang jelas, apa pun hobi kita, biasanya selalu ada komunitas yang punya kesamaan hobi dengan kita. Kalau pun belum ada, kita pun bisa membentuknya. Dan, setelah bergabung, kita harus selalu aktif. Dengan begitu, kita akan cepat dikenal dalam kelompok tersebut. Makin dikenal, sudah tentu akan makin luas pula pergaulan dan pengaruh kita dalam komunitas tersebut.
Menggunakan media berdasarkan dasar minat pengetahuan
Saat ini, hampir setiap hari di media dibombardir iklan seminar. Baik seminar bisnis, keuangan, atau seminar lainnya. Tak jarang, para peserta seminar, selain bertujuan untuk mendapatkan ilmu, juga untuk menjadikan ajang seminar sebagai silaturahmi bisnis dengan peserta seminar lain. Sebab, biasanya, mereka yang datang dalam sebuah seminar, memiliki minat yang sama terhadap bidang pengetahuan yang disajikan dalam seminar tersebut. Dari kesamaan minat inilah, sebuah awal silaturahmi bisnis dilakukan. Bahkan, acapkali, seusai seminar, para peserta akan saling bertukar kartu nama. Ujung-ujungnya, akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan lain.
Inilah salah satu media silaturahmi bisnis yang bisa kita manfaatkan. Karena itu, tak heran, saat ini banyak bermunculan klub-klub eksekutif yang mengakomodasi kesamaan minat pada bidang tertentu ini. Misalnya, klub keuangan atau klub marketing. Keuntungannya jelas. Jika kita bergabung dengan komunitas marketing, kemampuan ilmu pemasaran kita bisa makin terasah. Kita jadi makin banyak tahu trik memasarkan suatu produk karena sering berdiskusi dengan kelompok tersebut. Kemudian, saat bergabung di klub keuangan, kita bisa membicarakan perencanaan keuangan, baik pribadi, keluarga, ataupun perusahaan.
Menggunakan media berdasarkan kesamaan bidang
Hampir mirip dengan pola silaturahmi bisnis sebelumnya, media yang digunakan kali ini adalah berdasarkan kesamaan bidang yang digeluti. Dari sini, biasanya akan muncul berbagai macam asosiasi usaha atau bisnis tertentu.
Setiap perusahaan mempunyai bidang bisnis yang berlainan. Apakah bergerak di bidang jasa atau jual beli barang, tentu berbeda penanganannya. Dengan mengetahui bidang bisnis yang kita geluti, akan lebih mudah bagi kita memilih media sebagai tempat pengembangan diri untuk memperluas jaringan. Misalnya, jika kita bergerak di bidang jasa arsitek, kita bisa bergabung di komunitas persatuan pekerja arsitek. Atau, jika punya bisnis di pasar, kita bisa bergabung di asosiasi pedagang pasar.
Komunitas-komunitas tersebut merupakan media tempat mengembangkan jaringan bisnis. Bahkan, kalau perlu kita bisa mendirikan asosiasi sendiri. Kita bisa mengajak relasi yang memiliki kesamaan bidang bisnis. Saya pun menempuh cara ini, yaitu mengumpulkan teman untuk mengembangkan usaha di bidang depo dan pergudangan menjadikan suatu asosiasi yang mampu melahirkan peluang baru berkaitan dengan penyediaan tempat penumpukan petikemas dan juga penampungan barang.
Begitulah, bisnis tanpa jaringan akan sulit mencapai kemajuan. Karena itu, kita pun harus pandai-pandai bersosialisasi untuk memperluas silaturahmi bisnis yang kita jalani. Dengan begitu, kita bisa memperkuat jaringan bisnis ke mana dan di mana saja kita berada.[gg]
* Gagan Gartika adalah praktisi Silaturahmi Marketing, pemilik beberapa bidang usaha serta Ketua Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bisnis (LPPB) Sinergi, dan Alumni Sekolah Penulis Pembelajar angkatan ke-5. Ia dapat dihubungi di: gagan@kumaitucargo.co.id.
Anda tahu nepotisme? Atau, pernahkah Anda mendengar kata koneksi? Dua hal tersebut, meski belakangan dimaknai sebagai suatu hal yang cenderung negatif, sebenarnya punya dampak yang sangat positif. Sebab, berhasilnya sebuah bisnis, kadang ditentukan oleh seberapa besar jaringan yang dimiliki oleh pemilik bisnis. Jaringan itu bisa berupa pertemanan, jaringan distribusi, jaringan pemasaran, atau jaringan lainnya.
Sayangnya, kadang kita kurang mampu memaksimalkan potensi jaringan ini. Padahal, caranya cukup mudah. Salah satunya, yaitu dengan membuat berbagai media sebagai wadah untuk berkomunikasi.
Ada berbagai macam cara untuk mendapatkan media yang tepat. Salah satunya dengan memanfaatkan hobi. Tenis atau golf misalnya. Berapa banyak orang yang menjadikan olahraga tersebut sebagai media untuk pengembangan bisnis. Cara lain, dengan media sharing pengetahuan. Coba lihat, klub-klub eksekutif kini bertebaran. Mereka biasanya punya agenda membahas aneka masalah seputar bisnis atau hal lain. Dari sini, perbincangan soal pengembangan bisnis pun bisa dilakukan. Tengok pula munculnya berbagai asosiasi dalam berbagai bidang. Asosiasi tersebut selain untuk mengakomodasi kepentingan anggotanya, juga menjadi sebuah media interaksi antaranggota demi kemajuan bisnis mereka.
Jika menilik manfaat positif media-media semacam ini, maka sebenarnya urusan nepotisme atau koneksi sebenarnya bukan sesuatu yang negatif. Sepanjang sama-sama saling menguntungkan, serta tetap mengindahkan aspek dan norma hukum yang berlaku, memanfaatkan media semacam ini sah-sah saja dilakukan.
Bahkan, dengan menggunakan media semacam ini, jaringan bisnis bisa makin diperluas. Upaya saling dukung antarbidang yang terhubung melalui media-media semacam ini dapat memajukan pelaku bisnis yang bersangkutan. Inilah suatu bentuk implementasi silaturahmi yang saling menguntungkan. Kekuatan dari potensi silaturahmi yang dikembangkan, bisa dimaksimalkan dalam media-media semacam ini.
Masalahnya, bagaimana agar bentuk silaturahmi ini benar-benar bisa mencapai sasaran seperti yang diinginkan? Media seperti apakah yang bisa dimaksimalkan potensinya agar bisa menyokong kemajuan bisnis kita? Seperti contoh di atas, berikut akan kita bahas beberapa bentuk media yang bisa kita pilih agar maksimal potensinya.
Menggunakan media berdasarkan hobi
Hampir setiap orang mempunyai hobi atau kesenangan masing-masing. Kadang, ada yang unik. Misalnya, hobi memelihara burung kicau jenis tertentu. Ada pula yang hobinya sangat menantang, seperti pecinta alam. Selain itu, banyak pula yang hobinya berolahraga, seperti tenis dan golf.
Dua hobi terakhir inilah yang selama ini paling sering dijadikan ajang silaturahmi bisnis. Dari klub-klub tenis dan golf, biasanya banyak eksekutif berkumpul. Selain bersantai, mereka pun acap kali membicarakan persoalan bisnis di lapangan. Tak jarang, ’deal-deal’ besar bisnis pun ditentukan di lapangan.
Bisa dikatakan, keuntungan menggunakan hobi sebagai media silaturahmi bisnis cukup banyak. Selain bisa rileks, kita juga bisa sekaligus meningkatkan kemampuan dalam hobi yang kita tekuni. Suasana rileks inilah yang bisa mendukung kita untuk bicara mengenai hal apa pun. Termasuk, urusan pengembangan bisnis. Namun, perlu kita ingat. Tak semua orang ingin menjadikan hobi sebagai media silaturahmi bisnis. Kadang, ada juga yang benar-benar ingin menjadikan hobi sekadar pelepas stres. Karena itu, kita harus pandai-pandai melihat situasi.
Yang jelas, apa pun hobi kita, biasanya selalu ada komunitas yang punya kesamaan hobi dengan kita. Kalau pun belum ada, kita pun bisa membentuknya. Dan, setelah bergabung, kita harus selalu aktif. Dengan begitu, kita akan cepat dikenal dalam kelompok tersebut. Makin dikenal, sudah tentu akan makin luas pula pergaulan dan pengaruh kita dalam komunitas tersebut.
Menggunakan media berdasarkan dasar minat pengetahuan
Saat ini, hampir setiap hari di media dibombardir iklan seminar. Baik seminar bisnis, keuangan, atau seminar lainnya. Tak jarang, para peserta seminar, selain bertujuan untuk mendapatkan ilmu, juga untuk menjadikan ajang seminar sebagai silaturahmi bisnis dengan peserta seminar lain. Sebab, biasanya, mereka yang datang dalam sebuah seminar, memiliki minat yang sama terhadap bidang pengetahuan yang disajikan dalam seminar tersebut. Dari kesamaan minat inilah, sebuah awal silaturahmi bisnis dilakukan. Bahkan, acapkali, seusai seminar, para peserta akan saling bertukar kartu nama. Ujung-ujungnya, akan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan lain.
Inilah salah satu media silaturahmi bisnis yang bisa kita manfaatkan. Karena itu, tak heran, saat ini banyak bermunculan klub-klub eksekutif yang mengakomodasi kesamaan minat pada bidang tertentu ini. Misalnya, klub keuangan atau klub marketing. Keuntungannya jelas. Jika kita bergabung dengan komunitas marketing, kemampuan ilmu pemasaran kita bisa makin terasah. Kita jadi makin banyak tahu trik memasarkan suatu produk karena sering berdiskusi dengan kelompok tersebut. Kemudian, saat bergabung di klub keuangan, kita bisa membicarakan perencanaan keuangan, baik pribadi, keluarga, ataupun perusahaan.
Menggunakan media berdasarkan kesamaan bidang
Hampir mirip dengan pola silaturahmi bisnis sebelumnya, media yang digunakan kali ini adalah berdasarkan kesamaan bidang yang digeluti. Dari sini, biasanya akan muncul berbagai macam asosiasi usaha atau bisnis tertentu.
Setiap perusahaan mempunyai bidang bisnis yang berlainan. Apakah bergerak di bidang jasa atau jual beli barang, tentu berbeda penanganannya. Dengan mengetahui bidang bisnis yang kita geluti, akan lebih mudah bagi kita memilih media sebagai tempat pengembangan diri untuk memperluas jaringan. Misalnya, jika kita bergerak di bidang jasa arsitek, kita bisa bergabung di komunitas persatuan pekerja arsitek. Atau, jika punya bisnis di pasar, kita bisa bergabung di asosiasi pedagang pasar.
Komunitas-komunitas tersebut merupakan media tempat mengembangkan jaringan bisnis. Bahkan, kalau perlu kita bisa mendirikan asosiasi sendiri. Kita bisa mengajak relasi yang memiliki kesamaan bidang bisnis. Saya pun menempuh cara ini, yaitu mengumpulkan teman untuk mengembangkan usaha di bidang depo dan pergudangan menjadikan suatu asosiasi yang mampu melahirkan peluang baru berkaitan dengan penyediaan tempat penumpukan petikemas dan juga penampungan barang.
Begitulah, bisnis tanpa jaringan akan sulit mencapai kemajuan. Karena itu, kita pun harus pandai-pandai bersosialisasi untuk memperluas silaturahmi bisnis yang kita jalani. Dengan begitu, kita bisa memperkuat jaringan bisnis ke mana dan di mana saja kita berada.[gg]
* Gagan Gartika adalah praktisi Silaturahmi Marketing, pemilik beberapa bidang usaha serta Ketua Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bisnis (LPPB) Sinergi, dan Alumni Sekolah Penulis Pembelajar angkatan ke-5. Ia dapat dihubungi di: gagan@kumaitucargo.co.id.
KEBAHAGIAAN “INTERNAL” DAN “EKSTERNAL”
Oleh: A. Asep Syarifuddin
KAPAN Anda merasa bahagia? Apakah ketika memperoleh hadiah? Habis bulan? Mendapatkan ucapan selamat? Atau... semua itu bisa menjadikan kita bahagia karena ada stimulus dari luar yang membuat kita dapat memenuhi kebutuhan. Tapi, bagaimana ceritanya ketika semua yang datang kepada kita itu habis? Hilang? Lenyap atau tidak lagi menjadi milik kita? Sudah tentu bila sumber kebahagiaan tersebut tidak ada maka yang muncul adalah ketidakbahagiaan. Dengan sendirinya kita harus mengejar kembali sesuatu yang dapat membuat kita bahagia tadi. Apakah ini model kebahagiaan yang salah? Tidak juga, tapi kalau Anda merasa bahagia karena sesuatu yang datang dari luar, maka siap-siap saja untuk kecewa karena sesuatu yang datangnya dari luar tidak abadi sifatnya. Ironisnya model kebahagiaan seperti ini nyaris diyakini oleh 80 persen orang kebanyakan yang hidup di dunia ini.
Lantas, apakah ada model kebahagiaan yang lain? Ada dan ini sifatnya abadi. Model kebahagiaan kedua adalah kebahagiaan "internal". Kebahagiaan ini datangnya dari dalam diri kita dan bukan dari luar diri kita. Tapi, bagaimana caranya kita memiliki model kebahagiaan seperti ini? Sepertinya susah untuk merealisasikannya. Lagi pula, kebanyakan orang bisa merasakan kebahagiaan apabila mencapai sesuatu dan mengejar hal lain bila sesuatu itu sudah tercapai. Kita bisa mencapai kebahagiaan internal dan kabar gembiranya, bila kita memiliki kebahagiaan internal, maka kebahagiaan eksternal bisa tercapai. Sementara, bila hanya mencapai kebahagiaan eksternal, maka kebahagiaan internal tidak bisa dimiliki. Caranya sederhana, ciptakan batin kita menjadi bahagia. Caranya bermacam-macam, salah satunya dengan selalu memiliki rasa bersyukur.
Coba hitung, anugerah yang sudah kita peroleh sejak lahir sampai sekarang. Kita diberi nikmat hidup, bentuk tubuh yang indah, bernapas, diberi mata, diberi hidung, mulut, lidah, paru-paru, jantung, ginjal, hati, dan pikiran. Belum lagi di luar kita, kita memiliki orangtua, saudara, tetangga, dll. Allah SWT sudah memberikan segala kebutuhan kita di dunia ini lengkap dengan segala fasilitasnya. Apakah masih kurang segala sesuatu yang sudah diberikan kepada kita? Sepertinya kita memang kurang memiliki rasa bersyukur atas hal-hal di atas yang selama ini sudah menopang hidup kita. Cobalah kita syukuri satu per satu, maka hasilnya akan sangat luar biasa bahagia.
Ya Allah ...
Aku bersyukur hari ini masih diberikan kesempatan untuk hidup.
Aku bersyukur hari ini masih bisa bernafas, terimakasih hidung, terimakasih paru-paru, terimakasih oksigen, terimakasih matahari dan pepohonan yang sudah mengubah karbondioksida menjadi oksigen dan udara bersih di pagi hari.
Aku bersyukur diberikan kesehatan, sehingga aku bisa menjalankan aktivitas sehari-hari.
Aku bersyukur atas segala nikmat yang sudah diberikan kepadaku baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Betapa banyaknya, dan aku tidak bisa menghitungnya.
Terimakasih Tuhan, terimakasih alam, terimakasih anggota tubuhku, terimakasih alam, aku sayang kepadamu, aku mencintaimu.
Ucapkan kata-kata di atas dalam suasana hening, penuh dengan perasaan, bayangkan semuanya memberikan ucapan selamat kepada Anda, menepuk-nepuk bahu Anda, bersalaman kepada Anda. Tuhan pun tersenyum melihat Anda penuh rasa syukur dan Dia berjanji akan menambah nikmat-nikmat yang lain walaupun tidak kamu minta. Subhanallah.... Cara lain yang biasa saya lakukan adalah bangun malam untuk salat Tahajud dan tadarus Alquran. Agar dipermudah bangun malam baca tulisan saya yang berjudul 'Berdamai dengan Diri Sendiri'. Ada satu perasaan bahagia yang tiada tara ketika membuka mata pada pukul 03.00. Sambil mengucapkan alhamdulillah saya bangun dengan penuh senyum dengan perasaan Allah juga senang melihat hambanya bangun pada dini hari.
Saya ambil air wudu, saya basuh satu per satu anggota rukun wudu sampai selesai. Saya ambil sajadah, kain sarung, dan baju sopan yang bersih serta mengenakan tutup kepala. Allahu Akbar.... Kuucapkan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa di keheningan malam. Lagi-lagi aku melihat Tuhan tersenyum lebar, gembira melihat hambanya bertafakur, berdoa, bermunajat, merendahkan diri, bersujud di depan Sang Pencipta. "Sesungguhnya salatku, hidup, dan matiku hanyalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu." Ayat demi ayat dilantunkan secara perlahan, benar-benar terasa nikmat dan lapang dada. Ketika saya ingat dosa-dosa saya tak terasa air mata pun berlinang, apakah Allah masih mau untuk memaafkan saya? Padahal dosa selama hidup baik yang terasa maupun yang tidak terasa jumlahnya sangat banyak. Saya pasrahkan kepada kebesaran Zat Yang Maha Pengampun, mudah-mudahan masih mau untuk mengampuni hamba yang zalim ini.
Saya benar-benar menikmati gerakan demi gerakan salat sampai salam. Lagi-lagi entah mengapa rasa bahagia tersebut seolah masuk ke dalam diri dan memeluk erat-erat seakan tidak mau terlepas dari batin dan tubuh saya. Setelah berdoa saya ambil HP untuk mengirimkan SMS kepada teman-teman yang biasa qiamulail (salat di tengah malam secara teratur: red) atau kepada siapa saja yang sekiranya saya kenal. Siapa tahu dia terbangun dan menjalankan salat malam juga. Isinya kira-kira, "Ass wr wb. Dengan segala kerendahan hati, marilah kita menyerahkan diri kepada Zat Sang Maha Pencipta untuk salat malam, tadarus Alquran." Kalau kebetulan hari Senin atau Kamis pagi ditambah dengan kata-kata, “ .... bagi yang berniat puasa sunah Senin atau Kamis dipersilakan untuk makan sahur." Kemudian saya kembali salat sampai beberapa kali takbiratulihram (takbir yang diucapkan pada awal salat: red) dan salam. Selesai salat ada yang membalas SMS tersebut. Muncul lagi perasaan bahagia karena bisa berbagi kebahagiaan dengan sesama. Usai salat dilanjutkan dengan tadarus Alquran sampai datang waktu salat subuh.
Keesokan harinya rasa bahagia tersebut menjadi teman sampai sore hari bahkan sampai malam harinya lagi. Ketika berjalan seakan-akan alam menyapa dan senyuman dan lambaian. Semuanya tersenyum, semuanya melambai, semuanya mendukung. Kondisi seperti itu benar-benar memengaruhi kita ketika berkomunikasi dengan orang-orang. Terlihat penuh semangat, antusias, percaya diri, dan yang lebih penting muncul ketulusan dalam berbagai bentuk pembicaraan. Pekerjaan tidak terasa sebagai beban tapi terasa senang menjalankannya. Kebahagiaan internal benar-benar dapat mempengaruhi kondisi eksternal dan akhirnya bisa mencapai kebahagiaan eksternal. Sampai di sini saya dapat mengambil kesimpulan, apabila kita menggapai kebahagiaan internal, maka kebahagiaan eksternal dengan sendirinya dapat dicapai. Memang untuk mencapai kebahagiaan ekstrnal berupa materi membutuhkan waktu. Sesuatu kalau ingin terwujud secara materi ada hukum-hukum tersendiri yang tidak bisa dilawan. Misalnya saja, kalau kita ingin berhasil sudah tentu kita harus ulet, rajin, konsisten, dan berusaha terus-menerus. Demikian juga kalau ingin mencapai yang kita inginkan, ada jeda waktu untuk mencapainya. Tapi, kalau kondisi kita berada dalam positive feeling, maka waktu tersebut tidak menjadi masalah asalkan bisa tercapai. Kita memiliki sikap sabar dan tawakal.
Hidup Penuh Makna, Bahagia,
Damai dan Sejahtera. [aas]
* A. Asep Syarifuddin adalah pimpinan redaksi sebuah koran di Jawa Tengah. Ia dapat dihubungi melalui blog: http://hidupbermakna.wordpress.com
KAPAN Anda merasa bahagia? Apakah ketika memperoleh hadiah? Habis bulan? Mendapatkan ucapan selamat? Atau... semua itu bisa menjadikan kita bahagia karena ada stimulus dari luar yang membuat kita dapat memenuhi kebutuhan. Tapi, bagaimana ceritanya ketika semua yang datang kepada kita itu habis? Hilang? Lenyap atau tidak lagi menjadi milik kita? Sudah tentu bila sumber kebahagiaan tersebut tidak ada maka yang muncul adalah ketidakbahagiaan. Dengan sendirinya kita harus mengejar kembali sesuatu yang dapat membuat kita bahagia tadi. Apakah ini model kebahagiaan yang salah? Tidak juga, tapi kalau Anda merasa bahagia karena sesuatu yang datang dari luar, maka siap-siap saja untuk kecewa karena sesuatu yang datangnya dari luar tidak abadi sifatnya. Ironisnya model kebahagiaan seperti ini nyaris diyakini oleh 80 persen orang kebanyakan yang hidup di dunia ini.
Lantas, apakah ada model kebahagiaan yang lain? Ada dan ini sifatnya abadi. Model kebahagiaan kedua adalah kebahagiaan "internal". Kebahagiaan ini datangnya dari dalam diri kita dan bukan dari luar diri kita. Tapi, bagaimana caranya kita memiliki model kebahagiaan seperti ini? Sepertinya susah untuk merealisasikannya. Lagi pula, kebanyakan orang bisa merasakan kebahagiaan apabila mencapai sesuatu dan mengejar hal lain bila sesuatu itu sudah tercapai. Kita bisa mencapai kebahagiaan internal dan kabar gembiranya, bila kita memiliki kebahagiaan internal, maka kebahagiaan eksternal bisa tercapai. Sementara, bila hanya mencapai kebahagiaan eksternal, maka kebahagiaan internal tidak bisa dimiliki. Caranya sederhana, ciptakan batin kita menjadi bahagia. Caranya bermacam-macam, salah satunya dengan selalu memiliki rasa bersyukur.
Coba hitung, anugerah yang sudah kita peroleh sejak lahir sampai sekarang. Kita diberi nikmat hidup, bentuk tubuh yang indah, bernapas, diberi mata, diberi hidung, mulut, lidah, paru-paru, jantung, ginjal, hati, dan pikiran. Belum lagi di luar kita, kita memiliki orangtua, saudara, tetangga, dll. Allah SWT sudah memberikan segala kebutuhan kita di dunia ini lengkap dengan segala fasilitasnya. Apakah masih kurang segala sesuatu yang sudah diberikan kepada kita? Sepertinya kita memang kurang memiliki rasa bersyukur atas hal-hal di atas yang selama ini sudah menopang hidup kita. Cobalah kita syukuri satu per satu, maka hasilnya akan sangat luar biasa bahagia.
Ya Allah ...
Aku bersyukur hari ini masih diberikan kesempatan untuk hidup.
Aku bersyukur hari ini masih bisa bernafas, terimakasih hidung, terimakasih paru-paru, terimakasih oksigen, terimakasih matahari dan pepohonan yang sudah mengubah karbondioksida menjadi oksigen dan udara bersih di pagi hari.
Aku bersyukur diberikan kesehatan, sehingga aku bisa menjalankan aktivitas sehari-hari.
Aku bersyukur atas segala nikmat yang sudah diberikan kepadaku baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Betapa banyaknya, dan aku tidak bisa menghitungnya.
Terimakasih Tuhan, terimakasih alam, terimakasih anggota tubuhku, terimakasih alam, aku sayang kepadamu, aku mencintaimu.
Ucapkan kata-kata di atas dalam suasana hening, penuh dengan perasaan, bayangkan semuanya memberikan ucapan selamat kepada Anda, menepuk-nepuk bahu Anda, bersalaman kepada Anda. Tuhan pun tersenyum melihat Anda penuh rasa syukur dan Dia berjanji akan menambah nikmat-nikmat yang lain walaupun tidak kamu minta. Subhanallah.... Cara lain yang biasa saya lakukan adalah bangun malam untuk salat Tahajud dan tadarus Alquran. Agar dipermudah bangun malam baca tulisan saya yang berjudul 'Berdamai dengan Diri Sendiri'. Ada satu perasaan bahagia yang tiada tara ketika membuka mata pada pukul 03.00. Sambil mengucapkan alhamdulillah saya bangun dengan penuh senyum dengan perasaan Allah juga senang melihat hambanya bangun pada dini hari.
Saya ambil air wudu, saya basuh satu per satu anggota rukun wudu sampai selesai. Saya ambil sajadah, kain sarung, dan baju sopan yang bersih serta mengenakan tutup kepala. Allahu Akbar.... Kuucapkan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa di keheningan malam. Lagi-lagi aku melihat Tuhan tersenyum lebar, gembira melihat hambanya bertafakur, berdoa, bermunajat, merendahkan diri, bersujud di depan Sang Pencipta. "Sesungguhnya salatku, hidup, dan matiku hanyalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu." Ayat demi ayat dilantunkan secara perlahan, benar-benar terasa nikmat dan lapang dada. Ketika saya ingat dosa-dosa saya tak terasa air mata pun berlinang, apakah Allah masih mau untuk memaafkan saya? Padahal dosa selama hidup baik yang terasa maupun yang tidak terasa jumlahnya sangat banyak. Saya pasrahkan kepada kebesaran Zat Yang Maha Pengampun, mudah-mudahan masih mau untuk mengampuni hamba yang zalim ini.
Saya benar-benar menikmati gerakan demi gerakan salat sampai salam. Lagi-lagi entah mengapa rasa bahagia tersebut seolah masuk ke dalam diri dan memeluk erat-erat seakan tidak mau terlepas dari batin dan tubuh saya. Setelah berdoa saya ambil HP untuk mengirimkan SMS kepada teman-teman yang biasa qiamulail (salat di tengah malam secara teratur: red) atau kepada siapa saja yang sekiranya saya kenal. Siapa tahu dia terbangun dan menjalankan salat malam juga. Isinya kira-kira, "Ass wr wb. Dengan segala kerendahan hati, marilah kita menyerahkan diri kepada Zat Sang Maha Pencipta untuk salat malam, tadarus Alquran." Kalau kebetulan hari Senin atau Kamis pagi ditambah dengan kata-kata, “ .... bagi yang berniat puasa sunah Senin atau Kamis dipersilakan untuk makan sahur." Kemudian saya kembali salat sampai beberapa kali takbiratulihram (takbir yang diucapkan pada awal salat: red) dan salam. Selesai salat ada yang membalas SMS tersebut. Muncul lagi perasaan bahagia karena bisa berbagi kebahagiaan dengan sesama. Usai salat dilanjutkan dengan tadarus Alquran sampai datang waktu salat subuh.
Keesokan harinya rasa bahagia tersebut menjadi teman sampai sore hari bahkan sampai malam harinya lagi. Ketika berjalan seakan-akan alam menyapa dan senyuman dan lambaian. Semuanya tersenyum, semuanya melambai, semuanya mendukung. Kondisi seperti itu benar-benar memengaruhi kita ketika berkomunikasi dengan orang-orang. Terlihat penuh semangat, antusias, percaya diri, dan yang lebih penting muncul ketulusan dalam berbagai bentuk pembicaraan. Pekerjaan tidak terasa sebagai beban tapi terasa senang menjalankannya. Kebahagiaan internal benar-benar dapat mempengaruhi kondisi eksternal dan akhirnya bisa mencapai kebahagiaan eksternal. Sampai di sini saya dapat mengambil kesimpulan, apabila kita menggapai kebahagiaan internal, maka kebahagiaan eksternal dengan sendirinya dapat dicapai. Memang untuk mencapai kebahagiaan ekstrnal berupa materi membutuhkan waktu. Sesuatu kalau ingin terwujud secara materi ada hukum-hukum tersendiri yang tidak bisa dilawan. Misalnya saja, kalau kita ingin berhasil sudah tentu kita harus ulet, rajin, konsisten, dan berusaha terus-menerus. Demikian juga kalau ingin mencapai yang kita inginkan, ada jeda waktu untuk mencapainya. Tapi, kalau kondisi kita berada dalam positive feeling, maka waktu tersebut tidak menjadi masalah asalkan bisa tercapai. Kita memiliki sikap sabar dan tawakal.
Hidup Penuh Makna, Bahagia,
Damai dan Sejahtera. [aas]
* A. Asep Syarifuddin adalah pimpinan redaksi sebuah koran di Jawa Tengah. Ia dapat dihubungi melalui blog: http://hidupbermakna.wordpress.com
MENULIS UNTUK MEMBERDAYA DIRI: MELUKIS KEHIDUPAN
Oleh: Adjie
“People have all the resources they need to bring about change and success.”
Pembelajar yang menyukai pendekatan berbasis NLP (Neuro Linguistic Programming), pasti sudah sering mendengar pernyataan di atas. Ada semacam nilai atau keyakinan yang hendak ditawarkan kepada khalayak, seraya mengingatkan kita semua tentang dahsyatnya sumber daya dalam diri.
Dalam kalimat yang senada, seorang kawan pernah menulis bahwa, “Setiap orang adalah ahli tentang masalah-masalah yang dialami dalam hidupnya. Orang memiliki keterampilan, kompetensi, keyakinan, nilai, komitmen, dan kemampuan untuk mengurangi pengaruh dari masalah-masalah yang dialaminya.” Lagi-lagi, seharusnya ini juga bukan pernyataan bombastis yang aneh. Ini mestinya menjadi kalimat biasa saja, apalagi ketika kita memandang dengan kaca mata berbau agama, di mana sudah ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang sempurna. Dengan kesempurnaannya, manusia mestinya memiliki modal lebih dari cukup untuk mendapat dan meraih yang ia mau, bukan?
Kalau kemudian realitasnya masih banyak di antara kita yang tak mulus berubah dan meraih sukses, tentu ada yang perlu kita cermati lebih dalam. Kalau fakta hari ini memberi data tentang betapa banyak di antara kita yang justru merasa gagal dan bingung, mungkin ini pertanda ada yang perlu ditelaah lebih lanjut. Kita perlu mencari tahu, apa yang kurang pas dan tidak efektif yang membuat kita mengalami kegagalan? Apa yang salah sehingga kita bahkan tak tahu apa saja sumber daya yang kita miliki itu?
Bahkan, ketika telah banyak pelatihan kita ikuti, banyak buku kita baca, banyak ceramah kita dengar, pada kenyataannya saya menduga bahwa jumlah orang yang merasa sukses jauh lebih sedikit ketimbang jumlah yang orang yang ikut pelatihan, mendengar pencerahan, dan membaca buku-buku pengembangan diri.
Ini tentu hanya hipotesis permukaan yang memiliki banyak kelemahan. Apalagi ketika tidak didukung banyak data ilmiah. Dan saya juga tak hendak bersibuk mempertahankan hipothesis ini, karena lebih penting buat saya justru mengajak kita semua berkaca, melihat ke dalam dan menggali pengalaman keseharian, atau sekadar melihat pengalaman kawan-kawan di sekitar. Coba saja lihat dan bertanya pada mereka. Seorang penulis buku bahkan sempat mengaku, bahwa ia pun mengalami kejadian serupa: success rate-nya pernah berada pada tingkatan yang tidak memuaskannya.
Tentu tak ada yang salah dengan banyak buku, beragam pelatihan, dan hiruk pikuk ceramah pencerahan yang pernah kita ikuti, baca, dan dengar. Jelas, semua pasti ada manfaatnya. Persoalan kita kali ini adalah bagaimana mengakselerasi proses sukses yang kita maksud dan kita impikan itu.
Mengingat bahwa saya sendiri pernah mengikuti sejumlah pelatihan yang bahkan berbiaya belasan juta, saya bahkan pernah mengajukan pertanyaan bernada sinis pada diri sendiri: ”Benarkah aku sedemikian parah? Sehingga untuk sebuah perubahan, aku harus mengeluarkan uang demikian banyak?” Jangan-jangan, kalau kita sungguh disiplin mengikuti petunjuk dari satu saja buku tentang kesuksesan, maka besar kemungkinan keberhasilan yang kita impikan bakal dengan cepat terwujud.
Kabar miris jenis inilah yang kemudian mendorong saya untuk mulai mencari gagasan alternatif, yang paling sedikit akan dapat melengkapi gagasan lain dalam jagat pengembangan diri.
Maka, sampailah saya pada gagasan yang hendak mengeksplorasi aktivitas tulis-menulis justru sebagai media untuk memberdaya diri.
Aktivitas dan dunia tulis menulis yang sekarang saya pikirkan ini bisa sangat berbeda dengan arus utama yang mewarnai pemahaman umum masyarakat. Coba saja, silahkan Anda lihat apa yang belakangan ini semarak ditawarkan di pasar pelatihan dan perbukuan, khususnya yang mendalami aktivitas tulis-menulis.
Sepanjang yang saya cermati, yang selama ini banyak ditawarkan adalah aktivitas tulis-menulis dalam kerangka yang berbeda. Kalau ada pelatihan tentang tulis-menulis, biasanya ditujukan untuk meningkatkan keterampilan seseorang dalam menulis. Ada yang menjanjikan percepatan peningkatan kompetensi membuat cerita pendek dan tak sedikit yang mengajarkan bagaimana cara menulis sebuah buku. Jadi, yang coba ditingkatkan adalah keterampilan menulisnya. Jadi, yang banyak diulas adalah persoalan teknik seputar penulisan, semisal mencari ide, memfokuskan ide, hingga menerjemahkan ide jadi bahan tulisan.
Nah, yang saya pikirkan sangat berbeda. Saya justru tak terlalu peduli dengan persoalan kemampuan mengeksplorasi bahasa dan menuangkannya jadi tulisan. Paling tidak di tahap awal, saya justru tak memikirkan persoalan gaya menulis dan pakem-pakem teknik penulisan. Yang penting orang itu sekedar bisa menulis, maka cukuplah modal untuk memanfaatkan pendekatan ini. Sambil senyum, saya sendiri jadi makin disadarkan betapa gagasan ini memiliki faktor pembeda dari yang sudah banyak diungkap di pasaran. Pun ketika disandingkan dengan keyakinan bahwa tak ada yang terlalu baru di kolong langit ini, maka paling tidak coretan ini bisa menjadi gagasan alternatif. Kalau gagasan ini selaras dan bersinggungan dengan gagasan besar lain, maka semoga ini menjadi sebuah upaya yang akan memperkaya warna dan dinamika proses pemberdayaan itu sendiri.
Aktivitas tulis-menulis yang saya maksud di sini justru adalah bagaimana kita memanfaatkan tulis-menulis untuk mulai mengenali diri sendiri, makin bersahabat dengan kekuatan-kekuatan yang terpendam, makin percaya pada potensi besar dalam diri, dan akhirnya menjadikan itu semua sebagai modal untuk melesatkan busur sukses yang kita impikan.
Lihatlah betapa gagasan ini cenderung tak ingin bersibuk dengan perkara teknik dan kemampuan membuat tulisan. Ia justru lebih mementingkan proses menulisnya itu sendiri dan kemudian mengambil manfaat dari tulisan-tulisan itu. Tulisan yang saya yakini bisa menjadi alat memberdaya diri itu tak lain adalah narasi kehidupan kita sendiri. Jadi, yang dituliskan sungguh hanyalah kisah tentang diri kita sendiri.
Karena, akarnya tertancap di dalam diri, maka awalnya adalah mengenal diri sendiri. Untuk mengenal diri sendiri dengan begitu kita perlu membaca kembali kisah perjuangan, sepak terjang, cerita sukses dan sedih yang kita alami sendiri. Jadi, tulisan untuk pemberdayaan diri ini tak lain adalah tulisan tentang diri sendiri. Ini adalah narasi diri kita sendiri. Tulisan-tulisan macam inilah yang kemudian menjadi cermin pembelajaran bagi kita, sang tokoh dalam kisah yang kita tulis sendiri itu.
Inilah sisi unik lainnya. Kalau selama ini kita mungkin sibuk membaca tulisan tentang orang lain, maka kini kita diajak untuk mulai membaca tulisan berisi kisah kita sendiri. Kalau selama ini kita kagum pada banyak kisah sukses orang lain, maka dengan cara ini kita diajak berkaca dan perlahan menumbuhkan kekaguman, rasa syukur atas apa yang sudah kita capai. Ini semua akan membantu kita membangun percaya diri.
Menariknya lagi, dengan disiplin menjalankan langkah sederhana itu, kita tak akan berhenti pada masa lalu. Setelah membangun percaya diri dari kisah sukses masa lalu—sekecil apa pun itu—maka pelahan diharapkan akan tumbuh kesadaran yang makin kokoh betapa kita memiliki sejumlah sumber daya lain yang selama ini terpendam sebatas menjadi potensi saja.
Berbekal percaya diri, berbekal pemahaman akan potensi diri itu kita juga akan makin dikuatkan untuk mulai memanfaatkan kekuatan yang kita punya untuk merancang masa depan kita, merancang sukses kita, merancang narasi baru kehidupan kita. Jelas dan tegas bahwa Andalah penggagas masa depan Anda sendiri. Pemahaman diri, rasa percaya diri, penerimaan diri ibarat kuas dan warna-warni tinta sang pelukis. Ketika pada saat yang sama kanvas kehidupan telah terhampar di semesta ini, maka tinggal tangan pelukislah yang memutuskan hendak menggambar apa di atas kanvas itu. Terserah sang pelukis hendak menggunakan warna apa untuk gambar indahnya. Dan, Andalah pelukis itu.
Dengan begitu, melalui tulisan kita juga bisa merancang masa depan dan kisah sukses kita sendiri. Gagasan ini menjadi semacam penegasan betapa pentingnya menuliskan visi dan impian Anda. Setelah itu fokuskan perhatian, pikiran, dan usaha pada impian yang sudah Anda tulis itu. Kelak Anda tak perlu terkejut ketika menyadari bahwa perlahan Anda akan meraih apa yang pernah Anda tulis hari itu. Jadi, mulailah membangun masa depan dengan mulai menuliskannya. Mulailah menulis narasi masa depan kehidupan Anda pada hari ini. Tulislah kisah sukses masa depan Anda sekarang juga. Sungguh, mulailah menulis sepanjang kata yang Anda mampu, karena dari sanalah kisah panjang tentang sukses masa depan Anda justru dimulai.
Lalu, bagaimana teknik memanfaatkan aktivitas tulis menulis agar ia menjadi efektif sebagai alat memberdaya diri? Tentang ini akan saya tuangkan dalam tulisan terpisah.
Sebagai penutup bagian ini, saya teringat salah satu prinsip lain (presuposisi) yang dianut NLP, yang menyebut bahwa, “People create their own experience”. Saya ingin memahaminya secara sederhana dan mengaitkannya dengan gagasan inti tulisan kali ini. Selaras dengan gagasan yang saya usung, maka ketika kita mulai menuliskan narasi kita, maka sesungguhnya kita tengah memulai proses penciptaan pengalaman dan masa depan kita.[adjie]
* Adjie adalah karyawan sebuah perusahaan multi-national. Sehari-hari, selain terus berlatih menulis, ia juga menempatkan diri sebagai Facilitator for Human Resiliency Development (FHRD). Ayah empat orang anak ini adalah peminat tema life balance dan mind empowerment. Ia dapat dihubungi di: purwaji.purwaji@cognis.com
“People have all the resources they need to bring about change and success.”
Pembelajar yang menyukai pendekatan berbasis NLP (Neuro Linguistic Programming), pasti sudah sering mendengar pernyataan di atas. Ada semacam nilai atau keyakinan yang hendak ditawarkan kepada khalayak, seraya mengingatkan kita semua tentang dahsyatnya sumber daya dalam diri.
Dalam kalimat yang senada, seorang kawan pernah menulis bahwa, “Setiap orang adalah ahli tentang masalah-masalah yang dialami dalam hidupnya. Orang memiliki keterampilan, kompetensi, keyakinan, nilai, komitmen, dan kemampuan untuk mengurangi pengaruh dari masalah-masalah yang dialaminya.” Lagi-lagi, seharusnya ini juga bukan pernyataan bombastis yang aneh. Ini mestinya menjadi kalimat biasa saja, apalagi ketika kita memandang dengan kaca mata berbau agama, di mana sudah ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang sempurna. Dengan kesempurnaannya, manusia mestinya memiliki modal lebih dari cukup untuk mendapat dan meraih yang ia mau, bukan?
Kalau kemudian realitasnya masih banyak di antara kita yang tak mulus berubah dan meraih sukses, tentu ada yang perlu kita cermati lebih dalam. Kalau fakta hari ini memberi data tentang betapa banyak di antara kita yang justru merasa gagal dan bingung, mungkin ini pertanda ada yang perlu ditelaah lebih lanjut. Kita perlu mencari tahu, apa yang kurang pas dan tidak efektif yang membuat kita mengalami kegagalan? Apa yang salah sehingga kita bahkan tak tahu apa saja sumber daya yang kita miliki itu?
Bahkan, ketika telah banyak pelatihan kita ikuti, banyak buku kita baca, banyak ceramah kita dengar, pada kenyataannya saya menduga bahwa jumlah orang yang merasa sukses jauh lebih sedikit ketimbang jumlah yang orang yang ikut pelatihan, mendengar pencerahan, dan membaca buku-buku pengembangan diri.
Ini tentu hanya hipotesis permukaan yang memiliki banyak kelemahan. Apalagi ketika tidak didukung banyak data ilmiah. Dan saya juga tak hendak bersibuk mempertahankan hipothesis ini, karena lebih penting buat saya justru mengajak kita semua berkaca, melihat ke dalam dan menggali pengalaman keseharian, atau sekadar melihat pengalaman kawan-kawan di sekitar. Coba saja lihat dan bertanya pada mereka. Seorang penulis buku bahkan sempat mengaku, bahwa ia pun mengalami kejadian serupa: success rate-nya pernah berada pada tingkatan yang tidak memuaskannya.
Tentu tak ada yang salah dengan banyak buku, beragam pelatihan, dan hiruk pikuk ceramah pencerahan yang pernah kita ikuti, baca, dan dengar. Jelas, semua pasti ada manfaatnya. Persoalan kita kali ini adalah bagaimana mengakselerasi proses sukses yang kita maksud dan kita impikan itu.
Mengingat bahwa saya sendiri pernah mengikuti sejumlah pelatihan yang bahkan berbiaya belasan juta, saya bahkan pernah mengajukan pertanyaan bernada sinis pada diri sendiri: ”Benarkah aku sedemikian parah? Sehingga untuk sebuah perubahan, aku harus mengeluarkan uang demikian banyak?” Jangan-jangan, kalau kita sungguh disiplin mengikuti petunjuk dari satu saja buku tentang kesuksesan, maka besar kemungkinan keberhasilan yang kita impikan bakal dengan cepat terwujud.
Kabar miris jenis inilah yang kemudian mendorong saya untuk mulai mencari gagasan alternatif, yang paling sedikit akan dapat melengkapi gagasan lain dalam jagat pengembangan diri.
Maka, sampailah saya pada gagasan yang hendak mengeksplorasi aktivitas tulis-menulis justru sebagai media untuk memberdaya diri.
Aktivitas dan dunia tulis menulis yang sekarang saya pikirkan ini bisa sangat berbeda dengan arus utama yang mewarnai pemahaman umum masyarakat. Coba saja, silahkan Anda lihat apa yang belakangan ini semarak ditawarkan di pasar pelatihan dan perbukuan, khususnya yang mendalami aktivitas tulis-menulis.
Sepanjang yang saya cermati, yang selama ini banyak ditawarkan adalah aktivitas tulis-menulis dalam kerangka yang berbeda. Kalau ada pelatihan tentang tulis-menulis, biasanya ditujukan untuk meningkatkan keterampilan seseorang dalam menulis. Ada yang menjanjikan percepatan peningkatan kompetensi membuat cerita pendek dan tak sedikit yang mengajarkan bagaimana cara menulis sebuah buku. Jadi, yang coba ditingkatkan adalah keterampilan menulisnya. Jadi, yang banyak diulas adalah persoalan teknik seputar penulisan, semisal mencari ide, memfokuskan ide, hingga menerjemahkan ide jadi bahan tulisan.
Nah, yang saya pikirkan sangat berbeda. Saya justru tak terlalu peduli dengan persoalan kemampuan mengeksplorasi bahasa dan menuangkannya jadi tulisan. Paling tidak di tahap awal, saya justru tak memikirkan persoalan gaya menulis dan pakem-pakem teknik penulisan. Yang penting orang itu sekedar bisa menulis, maka cukuplah modal untuk memanfaatkan pendekatan ini. Sambil senyum, saya sendiri jadi makin disadarkan betapa gagasan ini memiliki faktor pembeda dari yang sudah banyak diungkap di pasaran. Pun ketika disandingkan dengan keyakinan bahwa tak ada yang terlalu baru di kolong langit ini, maka paling tidak coretan ini bisa menjadi gagasan alternatif. Kalau gagasan ini selaras dan bersinggungan dengan gagasan besar lain, maka semoga ini menjadi sebuah upaya yang akan memperkaya warna dan dinamika proses pemberdayaan itu sendiri.
Aktivitas tulis-menulis yang saya maksud di sini justru adalah bagaimana kita memanfaatkan tulis-menulis untuk mulai mengenali diri sendiri, makin bersahabat dengan kekuatan-kekuatan yang terpendam, makin percaya pada potensi besar dalam diri, dan akhirnya menjadikan itu semua sebagai modal untuk melesatkan busur sukses yang kita impikan.
Lihatlah betapa gagasan ini cenderung tak ingin bersibuk dengan perkara teknik dan kemampuan membuat tulisan. Ia justru lebih mementingkan proses menulisnya itu sendiri dan kemudian mengambil manfaat dari tulisan-tulisan itu. Tulisan yang saya yakini bisa menjadi alat memberdaya diri itu tak lain adalah narasi kehidupan kita sendiri. Jadi, yang dituliskan sungguh hanyalah kisah tentang diri kita sendiri.
Karena, akarnya tertancap di dalam diri, maka awalnya adalah mengenal diri sendiri. Untuk mengenal diri sendiri dengan begitu kita perlu membaca kembali kisah perjuangan, sepak terjang, cerita sukses dan sedih yang kita alami sendiri. Jadi, tulisan untuk pemberdayaan diri ini tak lain adalah tulisan tentang diri sendiri. Ini adalah narasi diri kita sendiri. Tulisan-tulisan macam inilah yang kemudian menjadi cermin pembelajaran bagi kita, sang tokoh dalam kisah yang kita tulis sendiri itu.
Inilah sisi unik lainnya. Kalau selama ini kita mungkin sibuk membaca tulisan tentang orang lain, maka kini kita diajak untuk mulai membaca tulisan berisi kisah kita sendiri. Kalau selama ini kita kagum pada banyak kisah sukses orang lain, maka dengan cara ini kita diajak berkaca dan perlahan menumbuhkan kekaguman, rasa syukur atas apa yang sudah kita capai. Ini semua akan membantu kita membangun percaya diri.
Menariknya lagi, dengan disiplin menjalankan langkah sederhana itu, kita tak akan berhenti pada masa lalu. Setelah membangun percaya diri dari kisah sukses masa lalu—sekecil apa pun itu—maka pelahan diharapkan akan tumbuh kesadaran yang makin kokoh betapa kita memiliki sejumlah sumber daya lain yang selama ini terpendam sebatas menjadi potensi saja.
Berbekal percaya diri, berbekal pemahaman akan potensi diri itu kita juga akan makin dikuatkan untuk mulai memanfaatkan kekuatan yang kita punya untuk merancang masa depan kita, merancang sukses kita, merancang narasi baru kehidupan kita. Jelas dan tegas bahwa Andalah penggagas masa depan Anda sendiri. Pemahaman diri, rasa percaya diri, penerimaan diri ibarat kuas dan warna-warni tinta sang pelukis. Ketika pada saat yang sama kanvas kehidupan telah terhampar di semesta ini, maka tinggal tangan pelukislah yang memutuskan hendak menggambar apa di atas kanvas itu. Terserah sang pelukis hendak menggunakan warna apa untuk gambar indahnya. Dan, Andalah pelukis itu.
Dengan begitu, melalui tulisan kita juga bisa merancang masa depan dan kisah sukses kita sendiri. Gagasan ini menjadi semacam penegasan betapa pentingnya menuliskan visi dan impian Anda. Setelah itu fokuskan perhatian, pikiran, dan usaha pada impian yang sudah Anda tulis itu. Kelak Anda tak perlu terkejut ketika menyadari bahwa perlahan Anda akan meraih apa yang pernah Anda tulis hari itu. Jadi, mulailah membangun masa depan dengan mulai menuliskannya. Mulailah menulis narasi masa depan kehidupan Anda pada hari ini. Tulislah kisah sukses masa depan Anda sekarang juga. Sungguh, mulailah menulis sepanjang kata yang Anda mampu, karena dari sanalah kisah panjang tentang sukses masa depan Anda justru dimulai.
Lalu, bagaimana teknik memanfaatkan aktivitas tulis menulis agar ia menjadi efektif sebagai alat memberdaya diri? Tentang ini akan saya tuangkan dalam tulisan terpisah.
Sebagai penutup bagian ini, saya teringat salah satu prinsip lain (presuposisi) yang dianut NLP, yang menyebut bahwa, “People create their own experience”. Saya ingin memahaminya secara sederhana dan mengaitkannya dengan gagasan inti tulisan kali ini. Selaras dengan gagasan yang saya usung, maka ketika kita mulai menuliskan narasi kita, maka sesungguhnya kita tengah memulai proses penciptaan pengalaman dan masa depan kita.[adjie]
* Adjie adalah karyawan sebuah perusahaan multi-national. Sehari-hari, selain terus berlatih menulis, ia juga menempatkan diri sebagai Facilitator for Human Resiliency Development (FHRD). Ayah empat orang anak ini adalah peminat tema life balance dan mind empowerment. Ia dapat dihubungi di: purwaji.purwaji@cognis.com
MENGEMBANGKAN IDE-IDE KREATIF YANG SIAP DILAKSANAKAN -
Oleh: Risfan Munir
“If your mind can conceive it, and your heart can believe it, you can achieve it.”
~ Jesse Jackson
Dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan terutama di tempat kerja, kita sering harus berpikir dan mengerahkan kreativitas dalam menyusun rencana, merancang produk/jasa ataupun acara. Dalam situasi itu biasanya disarankan untuk bisa berpikir sebebas-bebasnya, agar semua kretivitas dapat dimunculkan tanpa kendala. Namun kenyataannya, berpikir bebas itu ternyata sulit karena pada saat itu juga kita dihantui oleh risiko-risiko gagal, malu kalau tidak perfect, dst. Akibatnya, proses berpikir kreatif menjadi terkendala dan ide cemerlang menjadi buyar.
Peoses berpikir kreatif memang sering bertabrakan, konflik dengan pemikiran kritis yang terjadi di kepala. Oleh karena itu, diperlukan strategi berpikir yang lebih positif, tidak saling meniadakan. Untuk permasalahan seperti itu NLP (neuro linguistic programming) punya kiat yang dipelajari oleh penemunya. Kiat ini disebut model berpikir ala Walt Disney, yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap kreatif, tahap realitis, dan tahap kritis.
Pertama, berpikir kreatif. Sarannya adalah perankan diri kita sebagai si Kreatif yang memulai rancangan dengan menggali dan mengungkapkan, menulis ide secara bebas. Seperti seniman "urakan" yang duduk di sebuah taman yang hijau, diteduhi pohon rindang, tanpa peduli keadaan sekeliling, apalagi komentar orang. Ide-ide dibiarkan mengalir secara bebas, tanpa peduli logika atau format, tata bahasa atau aturan lainnya. Yang penting adalah mengungkap ide seluas-luasnya, dengan cepat. Mengapa harus cepat? Karena daya konsentrasi pikiran tidak bisa berlangsung terlalu lama. Kalau sudah terinterupsi hal lain biasanya kembalinya juga butuh waktu yang lama. Jangan pula risau soal bahan, referensi, nanti saja itu, yang penting semua ide tertuang dahulu. Mencari referensi, membaca buku/artikel bisa membuyarkan ide orisinal, dan memudarkan momentum menulis atau merancang ide lainnya.
Kedua, berpikir logis/realistis. Setelah tahap kreatif di atas dianggap memadai, kita berganti peran sebagai si Logis. Bayangkan kita menghadapi setumpuk naskah, atau draf desain, yang diserahkan oleh seorang penulis atau seniman. Tugas kita harus mematangkannya. Maka, yang akan kita lakukan adalah melihat sistematika dan kelengkapannya, lalu menilai apakah kerangka sudah logis, strukturnya mengikuti kaidah-kaidah yang standar, wajar, dan konsisten? Apakah detail-detailnya sudah memadai, lengkap dengan unsur spesifik yang menguatkan keunikan dan citra yang ingin ditonjolkan? Tugas si Logis di sini yang menyistematisasi, membuatnya lebih fokus dan konsisten pada tema utama, serta melengkapinya dengan detail, gaya, unsur-unsur yang unik, menggugah perasaan penikmat.
Ketiga, berpikir kritis. Kini saatnya pekerjaan dialihkan kepada si Kritikus. Sesuai namanya, di sini kita berperan sebagai tukang kritik. Mulai dari menantang tema, tujuan, hipotesis, hingga asumsi yang digunakan. Menantang sistematika, konsistensi pengungkapan atau penulisan. Hingga sikap kritis terhadap aspek-aspek teknis dan finishing, seperti tata bahasa, titik koma, dan kaidah-kaidah dasar lainnya.
Si Kritikus perlu bersikap sebagai lawan, penguji, atau anggota tim penilai atas proposal (karya). Memosisikan diri sebagai pembeli, konsumen, atau pengguna sehingga hasil yang diharapkan adalah karya yang tahan uji dan layak jual.
Dengan memerankan ketiga aktor/aktris tersebut, maka ketiga peran masing-masing tadi diberi kesempatan untuk berkontribusi. Karena kalau tidak, biasanya, ketiganya bisa saling mengganggu. Saat menggali ide dan mengungkapkan gagasan, muncul gangguan untuk mengoreksi, mengedit; atau "ancaman" dan kekhawatiran kalau ditolak, ditertawakan oleh penguji atau konsumen.
Ketiga tahapan tersebut bisa diulang (iterasi), sampai dirasa lengkap dan meyakinkan untuk disajikan kepada penikmat.
Ikat Makna:
1. Silakan Anda mengambil posisi relaks, santai, bernapas dengan teratur, lupakan sejenak urusan apa pun.
2. Cobalah mengingat suatu saat di mana Anda merasa sangat kreatif, cobalah ingat kapan dan peristiwa apakah itu. Kalau sudah, beralih ke saat Anda merasa sangat realistis, bayangkan peristiwanya, apa yang Anda pikir dan rasakan. Kemudian, beralih ke saat-saat di mana Anda sangat kritis, tajam melihat persoalan, ingat-ingat peristiwa apa itu, bagaimana pikiran dan perasaan Anda saat itu.
3. Cobalah ambil ide, rencana kegiatan, atau rancangan produk yang akan Anda garap.
4. Bawalah ide tersebut ke situasi di mana Anda dalam kondisi yang kreatif, secara bebas keluarkan gagasan apa pun, seideal-idealnya, seaneh-anehnya, hingga jadi ide yang betul-betul Anda inginkan.
5. Bawalah ide yang kreatif itu ke situasi di mana Anda sangat realistis. Kaitkan dengan sumber daya yang ada, baik waktu, dana, kapasitas organisasi, dan manusia yang ada atau bisa diadakan, dan sesuaikan ide Anda dengan pikiran-pikiran realistis.
6. Berikutnya, bawa ide dan usulan penyempurnaan si Realis itu ke situasi di mana Anda merasa jadi kritikus. Cobalah mengkritisi ide tersebut secara konstruktif, adakah yang kurang, risiko gagal atau 'diserang' lawan, dan seterusnya. Lalu, sesuaikan ide tersebut, sehingga menjadi ide kreatif yang sudah disesuaikan dengan realitas kondisi dan diuji secara kritikal.
7. Kalau Anda kurang puas, masih ada yang mengganjal, maka silakan mengulang proses kreatif, realistis, dan kritis tersebut sekali lagi, sampai dirasa siap dilaksanakan.[rm]
* Risfan Munir, konsultan, pelatih di bidang manajemen dan perencanaan, serta penulis buku “Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif” (2006). Tinggal di Jakarta dan bisa dihubungi melalui email: risfano@yahoo.com.
“If your mind can conceive it, and your heart can believe it, you can achieve it.”
~ Jesse Jackson
Dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan terutama di tempat kerja, kita sering harus berpikir dan mengerahkan kreativitas dalam menyusun rencana, merancang produk/jasa ataupun acara. Dalam situasi itu biasanya disarankan untuk bisa berpikir sebebas-bebasnya, agar semua kretivitas dapat dimunculkan tanpa kendala. Namun kenyataannya, berpikir bebas itu ternyata sulit karena pada saat itu juga kita dihantui oleh risiko-risiko gagal, malu kalau tidak perfect, dst. Akibatnya, proses berpikir kreatif menjadi terkendala dan ide cemerlang menjadi buyar.
Peoses berpikir kreatif memang sering bertabrakan, konflik dengan pemikiran kritis yang terjadi di kepala. Oleh karena itu, diperlukan strategi berpikir yang lebih positif, tidak saling meniadakan. Untuk permasalahan seperti itu NLP (neuro linguistic programming) punya kiat yang dipelajari oleh penemunya. Kiat ini disebut model berpikir ala Walt Disney, yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap kreatif, tahap realitis, dan tahap kritis.
Pertama, berpikir kreatif. Sarannya adalah perankan diri kita sebagai si Kreatif yang memulai rancangan dengan menggali dan mengungkapkan, menulis ide secara bebas. Seperti seniman "urakan" yang duduk di sebuah taman yang hijau, diteduhi pohon rindang, tanpa peduli keadaan sekeliling, apalagi komentar orang. Ide-ide dibiarkan mengalir secara bebas, tanpa peduli logika atau format, tata bahasa atau aturan lainnya. Yang penting adalah mengungkap ide seluas-luasnya, dengan cepat. Mengapa harus cepat? Karena daya konsentrasi pikiran tidak bisa berlangsung terlalu lama. Kalau sudah terinterupsi hal lain biasanya kembalinya juga butuh waktu yang lama. Jangan pula risau soal bahan, referensi, nanti saja itu, yang penting semua ide tertuang dahulu. Mencari referensi, membaca buku/artikel bisa membuyarkan ide orisinal, dan memudarkan momentum menulis atau merancang ide lainnya.
Kedua, berpikir logis/realistis. Setelah tahap kreatif di atas dianggap memadai, kita berganti peran sebagai si Logis. Bayangkan kita menghadapi setumpuk naskah, atau draf desain, yang diserahkan oleh seorang penulis atau seniman. Tugas kita harus mematangkannya. Maka, yang akan kita lakukan adalah melihat sistematika dan kelengkapannya, lalu menilai apakah kerangka sudah logis, strukturnya mengikuti kaidah-kaidah yang standar, wajar, dan konsisten? Apakah detail-detailnya sudah memadai, lengkap dengan unsur spesifik yang menguatkan keunikan dan citra yang ingin ditonjolkan? Tugas si Logis di sini yang menyistematisasi, membuatnya lebih fokus dan konsisten pada tema utama, serta melengkapinya dengan detail, gaya, unsur-unsur yang unik, menggugah perasaan penikmat.
Ketiga, berpikir kritis. Kini saatnya pekerjaan dialihkan kepada si Kritikus. Sesuai namanya, di sini kita berperan sebagai tukang kritik. Mulai dari menantang tema, tujuan, hipotesis, hingga asumsi yang digunakan. Menantang sistematika, konsistensi pengungkapan atau penulisan. Hingga sikap kritis terhadap aspek-aspek teknis dan finishing, seperti tata bahasa, titik koma, dan kaidah-kaidah dasar lainnya.
Si Kritikus perlu bersikap sebagai lawan, penguji, atau anggota tim penilai atas proposal (karya). Memosisikan diri sebagai pembeli, konsumen, atau pengguna sehingga hasil yang diharapkan adalah karya yang tahan uji dan layak jual.
Dengan memerankan ketiga aktor/aktris tersebut, maka ketiga peran masing-masing tadi diberi kesempatan untuk berkontribusi. Karena kalau tidak, biasanya, ketiganya bisa saling mengganggu. Saat menggali ide dan mengungkapkan gagasan, muncul gangguan untuk mengoreksi, mengedit; atau "ancaman" dan kekhawatiran kalau ditolak, ditertawakan oleh penguji atau konsumen.
Ketiga tahapan tersebut bisa diulang (iterasi), sampai dirasa lengkap dan meyakinkan untuk disajikan kepada penikmat.
Ikat Makna:
1. Silakan Anda mengambil posisi relaks, santai, bernapas dengan teratur, lupakan sejenak urusan apa pun.
2. Cobalah mengingat suatu saat di mana Anda merasa sangat kreatif, cobalah ingat kapan dan peristiwa apakah itu. Kalau sudah, beralih ke saat Anda merasa sangat realistis, bayangkan peristiwanya, apa yang Anda pikir dan rasakan. Kemudian, beralih ke saat-saat di mana Anda sangat kritis, tajam melihat persoalan, ingat-ingat peristiwa apa itu, bagaimana pikiran dan perasaan Anda saat itu.
3. Cobalah ambil ide, rencana kegiatan, atau rancangan produk yang akan Anda garap.
4. Bawalah ide tersebut ke situasi di mana Anda dalam kondisi yang kreatif, secara bebas keluarkan gagasan apa pun, seideal-idealnya, seaneh-anehnya, hingga jadi ide yang betul-betul Anda inginkan.
5. Bawalah ide yang kreatif itu ke situasi di mana Anda sangat realistis. Kaitkan dengan sumber daya yang ada, baik waktu, dana, kapasitas organisasi, dan manusia yang ada atau bisa diadakan, dan sesuaikan ide Anda dengan pikiran-pikiran realistis.
6. Berikutnya, bawa ide dan usulan penyempurnaan si Realis itu ke situasi di mana Anda merasa jadi kritikus. Cobalah mengkritisi ide tersebut secara konstruktif, adakah yang kurang, risiko gagal atau 'diserang' lawan, dan seterusnya. Lalu, sesuaikan ide tersebut, sehingga menjadi ide kreatif yang sudah disesuaikan dengan realitas kondisi dan diuji secara kritikal.
7. Kalau Anda kurang puas, masih ada yang mengganjal, maka silakan mengulang proses kreatif, realistis, dan kritis tersebut sekali lagi, sampai dirasa siap dilaksanakan.[rm]
* Risfan Munir, konsultan, pelatih di bidang manajemen dan perencanaan, serta penulis buku “Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif” (2006). Tinggal di Jakarta dan bisa dihubungi melalui email: risfano@yahoo.com.
UNIK: TAK ADA YANG BISA MENJAMIN ANDA SUKSES
Oleh: Syahril Syam
“Engkau harus berjalan, para Buddha hanya menunjukkan jalannya.
~ Dhammapada 276
“Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar.”
~ Nabi Muhammad SAW
Saya ingin mengawali tulisan saya ini dengan mengutip sebuah penjelasan menarik yang saya ambil dari buku What Would Buddha Do At Work, berikut ini:
“Berulangkali Buddha mencegah kita mematok pelajarannya menjadi sistem kecil yang rapi. Ia paham betapa kita menginginkan kepastian dan jaminan dalam dunia yang selalu berubah ini. Kita ingin agar dia memberikan “Tujuh Langkah Mudah Menuju Pencerahan”, atau “Sepuluh Cara Agung untuk Mendapatkan Nirwana Sekarang.” Cobalah Saudara melihat-lihat toko buku sekarang—beribu-ribu buku menuliskan tentang cara berpikir manusia. Kita menyukai buku yang menjanjikan kehidupan yang gemilang karena mengikuti sejumlah X langkah, petunjuk, atau daftar.
… Buddha mengatakan bahwa para pengajar harus bisa menahan diri agar tidak merebus semua bahan menurut resep tertentu. Para pelatih tidak boleh memberikan janji-janji palsu dengan menyederhanakan kerumitan dunia usaha. Belajar tidak pernah bisa sistematis karena setiap orang mempunyai caranya tersendiri. Setiap orang harus membuat percobaan, membuat kesalahan, berjuang, bertanya-tanya, menggali berbagai alternatif, dan menemukan caranya sendiri ke jalan menuju pekerjaan yang menyenangkan.
Buddha tinggal bersama para muridnya untuk membantu mereka menemukan jalannya masing-masing.
… mungkin saja Saudara memang memerlukan sedikit pertolongan, memerlukan seseorang tempat bertanya untuk memecahkan masalah, menggali alternatif-alternatif, dan menciptakan kesempatan baru. Akan tetapi, jangan biarkan orang lain mendikte cara-cara mengurus departemen atau organisasi Saudara. Seorang konsultan yang baik adalah seperti seorang dokter: Ia bisa mendiagnosis penyakit Saudara, ia dapat mempelajari kekuatan Saudara, dan ia bisa memberikan informasi serta cara-cara untuk membantu Saudara menjadi sembuh. Namun, pada akhirnya, Saudara sendirilah yang harus makan makanan sehat, menjalani terapi fisik, beristirahat, makan obat yang benar pada waktunya, dan mengerahkan segala upaya untuk menjadi sehat. Saudara sendirilah yang harus mengerjakan dan menyembuhkan diri. Tak ada orang yang bisa menggantikan kewajiban itu, bahkan bila orang itu telah menulis buku tentang bisnis yang sangat laku dan telah tercantum di daftar NY Times. Jadi, jangan sekali-kali bergantung pada kekuasaan orang lain, sekali pun kepada Buddha. Berusahalah!”
Setelah Anda membaca petikan di atas, cobalah untuk melakukan eksperimen sederhana berikut ini: Ambillah sebuah benda (bisa berupa batu, pulpen, atau apa saja) dan kemudian lemparkanlah benda tersebut ke depan Anda sejauh beberapa meter. Sebelum melempar, tandailah terlebih dahulu di mana posisi Anda ketika melempar benda itu. Begitu juga setelah melempar benda tersebut, tandailah juga di mana benda itu jatuh dan berhenti. Nah, sekarang (setelah Anda melempar untuk pertama kalinya) cobalah lagi untuk melempar benda yang sama, dan usahakan agar benda itu jatuh di tempat yang sama. Dan, cobalah untuk melakukannya beberapa kali.
Jika Anda melakukan eksperimen tadi dengan teman Anda, maka kemungkinan teman Anda akan meragukan Anda bisa melempar dan mengenai tempat semula benda itu jatuh. Atau paling tidak, jika Anda masih berhasil melakukannya untuk yang kedua kalinya, maka teman Anda mungkin akan berkata: “Ah, itu kan kebetulan saja.” Tapi, sesungguhnya hal itu bukanlah suatu kebetulan. Artinya, jika Anda memiliki syarat-syarat yang sama ketika pertama kali Anda melempar, maka Anda bisa melakukannya untuk beberapa kali, bahkan dalam percobaan yang tak terhingga sekali pun.
Apa saja syarat-syarat tersebut? Tenaga yang Anda berikan kepada benda tadi, fokus, dan perhatian Anda, kekuatan hembusan angin ketika Anda melempar, dan berbagai macam syarat yang bisa Anda tambahkan. Jadi, jika Anda memberikan tenaga yang sama pada saat melempar kali pertama, begitu juga dengan syarat-syarat yang lain, maka berapa kali pun Anda melempar Anda bisa membuat benda tersebut jatuh di tempat yang sama.
Eksperimen ini menunjukkan kepada kita beberapa hal: Pertama, kita bisa berhasil melakukan apa pun yang kita inginkan jika kita melakukan semua syarat secara persis sama dengan yang dilakukan oleh orang lain yang kita tiru. Namun, hal ini pun menyisakan satu variabel lain yang menjadi pelajaran berikutnya. Kedua, pada saat melempar sebuah benda, tidak selamanya seseorang itu berhasil melakukannya berkali-kali untuk melemparkannya dan mengenai sasaran yang sama. Kenapa demikian? Jawaban yang mungkin adalah: Tidak setiap saat seseorang selalu berada dalam kondisi yang sama yang sesuai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan. Untuk menyiapkan kondisi diri supaya selalu persis sama dalam semua syarat sebagaimana keadaan yang diinginkan itu bukanlah hal mudah. Bahkan, itu membutuhkan usaha yang terus-menerus, tanpa henti.
Jawaban yang lain adalah: Masih banyak variabel lain yang mungkin menjadi syarat terpenuhinya suatu keadaan, tapi kita tidak mengetahuinya. Sebagai contoh, ketika kita melemparkan sebuah benda, telah disebutkan variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat seperti kekuatan tenaga, kekuatan hembusan angin, fokus dan perhatian. Ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat terpenuhinya kondisi yang diinginkan. Tapi, kita tidak bisa menutup kemungkinan akan selalu ada variabel lain yang menjadi syarat terhadap kondisi yang kita inginkan. Hanya saja, kita belum mengetahuinya.
Contoh bagus untuk hal ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh begitu banyak peneliti yang meneliti bidang tertentu. Misalkan saja kita ambil satu bidang, yaitu kesuksesan. Begitu banyak penelitian yang dilakukan, yang selalu saja melahirkan variabel baru yang menjadi syarat bagi terpenuhinya kesuksesan seseorang. Belum lagi jika kita memerhatikan faktor keunikan setiap orang.
Penting untuk Anda ketahui bahwa setiap orang tidak sama dengan yang lain. Adalah betul bahwa kita ini sama-sama manusia, namun di balik kesamaan itu, kita pun memiliki berbagai macam perbedaan. Jika kita meninjau argumen ini dari sudut pandang filsafat, maka dua hal yang sama persis itu seharusnya tidak menunjukkan dua hal. Jika kedua benda itu sama persis, maka yang ada semestinya hanya satu benda, dan bukan dua buah benda. Adanya dua buah benda mengisyaratkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang berbeda yang dimiliki oleh masing-masing benda tersebut, walaupun juga memiliki beberapa kesamaan.
Nah, perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya ini, dalam bahasa popular, disebut sebagai UNIK. Penelitian di bidang genetika pun telah membuktikan hal ini, bahwa tidak ada satu pun manusia yang sama persis. Semuanya memiliki keunikan tersendiri. Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa untuk setiap satu orang terdapat 70 triliun kombinasi gen yang mungkin terjadi. Dengan demikian, adanya kombinasi gen yang tak terhingga memastikan bahwa tidak akan pernah ada dua makhluk yang sama persis. Anda begitu unik, lho…!
Dengan melihat keunikan ini saja, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masih terbuka kemungkinan yang sangat besar untuk adanya variabel lain yang menjadi syarat bagi terpenuhinya keadaan yang diinginkan. Keunikan ini juga mengisyaratkan kepada kita bahwa kondisi yang dimiliki oleh setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai contoh, kesabaran. Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin mengartikan kesabaran sebagai kemampuan untuk selalu intens melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri. Kita juga bisa melihat dengan sudut pandang yang sedikit berbeda, yaitu kemampuan untuk selalu intens keluar dari zona kenyamanan.
Nah, melakukan hal-hal yang bermanfaat secara rutin itu memerlukan usaha tersendiri, yang takkan bisa jika orang tersebut tidak sabar; karena bisa saja “ketersiksaan” yang dialami pada saat melakukan sesuatu itu akan dipandang sebagai penderitaan. Oleh sebab itu, kesabaran sangat erat kaitannya dengan bersyukur, karena bersyukur bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menerima keadaan/kenyataan hidup. Jika Anda merasa “tersiksa” dan mengartikannya sebagai penderitaan, maka kemungkinan besar Anda akan berhenti untuk bersabar.
Kondisi-kondisi seperti ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat untuk sukses, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa serta-merta mengatakan bahwa kita sudah bersabar, karena sesungguhnya kesabaran itu memiliki tingkatan nilai yang berbeda-beda. Perbedaan kondisi ini antara setiap orang berbeda, karena keunikan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Jadi tidak alasan untuk menjamin kesuseksan seseorang.
Namun, penting untuk diingat bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan bahwa Anda harus berhenti mengikuti berbagai seminar atau workshop, terlebih lagi bagi yang memberikan jaminan kesuksesan bagi Anda. Justru sebaliknya, karena keunikan Anda, maka Anda membutuhkan banyak varibel lain yang membuka peluang besar bagi Anda, sehingga syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menggapai kesuksesan bisa terpenuhi. Mengikuti berbagai pelatihan akan membuka wawasan Anda, dan Anda memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk menemukan variabel kesuksesan Anda.
Oleh sebab itu, marilah kita mengikuti anjuran Nabi Muhammad SAW: Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar. Bukankah kesuksesan itu adalah sebuah proses belajar terus-menerus?[ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com
“Engkau harus berjalan, para Buddha hanya menunjukkan jalannya.
~ Dhammapada 276
“Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar.”
~ Nabi Muhammad SAW
Saya ingin mengawali tulisan saya ini dengan mengutip sebuah penjelasan menarik yang saya ambil dari buku What Would Buddha Do At Work, berikut ini:
“Berulangkali Buddha mencegah kita mematok pelajarannya menjadi sistem kecil yang rapi. Ia paham betapa kita menginginkan kepastian dan jaminan dalam dunia yang selalu berubah ini. Kita ingin agar dia memberikan “Tujuh Langkah Mudah Menuju Pencerahan”, atau “Sepuluh Cara Agung untuk Mendapatkan Nirwana Sekarang.” Cobalah Saudara melihat-lihat toko buku sekarang—beribu-ribu buku menuliskan tentang cara berpikir manusia. Kita menyukai buku yang menjanjikan kehidupan yang gemilang karena mengikuti sejumlah X langkah, petunjuk, atau daftar.
… Buddha mengatakan bahwa para pengajar harus bisa menahan diri agar tidak merebus semua bahan menurut resep tertentu. Para pelatih tidak boleh memberikan janji-janji palsu dengan menyederhanakan kerumitan dunia usaha. Belajar tidak pernah bisa sistematis karena setiap orang mempunyai caranya tersendiri. Setiap orang harus membuat percobaan, membuat kesalahan, berjuang, bertanya-tanya, menggali berbagai alternatif, dan menemukan caranya sendiri ke jalan menuju pekerjaan yang menyenangkan.
Buddha tinggal bersama para muridnya untuk membantu mereka menemukan jalannya masing-masing.
… mungkin saja Saudara memang memerlukan sedikit pertolongan, memerlukan seseorang tempat bertanya untuk memecahkan masalah, menggali alternatif-alternatif, dan menciptakan kesempatan baru. Akan tetapi, jangan biarkan orang lain mendikte cara-cara mengurus departemen atau organisasi Saudara. Seorang konsultan yang baik adalah seperti seorang dokter: Ia bisa mendiagnosis penyakit Saudara, ia dapat mempelajari kekuatan Saudara, dan ia bisa memberikan informasi serta cara-cara untuk membantu Saudara menjadi sembuh. Namun, pada akhirnya, Saudara sendirilah yang harus makan makanan sehat, menjalani terapi fisik, beristirahat, makan obat yang benar pada waktunya, dan mengerahkan segala upaya untuk menjadi sehat. Saudara sendirilah yang harus mengerjakan dan menyembuhkan diri. Tak ada orang yang bisa menggantikan kewajiban itu, bahkan bila orang itu telah menulis buku tentang bisnis yang sangat laku dan telah tercantum di daftar NY Times. Jadi, jangan sekali-kali bergantung pada kekuasaan orang lain, sekali pun kepada Buddha. Berusahalah!”
Setelah Anda membaca petikan di atas, cobalah untuk melakukan eksperimen sederhana berikut ini: Ambillah sebuah benda (bisa berupa batu, pulpen, atau apa saja) dan kemudian lemparkanlah benda tersebut ke depan Anda sejauh beberapa meter. Sebelum melempar, tandailah terlebih dahulu di mana posisi Anda ketika melempar benda itu. Begitu juga setelah melempar benda tersebut, tandailah juga di mana benda itu jatuh dan berhenti. Nah, sekarang (setelah Anda melempar untuk pertama kalinya) cobalah lagi untuk melempar benda yang sama, dan usahakan agar benda itu jatuh di tempat yang sama. Dan, cobalah untuk melakukannya beberapa kali.
Jika Anda melakukan eksperimen tadi dengan teman Anda, maka kemungkinan teman Anda akan meragukan Anda bisa melempar dan mengenai tempat semula benda itu jatuh. Atau paling tidak, jika Anda masih berhasil melakukannya untuk yang kedua kalinya, maka teman Anda mungkin akan berkata: “Ah, itu kan kebetulan saja.” Tapi, sesungguhnya hal itu bukanlah suatu kebetulan. Artinya, jika Anda memiliki syarat-syarat yang sama ketika pertama kali Anda melempar, maka Anda bisa melakukannya untuk beberapa kali, bahkan dalam percobaan yang tak terhingga sekali pun.
Apa saja syarat-syarat tersebut? Tenaga yang Anda berikan kepada benda tadi, fokus, dan perhatian Anda, kekuatan hembusan angin ketika Anda melempar, dan berbagai macam syarat yang bisa Anda tambahkan. Jadi, jika Anda memberikan tenaga yang sama pada saat melempar kali pertama, begitu juga dengan syarat-syarat yang lain, maka berapa kali pun Anda melempar Anda bisa membuat benda tersebut jatuh di tempat yang sama.
Eksperimen ini menunjukkan kepada kita beberapa hal: Pertama, kita bisa berhasil melakukan apa pun yang kita inginkan jika kita melakukan semua syarat secara persis sama dengan yang dilakukan oleh orang lain yang kita tiru. Namun, hal ini pun menyisakan satu variabel lain yang menjadi pelajaran berikutnya. Kedua, pada saat melempar sebuah benda, tidak selamanya seseorang itu berhasil melakukannya berkali-kali untuk melemparkannya dan mengenai sasaran yang sama. Kenapa demikian? Jawaban yang mungkin adalah: Tidak setiap saat seseorang selalu berada dalam kondisi yang sama yang sesuai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan. Untuk menyiapkan kondisi diri supaya selalu persis sama dalam semua syarat sebagaimana keadaan yang diinginkan itu bukanlah hal mudah. Bahkan, itu membutuhkan usaha yang terus-menerus, tanpa henti.
Jawaban yang lain adalah: Masih banyak variabel lain yang mungkin menjadi syarat terpenuhinya suatu keadaan, tapi kita tidak mengetahuinya. Sebagai contoh, ketika kita melemparkan sebuah benda, telah disebutkan variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat seperti kekuatan tenaga, kekuatan hembusan angin, fokus dan perhatian. Ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat terpenuhinya kondisi yang diinginkan. Tapi, kita tidak bisa menutup kemungkinan akan selalu ada variabel lain yang menjadi syarat terhadap kondisi yang kita inginkan. Hanya saja, kita belum mengetahuinya.
Contoh bagus untuk hal ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh begitu banyak peneliti yang meneliti bidang tertentu. Misalkan saja kita ambil satu bidang, yaitu kesuksesan. Begitu banyak penelitian yang dilakukan, yang selalu saja melahirkan variabel baru yang menjadi syarat bagi terpenuhinya kesuksesan seseorang. Belum lagi jika kita memerhatikan faktor keunikan setiap orang.
Penting untuk Anda ketahui bahwa setiap orang tidak sama dengan yang lain. Adalah betul bahwa kita ini sama-sama manusia, namun di balik kesamaan itu, kita pun memiliki berbagai macam perbedaan. Jika kita meninjau argumen ini dari sudut pandang filsafat, maka dua hal yang sama persis itu seharusnya tidak menunjukkan dua hal. Jika kedua benda itu sama persis, maka yang ada semestinya hanya satu benda, dan bukan dua buah benda. Adanya dua buah benda mengisyaratkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang berbeda yang dimiliki oleh masing-masing benda tersebut, walaupun juga memiliki beberapa kesamaan.
Nah, perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya ini, dalam bahasa popular, disebut sebagai UNIK. Penelitian di bidang genetika pun telah membuktikan hal ini, bahwa tidak ada satu pun manusia yang sama persis. Semuanya memiliki keunikan tersendiri. Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa untuk setiap satu orang terdapat 70 triliun kombinasi gen yang mungkin terjadi. Dengan demikian, adanya kombinasi gen yang tak terhingga memastikan bahwa tidak akan pernah ada dua makhluk yang sama persis. Anda begitu unik, lho…!
Dengan melihat keunikan ini saja, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masih terbuka kemungkinan yang sangat besar untuk adanya variabel lain yang menjadi syarat bagi terpenuhinya keadaan yang diinginkan. Keunikan ini juga mengisyaratkan kepada kita bahwa kondisi yang dimiliki oleh setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai contoh, kesabaran. Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin mengartikan kesabaran sebagai kemampuan untuk selalu intens melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri. Kita juga bisa melihat dengan sudut pandang yang sedikit berbeda, yaitu kemampuan untuk selalu intens keluar dari zona kenyamanan.
Nah, melakukan hal-hal yang bermanfaat secara rutin itu memerlukan usaha tersendiri, yang takkan bisa jika orang tersebut tidak sabar; karena bisa saja “ketersiksaan” yang dialami pada saat melakukan sesuatu itu akan dipandang sebagai penderitaan. Oleh sebab itu, kesabaran sangat erat kaitannya dengan bersyukur, karena bersyukur bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menerima keadaan/kenyataan hidup. Jika Anda merasa “tersiksa” dan mengartikannya sebagai penderitaan, maka kemungkinan besar Anda akan berhenti untuk bersabar.
Kondisi-kondisi seperti ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat untuk sukses, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa serta-merta mengatakan bahwa kita sudah bersabar, karena sesungguhnya kesabaran itu memiliki tingkatan nilai yang berbeda-beda. Perbedaan kondisi ini antara setiap orang berbeda, karena keunikan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Jadi tidak alasan untuk menjamin kesuseksan seseorang.
Namun, penting untuk diingat bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan bahwa Anda harus berhenti mengikuti berbagai seminar atau workshop, terlebih lagi bagi yang memberikan jaminan kesuksesan bagi Anda. Justru sebaliknya, karena keunikan Anda, maka Anda membutuhkan banyak varibel lain yang membuka peluang besar bagi Anda, sehingga syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menggapai kesuksesan bisa terpenuhi. Mengikuti berbagai pelatihan akan membuka wawasan Anda, dan Anda memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk menemukan variabel kesuksesan Anda.
Oleh sebab itu, marilah kita mengikuti anjuran Nabi Muhammad SAW: Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar. Bukankah kesuksesan itu adalah sebuah proses belajar terus-menerus?[ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com
UNIK: TAK ADA YANG BISA MENJAMIN ANDA SUKSES
Oleh: Syahril Syam
“Engkau harus berjalan, para Buddha hanya menunjukkan jalannya.
~ Dhammapada 276
“Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar.”
~ Nabi Muhammad SAW
Saya ingin mengawali tulisan saya ini dengan mengutip sebuah penjelasan menarik yang saya ambil dari buku What Would Buddha Do At Work, berikut ini:
“Berulangkali Buddha mencegah kita mematok pelajarannya menjadi sistem kecil yang rapi. Ia paham betapa kita menginginkan kepastian dan jaminan dalam dunia yang selalu berubah ini. Kita ingin agar dia memberikan “Tujuh Langkah Mudah Menuju Pencerahan”, atau “Sepuluh Cara Agung untuk Mendapatkan Nirwana Sekarang.” Cobalah Saudara melihat-lihat toko buku sekarang—beribu-ribu buku menuliskan tentang cara berpikir manusia. Kita menyukai buku yang menjanjikan kehidupan yang gemilang karena mengikuti sejumlah X langkah, petunjuk, atau daftar.
… Buddha mengatakan bahwa para pengajar harus bisa menahan diri agar tidak merebus semua bahan menurut resep tertentu. Para pelatih tidak boleh memberikan janji-janji palsu dengan menyederhanakan kerumitan dunia usaha. Belajar tidak pernah bisa sistematis karena setiap orang mempunyai caranya tersendiri. Setiap orang harus membuat percobaan, membuat kesalahan, berjuang, bertanya-tanya, menggali berbagai alternatif, dan menemukan caranya sendiri ke jalan menuju pekerjaan yang menyenangkan.
Buddha tinggal bersama para muridnya untuk membantu mereka menemukan jalannya masing-masing.
… mungkin saja Saudara memang memerlukan sedikit pertolongan, memerlukan seseorang tempat bertanya untuk memecahkan masalah, menggali alternatif-alternatif, dan menciptakan kesempatan baru. Akan tetapi, jangan biarkan orang lain mendikte cara-cara mengurus departemen atau organisasi Saudara. Seorang konsultan yang baik adalah seperti seorang dokter: Ia bisa mendiagnosis penyakit Saudara, ia dapat mempelajari kekuatan Saudara, dan ia bisa memberikan informasi serta cara-cara untuk membantu Saudara menjadi sembuh. Namun, pada akhirnya, Saudara sendirilah yang harus makan makanan sehat, menjalani terapi fisik, beristirahat, makan obat yang benar pada waktunya, dan mengerahkan segala upaya untuk menjadi sehat. Saudara sendirilah yang harus mengerjakan dan menyembuhkan diri. Tak ada orang yang bisa menggantikan kewajiban itu, bahkan bila orang itu telah menulis buku tentang bisnis yang sangat laku dan telah tercantum di daftar NY Times. Jadi, jangan sekali-kali bergantung pada kekuasaan orang lain, sekali pun kepada Buddha. Berusahalah!”
Setelah Anda membaca petikan di atas, cobalah untuk melakukan eksperimen sederhana berikut ini: Ambillah sebuah benda (bisa berupa batu, pulpen, atau apa saja) dan kemudian lemparkanlah benda tersebut ke depan Anda sejauh beberapa meter. Sebelum melempar, tandailah terlebih dahulu di mana posisi Anda ketika melempar benda itu. Begitu juga setelah melempar benda tersebut, tandailah juga di mana benda itu jatuh dan berhenti. Nah, sekarang (setelah Anda melempar untuk pertama kalinya) cobalah lagi untuk melempar benda yang sama, dan usahakan agar benda itu jatuh di tempat yang sama. Dan, cobalah untuk melakukannya beberapa kali.
Jika Anda melakukan eksperimen tadi dengan teman Anda, maka kemungkinan teman Anda akan meragukan Anda bisa melempar dan mengenai tempat semula benda itu jatuh. Atau paling tidak, jika Anda masih berhasil melakukannya untuk yang kedua kalinya, maka teman Anda mungkin akan berkata: “Ah, itu kan kebetulan saja.” Tapi, sesungguhnya hal itu bukanlah suatu kebetulan. Artinya, jika Anda memiliki syarat-syarat yang sama ketika pertama kali Anda melempar, maka Anda bisa melakukannya untuk beberapa kali, bahkan dalam percobaan yang tak terhingga sekali pun.
Apa saja syarat-syarat tersebut? Tenaga yang Anda berikan kepada benda tadi, fokus, dan perhatian Anda, kekuatan hembusan angin ketika Anda melempar, dan berbagai macam syarat yang bisa Anda tambahkan. Jadi, jika Anda memberikan tenaga yang sama pada saat melempar kali pertama, begitu juga dengan syarat-syarat yang lain, maka berapa kali pun Anda melempar Anda bisa membuat benda tersebut jatuh di tempat yang sama.
Eksperimen ini menunjukkan kepada kita beberapa hal: Pertama, kita bisa berhasil melakukan apa pun yang kita inginkan jika kita melakukan semua syarat secara persis sama dengan yang dilakukan oleh orang lain yang kita tiru. Namun, hal ini pun menyisakan satu variabel lain yang menjadi pelajaran berikutnya. Kedua, pada saat melempar sebuah benda, tidak selamanya seseorang itu berhasil melakukannya berkali-kali untuk melemparkannya dan mengenai sasaran yang sama. Kenapa demikian? Jawaban yang mungkin adalah: Tidak setiap saat seseorang selalu berada dalam kondisi yang sama yang sesuai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan. Untuk menyiapkan kondisi diri supaya selalu persis sama dalam semua syarat sebagaimana keadaan yang diinginkan itu bukanlah hal mudah. Bahkan, itu membutuhkan usaha yang terus-menerus, tanpa henti.
Jawaban yang lain adalah: Masih banyak variabel lain yang mungkin menjadi syarat terpenuhinya suatu keadaan, tapi kita tidak mengetahuinya. Sebagai contoh, ketika kita melemparkan sebuah benda, telah disebutkan variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat seperti kekuatan tenaga, kekuatan hembusan angin, fokus dan perhatian. Ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat terpenuhinya kondisi yang diinginkan. Tapi, kita tidak bisa menutup kemungkinan akan selalu ada variabel lain yang menjadi syarat terhadap kondisi yang kita inginkan. Hanya saja, kita belum mengetahuinya.
Contoh bagus untuk hal ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh begitu banyak peneliti yang meneliti bidang tertentu. Misalkan saja kita ambil satu bidang, yaitu kesuksesan. Begitu banyak penelitian yang dilakukan, yang selalu saja melahirkan variabel baru yang menjadi syarat bagi terpenuhinya kesuksesan seseorang. Belum lagi jika kita memerhatikan faktor keunikan setiap orang.
Penting untuk Anda ketahui bahwa setiap orang tidak sama dengan yang lain. Adalah betul bahwa kita ini sama-sama manusia, namun di balik kesamaan itu, kita pun memiliki berbagai macam perbedaan. Jika kita meninjau argumen ini dari sudut pandang filsafat, maka dua hal yang sama persis itu seharusnya tidak menunjukkan dua hal. Jika kedua benda itu sama persis, maka yang ada semestinya hanya satu benda, dan bukan dua buah benda. Adanya dua buah benda mengisyaratkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang berbeda yang dimiliki oleh masing-masing benda tersebut, walaupun juga memiliki beberapa kesamaan.
Nah, perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya ini, dalam bahasa popular, disebut sebagai UNIK. Penelitian di bidang genetika pun telah membuktikan hal ini, bahwa tidak ada satu pun manusia yang sama persis. Semuanya memiliki keunikan tersendiri. Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa untuk setiap satu orang terdapat 70 triliun kombinasi gen yang mungkin terjadi. Dengan demikian, adanya kombinasi gen yang tak terhingga memastikan bahwa tidak akan pernah ada dua makhluk yang sama persis. Anda begitu unik, lho…!
Dengan melihat keunikan ini saja, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masih terbuka kemungkinan yang sangat besar untuk adanya variabel lain yang menjadi syarat bagi terpenuhinya keadaan yang diinginkan. Keunikan ini juga mengisyaratkan kepada kita bahwa kondisi yang dimiliki oleh setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai contoh, kesabaran. Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin mengartikan kesabaran sebagai kemampuan untuk selalu intens melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri. Kita juga bisa melihat dengan sudut pandang yang sedikit berbeda, yaitu kemampuan untuk selalu intens keluar dari zona kenyamanan.
Nah, melakukan hal-hal yang bermanfaat secara rutin itu memerlukan usaha tersendiri, yang takkan bisa jika orang tersebut tidak sabar; karena bisa saja “ketersiksaan” yang dialami pada saat melakukan sesuatu itu akan dipandang sebagai penderitaan. Oleh sebab itu, kesabaran sangat erat kaitannya dengan bersyukur, karena bersyukur bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menerima keadaan/kenyataan hidup. Jika Anda merasa “tersiksa” dan mengartikannya sebagai penderitaan, maka kemungkinan besar Anda akan berhenti untuk bersabar.
Kondisi-kondisi seperti ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat untuk sukses, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa serta-merta mengatakan bahwa kita sudah bersabar, karena sesungguhnya kesabaran itu memiliki tingkatan nilai yang berbeda-beda. Perbedaan kondisi ini antara setiap orang berbeda, karena keunikan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Jadi tidak alasan untuk menjamin kesuseksan seseorang.
Namun, penting untuk diingat bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan bahwa Anda harus berhenti mengikuti berbagai seminar atau workshop, terlebih lagi bagi yang memberikan jaminan kesuksesan bagi Anda. Justru sebaliknya, karena keunikan Anda, maka Anda membutuhkan banyak varibel lain yang membuka peluang besar bagi Anda, sehingga syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menggapai kesuksesan bisa terpenuhi. Mengikuti berbagai pelatihan akan membuka wawasan Anda, dan Anda memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk menemukan variabel kesuksesan Anda.
Oleh sebab itu, marilah kita mengikuti anjuran Nabi Muhammad SAW: Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar. Bukankah kesuksesan itu adalah sebuah proses belajar terus-menerus?[ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com
“Engkau harus berjalan, para Buddha hanya menunjukkan jalannya.
~ Dhammapada 276
“Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar.”
~ Nabi Muhammad SAW
Saya ingin mengawali tulisan saya ini dengan mengutip sebuah penjelasan menarik yang saya ambil dari buku What Would Buddha Do At Work, berikut ini:
“Berulangkali Buddha mencegah kita mematok pelajarannya menjadi sistem kecil yang rapi. Ia paham betapa kita menginginkan kepastian dan jaminan dalam dunia yang selalu berubah ini. Kita ingin agar dia memberikan “Tujuh Langkah Mudah Menuju Pencerahan”, atau “Sepuluh Cara Agung untuk Mendapatkan Nirwana Sekarang.” Cobalah Saudara melihat-lihat toko buku sekarang—beribu-ribu buku menuliskan tentang cara berpikir manusia. Kita menyukai buku yang menjanjikan kehidupan yang gemilang karena mengikuti sejumlah X langkah, petunjuk, atau daftar.
… Buddha mengatakan bahwa para pengajar harus bisa menahan diri agar tidak merebus semua bahan menurut resep tertentu. Para pelatih tidak boleh memberikan janji-janji palsu dengan menyederhanakan kerumitan dunia usaha. Belajar tidak pernah bisa sistematis karena setiap orang mempunyai caranya tersendiri. Setiap orang harus membuat percobaan, membuat kesalahan, berjuang, bertanya-tanya, menggali berbagai alternatif, dan menemukan caranya sendiri ke jalan menuju pekerjaan yang menyenangkan.
Buddha tinggal bersama para muridnya untuk membantu mereka menemukan jalannya masing-masing.
… mungkin saja Saudara memang memerlukan sedikit pertolongan, memerlukan seseorang tempat bertanya untuk memecahkan masalah, menggali alternatif-alternatif, dan menciptakan kesempatan baru. Akan tetapi, jangan biarkan orang lain mendikte cara-cara mengurus departemen atau organisasi Saudara. Seorang konsultan yang baik adalah seperti seorang dokter: Ia bisa mendiagnosis penyakit Saudara, ia dapat mempelajari kekuatan Saudara, dan ia bisa memberikan informasi serta cara-cara untuk membantu Saudara menjadi sembuh. Namun, pada akhirnya, Saudara sendirilah yang harus makan makanan sehat, menjalani terapi fisik, beristirahat, makan obat yang benar pada waktunya, dan mengerahkan segala upaya untuk menjadi sehat. Saudara sendirilah yang harus mengerjakan dan menyembuhkan diri. Tak ada orang yang bisa menggantikan kewajiban itu, bahkan bila orang itu telah menulis buku tentang bisnis yang sangat laku dan telah tercantum di daftar NY Times. Jadi, jangan sekali-kali bergantung pada kekuasaan orang lain, sekali pun kepada Buddha. Berusahalah!”
Setelah Anda membaca petikan di atas, cobalah untuk melakukan eksperimen sederhana berikut ini: Ambillah sebuah benda (bisa berupa batu, pulpen, atau apa saja) dan kemudian lemparkanlah benda tersebut ke depan Anda sejauh beberapa meter. Sebelum melempar, tandailah terlebih dahulu di mana posisi Anda ketika melempar benda itu. Begitu juga setelah melempar benda tersebut, tandailah juga di mana benda itu jatuh dan berhenti. Nah, sekarang (setelah Anda melempar untuk pertama kalinya) cobalah lagi untuk melempar benda yang sama, dan usahakan agar benda itu jatuh di tempat yang sama. Dan, cobalah untuk melakukannya beberapa kali.
Jika Anda melakukan eksperimen tadi dengan teman Anda, maka kemungkinan teman Anda akan meragukan Anda bisa melempar dan mengenai tempat semula benda itu jatuh. Atau paling tidak, jika Anda masih berhasil melakukannya untuk yang kedua kalinya, maka teman Anda mungkin akan berkata: “Ah, itu kan kebetulan saja.” Tapi, sesungguhnya hal itu bukanlah suatu kebetulan. Artinya, jika Anda memiliki syarat-syarat yang sama ketika pertama kali Anda melempar, maka Anda bisa melakukannya untuk beberapa kali, bahkan dalam percobaan yang tak terhingga sekali pun.
Apa saja syarat-syarat tersebut? Tenaga yang Anda berikan kepada benda tadi, fokus, dan perhatian Anda, kekuatan hembusan angin ketika Anda melempar, dan berbagai macam syarat yang bisa Anda tambahkan. Jadi, jika Anda memberikan tenaga yang sama pada saat melempar kali pertama, begitu juga dengan syarat-syarat yang lain, maka berapa kali pun Anda melempar Anda bisa membuat benda tersebut jatuh di tempat yang sama.
Eksperimen ini menunjukkan kepada kita beberapa hal: Pertama, kita bisa berhasil melakukan apa pun yang kita inginkan jika kita melakukan semua syarat secara persis sama dengan yang dilakukan oleh orang lain yang kita tiru. Namun, hal ini pun menyisakan satu variabel lain yang menjadi pelajaran berikutnya. Kedua, pada saat melempar sebuah benda, tidak selamanya seseorang itu berhasil melakukannya berkali-kali untuk melemparkannya dan mengenai sasaran yang sama. Kenapa demikian? Jawaban yang mungkin adalah: Tidak setiap saat seseorang selalu berada dalam kondisi yang sama yang sesuai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan. Untuk menyiapkan kondisi diri supaya selalu persis sama dalam semua syarat sebagaimana keadaan yang diinginkan itu bukanlah hal mudah. Bahkan, itu membutuhkan usaha yang terus-menerus, tanpa henti.
Jawaban yang lain adalah: Masih banyak variabel lain yang mungkin menjadi syarat terpenuhinya suatu keadaan, tapi kita tidak mengetahuinya. Sebagai contoh, ketika kita melemparkan sebuah benda, telah disebutkan variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat seperti kekuatan tenaga, kekuatan hembusan angin, fokus dan perhatian. Ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat terpenuhinya kondisi yang diinginkan. Tapi, kita tidak bisa menutup kemungkinan akan selalu ada variabel lain yang menjadi syarat terhadap kondisi yang kita inginkan. Hanya saja, kita belum mengetahuinya.
Contoh bagus untuk hal ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh begitu banyak peneliti yang meneliti bidang tertentu. Misalkan saja kita ambil satu bidang, yaitu kesuksesan. Begitu banyak penelitian yang dilakukan, yang selalu saja melahirkan variabel baru yang menjadi syarat bagi terpenuhinya kesuksesan seseorang. Belum lagi jika kita memerhatikan faktor keunikan setiap orang.
Penting untuk Anda ketahui bahwa setiap orang tidak sama dengan yang lain. Adalah betul bahwa kita ini sama-sama manusia, namun di balik kesamaan itu, kita pun memiliki berbagai macam perbedaan. Jika kita meninjau argumen ini dari sudut pandang filsafat, maka dua hal yang sama persis itu seharusnya tidak menunjukkan dua hal. Jika kedua benda itu sama persis, maka yang ada semestinya hanya satu benda, dan bukan dua buah benda. Adanya dua buah benda mengisyaratkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang berbeda yang dimiliki oleh masing-masing benda tersebut, walaupun juga memiliki beberapa kesamaan.
Nah, perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya ini, dalam bahasa popular, disebut sebagai UNIK. Penelitian di bidang genetika pun telah membuktikan hal ini, bahwa tidak ada satu pun manusia yang sama persis. Semuanya memiliki keunikan tersendiri. Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa untuk setiap satu orang terdapat 70 triliun kombinasi gen yang mungkin terjadi. Dengan demikian, adanya kombinasi gen yang tak terhingga memastikan bahwa tidak akan pernah ada dua makhluk yang sama persis. Anda begitu unik, lho…!
Dengan melihat keunikan ini saja, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masih terbuka kemungkinan yang sangat besar untuk adanya variabel lain yang menjadi syarat bagi terpenuhinya keadaan yang diinginkan. Keunikan ini juga mengisyaratkan kepada kita bahwa kondisi yang dimiliki oleh setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai contoh, kesabaran. Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin mengartikan kesabaran sebagai kemampuan untuk selalu intens melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri. Kita juga bisa melihat dengan sudut pandang yang sedikit berbeda, yaitu kemampuan untuk selalu intens keluar dari zona kenyamanan.
Nah, melakukan hal-hal yang bermanfaat secara rutin itu memerlukan usaha tersendiri, yang takkan bisa jika orang tersebut tidak sabar; karena bisa saja “ketersiksaan” yang dialami pada saat melakukan sesuatu itu akan dipandang sebagai penderitaan. Oleh sebab itu, kesabaran sangat erat kaitannya dengan bersyukur, karena bersyukur bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menerima keadaan/kenyataan hidup. Jika Anda merasa “tersiksa” dan mengartikannya sebagai penderitaan, maka kemungkinan besar Anda akan berhenti untuk bersabar.
Kondisi-kondisi seperti ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat untuk sukses, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa serta-merta mengatakan bahwa kita sudah bersabar, karena sesungguhnya kesabaran itu memiliki tingkatan nilai yang berbeda-beda. Perbedaan kondisi ini antara setiap orang berbeda, karena keunikan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Jadi tidak alasan untuk menjamin kesuseksan seseorang.
Namun, penting untuk diingat bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan bahwa Anda harus berhenti mengikuti berbagai seminar atau workshop, terlebih lagi bagi yang memberikan jaminan kesuksesan bagi Anda. Justru sebaliknya, karena keunikan Anda, maka Anda membutuhkan banyak varibel lain yang membuka peluang besar bagi Anda, sehingga syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menggapai kesuksesan bisa terpenuhi. Mengikuti berbagai pelatihan akan membuka wawasan Anda, dan Anda memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk menemukan variabel kesuksesan Anda.
Oleh sebab itu, marilah kita mengikuti anjuran Nabi Muhammad SAW: Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar. Bukankah kesuksesan itu adalah sebuah proses belajar terus-menerus?[ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com
Langganan:
Postingan (Atom)
instanx
Total Tayangan Halaman
Categories
- abdul muid badrun (2)
- Acha Septriasa (4)
- ade asep syafruddin (4)
- alexandra dewi (1)
- alpiyanto (1)
- andrew ho (91)
- Ardian syam (22)
- arief yuntanu (2)
- arif gunawan (40)
- arif yustanu (1)
- artikel (13118)
- bambang trim (1)
- beni bevly (1)
- berita (3795)
- BLOGERNAS (1)
- damardi darmawangsa (13)
- danang a akbarona (2)
- dany chandra (3)
- dewi lestari (1)
- Dian Sastro (1)
- didik darmanto (2)
- dodi mawardi (2)
- DOWNLOAD EBOOK GRATIS (234)
- edi zaqeus (1)
- edit (110)
- eko jalu santoso (1)
- eni kusuma (11)
- goenardjoadi goenawan (1)
- hari subagya (7)
- haryanto kandani (4)
- hendra (10)
- ida kuraeny (1)
- indra cahya (1)
- iqnatius muk kuang (8)
- jennie s bev (1)
- johanes koraang (1)
- joko susilo (47)
- joni liu (2)
- joshua w utomo (2)
- joycelina (1)
- kerjadarirumah (4)
- kristopher david (1)
- lamser aritonang (1)
- Luna maya (15)
- m ichsan (41)
- m ikbal (1)
- Mariana Renata (1)
- marsello ginting (1)
- marzuki usman (3)
- Mieke Amalia (1)
- mugi subagya (1)
- muk kuang (1)
- Mulan Jameela (1)
- original artikel (103)
- profil (3)
- pujiono (1)
- rab a broto (4)
- Revalina S. Temat (3)
- riyanto s (4)
- ronal frank (2)
- roni jamaludin (1)
- ruby herman (1)
- ruddy kusnadi (1)
- rudy lim (19)
- sansulung john sum (1)
- saumimam saud (1)
- stephen barnabas (1)
- suryanto wijaya (3)
- syahril syam (17)
- tan bonaventura andika sumarjo (1)
- tanadi santoso (1)
- tante girang (454)
- thomas sugiarto (8)
- tung desem waringin (4)
- undang a halim (1)
- walpaper (50)