-
Oleh: Natalia Sri Rejeki
Seseorang pernah mengatakan kepada saya bahwa memiliki bakat menulis merupakan sesuatu yang sangat bagus sehingga harus dikembangkan. Apalagi, orang yang memiliki bakat menulis itu sangat jarang. Terus terang, saya pun berpendapat demikian. Memiliki bakat menulis adalah salah satu hal yang mengagunkan.
Bagi saya, bakat menulis itu tak ternilai harganya. Bayangkan, ada banyak orang yang rela membayar mahal untuk bisa "menulis". Jadi, jika saya memiliki bakat ini, saya pasti tidak akan menyia-nyiakannya. Saya akan terus mengembangkannya.
Menurut saya, menulis adalah suatu kegiatan menuangkan seluruh ide dan kreativitas yang ada dalam pikiran kita ke dalam bentuk karya tulis. Tentu saja, seluruh ide dan kreativitas yang ingin dituangkan itu harus diolah terlebih dahulu agar menjadi suatu karya yang bagus dan menarik.
Bila kita sudah mempunyai bakat menulis, sekarang kita harus memikirkan siapa orang yang dapat membimbing kita. Kalau kita sudah mempunyai pembimbing, tentu akan lebih mudah mengembangkan bakat tersebut. Kita dapat berkonsultasi dengan pembimbing kita tentang dunia tulis-menulis. Kita juga bisa meminta pendapat atau saran tentang tulisan-tulisan kita.
Oleh karena itu, kita harus tahu bagaimana mendapatkan pembimbing yang baik dan cocok dengan kita. Seorang pembimbing yang baik adalah seorang yang bisa memberi saran kepada kita dengan cara yang halus dan mudah dimengerti. Tidak selalu harus membimbing dengan sikap menggurui. Seorang pembimbing yang baik bisa menempatkan diri sebagai pembimbing, konsultan, sekaligus sahabat. Pembimbing yang ideal harusnya mengerti bagaimana kekuatan dan kelemahan kita serta mau bersikap komunikatif dan kreatif saat membimbing.
Saya membahas tentang pembimbing karena saya punya pengalaman dengan pembimbing-pembimbing saya. Saya merasa senang dan bersemangat saat dibimbing oleh pembimbing yang bersifat kreatif dan komunikatif serta dapat mengerti saya sebagai anak bimbingannya. Sebaliknya, saya merasa malas dan bosan dengan pembimbing menulis yang cara mengajarnya sangat membosankan. Saya akan menuangkan pengalaman saya tersebut di tulisan ini.
Saat saya kelas 6 SD, saya mempunyai guru Bahasa Indonesia yang sangat luar biasa. Beliau mengajar kami dengan sikap tidak menggurui dan sangat bersahabat. Saat mengajarkan pelajaran beliau juga sangat komunikatif dan kreatif. Beliau menempatkan dirinya sebagai sahabat di tengah murid-muridnya. Beliau pulalah yang menginspirasi saya untuk terus mengembangkan bakat menulis saya. Beliau menjadikan sastra sebagai sesuatu yang menyenangkan sekali.
Sebaliknya, guru Bahasa Indonesia yang sekarang mengajar saya di SMP merupakan tipe guru yang membosankan. Maaf dengan komentar yang terlalu keras ini. Bayangkan, saat jam pelajarannya tiba, ia masuk ke kelas kami dan langsung duduk di kursi guru. Ia membiarkan kami melakukan apa saja sembari "mengajar" dengan membaca bukunya. Kami heran dengan sikapnya. Tetapi, kami terus menunggunya sampai ia mau mengajar kami. Tetapi, ternyata dugaan dan harapan kami salah. Ia hanya menjelaskan sedikit sekali pelajarannya, itu pun dengan cara yang membosankan. Lalu setelah pelajarannya usai, ia memberi kami tugas. Tetapi, tugas itu tidak pernah diperiksa atau dibahas di kelas. Saya merasa ia benar-benar tidak menghargai kami yang sudah susah payah mengerjakan tugas.
Namun, bila teman-teman sekalian terlanjur mendapat pembimbing yang cara mengajarnya membosankan, janganlah patah semangat! Berusahalah untuk tidak terpengaruh oleh cara mengajarnya seperti yang telah saya lakukan belakangan ini. Pada awalnya mungkin akan terasa sulit, saya akui itu. Tapi, tanamkanlah di benak teman-teman sekalian, apabila guru/pembimbing itu tak bisa mengajar dengan baik, teman-temanlah yang harus berusaha menjadi yang terbaik. Jangan sampai bakat menulis teman-teman tidak tersalurkan hanya karena guru/pembimbing yang cara mengajarnya kurang baik.
Menurut saya, menulis memiliki manfaat yang sangat banyak. Salah satunya adalah mengasah otak kita untuk berpikir kreatif. Bagaimana tidak? Bila kita tidak terus berpikir kreatif, maka tulisan kita akan monoton dan mendatangkan kejenuhan pada pembaca. Bahkan, kita bisa-bisa menjadi penulis yang memplagiat karya orang lain karena tidak bisa berpikir beda atau kreatif.
Dengan menulis kita juga bebas menuangkan ide dan perasaan kita lewat tulisan-tulisan kita. Tak usah pusing atau khawatir bila tulisan kita menimbulkan kontroversi. Bila tulisan kita memang sesuai kenyataan, kita tak perlu takut menyebarluaskannya. Bukankah kita mempunyai hak untuk berpendapat? Kecuali hal-hal yang kita tuliskan itu tidak mempunyai bukti dan merupakan fitnah yang kita karang sendiri.
Manfaat berikutnya ialah dengan menulis kita bisa menghasilkan uang. Tak peduli siapa kita, pendidikan terakhir kita, atau pekerjaan kita. Kalau tulisan atau buku kita bagus dan diminati pembaca, apalagi menjadi bestseller, kita bisa memenuhi kebutuhan hidup kita dengan menulis.
Selain itu, menfaat lainnya ialah dengan menulis kita bisa lebih baik dalam pembendaharaan kata. Mengapa? Karena kita sudah terlatih dan terbiasa menulis. Lalu, denganmenulis kita juga bisa dikenal dan mendapat banyak relasi dari dalam atau luar dunia tulis-menulis. Apalagi kalau karya kita sudah terkenal dan memiliki nama dalam dunia tulis-menulis. Pasti banyak sekali penerbit yang dengan senang hati mau menerbitkan karya kita.
Manfaat lainnya yang tak kalah penting ialah kita secara tak langsung bisa menginspirasi pembaca dengan tulisan kita. Pendeknya, kita bisa menjadi idola dengan menulis. Tentu banyak lagi menfaat lainnya dan saya yakin teman-teman bisa menyebutkannya.Pesan saya adalah teruslah berkarya dan mengembangkan bakat menulis kalian! Jangan pernah putus asa, saya mendukung teman-teman sepenuhnya![nsr]
* Natalia Sri Rejeki lahir di Pontianak, 21 Desember 1994. Murid yang duduk di kelas 7A SLTP Tarakanita, Citra Raya, Tangerang ini mulai menyadari bakat menulisnya pada saat duduk di kelas 3 SD. Kala itu ia mulai menulis puisi pertamanya yang langsung disukai oleh teman-temannya yang berjudul "DIA TELAH PERGI". Natalia yang biasa disapa Natal oleh teman-temannya ini mulai mengembangkan bakat menulisnya dengan membuat puluhan cerpen dan puluhan puisi. Ia telah menerima banyak penghargaan, antara lain: Juara II Lomba Membaca Puisi Hari Pahlawan, Paskah, dan Natal; Juara II Lomba Debat English Tingkat 1 di sekolah; Juara I Lomba Mengarang tentang Kenangan di Sekolah Tingkat 1 di sekolah; Juara I Lomba Mata Pelajaran (Bahasa) se-Kecamatan; Juara I Lomba Pidato English-Indonesia Tingkat 1 di sekolah, dan berbagai penghargaan lainnya di dalam/luar bidang bahasa. Kritik dan saran dapat disampaikan ke email: ody_dbest@yahoo.co.id atau Friendster-nya di: natal_sukafrappoe@yahoo.com.
Sabtu, 25 Oktober 2008
MANAJER ANDAL: MANAJER JUGA MANUSIA! -
Oleh: Suyanto Suyadi
Setiap manusia yang hidup tentu ingin bekerja dan berusaha. Namun dalam proses, ia menghadapi banyak kendala dan memerlukan cara agar usahanya berhasil.
Seorang manajer andal, bukan manusia yang kaya-raya, tetapi ia adalah orang yang selalu bekerja secara optimal mempergunakan segenap kemampuannya sehingga dapat bermanfaat bagi orang lain, dapat dipercaya, serta dapat diandalkan dan dijadikan teladan.
Beberapa hal penting yang harus dijadikan landasan mendasar bagi manajer andal adalah:
Kemampuan yang ada, adalah kemampuan yang harus dibangun terlebih dahulu dalam rangka membentuk sikap mandiri dan diandalkan.
Bagaimana seharusnya, adalah tahapan berikutnya dan membentuk kemandirian. Dalam tahap ini kita akan memulai mempelajari ’how to’ guna memiliki keterampilan khusus dalam rangka mengelola pekerjaan.
Perluasan wawasan, adalah di mana seseorang mulai mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan kualitas pekerjaannya.
Pembinaan hubungan, ini tahap di mana kita sudah harus mampu memberikan kontribusi kepada orang lain maupun lingkungannya.
Kenali Diri Anda
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan susah payah.”
~ Al Qur’an – Surah Al-Balad:4
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
~ QS At-Tiin:4
Apa yang dimaksudkan dengan mengenali diri sendiri yaitu; kekuatan yang dimiliki–introspeksi, kelemahan–tahu diri dan posisi/jabatan–tidak merasa minder atau kelewat percaya diri. Mengapa banyak orang sulit mengenali dirinya sendiri?
Secara fisik – kejadian, kekuatan, kelengkapan, kecepatan. Ketika ingin sehat, ternyata masih bisa sakit juga. Daya ingat, kecepatan berpikir, melakukan analisis. Ketika ingin diingatnya, hafal ternyata masih bisa lupa. Perasaan, kepekaan terhadap orang lain, memaknai hidup ini dengan ingin selalu bebuat baik kepada orang lain. Keinginan selalu taat, ternyata masih bisa membuat kekeliruan.
Dari mana kita semua berasal? Seberapa besar kekuasaan yang kita miliki—seperti saat ini menjadi manajer dan apakah ini bisa selamanya? Siapa saja yang berperan besar dalam perjalanan diri Anda sampai dengan hari ini? Apakah itu masih bisa berlanjut sampai esok pagi? Siapa yang menciptakan air susu ibu di dalam tubuh ibu kita? Siapa yang menempelkan dan menguatkan tulang yang ada di tubuh kita? Siapa yang memberikan udara yang kita hisap secara gratis setiap saat? Mari kita renungkan!!!
Bicara dengan Data
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, perasaan (hati) semua akan diminta pertanggungjawabnya.”
~ QS Al-Israa:36
Berbicaralah dengan ’hal’ bukan orang. Bagaimana orang-orang dapat memercayai kita bila kita tidak berdasarkan pada data atau fakta? Seandainya orang bertanya, ”Dari mana Anda dapat informasi itu?” Apa yang harus kita jawab?
Bertindaklah dengan ilmu dan alasan yang akurat, hindari prasangka dan ’ilmu katanya’, atau ikut-ikutan. Bersiaplah menjawab pertanyaan, ”Mengapa Anda melakukan itu?” Dan, pastikan bahwa apa yang Anda lakukan atau yang Anda katakan akan memberaikan manfaat yang nyata.
Rencana dan Hasil
Catat apa yang Anda lakukan dan lakukan apa yang Anda catat.
”Dan segala yang kecil dan yang besar adalah tertulis....”
~ QS Al-Qomaar:53
Dengan menulis, berarti Anda akan mengurangi risiko lupa. Orang sangat terbatas ingatannya. Perencanaan, adalah gambaran apa yang akan kita kerjakan. Hasil, untuk melihat apa yang sudah kita lakukan berkaitan dengan rencana tadi. Di sini perlu kejujuran dan komitmen. Seberapa jauh ’utang’ kita yang belum kita bayar/penuhi?
Pekerjaaan dan Daerah Kerja Anda
”Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan. Supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di muka bumi itu.”
~ QS Nuh:19-20
Apa pun pekerjaan ataupun kegiatan Anda, harus dikenali secara luas. Apa yang harus kita lakukan, mengapa kita lakukan, hasil apa yang kita inginkan, sarana apa yang kita butuhkan, berapa lama waktu untuk menyelesaikannya, dan kepada siapa saja kita berhubungan? Itu semua harus kita catat. Kalau kita menguasai pekerjaan kita, sikap ini akam membuka kemungkinan untuk mempelajari pekerjaan lain. Marilah kita lakukan catatan kecil. Pasti ada manfaatnya kalau Anda melakukan introspeksi di masa mendatang.
Tanggung Jawab
Sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian orang manakala ditanyakan tentang pekerjaannya. ”Mengapa pekerjaan itu dilakukan?” Hampir pasti jawabannya adalah, ”Yah... begini ini pekerjaan saya.” Inilah sebuah sikap. Mari kita renungkan: Apa tugas dan tanggung jawab Anda? Apa ukuran keberhasilannya? Dan, bagaimana cara mencapainya secara terukur dan sistematis?
Waktu... waktu...waktu...
Selaku manajer andal, seberapa jauh kita sudah memberikan konsentrasi yang tinggi tentang waktu? Apakah kehidupan yang ada saat ini maupun di kemudian hari (akhirat)?
”Demi masa (satuan waktu), sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling menasehati agar menaati kebenaran dan menaati kesabaran.”
~ QS Al’ Ashr
Semua orang mempunyai ’jatah’ yang sama tentang waktu yaitu 24 jam, tidak lebih dan tidak kurang. Kalau kita kehilangan uang, barang, ataupun benda yang lain, itu mudah mencari gantinya. Tetapi kehilangan waktu, walaupun hanya satu detik tidak bisa mendapatkan penggantian.
Orang sering mengatakan ”The Great Day is Today”–hari terbesar adalah hari ini, bukan kemarin ataupun esok. Kemarin adalah masa lalu yang penuh kenangan. Kita hanya bisa mengingat dan menjadikannya sebagai pengalaman. Hari esok adalah asa, harapan yang berkepanjangan. Pertanyaannya adalah, apakah esok kita masih ada? Itu yang harus direnungkan. Janganlah kita mudah menyia-nyiakan waktu. Jadikan waktu menjadi sesuatu yang berarti dan bermanfaat bagi orang lain. Termasuk berperilaku baik terhadap sesama, saling mengingatkan dengan kata-kata yang menyenangkan.
Sempurnakan Pekerjaan
”Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.”
~ QS Al Qashash:77
Tentu saja tiada manusia yang sempurna, tetapi dalam melakukan pekerjaan atau melakukan sesuatu, milikilah niat baik dan ketulusan untuk meraih kesempurnaan. Ini dituntut kekuatan yang seimbang antara fisik, pikiran, dan hati.
”Dan hendaknya setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
~ QS Al Hasyr:18
Fisik–upaya dan tenaga yang optimal dikerahkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pikiran–memilah antara yang benar dan yang salah, mencari pengetahuan dan cara-cara yang dapat mendukung proses pencapaian tujuan serta meminimalkan dampak yang akan terjadi.
Hati–memilah antara yang baik dan yang buruk, kepekaan terhadap kemanusian dan menentukan skala prioritas.
Banyak orang yang mendapatkan ganjaran tinggi namun bermutu rendah, atau sebaliknya mendapatkan ganjaran rendah tetapi berkualitas.
Adakah cara lain yang lebih baik ?
”Kemudian sesungguhnya Aku telah menyeru mereka secara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya Aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan secara diam-diam.”
~ QS Nuh:8-9
Banyak orang yang mengatakan, ”Cara biasa akan mendatangkan hasil biasa.” Pasti ada cara lain. Intinya adalah perubahan. Seberapa jauh kita ingin menikmati perubahan dan berada di dalam perubahan itu? Atau, kita takut dan lari dengan adanya perubahan? Tujuannya adalah bagaiamana kita tidak terlibat terus dalam perbaikan atau pengobatan, tetapi pencegahan.
Biasakan Memberi Bantuan
Manusia normal, biasanya akan merasa puas apabila mampu membantu orang lain yang membutuhkan. Namun, ada juga yang kecewa karena bantuannya tidak diterima dengan baik atau tidak mendapatkan balas budi yang seimbang.
”Sesungguhnya Kami telah memberikan makan kepadamu hanyalah untuk mencari ridho Allah, Kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.”
~ QS Al Insaan:9
Jalin Hubungan Positif dengan Semua Orang
Hubungan positif, tidak saja hubungan yang menyenangkan tetapi mengajak semua pihak untuk berpikir dan bertindak ke arah yang lebih baik dan benar dan dengan cara yang benar.
Yang harus diingat adalah bahwa kelebihan itu bukan untuk menyombongkan diri atau kebanggaann yang berlebihan, karena di balik itu tersimpan kekurangan dan kelebihan. Ini tidak selamanya menjadi milik Anda. Ini hanya titipan sementara dan akan melayang jauh apabila pemiliknya berkehendak untuk mengambil.
Membantu orang lain, sesuai dengan bentuk, cara, dan waktu yang dibutuhkan orang lain serta sesuai dengan kemampuan kita.
Untuk Direnungkan
Pernahkah Anda menerima bantuan? Dan, pernahkah Anda mengharap bantuan tetapi tidak ada yang datang? Pernahkan anda membantu orang lain yang membutuhkan? Bagaimana kalau orang yang membutuhkan dan tidak mendapatkan bantuan, adalah Anda sendiri? Allah telah menolong dan membatu Anda. Apa alasan Anda untuk tidak mau membantu orang lain?[ss]
* Suyanto Suyadi atau akrab dipanggil SS adalah peserta ”Two Days Workshop Writing Skill for Managers and Executives Batch VIII”. Ia adalah trainer dan konsultan personal dan organization development di PT Sedya Sandika. Saat ini sedang menulis buku bertema renungan untuk para manajer sebelum ajal. SS dapat idhubungi di email: ss_otnay@yahoo.com.
Setiap manusia yang hidup tentu ingin bekerja dan berusaha. Namun dalam proses, ia menghadapi banyak kendala dan memerlukan cara agar usahanya berhasil.
Seorang manajer andal, bukan manusia yang kaya-raya, tetapi ia adalah orang yang selalu bekerja secara optimal mempergunakan segenap kemampuannya sehingga dapat bermanfaat bagi orang lain, dapat dipercaya, serta dapat diandalkan dan dijadikan teladan.
Beberapa hal penting yang harus dijadikan landasan mendasar bagi manajer andal adalah:
Kemampuan yang ada, adalah kemampuan yang harus dibangun terlebih dahulu dalam rangka membentuk sikap mandiri dan diandalkan.
Bagaimana seharusnya, adalah tahapan berikutnya dan membentuk kemandirian. Dalam tahap ini kita akan memulai mempelajari ’how to’ guna memiliki keterampilan khusus dalam rangka mengelola pekerjaan.
Perluasan wawasan, adalah di mana seseorang mulai mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan kualitas pekerjaannya.
Pembinaan hubungan, ini tahap di mana kita sudah harus mampu memberikan kontribusi kepada orang lain maupun lingkungannya.
Kenali Diri Anda
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan susah payah.”
~ Al Qur’an – Surah Al-Balad:4
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
~ QS At-Tiin:4
Apa yang dimaksudkan dengan mengenali diri sendiri yaitu; kekuatan yang dimiliki–introspeksi, kelemahan–tahu diri dan posisi/jabatan–tidak merasa minder atau kelewat percaya diri. Mengapa banyak orang sulit mengenali dirinya sendiri?
Secara fisik – kejadian, kekuatan, kelengkapan, kecepatan. Ketika ingin sehat, ternyata masih bisa sakit juga. Daya ingat, kecepatan berpikir, melakukan analisis. Ketika ingin diingatnya, hafal ternyata masih bisa lupa. Perasaan, kepekaan terhadap orang lain, memaknai hidup ini dengan ingin selalu bebuat baik kepada orang lain. Keinginan selalu taat, ternyata masih bisa membuat kekeliruan.
Dari mana kita semua berasal? Seberapa besar kekuasaan yang kita miliki—seperti saat ini menjadi manajer dan apakah ini bisa selamanya? Siapa saja yang berperan besar dalam perjalanan diri Anda sampai dengan hari ini? Apakah itu masih bisa berlanjut sampai esok pagi? Siapa yang menciptakan air susu ibu di dalam tubuh ibu kita? Siapa yang menempelkan dan menguatkan tulang yang ada di tubuh kita? Siapa yang memberikan udara yang kita hisap secara gratis setiap saat? Mari kita renungkan!!!
Bicara dengan Data
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, perasaan (hati) semua akan diminta pertanggungjawabnya.”
~ QS Al-Israa:36
Berbicaralah dengan ’hal’ bukan orang. Bagaimana orang-orang dapat memercayai kita bila kita tidak berdasarkan pada data atau fakta? Seandainya orang bertanya, ”Dari mana Anda dapat informasi itu?” Apa yang harus kita jawab?
Bertindaklah dengan ilmu dan alasan yang akurat, hindari prasangka dan ’ilmu katanya’, atau ikut-ikutan. Bersiaplah menjawab pertanyaan, ”Mengapa Anda melakukan itu?” Dan, pastikan bahwa apa yang Anda lakukan atau yang Anda katakan akan memberaikan manfaat yang nyata.
Rencana dan Hasil
Catat apa yang Anda lakukan dan lakukan apa yang Anda catat.
”Dan segala yang kecil dan yang besar adalah tertulis....”
~ QS Al-Qomaar:53
Dengan menulis, berarti Anda akan mengurangi risiko lupa. Orang sangat terbatas ingatannya. Perencanaan, adalah gambaran apa yang akan kita kerjakan. Hasil, untuk melihat apa yang sudah kita lakukan berkaitan dengan rencana tadi. Di sini perlu kejujuran dan komitmen. Seberapa jauh ’utang’ kita yang belum kita bayar/penuhi?
Pekerjaaan dan Daerah Kerja Anda
”Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan. Supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di muka bumi itu.”
~ QS Nuh:19-20
Apa pun pekerjaan ataupun kegiatan Anda, harus dikenali secara luas. Apa yang harus kita lakukan, mengapa kita lakukan, hasil apa yang kita inginkan, sarana apa yang kita butuhkan, berapa lama waktu untuk menyelesaikannya, dan kepada siapa saja kita berhubungan? Itu semua harus kita catat. Kalau kita menguasai pekerjaan kita, sikap ini akam membuka kemungkinan untuk mempelajari pekerjaan lain. Marilah kita lakukan catatan kecil. Pasti ada manfaatnya kalau Anda melakukan introspeksi di masa mendatang.
Tanggung Jawab
Sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian orang manakala ditanyakan tentang pekerjaannya. ”Mengapa pekerjaan itu dilakukan?” Hampir pasti jawabannya adalah, ”Yah... begini ini pekerjaan saya.” Inilah sebuah sikap. Mari kita renungkan: Apa tugas dan tanggung jawab Anda? Apa ukuran keberhasilannya? Dan, bagaimana cara mencapainya secara terukur dan sistematis?
Waktu... waktu...waktu...
Selaku manajer andal, seberapa jauh kita sudah memberikan konsentrasi yang tinggi tentang waktu? Apakah kehidupan yang ada saat ini maupun di kemudian hari (akhirat)?
”Demi masa (satuan waktu), sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling menasehati agar menaati kebenaran dan menaati kesabaran.”
~ QS Al’ Ashr
Semua orang mempunyai ’jatah’ yang sama tentang waktu yaitu 24 jam, tidak lebih dan tidak kurang. Kalau kita kehilangan uang, barang, ataupun benda yang lain, itu mudah mencari gantinya. Tetapi kehilangan waktu, walaupun hanya satu detik tidak bisa mendapatkan penggantian.
Orang sering mengatakan ”The Great Day is Today”–hari terbesar adalah hari ini, bukan kemarin ataupun esok. Kemarin adalah masa lalu yang penuh kenangan. Kita hanya bisa mengingat dan menjadikannya sebagai pengalaman. Hari esok adalah asa, harapan yang berkepanjangan. Pertanyaannya adalah, apakah esok kita masih ada? Itu yang harus direnungkan. Janganlah kita mudah menyia-nyiakan waktu. Jadikan waktu menjadi sesuatu yang berarti dan bermanfaat bagi orang lain. Termasuk berperilaku baik terhadap sesama, saling mengingatkan dengan kata-kata yang menyenangkan.
Sempurnakan Pekerjaan
”Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.”
~ QS Al Qashash:77
Tentu saja tiada manusia yang sempurna, tetapi dalam melakukan pekerjaan atau melakukan sesuatu, milikilah niat baik dan ketulusan untuk meraih kesempurnaan. Ini dituntut kekuatan yang seimbang antara fisik, pikiran, dan hati.
”Dan hendaknya setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
~ QS Al Hasyr:18
Fisik–upaya dan tenaga yang optimal dikerahkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pikiran–memilah antara yang benar dan yang salah, mencari pengetahuan dan cara-cara yang dapat mendukung proses pencapaian tujuan serta meminimalkan dampak yang akan terjadi.
Hati–memilah antara yang baik dan yang buruk, kepekaan terhadap kemanusian dan menentukan skala prioritas.
Banyak orang yang mendapatkan ganjaran tinggi namun bermutu rendah, atau sebaliknya mendapatkan ganjaran rendah tetapi berkualitas.
Adakah cara lain yang lebih baik ?
”Kemudian sesungguhnya Aku telah menyeru mereka secara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya Aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan secara diam-diam.”
~ QS Nuh:8-9
Banyak orang yang mengatakan, ”Cara biasa akan mendatangkan hasil biasa.” Pasti ada cara lain. Intinya adalah perubahan. Seberapa jauh kita ingin menikmati perubahan dan berada di dalam perubahan itu? Atau, kita takut dan lari dengan adanya perubahan? Tujuannya adalah bagaiamana kita tidak terlibat terus dalam perbaikan atau pengobatan, tetapi pencegahan.
Biasakan Memberi Bantuan
Manusia normal, biasanya akan merasa puas apabila mampu membantu orang lain yang membutuhkan. Namun, ada juga yang kecewa karena bantuannya tidak diterima dengan baik atau tidak mendapatkan balas budi yang seimbang.
”Sesungguhnya Kami telah memberikan makan kepadamu hanyalah untuk mencari ridho Allah, Kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.”
~ QS Al Insaan:9
Jalin Hubungan Positif dengan Semua Orang
Hubungan positif, tidak saja hubungan yang menyenangkan tetapi mengajak semua pihak untuk berpikir dan bertindak ke arah yang lebih baik dan benar dan dengan cara yang benar.
Yang harus diingat adalah bahwa kelebihan itu bukan untuk menyombongkan diri atau kebanggaann yang berlebihan, karena di balik itu tersimpan kekurangan dan kelebihan. Ini tidak selamanya menjadi milik Anda. Ini hanya titipan sementara dan akan melayang jauh apabila pemiliknya berkehendak untuk mengambil.
Membantu orang lain, sesuai dengan bentuk, cara, dan waktu yang dibutuhkan orang lain serta sesuai dengan kemampuan kita.
Untuk Direnungkan
Pernahkah Anda menerima bantuan? Dan, pernahkah Anda mengharap bantuan tetapi tidak ada yang datang? Pernahkan anda membantu orang lain yang membutuhkan? Bagaimana kalau orang yang membutuhkan dan tidak mendapatkan bantuan, adalah Anda sendiri? Allah telah menolong dan membatu Anda. Apa alasan Anda untuk tidak mau membantu orang lain?[ss]
* Suyanto Suyadi atau akrab dipanggil SS adalah peserta ”Two Days Workshop Writing Skill for Managers and Executives Batch VIII”. Ia adalah trainer dan konsultan personal dan organization development di PT Sedya Sandika. Saat ini sedang menulis buku bertema renungan untuk para manajer sebelum ajal. SS dapat idhubungi di email: ss_otnay@yahoo.com.
GREEN GREEN GRASS OF HOME
Oleh: Vina Tan
Ayah meninggal pada tahun 1980 ketika saya masih berumur 14 tahun. Namun tanpa disadari, ayah telah meninggalkan sebuah warisan yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup saya. Hal ini bermula ketika saya masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD). Karena saya suka menyanyi, ayah sering membelikan kaset-kaset lagu berbahasa Inggris dan Mandarin untuk saya.
Suatu hari ketika suara Tom Jones sedang mengalunkan sebuah lagu yang sangat populer di tahun 1966 yaitu Green Green Grass of Home …
The old home town looks the same
As I step down from the train
And there to meet me is my Mama and Papa
……
Ayah pun bertanya apakah saya mengerti lirik lagu tersebut. Karena saat itu Bahasa Inggris belum diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, maka saya pun menjawab tidak. Dengan senang hati dan penuh kesabaran, ayah menjelaskan arti dari lagu tersebut. Bukan itu saja, saya pun diajari bagaimana caranya menggunakan kamus Bahasa Inggris untuk lebih memahami lagu-lagu yang suka saya nyanyikan.
Terus terang, hal kecil yang ayah lakukan saat itu mampu mengobarkan rasa penasaran akan arti kata-kata baru yang saja jumpai. Awalnya dari lagu-lagu yang saya dengar, kemudian ketika saya duduk di kelas III Sekolah Menengah Atas (SMA), saya pun mulai membaca majalah berbahasa Inggris, misalnya Reader’s Digest, kemudian Newsweek, dan Business Week. Bahkan sampai hari ini, saya terus saja meningkatkan perbendaharaan kata Bahasa Inggris dari buku-buku yang saya baca.
Beberapa waktu lalu, ketika cerita ini saya sampaikan di hadapan para orangtua di seminar parenting di sebuah sekolah di Cibubur, ayah-ayah yang hadir sangat bersemangat mendengarkannya. Pesan yang saya sampaikan adalah hal sekecil apa pun jika dilakukan dengan positif dan tulus kepada anak kita pasti akan bermanfaat. Siapa tahu suatu hari nanti akan menjadi motivasi dan inspirasi seumur hidupnya seperti yang terjadi pada saya. Inilah yang saya sebut warisan positif yang ayah tinggalkan untuk saya.
Tumbuhkan Rasa Ingin Tahu dalam Diri Anak
Memiliki banyak kenangan yang indah dari orangtua telah memberikan keuntungan tersendiri bagi saya. Di saat saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membesarkan anak-anak yang dititipkan Tuhan, maka saya pun selalu mencari hal-hal positif yang dapat diwariskan kepada anak-anak kelak.
Saat ini anak-anak saya, Eric dan Lisa sudah berumur 16 dan 14 tahun. Sejak kecil sampai usia SD, hampir setiap malam saya selalu mendongeng atau membacakan cerita buat mereka. Saat itu yang saya pikirkan adalah siapa tahu mendengarkan cerita akan menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri anak-anak. Kadang-kadang saya bercerita dua sampai tiga kalimat dan meminta mereka adu cepat untuk menyebutkan judul cerita tersebut. Di sini terlihat kalau putri saya yang kolerik selalu lebih cepat dari abangnya yang melankolis. Untuk mengimbangi adiknya, maka saya mencari cerita-cerita yang sudah didengar Eric tapi belum dikenal Lisa. Sampai hari ini mereka masih ingat kalau saya suka bercerita buat mereka.
Ketika mereka kecil, saya pun senang mendendangkan lagu buat mereka. Bahkan sampai hari ini jika ada lagu yang saya kenal sedang dinyanyikan di salah satu stasiun televisi, saya selalu ikut nyanyi. Biasanya putra saya, Eric yang suka tanya, ”Ma, apa sih judul lagu yang mama nyanyikan tadi?” Setelah tahu judulnya, biasanya Eric akan search dan download dari internet untuk disimpan agar sewaktu-waktu bisa diputar kembali.
Eric sangat menyukai dan menguasai pelajaran Matematika. Setiap ada perlombaan Matematika, dia sering diutus mewakili sekolah untuk ikut lomba. Dan, yang membuat dia semangat ikut lomba adalah karena dia ingin tahu dan penasaran dengan soal-soal apa yang akan didapatkan dari perlombaan tersebut.
Rasa ingin tahu dan penasaran ini juga yang membuat Eric dan Lisa kembali meneruskan pelajaran KUMON (belajar matematika dengan metode Kumon yang berasal dari Jepang dengan level 7A, 6A, 5A, 4A, 3A, 2A, kemudian level A, B, C sampai Q) yang sempat mereka tinggalkan selama bertahun-tahun (Eric berhenti selama lima tahun ketika masih di level L, sedangkan Lisa stop selama tiga tahun ketika masih di level H).
Saat ini mereka sudah di level terakhir yaitu level Q. Hampir tidak ada anak yang telah meninggalkan les KUMON (lebih jauh tentang KUMON lihat di http://www.kumon.co.id) selama bertahun-tahun kembali lagi untuk mencapai finish (menyelesaikan sampai akhir tingkat Q). Alasan mereka sama yaitu ingin tahu soal-soal tingkat tinggi itu seperti apa dan penasaran ingin mencapai finish.
Ketika anak-anak kita mempunyai rasa ingin tahu, maka belajar dan mengikuti pelajaran sekolah menjadi gampang. Sebagai orangtua kita tidak perlu lagi menyuruh-nyuruh mereka untuk belajar. Otomatis dengan adanya rasa ingin tahu, mereka selalu memiliki motivasi untuk belajar.
Jadi, sebagai orangtua adalah penting bagi kita untuk memupuk rasa ingin tahu dalam diri anak. Mungkin dulu ayah tidak sengaja melakukannya kepada saya. Tetapi dengan kenangan yang saya dapatkan dari ayah, saya dengan sengaja mencari jalan bagaimana bisa menumbuhkan rasa ingin tahu itu dalam diri anak-anak saya.
Orangtua zaman dulu tidak mengenal teori-teori canggih dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Mereka hanya mengandalkan naluri dan ketulusan dari lubuk hati yang terdalam. Menjadi ibu bagi kedua anak saya di zaman modern ini, mau tidak mau, suka tidak suka, telah memaksa saya untuk memadukan cara tradisional yang saya dapatkan dari orangtua saya dan cara-cara baru yang saya dapatkan dari buku-buku parenting yang pernah dan masih saya baca sampai hari ini.
Alasannya adalah saya ingin warisan positif yang ditinggalkan ayah saya akan terus hidup di dalam diri anak-anak saya agar dapat diteruskan kepada generasi berikutnya.[vin]
* Vina Tan adalah nama panggilan Wivina Tampusari, seorang Parent Coach. Alumnus workshop SPP “Cara Gampang Menulis Buku Bestseller” Angkatan ke-2 ini sedang menyusun sebuah buku tentang keluarga dan parenting. Ia dapat dihubungi di nomor 021-5604207 atau melalui email: vina.coach@yahoo.com
Ayah meninggal pada tahun 1980 ketika saya masih berumur 14 tahun. Namun tanpa disadari, ayah telah meninggalkan sebuah warisan yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup saya. Hal ini bermula ketika saya masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD). Karena saya suka menyanyi, ayah sering membelikan kaset-kaset lagu berbahasa Inggris dan Mandarin untuk saya.
Suatu hari ketika suara Tom Jones sedang mengalunkan sebuah lagu yang sangat populer di tahun 1966 yaitu Green Green Grass of Home …
The old home town looks the same
As I step down from the train
And there to meet me is my Mama and Papa
……
Ayah pun bertanya apakah saya mengerti lirik lagu tersebut. Karena saat itu Bahasa Inggris belum diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, maka saya pun menjawab tidak. Dengan senang hati dan penuh kesabaran, ayah menjelaskan arti dari lagu tersebut. Bukan itu saja, saya pun diajari bagaimana caranya menggunakan kamus Bahasa Inggris untuk lebih memahami lagu-lagu yang suka saya nyanyikan.
Terus terang, hal kecil yang ayah lakukan saat itu mampu mengobarkan rasa penasaran akan arti kata-kata baru yang saja jumpai. Awalnya dari lagu-lagu yang saya dengar, kemudian ketika saya duduk di kelas III Sekolah Menengah Atas (SMA), saya pun mulai membaca majalah berbahasa Inggris, misalnya Reader’s Digest, kemudian Newsweek, dan Business Week. Bahkan sampai hari ini, saya terus saja meningkatkan perbendaharaan kata Bahasa Inggris dari buku-buku yang saya baca.
Beberapa waktu lalu, ketika cerita ini saya sampaikan di hadapan para orangtua di seminar parenting di sebuah sekolah di Cibubur, ayah-ayah yang hadir sangat bersemangat mendengarkannya. Pesan yang saya sampaikan adalah hal sekecil apa pun jika dilakukan dengan positif dan tulus kepada anak kita pasti akan bermanfaat. Siapa tahu suatu hari nanti akan menjadi motivasi dan inspirasi seumur hidupnya seperti yang terjadi pada saya. Inilah yang saya sebut warisan positif yang ayah tinggalkan untuk saya.
Tumbuhkan Rasa Ingin Tahu dalam Diri Anak
Memiliki banyak kenangan yang indah dari orangtua telah memberikan keuntungan tersendiri bagi saya. Di saat saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membesarkan anak-anak yang dititipkan Tuhan, maka saya pun selalu mencari hal-hal positif yang dapat diwariskan kepada anak-anak kelak.
Saat ini anak-anak saya, Eric dan Lisa sudah berumur 16 dan 14 tahun. Sejak kecil sampai usia SD, hampir setiap malam saya selalu mendongeng atau membacakan cerita buat mereka. Saat itu yang saya pikirkan adalah siapa tahu mendengarkan cerita akan menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri anak-anak. Kadang-kadang saya bercerita dua sampai tiga kalimat dan meminta mereka adu cepat untuk menyebutkan judul cerita tersebut. Di sini terlihat kalau putri saya yang kolerik selalu lebih cepat dari abangnya yang melankolis. Untuk mengimbangi adiknya, maka saya mencari cerita-cerita yang sudah didengar Eric tapi belum dikenal Lisa. Sampai hari ini mereka masih ingat kalau saya suka bercerita buat mereka.
Ketika mereka kecil, saya pun senang mendendangkan lagu buat mereka. Bahkan sampai hari ini jika ada lagu yang saya kenal sedang dinyanyikan di salah satu stasiun televisi, saya selalu ikut nyanyi. Biasanya putra saya, Eric yang suka tanya, ”Ma, apa sih judul lagu yang mama nyanyikan tadi?” Setelah tahu judulnya, biasanya Eric akan search dan download dari internet untuk disimpan agar sewaktu-waktu bisa diputar kembali.
Eric sangat menyukai dan menguasai pelajaran Matematika. Setiap ada perlombaan Matematika, dia sering diutus mewakili sekolah untuk ikut lomba. Dan, yang membuat dia semangat ikut lomba adalah karena dia ingin tahu dan penasaran dengan soal-soal apa yang akan didapatkan dari perlombaan tersebut.
Rasa ingin tahu dan penasaran ini juga yang membuat Eric dan Lisa kembali meneruskan pelajaran KUMON (belajar matematika dengan metode Kumon yang berasal dari Jepang dengan level 7A, 6A, 5A, 4A, 3A, 2A, kemudian level A, B, C sampai Q) yang sempat mereka tinggalkan selama bertahun-tahun (Eric berhenti selama lima tahun ketika masih di level L, sedangkan Lisa stop selama tiga tahun ketika masih di level H).
Saat ini mereka sudah di level terakhir yaitu level Q. Hampir tidak ada anak yang telah meninggalkan les KUMON (lebih jauh tentang KUMON lihat di http://www.kumon.co.id) selama bertahun-tahun kembali lagi untuk mencapai finish (menyelesaikan sampai akhir tingkat Q). Alasan mereka sama yaitu ingin tahu soal-soal tingkat tinggi itu seperti apa dan penasaran ingin mencapai finish.
Ketika anak-anak kita mempunyai rasa ingin tahu, maka belajar dan mengikuti pelajaran sekolah menjadi gampang. Sebagai orangtua kita tidak perlu lagi menyuruh-nyuruh mereka untuk belajar. Otomatis dengan adanya rasa ingin tahu, mereka selalu memiliki motivasi untuk belajar.
Jadi, sebagai orangtua adalah penting bagi kita untuk memupuk rasa ingin tahu dalam diri anak. Mungkin dulu ayah tidak sengaja melakukannya kepada saya. Tetapi dengan kenangan yang saya dapatkan dari ayah, saya dengan sengaja mencari jalan bagaimana bisa menumbuhkan rasa ingin tahu itu dalam diri anak-anak saya.
Orangtua zaman dulu tidak mengenal teori-teori canggih dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Mereka hanya mengandalkan naluri dan ketulusan dari lubuk hati yang terdalam. Menjadi ibu bagi kedua anak saya di zaman modern ini, mau tidak mau, suka tidak suka, telah memaksa saya untuk memadukan cara tradisional yang saya dapatkan dari orangtua saya dan cara-cara baru yang saya dapatkan dari buku-buku parenting yang pernah dan masih saya baca sampai hari ini.
Alasannya adalah saya ingin warisan positif yang ditinggalkan ayah saya akan terus hidup di dalam diri anak-anak saya agar dapat diteruskan kepada generasi berikutnya.[vin]
* Vina Tan adalah nama panggilan Wivina Tampusari, seorang Parent Coach. Alumnus workshop SPP “Cara Gampang Menulis Buku Bestseller” Angkatan ke-2 ini sedang menyusun sebuah buku tentang keluarga dan parenting. Ia dapat dihubungi di nomor 021-5604207 atau melalui email: vina.coach@yahoo.com
BENARKAH TUHAN ITU ADIL?
Oleh: Syahril Syam
Tidak sedikit orang yang mengeluh dengan keadaan mereka, atau karier mereka, atau keuangan mereka, atau pencapaian kesuksesan mereka, atau apa saja yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Keluhan ini biasanya berpuncak pada menyalahkan Tuhan. Diri sendiri sudah disalahkan, orang lain pun disalahkan, dan karena sudah tidak ada lagi yang harus disalahkan, maka Tuhan pun ikut disalahkan. Menyalahkan Tuhan ini–apa pun bentuknya–biasanya hanya berujung pada satu masalah utama, keadilan. Tuhan biasanya dianggap sebagai tidak adil dengan membeberkan fakta keadaan mereka. Tapi, benarkah Tuhan itu tidak adil? Kenapa ada yang miskin dan ada yang kaya? Kenapa ada yang sukses dan ada yang gagal? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak Anda melihat penuturan argumen yang akan saya berikan. Argumen ini dilandasi atas pemikiran filosofis. Tapi tenang saja, saya akan mencoba menyederhanakan argumennya, karena jika sudah berbicara tentang filsafat, maka banyak orang yang merasa pusing dan menyerah. Namun sebelumnya, perlu Anda ketahui bahwa banyak sudah pemikiran filsafat dari berbagai aliran yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Saya pun sudah mempelajari hampir semua aliran filsafat yang menjawab pertanyaan ini, dan dari sekian banyak aliran pemikiran tersebut saya akan memberikan kepada Anda satu pemikiran yang menurut saya inilah yang terbaik, dalam menjawab seputar keadilan Tuhan tersebut.
Satu hal lagi, saya sengaja menuliskan tulisan ini, sebenarnya, untuk mengajak kita semua agar tidak lagi menyalahkan Tuhan, karena sesungguhnya Tuhan itu Maha Adil. Selain itu, argumen yang biasa orang-orang kemukakan belum terasa puas bagi saya (saya tidak bermaksud menyombongkan diri, lho).
Mari kita melihat defenisi dari keadilan itu dulu. Keadilan menurut Murtadha Muthahhari–paling tidak–digunakan dalam empat hal: Pertama, seimbang. Kesimbangan yang dimaksud di sini adalah kita melihat segala sesuatu dalam neraca kebutuhan yang bersifat relatif. Mari kita ambil contoh: mobil.
Untuk menciptakan sebuah mobil maka dibutuhkan berbagai bahan-bahan yang sesuai dengan kadarnya masing-masing. Kita tidak bisa membuat sebuah mobil dengan kadar semua bahannnya itu sama, karena jika terjadi demikian maka Anda tidak akan pernah bisa membuat mobil yang sempurna. Jika saja Anda membuat sebuah mobil yang terbuat dari bahan-bahan yang kadarnya semuanya sama, maka justru Anda telah menciptakan ketidakseimbangan pada mobil tersebut. Ukuran bodi mobil tidaklah harus sama dengan ukuran pintunya, begitu juga ukuran mesinnya, apalagi ukuran setirnya.
Bisa Anda bayangkan bagaimana mengemudi sebuah mobil yang ukuran setirnya sama dengan ukuran bodinya? Jadi, kesimbangan di sini adalah penempatan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Dan alam semesta ini seimbang karena menggunakan defenisi keadilan ini. Karena jika tidak, maka alam semesta sudah lama hancur. Itulah sebabnya kita melihat segala sesuatunya di alam ini begitu indah dan proporsional. Dan, Tuhan telah menciptakan alam semesta ini dengan sangat seimbang.
Kedua, defenisi keadilan di sini adalah persamaan dan menafikan pembedaan, yaitu memandang semuanya sama tanpa melakukan pembedaan. Perlu diketahui bahwa pembedaan itu adalah membeda-bedakan antara berbagai sesuatu yang memiliki hak yang sama yang semuanya memiliki syarat-syarat yang sama. Pembedaan ini berbeda dengan perbedaan. Kalau pembedaan terjadi dari segi pemberi, dan perbedaan terjadi dari segi penerima. Kalau Anda memiliki 10 orang pekerja yang memiliki kualitas yang sama dan jam kerja yang sama serta jenis pekerjaan yang sama, maka adalah adil jika Anda memberikan persamaan pada mereka, yaitu memberikan jumlah gaji yang sama kepada mereka semua. Artinya dari sisi Anda (sang pemberi gaji), Anda tidak membeda-bedakan mereka semua karena semuanya memiliki kualitas yang sama. Jadi sekali lagi, keadilan di sini adalah memberikan persamaan tanpa melakukan pembedaan.
Lanjutan dari defenisi kedua ini kita akan sampai pada defenisi yang ketiga, memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Kembali kita menggunakan contoh di atas, jika Anda memiliki 10 orang pekerja dan masing-masing dari mereka memiliki kekhasan atau keunikan dalam bekerja, maka adalah adil jika Anda memberikan gaji sesuai dengan keunikan dan usaha yang telah mereka lakukan dan adalah tidak adil jika Anda menyamaratakan gaji mereka semua. Oleh sebab itu, untuk meraih kebahagian bagi individu-individu dalam masyarkat, penting kiranya untuk menjaga hak dan preferensi setiap individu dan juga memelihara setiap keunikan setiap individu.
Kita sekarang sampai pada defenisi yang keempat, memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi. Wah… mungkin Anda bingung dengan defenisi yang agak panjang ini. Namun perlu untuk Anda ketahui, pertanyaan-pertanyaan yang kita telah ajukan di atas berkaitan dengan penjelasan yang ada pada defenisi keempat ini. Sebelumnya kita perlu melihat–sekali lagi–antara pembedaan dan perbedaan. Pada defenisi kedua kita telah membahas dengan ringkas, maka mari kita lihat penjelasannya dengan sedikit lebih panjang.
Dalam penciptaan tidak ada pembedaan, yang ada hanyalah perbedaan. Untuk lebih jelasnya, cobalah Anda melihat contoh berikut ini: Apabila kita mengambil dua buah bejana yang masing-masing dapat memuat 10 liter air, lantas kita letakkan yang satu di bawah kran air dan kita isi dengan 10 liter air, sedangkan bejana yang lain kita letakkan di bawah kran dan kita isi dengan 5 liter air; maka inilah yang dimaksud dengan pembedaan, sebab sumber perbedaan di sini bukan dari segi daya muat bejana, melainkan dari segi si pengisi bejana.
Lain halnya jika kita memiliki dua buah bejana dan yang satu cukup untuk diisi 10 liter air, dan yang lainnya hanya dapat diisi 5 liter air, lantas masing-masing kita celupkan ke dalam laut, maka perbedaan di antara keduanya akan terus berlanjut, karena perbedaannya bersumber dari segi kemampuan masing-masing, bukan dari segi laut atau kekuatan masuknya air ke dalam bejana. Bukankah penelitian-penelitian telah membeberkan kepada kita bahwa potensi yang diberikan oleh Tuhan kepada kita semua adalah sama?
Jadi perbedaan antara yang sukses dan yang gagal itu berasal dari kita sendiri: Apakah mau memperbesar bejana kita atau hanya membiarkannya begitu saja dan berharap hal itu akan berubah? Semua hamba-Nya telah diberikan jumlah rezeki yang sama dan sangat berlimpah, hanya ada yang menampung rejeki Tuhan dengan bejana yang sangat besar, dan ada yang menampung rejeki Tuhan dengan bejana yang sangat kecil sekali.
Nah kembali pada defenisi keempat di atas, dapat kita jabarkan bahwa suatu yang eksis (meng-ada) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi olehnya. Dalam pengertian ini, keadilan Tuhan dipandang sebagai Dia tidak mengabaikan pemilikan hak dan kelayakan yang dimilki oleh sesuatu yang ada; Dia mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya.
Sampai di sini mungkin ada yang bertanya: Kalau saat ini saya miskin, maka inilah hak saya? Atau, pertanyaan-pertanyaan serupa yang berkaitan dengan keburukan, ketidakberuntungan, nasib jelek, dan kejahatan; atau kenapa yang lain sukses dan yang lainnya gagal, atau kenapa yang satu cantik dan yang lain jelek? Kenapa ada juga yang cacat? Kenapa saya tidak terlahir kaya?
Mari kita lihat kembali penjabaran dari defenisi keempat di atas. Suatu yang eksis (meng-ada) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi olehnya. Dalam pengertian ini, keadilan Tuhan dipandang sebagai Dia tidak mengabaikan pemilikan hak dan kelayakan yang dimilki oleh sesuatu yang ada; Dia mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya. Segala sesuatunya pasti memiliki kadar yang berbeda-beda. Jika segala sesuatunya itu sama, maka justru tidak lagi yang disebut sebagai manusia, tumbuhan, hewan, dan lain-lain. Segala sesuatu yang ada ketika eksis (meng-ada) telah mengambil porsi perwujudan mereka masing-masing.
Mari kita sederhanakan hal ini dengan melihat sistem angka. Anda tentu mengenal angka 1, 2, 3, dan seterusnya. Kita dapat melihat bahwa angka 1 mendahului angka 2, dan angka 2 mendahului angka 3, dan begitu seterusnya. Ini berarti bahwa setiap angka menempati urutannya masing-masing, dan pada urutan tersebut terdapat hukum dan pengaruh. Anda tidak mungkin menempatkan angka 5 di antara angka 7 dan 9, karena sesungguhnya wujud yang sesuai dengan kadarnya di antara angka 7 dan 9 adalah angka 8.
Nah, dalam setiap penciptaan alam semesta, segala sesuatunya telah menempati urutan meng-ada seperti itu; dengan kata lain Anda dan segala sesuatu yang ada telah meng-ada sesuai dengan kadar yang dimilikinya. Dan adalah suatu ketidakadilan jika Tuhan justru melanggar hal ini karena telah mencegah kelanjutan eksistensi dari sesuatu dan kemungkinan terciptanya sebuah transformasi. Dengan demikian segala sesuatunya itu–yang tercipta sesuai dengan kadarnya–adalah suatu bentuk kesempurnaan yang Tuhan berikan. Dan ini adalah prinsip dari hukum sebab-akibat, di mana setiap akibat pasti memiliki pengaruh dari sebabnya, dan setiap sebab pasti mendahului akibat. Angka 1 mendahului angka 2, dan keberadaan angka 2 terdapat hukum dan memiliki pengaruh dari angka 1. (Saya mohon Anda jangan menanyakan: Lantas apa yang menjadi penyebab dari Tuhan? Karena jawaban untuk pertanyaan ini tidak sesuai dengan maksud dari tulisan ini).
Itulah sebabnya, yang ada itu hanyalah perbedaan dan bukan pembedaan. Tuhan telah melimpahkan rahmatnya, hanya saja perbedaan itu terjadi sesuai dengan kadarnya dan urutan kepenciptaannya, yang berlandaskan pada hukum sebab-akibat (seperti analogi angka di atas). Angka 1 tentu berbeda dengan angka 2. Angka 2 tentu berbeda dengan angka 3, dan begitu seterusnya. Setiap angka telah menduduki urutan terciptanya dan telah sesuai dengan kadarnya. Setiap angka itu telah sempurna dan sesuai dengan kadarnya.
Jadi, jika Anda berharap untuk dilahirkan sebagai seseorang yang Anda anggap sempurna, maka pada hakikatnya Anda sudah tidak menjadi Anda lagi (lihat analogi penempatan angka di atas). Adalah sebuah hal keliru jika kita mencoba membandingkan antara angka 1 dan angka 2, atau membandingkan angka 2 dengan angka 3. Bagaimana pun kita membandingkan, yang ada hanyalah perbedaan; karena seperti yang telah kita singgung di atas bahwa perbedaan itu terjadi dari sisi kadar si penerima dan urutan keberadaannya.
Perbedaan tidak mengisyaratkan ketidaksempurnaan, tetapi kesempurnaan. Mengatakan yang satu tidak sempurna dibandingkan yang lain adalah suatu pemikiran yang mencoba memaksa untuk menyamakan segala sesuatunya. Dan seperti yang telah saya katakan di atas, jika segala sesuatunya itu sama, maka tidak ada lagi yang disebut sebagai manusia, tumbuhan, atau hewan, atau apapun namanya. Pada dasarnya semuanya adalah sempurna dalam kadarnya masing-masing.
Itulah sebabnya dalam defenisi keempat juga disebutkan bahwa terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi. Perbedaan itu justru mengisyaratkan kenapa ada yang disebut dengan dinamika, usaha, cinta, cumbu rayu, penderitaan, kesengsaraan, cemburu, kesuksesan, kehancuran, dan kehangatan. Jadi jika Anda protes kepada Tuhan dan berharap Tuhan menciptakan semua itu sama, maka pada dasarnya akan menyebabkan tidak adanya sesuatu yang baik dan indah, semangat dan dinamika, perjalanan dan transformasi. Karena itu, “Di pabrik cinta harus ada kekufuran,” demikian syair Hafizh.
Dengan demikian apa pun yang Anda alami adalah suatu bentuk kesempurnaan dalam kadar yang Anda miliki. Hal ini menjelaskan juga kenapa setiap orang itu tidak ada yang sama alias unik. Apapun adanya Anda sekarang dan bagaimana diri Anda sekarang adalah ciptaan Tuhan yang sempurna. Membandingkan dua hal yang berbeda adalah suatu hal yang tidak bijaksana dan sangat keliru. Kesempurnaan Anda dengan kadar Anda saat ini juga memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk melakukan sebuah transformasi dan kemungkinan eksistensi (perbaikan) yang lebih baik.
Oleh karenanya, saya ingin mengajak Anda untuk melihat contoh yang begitu menarik. Contoh ini berkisah dari seekor anjing yang saya tonton di acara Oprah. Terdapat seekor anjing yang terlahir cacat (ingat, kita menyebutnya cacat karena kita membandingkannya dengan anjing normal lainnya). Anjing ini bernama Faith dan terlahir dengan hanya memiliki dua kaki belakang. Dalam pandangan keadilan, ini adalah sebuah kesempurnaan yang sesuai dengan kadarnya. Jika Anda membandingkannya dengan anjing yang memiliki jumlah kaki empat, maka sesungguhnya Anda akan mengatakan Faith sebagai anjing yang cacat. Padahal Faith adalah anjing yang sempurna yang sesuai dengan kadarnya. Jangan membandingkan dua hal yang tidak sebanding; dua kaki dan empat kaki itu tidak sebanding.
Yang membuat saya berdecak kagum adalah, dalam kadarnya yang demikian, Faith masih bisa melakukan kemungkinan eksistensi (perbaikan diri; transformasi). Faith sekarang bisa berjalan dengan hanya menggunakan dua kakinya yang ada, padahal banyak dokter yang menyarankan untuk membunuh anjing tersebut dengan melihat kemungkinan bahwa Faith takkan bisa berjalan sama sekali. Luar biasa, bukan?
Percayalah bahwa Tuhan memberikan rahmat dan kelimpahannya yang sama kepada semua makhluk, dan Anda bisa melakukan transformasi untuk membuat bejana Anda menjadi lebih besar. Perbedaan mengisyaratkan transformasi. Sekiranya tak ada gunung, maka tak akan mungkin ada lembah dan air yang mengalir darinya. Sesuatu yang Anda anggap buruk belum tentu buruk bagi dirinya sendiri; karena–sekali lagi– embandingkan dua hal yang tidak sama adalah tidak pada tempatnya. Dan Tuhan tentu memelihara segala sesuatunya yang berada dalam kadarnya masing-masing. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak adil. Anda telah sempurna dalam posisi Anda saat ini, dan Anda bisa melakukan transformasi bagi diri Anda sendiri. Semoga bermanfaat!!![ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, publik speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com.
Tidak sedikit orang yang mengeluh dengan keadaan mereka, atau karier mereka, atau keuangan mereka, atau pencapaian kesuksesan mereka, atau apa saja yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Keluhan ini biasanya berpuncak pada menyalahkan Tuhan. Diri sendiri sudah disalahkan, orang lain pun disalahkan, dan karena sudah tidak ada lagi yang harus disalahkan, maka Tuhan pun ikut disalahkan. Menyalahkan Tuhan ini–apa pun bentuknya–biasanya hanya berujung pada satu masalah utama, keadilan. Tuhan biasanya dianggap sebagai tidak adil dengan membeberkan fakta keadaan mereka. Tapi, benarkah Tuhan itu tidak adil? Kenapa ada yang miskin dan ada yang kaya? Kenapa ada yang sukses dan ada yang gagal? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak Anda melihat penuturan argumen yang akan saya berikan. Argumen ini dilandasi atas pemikiran filosofis. Tapi tenang saja, saya akan mencoba menyederhanakan argumennya, karena jika sudah berbicara tentang filsafat, maka banyak orang yang merasa pusing dan menyerah. Namun sebelumnya, perlu Anda ketahui bahwa banyak sudah pemikiran filsafat dari berbagai aliran yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Saya pun sudah mempelajari hampir semua aliran filsafat yang menjawab pertanyaan ini, dan dari sekian banyak aliran pemikiran tersebut saya akan memberikan kepada Anda satu pemikiran yang menurut saya inilah yang terbaik, dalam menjawab seputar keadilan Tuhan tersebut.
Satu hal lagi, saya sengaja menuliskan tulisan ini, sebenarnya, untuk mengajak kita semua agar tidak lagi menyalahkan Tuhan, karena sesungguhnya Tuhan itu Maha Adil. Selain itu, argumen yang biasa orang-orang kemukakan belum terasa puas bagi saya (saya tidak bermaksud menyombongkan diri, lho).
Mari kita melihat defenisi dari keadilan itu dulu. Keadilan menurut Murtadha Muthahhari–paling tidak–digunakan dalam empat hal: Pertama, seimbang. Kesimbangan yang dimaksud di sini adalah kita melihat segala sesuatu dalam neraca kebutuhan yang bersifat relatif. Mari kita ambil contoh: mobil.
Untuk menciptakan sebuah mobil maka dibutuhkan berbagai bahan-bahan yang sesuai dengan kadarnya masing-masing. Kita tidak bisa membuat sebuah mobil dengan kadar semua bahannnya itu sama, karena jika terjadi demikian maka Anda tidak akan pernah bisa membuat mobil yang sempurna. Jika saja Anda membuat sebuah mobil yang terbuat dari bahan-bahan yang kadarnya semuanya sama, maka justru Anda telah menciptakan ketidakseimbangan pada mobil tersebut. Ukuran bodi mobil tidaklah harus sama dengan ukuran pintunya, begitu juga ukuran mesinnya, apalagi ukuran setirnya.
Bisa Anda bayangkan bagaimana mengemudi sebuah mobil yang ukuran setirnya sama dengan ukuran bodinya? Jadi, kesimbangan di sini adalah penempatan segala sesuatu sesuai dengan kadarnya, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Dan alam semesta ini seimbang karena menggunakan defenisi keadilan ini. Karena jika tidak, maka alam semesta sudah lama hancur. Itulah sebabnya kita melihat segala sesuatunya di alam ini begitu indah dan proporsional. Dan, Tuhan telah menciptakan alam semesta ini dengan sangat seimbang.
Kedua, defenisi keadilan di sini adalah persamaan dan menafikan pembedaan, yaitu memandang semuanya sama tanpa melakukan pembedaan. Perlu diketahui bahwa pembedaan itu adalah membeda-bedakan antara berbagai sesuatu yang memiliki hak yang sama yang semuanya memiliki syarat-syarat yang sama. Pembedaan ini berbeda dengan perbedaan. Kalau pembedaan terjadi dari segi pemberi, dan perbedaan terjadi dari segi penerima. Kalau Anda memiliki 10 orang pekerja yang memiliki kualitas yang sama dan jam kerja yang sama serta jenis pekerjaan yang sama, maka adalah adil jika Anda memberikan persamaan pada mereka, yaitu memberikan jumlah gaji yang sama kepada mereka semua. Artinya dari sisi Anda (sang pemberi gaji), Anda tidak membeda-bedakan mereka semua karena semuanya memiliki kualitas yang sama. Jadi sekali lagi, keadilan di sini adalah memberikan persamaan tanpa melakukan pembedaan.
Lanjutan dari defenisi kedua ini kita akan sampai pada defenisi yang ketiga, memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Kembali kita menggunakan contoh di atas, jika Anda memiliki 10 orang pekerja dan masing-masing dari mereka memiliki kekhasan atau keunikan dalam bekerja, maka adalah adil jika Anda memberikan gaji sesuai dengan keunikan dan usaha yang telah mereka lakukan dan adalah tidak adil jika Anda menyamaratakan gaji mereka semua. Oleh sebab itu, untuk meraih kebahagian bagi individu-individu dalam masyarkat, penting kiranya untuk menjaga hak dan preferensi setiap individu dan juga memelihara setiap keunikan setiap individu.
Kita sekarang sampai pada defenisi yang keempat, memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi. Wah… mungkin Anda bingung dengan defenisi yang agak panjang ini. Namun perlu untuk Anda ketahui, pertanyaan-pertanyaan yang kita telah ajukan di atas berkaitan dengan penjelasan yang ada pada defenisi keempat ini. Sebelumnya kita perlu melihat–sekali lagi–antara pembedaan dan perbedaan. Pada defenisi kedua kita telah membahas dengan ringkas, maka mari kita lihat penjelasannya dengan sedikit lebih panjang.
Dalam penciptaan tidak ada pembedaan, yang ada hanyalah perbedaan. Untuk lebih jelasnya, cobalah Anda melihat contoh berikut ini: Apabila kita mengambil dua buah bejana yang masing-masing dapat memuat 10 liter air, lantas kita letakkan yang satu di bawah kran air dan kita isi dengan 10 liter air, sedangkan bejana yang lain kita letakkan di bawah kran dan kita isi dengan 5 liter air; maka inilah yang dimaksud dengan pembedaan, sebab sumber perbedaan di sini bukan dari segi daya muat bejana, melainkan dari segi si pengisi bejana.
Lain halnya jika kita memiliki dua buah bejana dan yang satu cukup untuk diisi 10 liter air, dan yang lainnya hanya dapat diisi 5 liter air, lantas masing-masing kita celupkan ke dalam laut, maka perbedaan di antara keduanya akan terus berlanjut, karena perbedaannya bersumber dari segi kemampuan masing-masing, bukan dari segi laut atau kekuatan masuknya air ke dalam bejana. Bukankah penelitian-penelitian telah membeberkan kepada kita bahwa potensi yang diberikan oleh Tuhan kepada kita semua adalah sama?
Jadi perbedaan antara yang sukses dan yang gagal itu berasal dari kita sendiri: Apakah mau memperbesar bejana kita atau hanya membiarkannya begitu saja dan berharap hal itu akan berubah? Semua hamba-Nya telah diberikan jumlah rezeki yang sama dan sangat berlimpah, hanya ada yang menampung rejeki Tuhan dengan bejana yang sangat besar, dan ada yang menampung rejeki Tuhan dengan bejana yang sangat kecil sekali.
Nah kembali pada defenisi keempat di atas, dapat kita jabarkan bahwa suatu yang eksis (meng-ada) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi olehnya. Dalam pengertian ini, keadilan Tuhan dipandang sebagai Dia tidak mengabaikan pemilikan hak dan kelayakan yang dimilki oleh sesuatu yang ada; Dia mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya.
Sampai di sini mungkin ada yang bertanya: Kalau saat ini saya miskin, maka inilah hak saya? Atau, pertanyaan-pertanyaan serupa yang berkaitan dengan keburukan, ketidakberuntungan, nasib jelek, dan kejahatan; atau kenapa yang lain sukses dan yang lainnya gagal, atau kenapa yang satu cantik dan yang lain jelek? Kenapa ada juga yang cacat? Kenapa saya tidak terlahir kaya?
Mari kita lihat kembali penjabaran dari defenisi keempat di atas. Suatu yang eksis (meng-ada) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi olehnya. Dalam pengertian ini, keadilan Tuhan dipandang sebagai Dia tidak mengabaikan pemilikan hak dan kelayakan yang dimilki oleh sesuatu yang ada; Dia mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya. Segala sesuatunya pasti memiliki kadar yang berbeda-beda. Jika segala sesuatunya itu sama, maka justru tidak lagi yang disebut sebagai manusia, tumbuhan, hewan, dan lain-lain. Segala sesuatu yang ada ketika eksis (meng-ada) telah mengambil porsi perwujudan mereka masing-masing.
Mari kita sederhanakan hal ini dengan melihat sistem angka. Anda tentu mengenal angka 1, 2, 3, dan seterusnya. Kita dapat melihat bahwa angka 1 mendahului angka 2, dan angka 2 mendahului angka 3, dan begitu seterusnya. Ini berarti bahwa setiap angka menempati urutannya masing-masing, dan pada urutan tersebut terdapat hukum dan pengaruh. Anda tidak mungkin menempatkan angka 5 di antara angka 7 dan 9, karena sesungguhnya wujud yang sesuai dengan kadarnya di antara angka 7 dan 9 adalah angka 8.
Nah, dalam setiap penciptaan alam semesta, segala sesuatunya telah menempati urutan meng-ada seperti itu; dengan kata lain Anda dan segala sesuatu yang ada telah meng-ada sesuai dengan kadar yang dimilikinya. Dan adalah suatu ketidakadilan jika Tuhan justru melanggar hal ini karena telah mencegah kelanjutan eksistensi dari sesuatu dan kemungkinan terciptanya sebuah transformasi. Dengan demikian segala sesuatunya itu–yang tercipta sesuai dengan kadarnya–adalah suatu bentuk kesempurnaan yang Tuhan berikan. Dan ini adalah prinsip dari hukum sebab-akibat, di mana setiap akibat pasti memiliki pengaruh dari sebabnya, dan setiap sebab pasti mendahului akibat. Angka 1 mendahului angka 2, dan keberadaan angka 2 terdapat hukum dan memiliki pengaruh dari angka 1. (Saya mohon Anda jangan menanyakan: Lantas apa yang menjadi penyebab dari Tuhan? Karena jawaban untuk pertanyaan ini tidak sesuai dengan maksud dari tulisan ini).
Itulah sebabnya, yang ada itu hanyalah perbedaan dan bukan pembedaan. Tuhan telah melimpahkan rahmatnya, hanya saja perbedaan itu terjadi sesuai dengan kadarnya dan urutan kepenciptaannya, yang berlandaskan pada hukum sebab-akibat (seperti analogi angka di atas). Angka 1 tentu berbeda dengan angka 2. Angka 2 tentu berbeda dengan angka 3, dan begitu seterusnya. Setiap angka telah menduduki urutan terciptanya dan telah sesuai dengan kadarnya. Setiap angka itu telah sempurna dan sesuai dengan kadarnya.
Jadi, jika Anda berharap untuk dilahirkan sebagai seseorang yang Anda anggap sempurna, maka pada hakikatnya Anda sudah tidak menjadi Anda lagi (lihat analogi penempatan angka di atas). Adalah sebuah hal keliru jika kita mencoba membandingkan antara angka 1 dan angka 2, atau membandingkan angka 2 dengan angka 3. Bagaimana pun kita membandingkan, yang ada hanyalah perbedaan; karena seperti yang telah kita singgung di atas bahwa perbedaan itu terjadi dari sisi kadar si penerima dan urutan keberadaannya.
Perbedaan tidak mengisyaratkan ketidaksempurnaan, tetapi kesempurnaan. Mengatakan yang satu tidak sempurna dibandingkan yang lain adalah suatu pemikiran yang mencoba memaksa untuk menyamakan segala sesuatunya. Dan seperti yang telah saya katakan di atas, jika segala sesuatunya itu sama, maka tidak ada lagi yang disebut sebagai manusia, tumbuhan, atau hewan, atau apapun namanya. Pada dasarnya semuanya adalah sempurna dalam kadarnya masing-masing.
Itulah sebabnya dalam defenisi keempat juga disebutkan bahwa terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi. Perbedaan itu justru mengisyaratkan kenapa ada yang disebut dengan dinamika, usaha, cinta, cumbu rayu, penderitaan, kesengsaraan, cemburu, kesuksesan, kehancuran, dan kehangatan. Jadi jika Anda protes kepada Tuhan dan berharap Tuhan menciptakan semua itu sama, maka pada dasarnya akan menyebabkan tidak adanya sesuatu yang baik dan indah, semangat dan dinamika, perjalanan dan transformasi. Karena itu, “Di pabrik cinta harus ada kekufuran,” demikian syair Hafizh.
Dengan demikian apa pun yang Anda alami adalah suatu bentuk kesempurnaan dalam kadar yang Anda miliki. Hal ini menjelaskan juga kenapa setiap orang itu tidak ada yang sama alias unik. Apapun adanya Anda sekarang dan bagaimana diri Anda sekarang adalah ciptaan Tuhan yang sempurna. Membandingkan dua hal yang berbeda adalah suatu hal yang tidak bijaksana dan sangat keliru. Kesempurnaan Anda dengan kadar Anda saat ini juga memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk melakukan sebuah transformasi dan kemungkinan eksistensi (perbaikan) yang lebih baik.
Oleh karenanya, saya ingin mengajak Anda untuk melihat contoh yang begitu menarik. Contoh ini berkisah dari seekor anjing yang saya tonton di acara Oprah. Terdapat seekor anjing yang terlahir cacat (ingat, kita menyebutnya cacat karena kita membandingkannya dengan anjing normal lainnya). Anjing ini bernama Faith dan terlahir dengan hanya memiliki dua kaki belakang. Dalam pandangan keadilan, ini adalah sebuah kesempurnaan yang sesuai dengan kadarnya. Jika Anda membandingkannya dengan anjing yang memiliki jumlah kaki empat, maka sesungguhnya Anda akan mengatakan Faith sebagai anjing yang cacat. Padahal Faith adalah anjing yang sempurna yang sesuai dengan kadarnya. Jangan membandingkan dua hal yang tidak sebanding; dua kaki dan empat kaki itu tidak sebanding.
Yang membuat saya berdecak kagum adalah, dalam kadarnya yang demikian, Faith masih bisa melakukan kemungkinan eksistensi (perbaikan diri; transformasi). Faith sekarang bisa berjalan dengan hanya menggunakan dua kakinya yang ada, padahal banyak dokter yang menyarankan untuk membunuh anjing tersebut dengan melihat kemungkinan bahwa Faith takkan bisa berjalan sama sekali. Luar biasa, bukan?
Percayalah bahwa Tuhan memberikan rahmat dan kelimpahannya yang sama kepada semua makhluk, dan Anda bisa melakukan transformasi untuk membuat bejana Anda menjadi lebih besar. Perbedaan mengisyaratkan transformasi. Sekiranya tak ada gunung, maka tak akan mungkin ada lembah dan air yang mengalir darinya. Sesuatu yang Anda anggap buruk belum tentu buruk bagi dirinya sendiri; karena–sekali lagi– embandingkan dua hal yang tidak sama adalah tidak pada tempatnya. Dan Tuhan tentu memelihara segala sesuatunya yang berada dalam kadarnya masing-masing. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak adil. Anda telah sempurna dalam posisi Anda saat ini, dan Anda bisa melakukan transformasi bagi diri Anda sendiri. Semoga bermanfaat!!![ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, publik speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com.
ENLIGHTENMENT OF SESAT MENYESAT
-
Oleh: Roni Djamaloeddin
Sesat menyesat, seolah menjadi bagian peradaban manusia. Hampir di setiap masa (zaman), tudingan "miring" ini ada. Akhir-akhir ini pun ia mencuat kembali. Misalnya tuduhan sesat yang ditujukan pada Al Qiyadah Al-Islamiyah, Al Quran Suci, maupun puluhan aliran “sesat” lainnya, hingga yang cukup memprihatinkan tudingan yang dialamatkan pada aliran Ahmadiyah (karena disertai tindakan anarkis dan perusakan).
Klaim sesat sebelumnya juga pernah diberikan pada kelompoknya Lia Aminuddin--yang mengaku menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Jauh sebelumnya ia disandangkan pada Al Hallaj--yang karena mengaku "akulah Tuhan" lantas dipenggallah kepalanya.
Kejadian serupa sebenarnya juga telah menimpa kaum muslim sepeninggal Nabi SAW. Kaum Khawarij diklaim sesat karena tidak mau taat pada pemimpinnya, yang kemudian memisahkan diri dari pasukannya Sayidina Ali (saat perang shiffin). Saling sesat menyesat juga terjadi antara Syiah-Sunni, serta masih sangat banyak lagi kasus serupa lainnya.
Yang menarik dan bertahan cukup lama adalah vonis sesat yang diberikan pada Syeh Siti Jenar--berikut ajarannya. Walau kejadiannya sudah sangat lama (beberapa abad silam), namun fenomena kesesatannya masih "abadi" sampai sekarang. Terbukti dengan banyaknya para penulis yang membahasnya menjadi buku. Puluhan buku telah lahir dengan topik yang nyaris sama.
Lebih dari itu, apa sebenarnya fenomena sesat (tersesat) itu sendiri, sehingga begitu gampang ditudingkan? Siapa yang paling berhak memutusnya? Dan bagaimana menyikapi secara arif berdasar kebijakan Tuhan?
Makna Praktis
Dalam kamus bahasa Indonesia, sesat didefinisikan tidak tahu jalan, salah jalan, keliru, berbuat tidak senonoh, berbuat buruk dan melanggar aturan kebenaran (agama, adat, dsb). Definisi ini sifatnya masih umum, karenanya perlu diperjelas agar lebih konkret.
Secara logika (perihal perjalanan), sesat (tersesat) adalah tidak sampainya sebuah perjalanan pada tujuan yang semestinya. Andai perjalanan itu menuju Roma, maka yang dikatakan sesat (tersesat) adalah bila perjalanan yang dilakukan tidak mengantar pejalannya sampai Roma. Singkatnya, selama suatu perjalanan itu tidak sampai pada tujuan yang dikehendaki, tersesat namanya.
Dari definisi praktis ini nampak jelas bila hakikat sesat (tersesat) adalah ending-nya. Bukan teori, rencana, aksi, strategi, apalagi sekadar pemikiran tentangnya. Karenanya, proses mencapainya bisa diabaikan. Yang penting akhirnya, sampai tujuan atau tidak. Walaupun jalan ke arah tujuan itu beribu-ribu banyaknya, tidak otomatis menjadikan pejalannya sampai, masih dimungkinkan tersesat.
Sebaliknya, walau jalan yang dilewati itu sama sekali baru, yang biasanya cara-cara seperti ini menurut penganut paham “konvensional-tradisional” dituding sebagai jalan (aliran pemikiran) yang sesat menyesatkan, masih dimungkinkan sampai tujuan. Misalnya pejalan yang menggunakan ilmu "menembus bumi" (miliknya Ontorejo, tokoh wayang) ataupun ilmu "panglimunan" (bisa menghilang), yang memang tidak terjangkau oleh pemikiran konvensional-tradisional, namun bisa mengantar pejalannya sampai tujuan.
Definisi dan gambaran sesat (tersesat) tersebut jelas sekali rasionalnya. Pikiran sehat dapat menangkap kebenarannya. Oleh karenanya, suatu peristiwa (perjalanan) yang mengacu sebagaimana konsep di atas, maka tudingan sesat (tersesat) memang layak bila diberikan.
Contoh sederhana tudingan sesat yang layak diberikan adalah seorang musafir yang buta (matanya) berjalan menuju Roma. Ia berangkat tanpa persiapan peta dan konsep apa-bagaimana Roma itu sebenarnya, maupun langkah yang harus diambil menuju kotanya. Ia hanya mengandalkan pemikiran dan pengalaman yang dimiliki. Ia juga "gengsi" bertanya pada siapa pun. Maka dapat dipastikan bila si musafir ini 99,99 persen akan tersesat. Tidak akan sampai Roma.
Tetapi sebaliknya, walau buta, bodoh tidak tahu apa, tidak pernah sekolah sama sekali, tapi mau mencari dan bertanya (berguru) pada yang tahu pasti tentang Roma, serta pasrah bongkokan di hadapan “guru” yang membimbing perjalanannya, tidak berselisih paham sedikit pun atas nasehat, anjuran, pitutur, maupun tuntunan yang diberikan sang pembimbing, maka dapat dipastikan bila 99,99 persen akan berhasil sampai Roma. Kemungkinan tersesatnya sangat kecil.
Namun bila si pejalan itu sehat bugar, pikirannya pun juga normal, maka tudingan sesat sama sekali tidak layak diberikan. Sebab, kemungkinan sampai tujuan sangat besar, walau tidak menutup kemungkinan bisa tersesat pula.
Itu adalah contoh yang sangat sederhana, sangat jelas, dan sangat rasional. Akal dapat menangkap secara pasti nilai kebenarannya. Akal juga dapat memprediksi seberapa besar potensi tersesat tidaknya, bila suatu perjalanan tidak berdasar teori logis-praktisnya.
Lantas, bagaimana dengan agama? Sejauh mana sesat (tersesat) dapat digambarkan secara jelas?
Tinjauan Ilmu Pengalaman
Secara sufism-experience, definisi sesat (tersesat) dalam agama tidak jauh beda dengan gambaran orang buta di atas. Hampir (mirip) sama. Cuma bedanya terletak pada objek tujuannya. Bila sesat tidaknya musafir buta objek tujuannya real (nyata, dan dapat ditangkap oleh akal pikiran), maka dalam agama objeknya imajiner-irrasional (tidak nyata dan tidak dapat ditangkap oleh akal pikiran).
Sebab objek tujuannya adalah Tuhan Sang Pencipta manusia. Ia tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran sedikit pun, tapi logika mengakui keberadaan-Nya. Irrasionalnya, keberadaan objek tujuan ini justru sangat-sangat dekat. Lebih dekat Ia dibanding urat nadi lehernya sendiri. Bahkan lebih dekat Dia dibanding napasnya sendiri. Namun, sekali lagi, kedekatan sang objek tujuan ini tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran. Tetapi dapat dijangkau oleh hati nurani--yang di dalamnya meliputi roh dan rasa (unsur dasar/utamanya manusia).
Oleh karenanya, pandangan agama (khususnya pengalaman saya), sesat (tersesat) adalah tidak bisanya manusia (yang asalnya dari Tuhan) kembali pada pencipta-Nya. Lonceng kematian sebagai pintu pulang kembali pada-Nya, tidak mengantar rohnya kembali (masuk) ke alam asalnya (alamnya Tuhan). Roh yang lepas dari jasadnya kemudian terdampar di alam lain. Masuk ke alamnya jin, demit, hantu, setan, gendruwo, memedi, pocongan, maupun “alam penasaran” lainnya (alamnya makhluk gaib diluar alamnya manusia yang tidak dapat dijangkau oleh indra, tetapi bukan alamnya Tuhan).
[Bila sementara ini ada persepsi bahwa setiap kematian “pasti” masuk (kembali) ke alamnya Tuhan, maka persepsi seperti ini bagaikan pendapatnya “suku pedalaman” (komunitas terbelakang pendidikannya) yang menganggap TV adalah sihir. Mempersepsi ilmu lain yang sama sekali belum pernah dikaji dan didalami, dari sudut pandang pengetahuan-pengalamannya sendiri. Sebuah sikap yang sama sekali tidak rasional, karena hanya didasari duga-duga, kira-kira, maupun prasangka belaka dari tempat yang jauh.]
Inilah yang dikatakan sesat (tersesat). Ia bisa menimpa siapapun tanpa memandang agama yang dianutnya. Ia bisa menimpa kelompok mana pun tanpa membedakan golongan dan jumlah pengikutnya. Ia juga tidak mempedulikan siapa imamnya, bagaimana kesaktian-kharisma-kondangnya, seberapa banyak penganutnya, seberapa banyak kitabnya, dst-dsb. Yang dilihat hanya ending-nya, kematiannya. Asal matinya tidak masuk kembali ke alamnya Tuhan, tersesat namanya.
Definisi inilah yang “pas” dengan gambaran orang buta di atas. Bila sementara ini begitu mudahnya cap/tuduhan aliran A-B-C..., ataupun bahkan agama 1-2-3... adalah agama/aliran sesat dan menyesatkan, kiranya terlalu naif-gegabah bin pongahnya pongah. Sebab Tuhan sendiri nyatanya tidak memandang jenis/nama agama yang dipeluk manusia, apalagi sekadar aliran/mazhab. Bahkan sebaliknya, semua agama--tentu saja beserta semua turunan/pecahan aliran/mazhabnya--sama di hadapan-Nya.
Sebagaimana Undang Undang Mutlak (UUM)-Nya : "Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" (QS.2:62).
Ayat ini jelas sekali bila Tuhan memang tidak memandang jenis agama yang dianut manusia, apakah agama 1-2-3...maupun agama “bumi" buatan manusianya sendiri. Dia juga tidak mencap/menuduh bila aliran A-B-C... yang ada pada masing-masing agama itu sesat menyesatkan.
Tetapi Dia hanya melihat bagaimana mereka semua merealisasikan beriman pada Diri-Nya "pas" dengan kriteria yang Dia kehendaki. Berimannya pas dengan bimbingan “maha duta” (utusan/khalifah)-Nya. Bukan beriman sebagaimana kriteria yang dibawa oleh pengajar agama dan apalagi kriteria buatan (reka-reka, ciptaan, dan serangkaian analisis) manusianya sendiri. Dan bukan pula beriman berdasar warisan pemikiran pendapat adat para nenek moyang.
Sehingga logika-implementasinya, mereka yang berimannya tidak pas menurut kriteria-Nya, itulah yang kemungkinan besar akan tersesat. Tidak bisa kembali pada-Nya. Akan mendapat azab-Nya yang luar biasa. Akan merasakan penyesalan yang hebat ketika pintu pertemuan dengan-Nya (kematian) telah terbuka. Sebab, hati nurani roh dan rasanya “buta” atas Wujud (Dzat) Tuhan yang diimani--disebabkan berimannya pada Wujud/Dzat-Nya hanya duga-duga, kira-kira, katanya-katanya, yang memang tidak pernah ditanyakan pada yang ahli tentang-Nya. Oleh karenanya, mestinya, yang paling berhak memutus sesat tidaknya suatu aliran/mazhab, bahkan agama itu sendiri hanyalah Tuhan Sang pemilik agama. Yang paling tahu benar tidaknya beriman seseorang (pada Tuhannya) juga hanya Tuhan sendiri. Manusia sangat tidak pantas memvonis agama--berikut aliran/mazhab yang ada di dalamnya--sesat menyesatkan. Manusia (sebagai makhluk-Nya) sangat tidak pantas mencampuri urusan Tuhannya. Sebab urusan mati--berikut sesat tidaknya--adalah di tangan Tuhan. Tak seorang pun tahu rahasia besar-Nya.
Namun bila di sekitar kita ada kelompok yang mencap/menuduh suatu aliran itu sesat menyesatkan, seyogianyalah diingatkan, diberi pencerahan, dan lebih mulia lagi didoakan (dimohonkan ampun disisi-Nya). Tentu saja dengan cara-cara yang sangat bijaksana. Atau paling tidak dikatakan “bagimu agama/keyakinanmu bagiku agama/keyakinanku, masing-masing diri berhak dan bertanggungjawab atas keyakinan dan amalnya sendiri-sendiri.”
Sangat tidak pantas bila lantas main hakim sendiri. Merasa paling benar di sisi-Nya. Kemudian dengan seenaknya menuduh sesat pada sesamanya. Apalagi disertai tindakan anarkis. Padahal si penuduh sendiri kemungkinan tersesat terbuka besar, sebab belum tahu pasti hakekat tersesat.
Sebuah Solusi
Karena itu, yang perlu diingat-ingat selama nyawa masih dikandung badan adalah bahwa sesat tidaknya masa depan kita nanti di sisi-Nya adalah akibat sikap dan tindakan kita sekarang. Yang akan menanggung akibatnya pun kita juga. Bukan imam/pemimpin yang kita anut ajaran-fatwanya. Bukan nenek moyang yang kita warisi pengetahuan-pemahaman-pengalamannya. Dan bukan pula mereka yang kita ikuti ajakannya bergabung aliran/mazhab--bahkan agama--yang mereka yakini. Masing-masing diri bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan (agama dan keyakinan)-nya sendiri-sendiri.
Oleh karenanya, mencari ilmu langit di atas langit “mutlak” harus dilakukan. Nabi Musa yang adalah rasul-Nya dipaksa oleh-Nya mengakui ungkapan ini--walau akhirnya gagal. Harapannya, sedikit bisa mengintip misteri yang menggelitik pikiran: “Samakah orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?”, “Apakah kamu tidak berpikir (QS. 3:65)?”, “Mengapa kamu tidak mencari ‘ilmu atas langit’ sampai ke penjuru dunia?”, “Mengapa kamu begitu linglung bin bloon dikuasai nafsu dan pikiranmu?”. [rd]
* Roni Djamaloeddin adalah seorang pendidik dan penulis. Ia dapat dihubungi di email: ronijamal@yahoo.com.
Oleh: Roni Djamaloeddin
Sesat menyesat, seolah menjadi bagian peradaban manusia. Hampir di setiap masa (zaman), tudingan "miring" ini ada. Akhir-akhir ini pun ia mencuat kembali. Misalnya tuduhan sesat yang ditujukan pada Al Qiyadah Al-Islamiyah, Al Quran Suci, maupun puluhan aliran “sesat” lainnya, hingga yang cukup memprihatinkan tudingan yang dialamatkan pada aliran Ahmadiyah (karena disertai tindakan anarkis dan perusakan).
Klaim sesat sebelumnya juga pernah diberikan pada kelompoknya Lia Aminuddin--yang mengaku menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Jauh sebelumnya ia disandangkan pada Al Hallaj--yang karena mengaku "akulah Tuhan" lantas dipenggallah kepalanya.
Kejadian serupa sebenarnya juga telah menimpa kaum muslim sepeninggal Nabi SAW. Kaum Khawarij diklaim sesat karena tidak mau taat pada pemimpinnya, yang kemudian memisahkan diri dari pasukannya Sayidina Ali (saat perang shiffin). Saling sesat menyesat juga terjadi antara Syiah-Sunni, serta masih sangat banyak lagi kasus serupa lainnya.
Yang menarik dan bertahan cukup lama adalah vonis sesat yang diberikan pada Syeh Siti Jenar--berikut ajarannya. Walau kejadiannya sudah sangat lama (beberapa abad silam), namun fenomena kesesatannya masih "abadi" sampai sekarang. Terbukti dengan banyaknya para penulis yang membahasnya menjadi buku. Puluhan buku telah lahir dengan topik yang nyaris sama.
Lebih dari itu, apa sebenarnya fenomena sesat (tersesat) itu sendiri, sehingga begitu gampang ditudingkan? Siapa yang paling berhak memutusnya? Dan bagaimana menyikapi secara arif berdasar kebijakan Tuhan?
Makna Praktis
Dalam kamus bahasa Indonesia, sesat didefinisikan tidak tahu jalan, salah jalan, keliru, berbuat tidak senonoh, berbuat buruk dan melanggar aturan kebenaran (agama, adat, dsb). Definisi ini sifatnya masih umum, karenanya perlu diperjelas agar lebih konkret.
Secara logika (perihal perjalanan), sesat (tersesat) adalah tidak sampainya sebuah perjalanan pada tujuan yang semestinya. Andai perjalanan itu menuju Roma, maka yang dikatakan sesat (tersesat) adalah bila perjalanan yang dilakukan tidak mengantar pejalannya sampai Roma. Singkatnya, selama suatu perjalanan itu tidak sampai pada tujuan yang dikehendaki, tersesat namanya.
Dari definisi praktis ini nampak jelas bila hakikat sesat (tersesat) adalah ending-nya. Bukan teori, rencana, aksi, strategi, apalagi sekadar pemikiran tentangnya. Karenanya, proses mencapainya bisa diabaikan. Yang penting akhirnya, sampai tujuan atau tidak. Walaupun jalan ke arah tujuan itu beribu-ribu banyaknya, tidak otomatis menjadikan pejalannya sampai, masih dimungkinkan tersesat.
Sebaliknya, walau jalan yang dilewati itu sama sekali baru, yang biasanya cara-cara seperti ini menurut penganut paham “konvensional-tradisional” dituding sebagai jalan (aliran pemikiran) yang sesat menyesatkan, masih dimungkinkan sampai tujuan. Misalnya pejalan yang menggunakan ilmu "menembus bumi" (miliknya Ontorejo, tokoh wayang) ataupun ilmu "panglimunan" (bisa menghilang), yang memang tidak terjangkau oleh pemikiran konvensional-tradisional, namun bisa mengantar pejalannya sampai tujuan.
Definisi dan gambaran sesat (tersesat) tersebut jelas sekali rasionalnya. Pikiran sehat dapat menangkap kebenarannya. Oleh karenanya, suatu peristiwa (perjalanan) yang mengacu sebagaimana konsep di atas, maka tudingan sesat (tersesat) memang layak bila diberikan.
Contoh sederhana tudingan sesat yang layak diberikan adalah seorang musafir yang buta (matanya) berjalan menuju Roma. Ia berangkat tanpa persiapan peta dan konsep apa-bagaimana Roma itu sebenarnya, maupun langkah yang harus diambil menuju kotanya. Ia hanya mengandalkan pemikiran dan pengalaman yang dimiliki. Ia juga "gengsi" bertanya pada siapa pun. Maka dapat dipastikan bila si musafir ini 99,99 persen akan tersesat. Tidak akan sampai Roma.
Tetapi sebaliknya, walau buta, bodoh tidak tahu apa, tidak pernah sekolah sama sekali, tapi mau mencari dan bertanya (berguru) pada yang tahu pasti tentang Roma, serta pasrah bongkokan di hadapan “guru” yang membimbing perjalanannya, tidak berselisih paham sedikit pun atas nasehat, anjuran, pitutur, maupun tuntunan yang diberikan sang pembimbing, maka dapat dipastikan bila 99,99 persen akan berhasil sampai Roma. Kemungkinan tersesatnya sangat kecil.
Namun bila si pejalan itu sehat bugar, pikirannya pun juga normal, maka tudingan sesat sama sekali tidak layak diberikan. Sebab, kemungkinan sampai tujuan sangat besar, walau tidak menutup kemungkinan bisa tersesat pula.
Itu adalah contoh yang sangat sederhana, sangat jelas, dan sangat rasional. Akal dapat menangkap secara pasti nilai kebenarannya. Akal juga dapat memprediksi seberapa besar potensi tersesat tidaknya, bila suatu perjalanan tidak berdasar teori logis-praktisnya.
Lantas, bagaimana dengan agama? Sejauh mana sesat (tersesat) dapat digambarkan secara jelas?
Tinjauan Ilmu Pengalaman
Secara sufism-experience, definisi sesat (tersesat) dalam agama tidak jauh beda dengan gambaran orang buta di atas. Hampir (mirip) sama. Cuma bedanya terletak pada objek tujuannya. Bila sesat tidaknya musafir buta objek tujuannya real (nyata, dan dapat ditangkap oleh akal pikiran), maka dalam agama objeknya imajiner-irrasional (tidak nyata dan tidak dapat ditangkap oleh akal pikiran).
Sebab objek tujuannya adalah Tuhan Sang Pencipta manusia. Ia tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran sedikit pun, tapi logika mengakui keberadaan-Nya. Irrasionalnya, keberadaan objek tujuan ini justru sangat-sangat dekat. Lebih dekat Ia dibanding urat nadi lehernya sendiri. Bahkan lebih dekat Dia dibanding napasnya sendiri. Namun, sekali lagi, kedekatan sang objek tujuan ini tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran. Tetapi dapat dijangkau oleh hati nurani--yang di dalamnya meliputi roh dan rasa (unsur dasar/utamanya manusia).
Oleh karenanya, pandangan agama (khususnya pengalaman saya), sesat (tersesat) adalah tidak bisanya manusia (yang asalnya dari Tuhan) kembali pada pencipta-Nya. Lonceng kematian sebagai pintu pulang kembali pada-Nya, tidak mengantar rohnya kembali (masuk) ke alam asalnya (alamnya Tuhan). Roh yang lepas dari jasadnya kemudian terdampar di alam lain. Masuk ke alamnya jin, demit, hantu, setan, gendruwo, memedi, pocongan, maupun “alam penasaran” lainnya (alamnya makhluk gaib diluar alamnya manusia yang tidak dapat dijangkau oleh indra, tetapi bukan alamnya Tuhan).
[Bila sementara ini ada persepsi bahwa setiap kematian “pasti” masuk (kembali) ke alamnya Tuhan, maka persepsi seperti ini bagaikan pendapatnya “suku pedalaman” (komunitas terbelakang pendidikannya) yang menganggap TV adalah sihir. Mempersepsi ilmu lain yang sama sekali belum pernah dikaji dan didalami, dari sudut pandang pengetahuan-pengalamannya sendiri. Sebuah sikap yang sama sekali tidak rasional, karena hanya didasari duga-duga, kira-kira, maupun prasangka belaka dari tempat yang jauh.]
Inilah yang dikatakan sesat (tersesat). Ia bisa menimpa siapapun tanpa memandang agama yang dianutnya. Ia bisa menimpa kelompok mana pun tanpa membedakan golongan dan jumlah pengikutnya. Ia juga tidak mempedulikan siapa imamnya, bagaimana kesaktian-kharisma-kondangnya, seberapa banyak penganutnya, seberapa banyak kitabnya, dst-dsb. Yang dilihat hanya ending-nya, kematiannya. Asal matinya tidak masuk kembali ke alamnya Tuhan, tersesat namanya.
Definisi inilah yang “pas” dengan gambaran orang buta di atas. Bila sementara ini begitu mudahnya cap/tuduhan aliran A-B-C..., ataupun bahkan agama 1-2-3... adalah agama/aliran sesat dan menyesatkan, kiranya terlalu naif-gegabah bin pongahnya pongah. Sebab Tuhan sendiri nyatanya tidak memandang jenis/nama agama yang dipeluk manusia, apalagi sekadar aliran/mazhab. Bahkan sebaliknya, semua agama--tentu saja beserta semua turunan/pecahan aliran/mazhabnya--sama di hadapan-Nya.
Sebagaimana Undang Undang Mutlak (UUM)-Nya : "Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" (QS.2:62).
Ayat ini jelas sekali bila Tuhan memang tidak memandang jenis agama yang dianut manusia, apakah agama 1-2-3...maupun agama “bumi" buatan manusianya sendiri. Dia juga tidak mencap/menuduh bila aliran A-B-C... yang ada pada masing-masing agama itu sesat menyesatkan.
Tetapi Dia hanya melihat bagaimana mereka semua merealisasikan beriman pada Diri-Nya "pas" dengan kriteria yang Dia kehendaki. Berimannya pas dengan bimbingan “maha duta” (utusan/khalifah)-Nya. Bukan beriman sebagaimana kriteria yang dibawa oleh pengajar agama dan apalagi kriteria buatan (reka-reka, ciptaan, dan serangkaian analisis) manusianya sendiri. Dan bukan pula beriman berdasar warisan pemikiran pendapat adat para nenek moyang.
Sehingga logika-implementasinya, mereka yang berimannya tidak pas menurut kriteria-Nya, itulah yang kemungkinan besar akan tersesat. Tidak bisa kembali pada-Nya. Akan mendapat azab-Nya yang luar biasa. Akan merasakan penyesalan yang hebat ketika pintu pertemuan dengan-Nya (kematian) telah terbuka. Sebab, hati nurani roh dan rasanya “buta” atas Wujud (Dzat) Tuhan yang diimani--disebabkan berimannya pada Wujud/Dzat-Nya hanya duga-duga, kira-kira, katanya-katanya, yang memang tidak pernah ditanyakan pada yang ahli tentang-Nya. Oleh karenanya, mestinya, yang paling berhak memutus sesat tidaknya suatu aliran/mazhab, bahkan agama itu sendiri hanyalah Tuhan Sang pemilik agama. Yang paling tahu benar tidaknya beriman seseorang (pada Tuhannya) juga hanya Tuhan sendiri. Manusia sangat tidak pantas memvonis agama--berikut aliran/mazhab yang ada di dalamnya--sesat menyesatkan. Manusia (sebagai makhluk-Nya) sangat tidak pantas mencampuri urusan Tuhannya. Sebab urusan mati--berikut sesat tidaknya--adalah di tangan Tuhan. Tak seorang pun tahu rahasia besar-Nya.
Namun bila di sekitar kita ada kelompok yang mencap/menuduh suatu aliran itu sesat menyesatkan, seyogianyalah diingatkan, diberi pencerahan, dan lebih mulia lagi didoakan (dimohonkan ampun disisi-Nya). Tentu saja dengan cara-cara yang sangat bijaksana. Atau paling tidak dikatakan “bagimu agama/keyakinanmu bagiku agama/keyakinanku, masing-masing diri berhak dan bertanggungjawab atas keyakinan dan amalnya sendiri-sendiri.”
Sangat tidak pantas bila lantas main hakim sendiri. Merasa paling benar di sisi-Nya. Kemudian dengan seenaknya menuduh sesat pada sesamanya. Apalagi disertai tindakan anarkis. Padahal si penuduh sendiri kemungkinan tersesat terbuka besar, sebab belum tahu pasti hakekat tersesat.
Sebuah Solusi
Karena itu, yang perlu diingat-ingat selama nyawa masih dikandung badan adalah bahwa sesat tidaknya masa depan kita nanti di sisi-Nya adalah akibat sikap dan tindakan kita sekarang. Yang akan menanggung akibatnya pun kita juga. Bukan imam/pemimpin yang kita anut ajaran-fatwanya. Bukan nenek moyang yang kita warisi pengetahuan-pemahaman-pengalamannya. Dan bukan pula mereka yang kita ikuti ajakannya bergabung aliran/mazhab--bahkan agama--yang mereka yakini. Masing-masing diri bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan (agama dan keyakinan)-nya sendiri-sendiri.
Oleh karenanya, mencari ilmu langit di atas langit “mutlak” harus dilakukan. Nabi Musa yang adalah rasul-Nya dipaksa oleh-Nya mengakui ungkapan ini--walau akhirnya gagal. Harapannya, sedikit bisa mengintip misteri yang menggelitik pikiran: “Samakah orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?”, “Apakah kamu tidak berpikir (QS. 3:65)?”, “Mengapa kamu tidak mencari ‘ilmu atas langit’ sampai ke penjuru dunia?”, “Mengapa kamu begitu linglung bin bloon dikuasai nafsu dan pikiranmu?”. [rd]
* Roni Djamaloeddin adalah seorang pendidik dan penulis. Ia dapat dihubungi di email: ronijamal@yahoo.com.
DUNIA KERJA DAN PENDIDIKAN
Oleh: Agustinus Prasetyo
Seorang teman bertanya kepada saya apakah saya mempunyai relasi yang kompeten untuk bekerja. Saya heran dan bertanya apa masalahnya. Usut punya usut ternyata teman tadi sudah berulang kali mengiklankan lowongan di kolom baris tetapi hasil yang didapat sungguh mengecawakan karena para pelamar tidak menguasai ilmu yang mereka pelajari di sekolah/perguruan tinggi. Sebagai contoh seorang lulusan akuntansi ketika ditanya apa itu neraca atau apa itu laba rugi tidak dapat memberikan jawaban yang benar . Jadi, apa yang terjadi dengan dunia pendidikan di Indonesia?
Masalah Dunia Pendidikan
Kita sepakat bahwa pendidikan adalah hal yang penting dan anak-anak pada masa sekarang jauh lebih pintar dari anak-anak pada jaman orangtuanya atau kakek/neneknya saat masih muda. Bertolak dari hal ini maka seharusnya tidak ada kesulitan bagi mahasiswa sekarang untuk menjawab pertanyaan seperti di atas.
Salah seorang praktisi dunia pendidikan yang sering mengadakan seminar mengenai dunia pendidikan mengatakan bahwa hal tersebut karena anak sejak kecil dibiasakan menghafal hal-hal yang kurang relevan/kurang terkait dengan skill of life. Akibatnya, kreativitas anak menurun drastis dan karena hal yang dihafalkan tadi kurang terkait dengan realitas (pengulangan minim sekali) maka akan terjadi moto yang salah yaitu “Banyak belajar banyak lupa”.
Menurut buku Genius Learning Strategy karya Adi W. Gunawan, ada beberapa sebab berikut ini.
Pengujian yang bertumpu pada hasil akhir
Keinginan tahu anak belum banyak dirangsang
Lingkungan belajar yang belum mendukung
a) Selama ini, di sekolah maupun dunia kerja, orang terpaku pada hasil akhir. Di sekolah nilai seorang anak ditentukan pada saat ulangan di akhir masa belajar (atau Unas) sedangkan proses belajar anak selama setahun penuh diabaikan. Demikian pula di dunia kerja yang disorot adalah hasil akhir. Contoh yang jelas adalah petinju kebanggaan Indonesia – Chris Jon. Orang sering hanya berkomentar, oh enak ya Chris Jon punya uang banyak. Namun, mereka tidak melihat bagaimana proses Chris Jon mencapai semuanya itu – bagaimana seorang anak umur enam tahun merelakan waktu bermainnya digantikan berlatih lari keliling lapangan atau meninju batang pisang.
Sebuah perjalanan panjang dimulai dari satu langkah kecil. Masalah lain yang terkait dengan pengujian bertumpu pada hasil akhir adalah orang cenderung memilih jalan yang termudah -Ã “membeli hasil akhir”. Akhirnya, sering kita baca adanya oknum yang menjual bocoran jawaban soal ujian. Juga menyebabkan bisnis les menjamur (bukan berarti penulis tidak setuju les. Namun, menurut hemat penulis ada les yang perlu dan ada yang kurang perlu).
b) Salah satu sebab mengapa anak enggan belajar karena mereka tidak tahu mengapa mereka harus belajar hal tersebut. Sebagai contoh mahasiswa akuntansi diajarkan teori mengenai buku besar dan buku pembantu di antaranya kartu piutang tapi tidak dijelaskan mengapa hal tersebut harus dibuat (sebab dianggap sudah seharusnya mengerti karena juga diajarkan mengenai sistem pengendalian intern dalam semester yang lebih tinggi). Akibatnya ketika bekerja mereka sering lupa membuatnya atau bagaimana cara membuatnya sehingga atasan mereka menjadi jengkel dan mengeluh tentang mutu lulusan sekarang.
c) Bagaimana mungkin seorang anak dapat belajar dengan baik bila atap sekolah bocor atau sekolah terendam banjir bahkan lumpur (Lapindo) ? Pada beberapa anak mungkin bisa tapi secara umum hal tersebut menghambat proses belajar mengajar di sekolah. Yang harus diingat bahwa pemeliharaan sekolah memerlukan biaya yang tidak kecil. Untuk membuat biaya pendidikan terjangkau diperlukan bantuan pemerintah atau para donatur yang lain.
Selain tiga hal tadi yang patut diperhatikan adalah kecenderungan orangtua agar anaknya mendapatkan nilai bagus. Yang patut disadari adalah nilai bagus di sekolah atau IQ yang tinggi hanya mencerminkan kecerdasan logika (dan sebagian kecerdasan bahasa) padahal menurut Howard Gardner dalam buku Multiple Intellegence ada enam kecerdasan lain yang bisa dimiliki seorang anak.
Melangkah untuk memutus lingkaran setan masalah dunia pendidikan.
Akhirnya, sering terjadi lingkaran setan–pendidikan yang baik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Padahal, hanya sedikit orang yang mampu membayarnya padahal pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia.
Salah satu hal yang sering dilupakan orang adalah orangtua adalah guru yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Hendaknya para orangtua tidak meletakkan tugas pendidikan anaknya pada sekolah yang terbatas waktu bertemunya dengan anak.
Bagaimana dengan orangtua yang sibuk? Kita hendaknya bisa membedakan antara kualitas dan kuantitas bertemu dengan anak. Ada satu hal lagi yang perlu diingat oleh para orangtua à relasi dengan anak harus berdasarkan cinta dan jangan seolah-olah sedang melakukan interogasi/checklist terhadap kegiatan anak sehari-hari. Dengan mengisi kebutuhan anak akan cinta (ada lima bahasa cinta) maka ‘daya tahan’ anak terhadap pengaruh lingkungan akan meningkat.
BE BETTER EVERYDAY.[ah]
* Agustinus Hartono adalah karyawan. Saat ini sedang belajar untuk menuliskan hikmah dari peristiwa sehari hari . Dapat dihubungi di agusprasetyo86@yahoo.com.
Oleh: Agustinus Prasetyo
Seorang teman bertanya kepada saya apakah saya mempunyai relasi yang kompeten untuk bekerja. Saya heran dan bertanya apa masalahnya. Usut punya usut ternyata teman tadi sudah berulang kali mengiklankan lowongan di kolom baris tetapi hasil yang didapat sungguh mengecawakan karena para pelamar tidak menguasai ilmu yang mereka pelajari di sekolah/perguruan tinggi. Sebagai contoh seorang lulusan akuntansi ketika ditanya apa itu neraca atau apa itu laba rugi tidak dapat memberikan jawaban yang benar . Jadi, apa yang terjadi dengan dunia pendidikan di Indonesia?
Masalah Dunia Pendidikan
Kita sepakat bahwa pendidikan adalah hal yang penting dan anak-anak pada masa sekarang jauh lebih pintar dari anak-anak pada jaman orangtuanya atau kakek/neneknya saat masih muda. Bertolak dari hal ini maka seharusnya tidak ada kesulitan bagi mahasiswa sekarang untuk menjawab pertanyaan seperti di atas.
Salah seorang praktisi dunia pendidikan yang sering mengadakan seminar mengenai dunia pendidikan mengatakan bahwa hal tersebut karena anak sejak kecil dibiasakan menghafal hal-hal yang kurang relevan/kurang terkait dengan skill of life. Akibatnya, kreativitas anak menurun drastis dan karena hal yang dihafalkan tadi kurang terkait dengan realitas (pengulangan minim sekali) maka akan terjadi moto yang salah yaitu “Banyak belajar banyak lupa”.
Menurut buku Genius Learning Strategy karya Adi W. Gunawan, ada beberapa sebab berikut ini.
Pengujian yang bertumpu pada hasil akhir
Keinginan tahu anak belum banyak dirangsang
Lingkungan belajar yang belum mendukung
a) Selama ini, di sekolah maupun dunia kerja, orang terpaku pada hasil akhir. Di sekolah nilai seorang anak ditentukan pada saat ulangan di akhir masa belajar (atau Unas) sedangkan proses belajar anak selama setahun penuh diabaikan. Demikian pula di dunia kerja yang disorot adalah hasil akhir. Contoh yang jelas adalah petinju kebanggaan Indonesia – Chris Jon. Orang sering hanya berkomentar, oh enak ya Chris Jon punya uang banyak. Namun, mereka tidak melihat bagaimana proses Chris Jon mencapai semuanya itu – bagaimana seorang anak umur enam tahun merelakan waktu bermainnya digantikan berlatih lari keliling lapangan atau meninju batang pisang.
Sebuah perjalanan panjang dimulai dari satu langkah kecil. Masalah lain yang terkait dengan pengujian bertumpu pada hasil akhir adalah orang cenderung memilih jalan yang termudah -Ã “membeli hasil akhir”. Akhirnya, sering kita baca adanya oknum yang menjual bocoran jawaban soal ujian. Juga menyebabkan bisnis les menjamur (bukan berarti penulis tidak setuju les. Namun, menurut hemat penulis ada les yang perlu dan ada yang kurang perlu).
b) Salah satu sebab mengapa anak enggan belajar karena mereka tidak tahu mengapa mereka harus belajar hal tersebut. Sebagai contoh mahasiswa akuntansi diajarkan teori mengenai buku besar dan buku pembantu di antaranya kartu piutang tapi tidak dijelaskan mengapa hal tersebut harus dibuat (sebab dianggap sudah seharusnya mengerti karena juga diajarkan mengenai sistem pengendalian intern dalam semester yang lebih tinggi). Akibatnya ketika bekerja mereka sering lupa membuatnya atau bagaimana cara membuatnya sehingga atasan mereka menjadi jengkel dan mengeluh tentang mutu lulusan sekarang.
c) Bagaimana mungkin seorang anak dapat belajar dengan baik bila atap sekolah bocor atau sekolah terendam banjir bahkan lumpur (Lapindo) ? Pada beberapa anak mungkin bisa tapi secara umum hal tersebut menghambat proses belajar mengajar di sekolah. Yang harus diingat bahwa pemeliharaan sekolah memerlukan biaya yang tidak kecil. Untuk membuat biaya pendidikan terjangkau diperlukan bantuan pemerintah atau para donatur yang lain.
Selain tiga hal tadi yang patut diperhatikan adalah kecenderungan orangtua agar anaknya mendapatkan nilai bagus. Yang patut disadari adalah nilai bagus di sekolah atau IQ yang tinggi hanya mencerminkan kecerdasan logika (dan sebagian kecerdasan bahasa) padahal menurut Howard Gardner dalam buku Multiple Intellegence ada enam kecerdasan lain yang bisa dimiliki seorang anak.
Melangkah untuk memutus lingkaran setan masalah dunia pendidikan.
Akhirnya, sering terjadi lingkaran setan–pendidikan yang baik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Padahal, hanya sedikit orang yang mampu membayarnya padahal pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia.
Salah satu hal yang sering dilupakan orang adalah orangtua adalah guru yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Hendaknya para orangtua tidak meletakkan tugas pendidikan anaknya pada sekolah yang terbatas waktu bertemunya dengan anak.
Bagaimana dengan orangtua yang sibuk? Kita hendaknya bisa membedakan antara kualitas dan kuantitas bertemu dengan anak. Ada satu hal lagi yang perlu diingat oleh para orangtua à relasi dengan anak harus berdasarkan cinta dan jangan seolah-olah sedang melakukan interogasi/checklist terhadap kegiatan anak sehari-hari. Dengan mengisi kebutuhan anak akan cinta (ada lima bahasa cinta) maka ‘daya tahan’ anak terhadap pengaruh lingkungan akan meningkat.
BE BETTER EVERYDAY.[ah]
* Agustinus Hartono adalah karyawan. Saat ini sedang belajar untuk menuliskan hikmah dari peristiwa sehari hari . Dapat dihubungi di agusprasetyo86@yahoo.com.
SEHAT JASMANI ROHANI
Oleh: Johanes Koraag
“Jadi sekarang, sesungguhnya Tuhan telah memelihara hidupku, seperti yang dijanjikan-Nya. Kini sudah empat puluh lima tahun lamanya, sejak diucapkan Tuhan firman itu kepada Musa, dan selama itu orang Israel mengembara di padang gurun. Jadi sekarang, telah berumur delapan puluh lima tahun aku hari ini; pada waktu ini aku masih sama kuat seperti pada waktu aku disuruh Musa; seperti kekuatanku pada waktu itu demikianlah kekuatanku sekarang untuk berperang dan untuk keluar masuk.”
~ Alkitab, Yosua 14:10-11
Dr. Bob Delmonteque, pelatih kesehatan fisik dan mental John Glenn (astronot pertama yang mengelilingi orbit Bumi di tahun 1960-an), masih diminta NASA untuk menjadi pelatih di tahun 1998 saat John Glenn naik orbit lagi sebagai lansia. Pada usianya yang ke 84 tahun Bob masih bertubuh seindah Ade Rai, masih lari maraton, bersepeda, dan angkat berat. Bob terkenal sebagai pelatih kebugaran nomor satu di Amerika Serikat.
Seperti halnya Kaleb pada bacaan Alkitab kita kali ini dan juga Dr. Bob Delmonteque, kita juga bisa memiliki kesehatan dan kebugaran bahkan sampai di usia senja sekalipun. Kita harus yakin bahwa adalah kehendak Tuhan bagi setiap anak-anaknya untuk hidup dalam kesehatan, baik secara roh, jiwa dan tubuhnya. (3 Yoh.1:2)
Dengan memiliki tubuh yang sehat dan bugar kita memiliki kesempatan untuk melayani Tuhan dengan lebih baik dalam jangka waktu yang lebih lama. Beberapa tahun yang lalu di Indonesia ada seorang hamba Tuhan muda yang pelayanannya disertai pengurapan Tuhan yang luar biasa, namun secara mengejutkan meninggal dunia di usia 40-an.
Berdasarkan cerita para sahabatnya, ternyata gaya hidupnya berperan besar dalam meninggalnya hamba Tuhan tersebut. Ia dikenal menyukai makanan-makanan yang “berbahaya” bagi kesehatan, misalnya daging kambing, jeroan, buah durian, dan masih banyak jenis makanan lain yang bila dikonsumsi menimbulkan masalah bagi kesehatan.
Sahabat, seperti Kaleb, kita percaya bahwa Tuhan memelihara hidup kita. Tetapi kita juga bertanggung jawab untuk memelihara tubuh ini. Karena kita tidak menganut ajaran gnostik Yunani yang berkata bahwa, “Roh yang baik terpenjara dalam tubuh yang jahat.” Roh, jiwa, dan tubuh kita semuanya diciptakan Tuhan dan semuanya “baik”, serta berguna untuk melayani Tuhan.
Menjaga kesehatan dengan hidup seimbang, makan makanan sehat, cukup istirahat, berolah raga, tetap bersukacita, dan mengucap syukur dalam segala perkara adalah kunci untuk mendapatkan kesehatan jasmani rohani. Sudahkan Anda menjalaninya?[J-Ko]
* Johanes Koraag lahir di Nganjuk, 33 tahun yang lalu. Ia adalah seorang pendeta muda yang melayani umat di daerah Banjar, Jawa Barat. Johanes gemar menulis renungan dan dapat dihubungi melalui email: jfkoraag@gmail.com
“Jadi sekarang, sesungguhnya Tuhan telah memelihara hidupku, seperti yang dijanjikan-Nya. Kini sudah empat puluh lima tahun lamanya, sejak diucapkan Tuhan firman itu kepada Musa, dan selama itu orang Israel mengembara di padang gurun. Jadi sekarang, telah berumur delapan puluh lima tahun aku hari ini; pada waktu ini aku masih sama kuat seperti pada waktu aku disuruh Musa; seperti kekuatanku pada waktu itu demikianlah kekuatanku sekarang untuk berperang dan untuk keluar masuk.”
~ Alkitab, Yosua 14:10-11
Dr. Bob Delmonteque, pelatih kesehatan fisik dan mental John Glenn (astronot pertama yang mengelilingi orbit Bumi di tahun 1960-an), masih diminta NASA untuk menjadi pelatih di tahun 1998 saat John Glenn naik orbit lagi sebagai lansia. Pada usianya yang ke 84 tahun Bob masih bertubuh seindah Ade Rai, masih lari maraton, bersepeda, dan angkat berat. Bob terkenal sebagai pelatih kebugaran nomor satu di Amerika Serikat.
Seperti halnya Kaleb pada bacaan Alkitab kita kali ini dan juga Dr. Bob Delmonteque, kita juga bisa memiliki kesehatan dan kebugaran bahkan sampai di usia senja sekalipun. Kita harus yakin bahwa adalah kehendak Tuhan bagi setiap anak-anaknya untuk hidup dalam kesehatan, baik secara roh, jiwa dan tubuhnya. (3 Yoh.1:2)
Dengan memiliki tubuh yang sehat dan bugar kita memiliki kesempatan untuk melayani Tuhan dengan lebih baik dalam jangka waktu yang lebih lama. Beberapa tahun yang lalu di Indonesia ada seorang hamba Tuhan muda yang pelayanannya disertai pengurapan Tuhan yang luar biasa, namun secara mengejutkan meninggal dunia di usia 40-an.
Berdasarkan cerita para sahabatnya, ternyata gaya hidupnya berperan besar dalam meninggalnya hamba Tuhan tersebut. Ia dikenal menyukai makanan-makanan yang “berbahaya” bagi kesehatan, misalnya daging kambing, jeroan, buah durian, dan masih banyak jenis makanan lain yang bila dikonsumsi menimbulkan masalah bagi kesehatan.
Sahabat, seperti Kaleb, kita percaya bahwa Tuhan memelihara hidup kita. Tetapi kita juga bertanggung jawab untuk memelihara tubuh ini. Karena kita tidak menganut ajaran gnostik Yunani yang berkata bahwa, “Roh yang baik terpenjara dalam tubuh yang jahat.” Roh, jiwa, dan tubuh kita semuanya diciptakan Tuhan dan semuanya “baik”, serta berguna untuk melayani Tuhan.
Menjaga kesehatan dengan hidup seimbang, makan makanan sehat, cukup istirahat, berolah raga, tetap bersukacita, dan mengucap syukur dalam segala perkara adalah kunci untuk mendapatkan kesehatan jasmani rohani. Sudahkan Anda menjalaninya?[J-Ko]
* Johanes Koraag lahir di Nganjuk, 33 tahun yang lalu. Ia adalah seorang pendeta muda yang melayani umat di daerah Banjar, Jawa Barat. Johanes gemar menulis renungan dan dapat dihubungi melalui email: jfkoraag@gmail.com
MENYEKOLAHKAN ANAK KE LUAR NEGERI
Oleh: Saumiman Saud
Tidak ada orangtua yang membiarkan anak-anaknya terlantar, oleh sebab itu mereka berjuang kerja mati-matian demi anak-anaknya supaya kelak “menjadi orang” . Nah, untuk menjadikan anaknya “menjadi orang” ini maka mereka perlu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang bagus dan bermutu. Bagi orangtua yang mampu maka mereka tidak segan-segan menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya mahal, asalkan mereka kelak menjadi anak yang pintar dan berhasil.
Untuk mengimbangi tren ini, maka tidak jarang para pakar sekolah membuka sekolah yang pengajarannya setara dengan sekolah luar negeri, misalnya program Singapura atau internasional. Upaya ini sejak dini sudah dilakukan oleh para orangtua. Anak-anak mereka sudah belajar bahasa Inggris sejak kecil, bahkan ada les privat untuk mata pelajaran tertentu. Dengan demikian apabila suatu hari mereka hendak mengirimkan anak-anaknya ke luar negeri, mereka sudah tidak merasa canggung lagi. Atau, mereka yang berkecimpung di sekolah menawarkan sekolah yang berlabel “plus” atau “bilingual”, artinya sajian pengajarannya bakal melebihi kurikulum sekolah biasa.
Ketika Amerika Serikat sulit menjadi pilihan utama, karena mungkin ada satu masa proses visa masuk agak diperketat, maka sebagian orangtua beralih mengirimkan anak-anak mereka ke Malaysia, Australia, Kanada, dan Singapura. Belakangan karena melihat majunya RRC, dan bahasa Mandarin tidak kalah penting di dunia Internasional, maka tidak jarang pula orangtua menyekolahkan anak-anaknya di sana . Saya yakin semua itu diawali dengan satu tujuan utama supaya masa depan anak-anak lebih baik.
Kita coba memperkecil fokus artikel ini. Kebetulan saya tinggal di Amerika Serikat dan banyak bergaul dengan mahasiswa dari Indonesia. Sekolah di luar negeri bukan suatu alternatif yang buruk, namun itu akan menjadi sisi buruk bila sang anak belum siap dilepaskan begitu saja. Ada beberapa hal yang menurut pengamatan saya menjadi masalah, tatkala seorang anak itu sekolah di luar negeri.
1. Adaptasi
Kondisi Amerika Serikat jelas berbeda dengan kampung halaman kita. Di sini kehidupan lebih bersifat sangat individualis, walaupun sesungguhnya di Indonesia sebagian mereka yang tinggal di komplek perumahan baru juga sudah mulai mengadopsi sifat ini. Lingkungan yang tidak mau tahu satu dengan yang lain itu menyebabkan orang-orang dapat melakukan apa saja. Kalau di Indonesia atau Asia, berciuman antara laki dan perempuan masih tabu dipertontonkan (sehingga bisa berurusan dengan hansip). Namun di sini tidak. Anda dapat melihat pemandangan seperti ini mulai di restoran, lapangan parkir, hingga di persimpangan lampu merah. Nah, kalau kondisi seperti ini diadaptasi tanpa adanya seleksi dan pengontrolan diri, tentu akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Selain itu cara berpakaian juga merupakan tantangan tersendiri, khususnya kaum wanita, dari mulai baju you can see hingga yang all you can see. Belum lagi kebiasaan merokok merajarela juga bagi kaum hawa, sehingga tidak jarang para gadis remaja terlibat akan hal merokok. Tato di dalam tubuh yang dipertontonkan mulai dari kaki, lengan, bawah pusar, pantat hingga, maaf, buah dada mereka. Keadaan seperti ini yang masih terasa sangat sulit diterima oleh kita yang lahir di Indonesia. Makanya, jika pergaulan anak-anak kita tidak ada rambu-rambunya sejak kecil, tentu mereka akan mudah terjerumus ke dalam kondisi yang demikian. Tidak heran bila suatu hari anak Anda yang putra tatkala pulang liburan di Indonesia terlihat tubuhnya bertato di sana-sini, rambut gondrong warna pirang, kadang ada yang gundul, dan telinganya penuh anting-anting. Inilah akibat dari mereka mengadaptasi dan mengadopsi apa saja dalam hidupnya tanpa seleksi.
2. Moralitas
Luar negeri tidak menjanjikan akan hidup yang lebih bermoral, sopan, dan setia bergama, kalau sang anak sendiri tidak berkeinginan untuk berkumpul atau bergaul dalam komunitas dan lingkungan yang baik. Terlalu bebas merupakan gambaran dan keadaan di mana seorang anak sangat mudah terpengaruh dan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan keagamaan. Apalagi pada zaman ini teknologi internet yang juga turut menawarkan pemandangan dan gambar-gambar yang seronok yang dapat memicuh nafsu anak-anak muda.
Banyak mahasiswa yang karena hendak menghemat biaya maka tidak jarang mereka yang lawan jenis tinggal dalam satu apartemen. Dalam kondisi tidak ada yang melarang dan hidup bebas merdeka ini tentu sangat terbuka bagi kedua lawan jenis tadi melakukan tindakan yang amoral. Walaupun sesungguhnya mungkin mereka sejak di kampung halaman sudah dipersiapkan dengan berbagai pengajaran agama, tetapi godaan itu lebih kuat, dan manusia itu ternyata sangat lemah. Oleh karenanya, hal tersebut merupakan satu pergumulan dan tantangan yang cukup berat bagi seorang anak yang sedang belajar di negeri orang.
3. Hidup Mandiri
Hidup mandiri merupakan pokok soal penting bagi seorang anak yang tinggal seorang diri di luar negeri. Pada saat mereka masih berada di Singapura karena masih dekat dengan Indonesia, maka mungkin para orangtua masih dapat mengirim pembantu dari Indonesia secara khusus melayani sang anak. Namun pada saat posisi mereka sudah di Amerika, maka mau tidak mau mereka harus melakukan segala pekerjaan sehari-harinya sendiri.
Mulai dari masalah dapur, ia harus masak nasi, sayur-mayur, dan semuanya sendiri. Lalu membersihkan kamar mandi, kamar tidur, cuci piring, dan pakaian. Bagi anak-anak sekolah yang tidak biasa melakukan itu maka tidak mengherankan tatkala Anda berkunjung ke tempat tinggal mereka kebanyakan barang berantakan dan berserakan. Anda tentu kaget bila saya katakan pada Anda bahwa di dalam apartemen yang cukup mewah dan mahal di Amerika Serikat, namun oleh karena kurang terawat maka ada ulat-ulat muncul juga di dapur.
Hidup mandiri juga memerlukan penguasaan dan disiplin diri, sebab tidak tanggung-tanggung waktu sang anak akan habis begitu saja. Berbagai kegiatan dan permainan, internet dan games sudah merupakan barang yang tidak asing lagi mereka. Oleh sebab itu, kadang kala mereka dapat memainkannya berjam-jam hingga larut malam bahkan hingga pagi hari. Makanya, tidak jarang kita temui banyak anak yang kerjanya hanya menghabiskan uang orangtuanya di sini, berfoya-foya dengan mobil mewah, namun sekolahnya tidak pernah selesai.
Kartu kredit begitu gampang digesek, habis bulan tinggal minta orangtua transfer uang. Bagi orangtua yang sibuk dan tidak jeli acap kali hal ini dipergunakan oleh anak yang tidak bertanggung-jawab. Oleh karena itu, sikap mandiri juga harus dibarengi dengan sikap yang dewasa. Dengan sikap kekanak-kanakan terus maka seorang anak yang sedang sekolah di luar negeri itu akan mengalami kesulitan untuk maju.
4. Tekad Bulat
Tekad bulat ini tidak kalah pentingnya. Sebab, tatkala mereka yang mengandalkan kekayaan orangtua sekolah di sini, kadang belajarnya santai-santai saja. Namun tidak jarang penulis menemukan anak-anak Indonesia yang bertekad belajar, akhirnya menimba hasil yang memuaskan. Tekad belajar yang bulat kadang harus juga dibarengi dengan separuh bekerja, namun mereka tetap dapat mencapai hasil yang dibanggakan. Beberapa orang Indonesia cukup berhasil di sini, mereka menjadi dosen di universitas terkenal dan menjadi pengusaha besar.
Penulis pernah bertemu dengan anak-anak yang sudah disekolahkan oleh orangtua di sini, lalu karena sang anak tidak belajar dengan baik-baik, hanya menghambur-hamburkan uang orangtuanya saja, mengendarai mobil mewah, tinggal di apartemen yang mahal, dan berfoya-foya. Maka hasilnya adalah dia harus kembali ke negeri asal tanpa meraih gelar, gelarnya hanya mantan mahasiswa di luar negeri. Oleh sebab itu tekad bulat itu sangat penting di sini. Atau alternatif lain, supaya tidak malu pada tetangga dan sanak famili maka dengan terpaksa pindah ke sekolah pinggiran yang tidak terkenal kemudian lulus dan pulang ke Indonesia, yang penting tamatan luar negeri.
Lalu sekarang bagaimana supaya sukses sekolah di luar negeri?
Tidak banyak tip yang bisa diberikan, namun dari pengalaman beberapa orang yang pernah saya amati di sini adalah mereka bersandar penuh pada Tuhan dan tekad bulat belajar adalah kunci utama. Tanpa itu jangan berharap akan berhasil. Godaan dan cobaan bertubi-tubi, tidak jarang anak yang baik sewaktu di Indonesia dapat terpengaruh buruk di sini dan terjadi perubahan total dalam hidupnya.
Selain itu, perlu hati-hati dengan pergaulan. Sebab, tidak jarang pergaulan bebas begitu mengikat dan menggoda seseorang untuk tidak belajar. Itu sebabnya di mana-mana carilah teman yang rajin belajar; hindari atau kurangi bergaul dengan mereka yang kerjanya main, nonton, dan yang berfoya-foya.
Bagi mereka yang baru mulai kuliah lalu terlibat dalam berpacaran, hal ini juga dapat menyita waktu untuk belajar. Memang tidak semua mereka yang berpacaran secara otomatis mendapat nilai-nilai ujiannya jelek. Namun ada bukti nyata bahwa kebanyakan mereka yang kuliah sambil berpacaran akan terpecah konsentrasinya. Prestasinya kebanyakan lebih rendah dari yang lain.
Oleh sebab itu, sebagai orangtua pantauan dari jarak jauh sedikit ada gunanya ketimbang tidak sama sekali. Walaupun kemungkinan besar sang anak dengan berbagai tipu daya dapat mengelabui Anda, namun paling sedikit ada upaya untuk memantau anak Anda. zaman sekarang kita dapat memantau anak dengan SMS, melalui telepon gengam, atau melalui chating di internet. Dengan cara demikian diharapkan paling sedikit dapat membantu agar sang anak tetap mengingat tujuan utamanya dikirim ke negeri orang yakni melanjutkan sekolah, bukan dengan tujuan lain. Jika nantinya dia akan bekerja di negeri ini tentu harus ditempuh setelah tamat kuliahnya.
Inilah sedikit cuplikan singkat tentang anak sekolah di luar negeri, kiranya dapat bermanfaat bagi para orangtua dan anak-anaknya. Kesuksesan tidak dapat diraih tanpa adanya pengorbanan dan tekad bulat. Berfoya-foya dan hidup santai sudah pasti mendatangkan kegagalan. Selamat berjuang, sekolah yang giat, semoga berhasil sukses, dan Tuhan memberkati.[sas]
* Saumiman Saud adalah rohaniwan, penulis buku, dan pemerhati yang saat ini berdomisili di San Jose, California, USA. Ia dapat dihubungi via email saumiman@gmail.com.
Tidak ada orangtua yang membiarkan anak-anaknya terlantar, oleh sebab itu mereka berjuang kerja mati-matian demi anak-anaknya supaya kelak “menjadi orang” . Nah, untuk menjadikan anaknya “menjadi orang” ini maka mereka perlu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang bagus dan bermutu. Bagi orangtua yang mampu maka mereka tidak segan-segan menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya mahal, asalkan mereka kelak menjadi anak yang pintar dan berhasil.
Untuk mengimbangi tren ini, maka tidak jarang para pakar sekolah membuka sekolah yang pengajarannya setara dengan sekolah luar negeri, misalnya program Singapura atau internasional. Upaya ini sejak dini sudah dilakukan oleh para orangtua. Anak-anak mereka sudah belajar bahasa Inggris sejak kecil, bahkan ada les privat untuk mata pelajaran tertentu. Dengan demikian apabila suatu hari mereka hendak mengirimkan anak-anaknya ke luar negeri, mereka sudah tidak merasa canggung lagi. Atau, mereka yang berkecimpung di sekolah menawarkan sekolah yang berlabel “plus” atau “bilingual”, artinya sajian pengajarannya bakal melebihi kurikulum sekolah biasa.
Ketika Amerika Serikat sulit menjadi pilihan utama, karena mungkin ada satu masa proses visa masuk agak diperketat, maka sebagian orangtua beralih mengirimkan anak-anak mereka ke Malaysia, Australia, Kanada, dan Singapura. Belakangan karena melihat majunya RRC, dan bahasa Mandarin tidak kalah penting di dunia Internasional, maka tidak jarang pula orangtua menyekolahkan anak-anaknya di sana . Saya yakin semua itu diawali dengan satu tujuan utama supaya masa depan anak-anak lebih baik.
Kita coba memperkecil fokus artikel ini. Kebetulan saya tinggal di Amerika Serikat dan banyak bergaul dengan mahasiswa dari Indonesia. Sekolah di luar negeri bukan suatu alternatif yang buruk, namun itu akan menjadi sisi buruk bila sang anak belum siap dilepaskan begitu saja. Ada beberapa hal yang menurut pengamatan saya menjadi masalah, tatkala seorang anak itu sekolah di luar negeri.
1. Adaptasi
Kondisi Amerika Serikat jelas berbeda dengan kampung halaman kita. Di sini kehidupan lebih bersifat sangat individualis, walaupun sesungguhnya di Indonesia sebagian mereka yang tinggal di komplek perumahan baru juga sudah mulai mengadopsi sifat ini. Lingkungan yang tidak mau tahu satu dengan yang lain itu menyebabkan orang-orang dapat melakukan apa saja. Kalau di Indonesia atau Asia, berciuman antara laki dan perempuan masih tabu dipertontonkan (sehingga bisa berurusan dengan hansip). Namun di sini tidak. Anda dapat melihat pemandangan seperti ini mulai di restoran, lapangan parkir, hingga di persimpangan lampu merah. Nah, kalau kondisi seperti ini diadaptasi tanpa adanya seleksi dan pengontrolan diri, tentu akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Selain itu cara berpakaian juga merupakan tantangan tersendiri, khususnya kaum wanita, dari mulai baju you can see hingga yang all you can see. Belum lagi kebiasaan merokok merajarela juga bagi kaum hawa, sehingga tidak jarang para gadis remaja terlibat akan hal merokok. Tato di dalam tubuh yang dipertontonkan mulai dari kaki, lengan, bawah pusar, pantat hingga, maaf, buah dada mereka. Keadaan seperti ini yang masih terasa sangat sulit diterima oleh kita yang lahir di Indonesia. Makanya, jika pergaulan anak-anak kita tidak ada rambu-rambunya sejak kecil, tentu mereka akan mudah terjerumus ke dalam kondisi yang demikian. Tidak heran bila suatu hari anak Anda yang putra tatkala pulang liburan di Indonesia terlihat tubuhnya bertato di sana-sini, rambut gondrong warna pirang, kadang ada yang gundul, dan telinganya penuh anting-anting. Inilah akibat dari mereka mengadaptasi dan mengadopsi apa saja dalam hidupnya tanpa seleksi.
2. Moralitas
Luar negeri tidak menjanjikan akan hidup yang lebih bermoral, sopan, dan setia bergama, kalau sang anak sendiri tidak berkeinginan untuk berkumpul atau bergaul dalam komunitas dan lingkungan yang baik. Terlalu bebas merupakan gambaran dan keadaan di mana seorang anak sangat mudah terpengaruh dan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan keagamaan. Apalagi pada zaman ini teknologi internet yang juga turut menawarkan pemandangan dan gambar-gambar yang seronok yang dapat memicuh nafsu anak-anak muda.
Banyak mahasiswa yang karena hendak menghemat biaya maka tidak jarang mereka yang lawan jenis tinggal dalam satu apartemen. Dalam kondisi tidak ada yang melarang dan hidup bebas merdeka ini tentu sangat terbuka bagi kedua lawan jenis tadi melakukan tindakan yang amoral. Walaupun sesungguhnya mungkin mereka sejak di kampung halaman sudah dipersiapkan dengan berbagai pengajaran agama, tetapi godaan itu lebih kuat, dan manusia itu ternyata sangat lemah. Oleh karenanya, hal tersebut merupakan satu pergumulan dan tantangan yang cukup berat bagi seorang anak yang sedang belajar di negeri orang.
3. Hidup Mandiri
Hidup mandiri merupakan pokok soal penting bagi seorang anak yang tinggal seorang diri di luar negeri. Pada saat mereka masih berada di Singapura karena masih dekat dengan Indonesia, maka mungkin para orangtua masih dapat mengirim pembantu dari Indonesia secara khusus melayani sang anak. Namun pada saat posisi mereka sudah di Amerika, maka mau tidak mau mereka harus melakukan segala pekerjaan sehari-harinya sendiri.
Mulai dari masalah dapur, ia harus masak nasi, sayur-mayur, dan semuanya sendiri. Lalu membersihkan kamar mandi, kamar tidur, cuci piring, dan pakaian. Bagi anak-anak sekolah yang tidak biasa melakukan itu maka tidak mengherankan tatkala Anda berkunjung ke tempat tinggal mereka kebanyakan barang berantakan dan berserakan. Anda tentu kaget bila saya katakan pada Anda bahwa di dalam apartemen yang cukup mewah dan mahal di Amerika Serikat, namun oleh karena kurang terawat maka ada ulat-ulat muncul juga di dapur.
Hidup mandiri juga memerlukan penguasaan dan disiplin diri, sebab tidak tanggung-tanggung waktu sang anak akan habis begitu saja. Berbagai kegiatan dan permainan, internet dan games sudah merupakan barang yang tidak asing lagi mereka. Oleh sebab itu, kadang kala mereka dapat memainkannya berjam-jam hingga larut malam bahkan hingga pagi hari. Makanya, tidak jarang kita temui banyak anak yang kerjanya hanya menghabiskan uang orangtuanya di sini, berfoya-foya dengan mobil mewah, namun sekolahnya tidak pernah selesai.
Kartu kredit begitu gampang digesek, habis bulan tinggal minta orangtua transfer uang. Bagi orangtua yang sibuk dan tidak jeli acap kali hal ini dipergunakan oleh anak yang tidak bertanggung-jawab. Oleh karena itu, sikap mandiri juga harus dibarengi dengan sikap yang dewasa. Dengan sikap kekanak-kanakan terus maka seorang anak yang sedang sekolah di luar negeri itu akan mengalami kesulitan untuk maju.
4. Tekad Bulat
Tekad bulat ini tidak kalah pentingnya. Sebab, tatkala mereka yang mengandalkan kekayaan orangtua sekolah di sini, kadang belajarnya santai-santai saja. Namun tidak jarang penulis menemukan anak-anak Indonesia yang bertekad belajar, akhirnya menimba hasil yang memuaskan. Tekad belajar yang bulat kadang harus juga dibarengi dengan separuh bekerja, namun mereka tetap dapat mencapai hasil yang dibanggakan. Beberapa orang Indonesia cukup berhasil di sini, mereka menjadi dosen di universitas terkenal dan menjadi pengusaha besar.
Penulis pernah bertemu dengan anak-anak yang sudah disekolahkan oleh orangtua di sini, lalu karena sang anak tidak belajar dengan baik-baik, hanya menghambur-hamburkan uang orangtuanya saja, mengendarai mobil mewah, tinggal di apartemen yang mahal, dan berfoya-foya. Maka hasilnya adalah dia harus kembali ke negeri asal tanpa meraih gelar, gelarnya hanya mantan mahasiswa di luar negeri. Oleh sebab itu tekad bulat itu sangat penting di sini. Atau alternatif lain, supaya tidak malu pada tetangga dan sanak famili maka dengan terpaksa pindah ke sekolah pinggiran yang tidak terkenal kemudian lulus dan pulang ke Indonesia, yang penting tamatan luar negeri.
Lalu sekarang bagaimana supaya sukses sekolah di luar negeri?
Tidak banyak tip yang bisa diberikan, namun dari pengalaman beberapa orang yang pernah saya amati di sini adalah mereka bersandar penuh pada Tuhan dan tekad bulat belajar adalah kunci utama. Tanpa itu jangan berharap akan berhasil. Godaan dan cobaan bertubi-tubi, tidak jarang anak yang baik sewaktu di Indonesia dapat terpengaruh buruk di sini dan terjadi perubahan total dalam hidupnya.
Selain itu, perlu hati-hati dengan pergaulan. Sebab, tidak jarang pergaulan bebas begitu mengikat dan menggoda seseorang untuk tidak belajar. Itu sebabnya di mana-mana carilah teman yang rajin belajar; hindari atau kurangi bergaul dengan mereka yang kerjanya main, nonton, dan yang berfoya-foya.
Bagi mereka yang baru mulai kuliah lalu terlibat dalam berpacaran, hal ini juga dapat menyita waktu untuk belajar. Memang tidak semua mereka yang berpacaran secara otomatis mendapat nilai-nilai ujiannya jelek. Namun ada bukti nyata bahwa kebanyakan mereka yang kuliah sambil berpacaran akan terpecah konsentrasinya. Prestasinya kebanyakan lebih rendah dari yang lain.
Oleh sebab itu, sebagai orangtua pantauan dari jarak jauh sedikit ada gunanya ketimbang tidak sama sekali. Walaupun kemungkinan besar sang anak dengan berbagai tipu daya dapat mengelabui Anda, namun paling sedikit ada upaya untuk memantau anak Anda. zaman sekarang kita dapat memantau anak dengan SMS, melalui telepon gengam, atau melalui chating di internet. Dengan cara demikian diharapkan paling sedikit dapat membantu agar sang anak tetap mengingat tujuan utamanya dikirim ke negeri orang yakni melanjutkan sekolah, bukan dengan tujuan lain. Jika nantinya dia akan bekerja di negeri ini tentu harus ditempuh setelah tamat kuliahnya.
Inilah sedikit cuplikan singkat tentang anak sekolah di luar negeri, kiranya dapat bermanfaat bagi para orangtua dan anak-anaknya. Kesuksesan tidak dapat diraih tanpa adanya pengorbanan dan tekad bulat. Berfoya-foya dan hidup santai sudah pasti mendatangkan kegagalan. Selamat berjuang, sekolah yang giat, semoga berhasil sukses, dan Tuhan memberkati.[sas]
* Saumiman Saud adalah rohaniwan, penulis buku, dan pemerhati yang saat ini berdomisili di San Jose, California, USA. Ia dapat dihubungi via email saumiman@gmail.com.
ONE EMPLOYEE ONE BLOG: SEBUAH PENGANTAR
- Oleh: Adjie
Seorang manajer memerhatikan dengan saksama ke arah anak buahnya, seorang wanita muda yang asyik di depan layar komputernya. Tak tahu sudah berapa lama sang manajer menatap tajam seperti itu. Yang pasti, pada akhirnya si anak buahnya lama kelamaan sadar, dan pertanyaan tajam terarah padanya.
“Lagi ngapain, lu?” tanya manajer tanpa basa-basi. Maklum saja, usia atasan dan bawahan mungkin tak beda jauh. Mereka sama-sama anak generasi MTV yang muda, dinamis, ceplas-ceplos, dan kadang terkesan melupakan tata krama.
Mendengar pertanyaan itu, si anak buah sempat terkejut. Untungnya dia punya jawaban tangkas.
“Gue lagi nulis di blog gue,” jawabnya tak kalah ringan.
Mendengar penuturan kisah di atas, saya terbahak-bahak. Selalu menggembirakan mendengar kisah-kisah segar dan otentik semacam itu. Dan inilah salah satu hiburannya saat Anda bekerja di lingkungan kerja yang dipenuhi anak-anak muda. Anda akan disuguhi kesegaran respon dan cara pandang yang kadang bisa amat mengejutkan.
“Gile juga, lu ya,” komentar saya pendek di tengah percakapan kami.
“Habis mau apa lagi, Pak? Emang saya lagi asyik ngisi blog saya, kok,” si wanita masih dengan semangat empat limanya berujar pada saya.
Ya, saya mengerti maksudnya, namun saya masih menunggu jawaban cerdasnya yang lain.
“Saya juga bilang sih, dari pada ngegosip mendingan gue nge-blog, kan?” kali ini jawaban yang saya tunggu itu muncul juga.
Saya makin terbahak.
“Benar kan, Pak? Dari pada saya pusing dan stres, terus ngegosip sana-sini, mendingan saya nge-blog?” tuntas sudah penjelasannya. Argumennya tak hanya taktis, namun juga cerdas. Lalu saya membayangkan bagaimana respon dari atasannya saat mendengar jawaban anak buah yang seperti itu. Pasti tidak semua atasan suka mendengar jawaban anak buah macam ini. Tak sedikit yang bisa marah melihat anak buah yang tampak asyik di depan layar komputer, namun sibuk untuk kepentingan pribadi. Untungnya si wanita tadi, kawan saya ini, melakukan aktivitas blogging-nya usai jam kantor. Paling tidak, ia punya alasan untuk itu. Sebagian dari Anda mungkin berpikir bahwa si wanita di atas tidak terlalu merugikan kantor, walau Anda juga bisa setuju bahwa menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi tentu bukan pilihan yang terlalu bijak.
Saya pun punya pendapat sendiri atas soal pemanfaatan fasilitas kantor seperti di atas. Namun bagian ini tak hendak saya gunakan untuk menggali soal pemanfaatan fasilitas. Saya justru hendak mendalami perkara blogging dalam dunia kerja. Untuk mengarahkan pembahasan ini, saya akan coba pagari tulisan kali ini dengan pertanyaan sederhana: Sejauh manakah manfaat blogging bagi karyawan?
Sebelum membahas lebih jauh, pertama saya hendak menempatkan aktivitas blogging, aktivitas nge-blog ini setara dengan aktivitas journal writing, membuat catatan tentang kegiatan, tindakan, perasaan, dan pemikiran kita dalam lembar journal atau diary. Dalam hal ini blogging adalah versi digital dari diary atau journal.
Manfaat Blogging
Sepanjang pengalaman saya sebagai blogger, ada banyak manfaat yang saya dapat dari aktivitas blogging ini. Beranjak dari pengalaman itulah saya kemudian sering kali mengampanyekan dan mendorong kawan-kawan lain untuk juga mulai bermain-main dengan dunia blogging.
Secara teratur mengisi blog membantu saya menuangkan banyak hal. Khusus tentang dunia kerja, saya berkesempatan merekam banyak kejadian yang menurut saya menarik dan meaningful. Kejadian-kejadian bermakna itulah yang kemudian saya rekam dan komentari. Melihat kelucuan, kekonyolan, dan kebodohan yang terjadi di lingkungan kerja sungguh jadi pengalaman mengesankan. Saya bisa belajar banyak dan menarik hikmah yang ada.
Melihat bawahan yang sibuk menuntut dan seakan tak mau tahu, saya jadi makin sadar bahwa mereka tak selamanya salah. Mereka memang memiliki wawasan dan akses informasi yang sering kali terbatas. Jadi, wajar saja jika mereka jadi seakan buta.
Lalu mendengarkan argumen petinggi perusahaan, saya pun coba mengasah empati dan bijak. Terhadap soal bawahan yang dirasakan banyak menuntut, banyak atasan yang menuding bahwa mereka tak tahu diri. Soal akses informasi, petinggi perusahaan punya argumen bahwa mereka juga sudah menyediakan forum komunikasi.
“Tapi faktanya mereka yang tak pernah mau datang ke forum itu? Jadi kami mesti bagaimana lagi?” begitu ungkapan kekesalan di tingkat tinggi.
Pernah pada satu kesempatan saat bekerja di sebuah perusahaan, saya coba menggali apa yang sesungguhnya terjadi. Bawahan mengeluh tak ada akses informasi, sementara atasan marah karena merasa bawahan lah yang tak memanfaatkan kesempatan yang ada.
“Percuma aja Pak kami datang. Kalau kami mengajukan pertanyaan di forum macam itu, kami bisa kena black list. Katanya terbuka dan bebas, tapi faktanya pernah ada karyawan dipecat tak lama setelah ia mengkritisi pimpinan dalam forum itu. Kami kan nggak mau konyol dan dipecat juga Pak,” mereka mengungkap keluhan.
Saya mengangguk, diam, dan berpikir panjang. Ketika kejadian macam itu saya catat dalam lembar blog saya, saya bisa belajar melihat banyak hal dari berbagai sudut pandang. Ketika saya mengungkap posisi saya di tengah situasi seperti di atas, maka saya jadi makin mengenali prinsip dan nilai-nilai yang saya anut. Pemahaman diri saya bertambah. Pengenalan diri atas pola tingkah laku, pemikiran dan sikap saya juga membaik. Pendek kata, ada kesadaran diri yang meninggi. Dan ini baik buat saya.
Jika semakin banyak karyawan yang semakin mampu mengenali diri mereka maka ini jadi kabar baik tentang seberapa jauh manfaat blogging bagi karyawan. Pemahaman diri adalah salah satu kunci dalam pengelolaan diri (self management). Sekadar penegasan, self management adalah kunci awal efektivitas pribadi. Self management akan jadi bekal sebelum masuk ke soal people management. Orang yang mampu mengelola diri secara baik tentuk akan lebih mudah menjalin kerja sama dengan orang lain. Sebagai pemimpin mereka akan lebih bijak dalam memilih tindakan. Empati mereka tentu lebih terbangun.
Masih pada soal pengelolaan diri, blogging juga banyak membantu saya – dan juga banyak kawan – untuk mengelola emosi diri. Blogging menjadi sarana untuk menyalurkan emosi yang tak bisa diungkap secara primitif dalam lingkungan kerja. Ada kanalisasi. Ada khatarsis dalam bahasa psikologi. Ada ember dalam bahasa gaul, yang membantu kita mengungkap uneg-uneg secara lepas bebas. Mendapatkan tempat untuk menyalurkan dan mengungkapkan emosi diyakini menjadi jalan bagi terapi diri yang efektif. Jadi blogging jelas punya manfaat. Kembali ke pernyataan kawan saya, maka makin jelas bahwa kawan saya punya argumen yang kuat dan beralasan; “Dari pada gue ngegosip mendingan gue ngisi blog.”
Pengalaman saya sejauh ini, blogging juga jadi bentuk lain yang saya lakukan untuk melakukan review atas apa yang sudah saya capai di kantor. Tak sekedar rekaman (record) yang saya punya. Saya juga berkesempatan menganalisa apa yang terjadi.
Pada satu ketika saya pernah merasa bahwa waktu seakan berjalan begitu cepat. Datang jam 8 pagi, tiba-tiba sudah menjelang sore yang menyadarkan saya betapa belum banyak yang saya kerjakan. Coba menganalisa apa yang terjadi, saya mencatat dalam lembar blog saya bahwa soal yang saya hadapi kadang lebih pada soal fokus dan kejelasan target. Melihat pola yang terjadi sehari-hari, saya sampai pada sebuah resolusi pribadi bahwa saya harus membuat daftar tugas yang lebih user friendly.
Saya harus punya sistem sederhana yang bisa membantu saya untuk menelusuri, melacak apa yang sudah saya kerjakan. Kejadian itulah yang kemudian mendorong saya untuk lebih disiplin mengelola tugas harian saya di kantor. Dan itu adalah buah perenungan saya dalam blog pribadi saya. Kadang dalam blog tersebut, saya pun menuliskan pencapaian, masalah dan solusi yang ada. Jadi blogging ternyata membantu saya, dan berlaku bagi karyawan lain, untuk melacak apa saja yang sudah berhasil saya raih. Blogging memang berhubungan dengan soal pencapaian target kita di tempat kerja.
Pendapat Pakar
Saya hentikan dulu pembahasan sampai di sini, yang pasti ada banyak pengalaman yang akan saya share pada tulisan mendatang. Dan untuk menegaskan pemaknaan saya ini, ada baiknya saya ungkap sedikit pandangan pakar seputar dunia blogging dalam dunia kerja. Banyak pakar yang menyebut bahwa manfaat journal writing/journaling atau blogging antara lain adalah:
· Set goals and resolutions – membantu kita dalam mengelola tujuan, target, atau resolusi pribadi. Dengan begitu, ini juga applicable dalam dunia kerja.
· Solve problems, revealing solutions – aktivitas ini membantu kita untuk lebih mengenali masalah. Pemahaman yang lebih baik terhadap satu masalah, membantu kita untuk menemukan solusi terbaik.
· See what you are thinking – journal writing/blogging bisa membantu kita mengenali pola pikir kita dan ini jadi jalan lain untuk sampai pada pengenalan diri yang lebih baik.
· Understand habits and patterns – selaras dengan bagian sebelumnya, journaling/blogging bisa membantu individu makin mengenali kebiasaan dan pola tingkah lakunya.
· Process and explore - blogging/journaling juga membantu kita memahami proses yang ada. Ia juga bermanfaat untuk mengantar kita mendalami satu soal tertentu. Seperti contoh yang saya ungkap sebelumnya, dengan journaling/blogging saya bisa mendalami soal kesenjangan komunikasi dan soal kepercayaan antara karyawan dan pimpinan perusahaan.
· Reduces stress, helps focus, and organizes -- ini yang paling banyak diungkap dalam banyak literatur seputar journaling. Journaling/blogging membantu kita meredakan stres yang ada, karena ia menjadi ruang ekspresi bebas bagi pengungkapan emosi kita.
· Can improve well-being, and makes time for you – tersedianya tempat untuk katarsis, mengungkap diri secara baik akan membantu kita untuk mendekati titik keseimbangan hidup yang kita mau. Dari catatan dalam blog, Anda bisa mengenali sisi apa dari hidup Anda yang masih kosong dan kurang perhatian. Ini akan membantu anda mengarahkan tindakan mengejar keseimbangan dimaksud. Dari blog pribadi, saya jadi makin sadar bahwa salah satu pekerjaan rumah saya sebagai manusia yang belum banyak saya sentuh adalah mengabdi pada komunitas. Dan ini jadi inspirasi tersendiri yang kemudian menggerakan saya.
· Creates a personal reminder - journal writing jelas membantu mengingatkan kita tentang apa yang akan dan tengah menjadi target kita. Kita punya catatan yang mengindarkan kita dari kebingungan dan kehilangan jejak. Blogging membantu saya untuk fokus pada prioritas yang saya tetapkan dan sejauh ini banyak membantu.
Pengalaman sederhana saya sejauh ini sungguh menegaskan betapa saya berhasil mengambil manfaat dari aktivitas blogging. Karena itulah saya menjadi salah seorang yang sepakat dan mendorong banyak kawan untuk mendalami blogging. Jelas, blogging bermanfaat bagi karyawan. Dengan begitu makin kuat alasan bagi saya untuk terus mengkampanyekan gagasan: One Employee, One Blog.[adjie]
* Adjie adalah praktisi pengembangan SDM. Pernah bekerja di perusahaan tambang emas raksasa berpusat di USA. Sekarang bekerja di perusahaan bahan kimia yang berpusat di Jerman. Lebih dari 10 tahun memfasilitasi beberapa program pelatihan. Coretannya yang lain bisa dilihat di www.resilientindonesia.com ; ia juga bisa dihubungi di adjie@resilientindonesia.com
Seorang manajer memerhatikan dengan saksama ke arah anak buahnya, seorang wanita muda yang asyik di depan layar komputernya. Tak tahu sudah berapa lama sang manajer menatap tajam seperti itu. Yang pasti, pada akhirnya si anak buahnya lama kelamaan sadar, dan pertanyaan tajam terarah padanya.
“Lagi ngapain, lu?” tanya manajer tanpa basa-basi. Maklum saja, usia atasan dan bawahan mungkin tak beda jauh. Mereka sama-sama anak generasi MTV yang muda, dinamis, ceplas-ceplos, dan kadang terkesan melupakan tata krama.
Mendengar pertanyaan itu, si anak buah sempat terkejut. Untungnya dia punya jawaban tangkas.
“Gue lagi nulis di blog gue,” jawabnya tak kalah ringan.
Mendengar penuturan kisah di atas, saya terbahak-bahak. Selalu menggembirakan mendengar kisah-kisah segar dan otentik semacam itu. Dan inilah salah satu hiburannya saat Anda bekerja di lingkungan kerja yang dipenuhi anak-anak muda. Anda akan disuguhi kesegaran respon dan cara pandang yang kadang bisa amat mengejutkan.
“Gile juga, lu ya,” komentar saya pendek di tengah percakapan kami.
“Habis mau apa lagi, Pak? Emang saya lagi asyik ngisi blog saya, kok,” si wanita masih dengan semangat empat limanya berujar pada saya.
Ya, saya mengerti maksudnya, namun saya masih menunggu jawaban cerdasnya yang lain.
“Saya juga bilang sih, dari pada ngegosip mendingan gue nge-blog, kan?” kali ini jawaban yang saya tunggu itu muncul juga.
Saya makin terbahak.
“Benar kan, Pak? Dari pada saya pusing dan stres, terus ngegosip sana-sini, mendingan saya nge-blog?” tuntas sudah penjelasannya. Argumennya tak hanya taktis, namun juga cerdas. Lalu saya membayangkan bagaimana respon dari atasannya saat mendengar jawaban anak buah yang seperti itu. Pasti tidak semua atasan suka mendengar jawaban anak buah macam ini. Tak sedikit yang bisa marah melihat anak buah yang tampak asyik di depan layar komputer, namun sibuk untuk kepentingan pribadi. Untungnya si wanita tadi, kawan saya ini, melakukan aktivitas blogging-nya usai jam kantor. Paling tidak, ia punya alasan untuk itu. Sebagian dari Anda mungkin berpikir bahwa si wanita di atas tidak terlalu merugikan kantor, walau Anda juga bisa setuju bahwa menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi tentu bukan pilihan yang terlalu bijak.
Saya pun punya pendapat sendiri atas soal pemanfaatan fasilitas kantor seperti di atas. Namun bagian ini tak hendak saya gunakan untuk menggali soal pemanfaatan fasilitas. Saya justru hendak mendalami perkara blogging dalam dunia kerja. Untuk mengarahkan pembahasan ini, saya akan coba pagari tulisan kali ini dengan pertanyaan sederhana: Sejauh manakah manfaat blogging bagi karyawan?
Sebelum membahas lebih jauh, pertama saya hendak menempatkan aktivitas blogging, aktivitas nge-blog ini setara dengan aktivitas journal writing, membuat catatan tentang kegiatan, tindakan, perasaan, dan pemikiran kita dalam lembar journal atau diary. Dalam hal ini blogging adalah versi digital dari diary atau journal.
Manfaat Blogging
Sepanjang pengalaman saya sebagai blogger, ada banyak manfaat yang saya dapat dari aktivitas blogging ini. Beranjak dari pengalaman itulah saya kemudian sering kali mengampanyekan dan mendorong kawan-kawan lain untuk juga mulai bermain-main dengan dunia blogging.
Secara teratur mengisi blog membantu saya menuangkan banyak hal. Khusus tentang dunia kerja, saya berkesempatan merekam banyak kejadian yang menurut saya menarik dan meaningful. Kejadian-kejadian bermakna itulah yang kemudian saya rekam dan komentari. Melihat kelucuan, kekonyolan, dan kebodohan yang terjadi di lingkungan kerja sungguh jadi pengalaman mengesankan. Saya bisa belajar banyak dan menarik hikmah yang ada.
Melihat bawahan yang sibuk menuntut dan seakan tak mau tahu, saya jadi makin sadar bahwa mereka tak selamanya salah. Mereka memang memiliki wawasan dan akses informasi yang sering kali terbatas. Jadi, wajar saja jika mereka jadi seakan buta.
Lalu mendengarkan argumen petinggi perusahaan, saya pun coba mengasah empati dan bijak. Terhadap soal bawahan yang dirasakan banyak menuntut, banyak atasan yang menuding bahwa mereka tak tahu diri. Soal akses informasi, petinggi perusahaan punya argumen bahwa mereka juga sudah menyediakan forum komunikasi.
“Tapi faktanya mereka yang tak pernah mau datang ke forum itu? Jadi kami mesti bagaimana lagi?” begitu ungkapan kekesalan di tingkat tinggi.
Pernah pada satu kesempatan saat bekerja di sebuah perusahaan, saya coba menggali apa yang sesungguhnya terjadi. Bawahan mengeluh tak ada akses informasi, sementara atasan marah karena merasa bawahan lah yang tak memanfaatkan kesempatan yang ada.
“Percuma aja Pak kami datang. Kalau kami mengajukan pertanyaan di forum macam itu, kami bisa kena black list. Katanya terbuka dan bebas, tapi faktanya pernah ada karyawan dipecat tak lama setelah ia mengkritisi pimpinan dalam forum itu. Kami kan nggak mau konyol dan dipecat juga Pak,” mereka mengungkap keluhan.
Saya mengangguk, diam, dan berpikir panjang. Ketika kejadian macam itu saya catat dalam lembar blog saya, saya bisa belajar melihat banyak hal dari berbagai sudut pandang. Ketika saya mengungkap posisi saya di tengah situasi seperti di atas, maka saya jadi makin mengenali prinsip dan nilai-nilai yang saya anut. Pemahaman diri saya bertambah. Pengenalan diri atas pola tingkah laku, pemikiran dan sikap saya juga membaik. Pendek kata, ada kesadaran diri yang meninggi. Dan ini baik buat saya.
Jika semakin banyak karyawan yang semakin mampu mengenali diri mereka maka ini jadi kabar baik tentang seberapa jauh manfaat blogging bagi karyawan. Pemahaman diri adalah salah satu kunci dalam pengelolaan diri (self management). Sekadar penegasan, self management adalah kunci awal efektivitas pribadi. Self management akan jadi bekal sebelum masuk ke soal people management. Orang yang mampu mengelola diri secara baik tentuk akan lebih mudah menjalin kerja sama dengan orang lain. Sebagai pemimpin mereka akan lebih bijak dalam memilih tindakan. Empati mereka tentu lebih terbangun.
Masih pada soal pengelolaan diri, blogging juga banyak membantu saya – dan juga banyak kawan – untuk mengelola emosi diri. Blogging menjadi sarana untuk menyalurkan emosi yang tak bisa diungkap secara primitif dalam lingkungan kerja. Ada kanalisasi. Ada khatarsis dalam bahasa psikologi. Ada ember dalam bahasa gaul, yang membantu kita mengungkap uneg-uneg secara lepas bebas. Mendapatkan tempat untuk menyalurkan dan mengungkapkan emosi diyakini menjadi jalan bagi terapi diri yang efektif. Jadi blogging jelas punya manfaat. Kembali ke pernyataan kawan saya, maka makin jelas bahwa kawan saya punya argumen yang kuat dan beralasan; “Dari pada gue ngegosip mendingan gue ngisi blog.”
Pengalaman saya sejauh ini, blogging juga jadi bentuk lain yang saya lakukan untuk melakukan review atas apa yang sudah saya capai di kantor. Tak sekedar rekaman (record) yang saya punya. Saya juga berkesempatan menganalisa apa yang terjadi.
Pada satu ketika saya pernah merasa bahwa waktu seakan berjalan begitu cepat. Datang jam 8 pagi, tiba-tiba sudah menjelang sore yang menyadarkan saya betapa belum banyak yang saya kerjakan. Coba menganalisa apa yang terjadi, saya mencatat dalam lembar blog saya bahwa soal yang saya hadapi kadang lebih pada soal fokus dan kejelasan target. Melihat pola yang terjadi sehari-hari, saya sampai pada sebuah resolusi pribadi bahwa saya harus membuat daftar tugas yang lebih user friendly.
Saya harus punya sistem sederhana yang bisa membantu saya untuk menelusuri, melacak apa yang sudah saya kerjakan. Kejadian itulah yang kemudian mendorong saya untuk lebih disiplin mengelola tugas harian saya di kantor. Dan itu adalah buah perenungan saya dalam blog pribadi saya. Kadang dalam blog tersebut, saya pun menuliskan pencapaian, masalah dan solusi yang ada. Jadi blogging ternyata membantu saya, dan berlaku bagi karyawan lain, untuk melacak apa saja yang sudah berhasil saya raih. Blogging memang berhubungan dengan soal pencapaian target kita di tempat kerja.
Pendapat Pakar
Saya hentikan dulu pembahasan sampai di sini, yang pasti ada banyak pengalaman yang akan saya share pada tulisan mendatang. Dan untuk menegaskan pemaknaan saya ini, ada baiknya saya ungkap sedikit pandangan pakar seputar dunia blogging dalam dunia kerja. Banyak pakar yang menyebut bahwa manfaat journal writing/journaling atau blogging antara lain adalah:
· Set goals and resolutions – membantu kita dalam mengelola tujuan, target, atau resolusi pribadi. Dengan begitu, ini juga applicable dalam dunia kerja.
· Solve problems, revealing solutions – aktivitas ini membantu kita untuk lebih mengenali masalah. Pemahaman yang lebih baik terhadap satu masalah, membantu kita untuk menemukan solusi terbaik.
· See what you are thinking – journal writing/blogging bisa membantu kita mengenali pola pikir kita dan ini jadi jalan lain untuk sampai pada pengenalan diri yang lebih baik.
· Understand habits and patterns – selaras dengan bagian sebelumnya, journaling/blogging bisa membantu individu makin mengenali kebiasaan dan pola tingkah lakunya.
· Process and explore - blogging/journaling juga membantu kita memahami proses yang ada. Ia juga bermanfaat untuk mengantar kita mendalami satu soal tertentu. Seperti contoh yang saya ungkap sebelumnya, dengan journaling/blogging saya bisa mendalami soal kesenjangan komunikasi dan soal kepercayaan antara karyawan dan pimpinan perusahaan.
· Reduces stress, helps focus, and organizes -- ini yang paling banyak diungkap dalam banyak literatur seputar journaling. Journaling/blogging membantu kita meredakan stres yang ada, karena ia menjadi ruang ekspresi bebas bagi pengungkapan emosi kita.
· Can improve well-being, and makes time for you – tersedianya tempat untuk katarsis, mengungkap diri secara baik akan membantu kita untuk mendekati titik keseimbangan hidup yang kita mau. Dari catatan dalam blog, Anda bisa mengenali sisi apa dari hidup Anda yang masih kosong dan kurang perhatian. Ini akan membantu anda mengarahkan tindakan mengejar keseimbangan dimaksud. Dari blog pribadi, saya jadi makin sadar bahwa salah satu pekerjaan rumah saya sebagai manusia yang belum banyak saya sentuh adalah mengabdi pada komunitas. Dan ini jadi inspirasi tersendiri yang kemudian menggerakan saya.
· Creates a personal reminder - journal writing jelas membantu mengingatkan kita tentang apa yang akan dan tengah menjadi target kita. Kita punya catatan yang mengindarkan kita dari kebingungan dan kehilangan jejak. Blogging membantu saya untuk fokus pada prioritas yang saya tetapkan dan sejauh ini banyak membantu.
Pengalaman sederhana saya sejauh ini sungguh menegaskan betapa saya berhasil mengambil manfaat dari aktivitas blogging. Karena itulah saya menjadi salah seorang yang sepakat dan mendorong banyak kawan untuk mendalami blogging. Jelas, blogging bermanfaat bagi karyawan. Dengan begitu makin kuat alasan bagi saya untuk terus mengkampanyekan gagasan: One Employee, One Blog.[adjie]
* Adjie adalah praktisi pengembangan SDM. Pernah bekerja di perusahaan tambang emas raksasa berpusat di USA. Sekarang bekerja di perusahaan bahan kimia yang berpusat di Jerman. Lebih dari 10 tahun memfasilitasi beberapa program pelatihan. Coretannya yang lain bisa dilihat di www.resilientindonesia.com ; ia juga bisa dihubungi di adjie@resilientindonesia.com
BERPIKIR TERBALIK: JANGAN MUDAH MEMINTA MAAFOleh
Mugi Subagyo
Kata “maaf” diartikan sebagai ampunan/pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan. Manifestasinya dalam hubungan bermasyarakat, bila seseorang melakukan apa yang dianggap sebagai kesalahan, maka dengan meminta maaf berarti telah diampuni/dibebaskan dari hukuman. Dengan kata lain bila bersalah, mintalah maaf, maka selesailah sudah masalah, tuntaslah persoalan, beres!
Apa betul demikian? Kalau benar seperti itu, tidak akan pernah kita lihat orang berkelahi di jalan cuma karena masalah sepele, misalnya kendaraan satu menyenggol kendaraan lain, sepeda motor melanggar pejalan kaki, atau pertengkaran lain. Padahal kita menyaksikan sendiri, di mana pihak yang salah telah meminta maaf. Lantas apa yang menyebabkan persoalan tersebut tidak kunjung selesai dengan baik, malah meruncing menjadi pertikaian? Ini dapat berarti bahwa di samping meminta maaf, ada hal lain yang lebih esensial. Hal mana perlu ditengok kembali, karena cukup jauh sudah kita ikut hanyut dengan pengertian bahwa segalanya dapat diselesaikan dengan “maaf”.
Meminta maaf erat kaitannya dengan memberi maaf, artinya bila ada seseorang yang meminta maaf, maka ada pihak di seberangnya yang memberi maaf. Memaafkan diartikan juga sebagai sikap dan tindakan mulia, tidak lagi menganggap salah bagi seseorang yang berbuat salah. Memaafkan adalah sifat yang diajarkan semua agama sebagai pengejawantahan dari kebaikan dan kebajikan manusia beriman.
Meminta maaf adalah hasil penalaran jernih atas kesadaran telah melakukan kekeliruan. Namun praktiknya, banyak orang meminta maaf bukan dilandasi kesadaran telah melakukan kesalahan, melainkan meminta maaf hanya demi menghindari hukuman. Mereka berkeyakinan dengan meminta maaf, maka orang wajib memaafkan (seperti diajarkan agama) yang berarti membebaskannya dari hukuman. Mereka lupa, bahwa memaafkan terbagi dalam dua kategori, yaitu memaafkan sebagai suatu sikap moral dan sebagai sikap hukum. Secara moral orang yang bersalah bisa dimaafkan, tetapi secara hukum, dia harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Itu sebabnya proses hukum selalu diperlukan untuk memastikan seseorang bersalah atau tidaknya, karena menyangkut pertanggungjawaban atas kesalahannya.
Tidak memaafkan bukan berarti dendam
Terjadi dilema bagi korban, di mana orang yang bersalah kepadanya berinisiatif memohon maaf dengan harapan si korban akan menanggapinya dengan semangat manusiawi yang sama pula. Di sini si korban khawatir bila memberikan respon positif, akan ditafsirkan secara sepihak sebagai akhir prosesnya mencari keadilan. Sebaliknya respon negatif yang diberikan akan dijadikan pintu masuk pelaku kriminal untuk mengekspos watak positifnya guna mencari dukungan sekaligus melecehkan korban dengan menyebut mereka sebagai manusia yang tidak berperi-kemanusiaan.
Untuk soal yang bobotnya lebih ringan, korban juga memiliki kekhawatiran bila maaf yang diberikan diartikan sebagai aborsi dari aneka kewajiban yang harus ditanggung peminta maaf.
Sebagai contoh mudahnya, saya pernah mengalami mobil yang dikendarai ditabrak sepeda motor dari belakang, padahal kondisi mobil saat itu sedang diam saat lampu merah. Kalau hanya menyenggol spion meski dengan sangat keras, atau menyerempet sisi mobil hingga meninggalkan jejak garis yang tidak dapat dihapus, biasanya saya langsung memaafkan dengan berpikir bahwa itu jauh lebih baik dibandingkan saya mengejar, menyumpah, lalu bertengkar yang akhirnya menjadi semakin buruk. Namun, kali ini motor yang menabrak tadi tidak bisa langsung jalan, jadi kami berurusan setelah meminggirkan kendaraan dan melihat penumpang tadi tidak terluka serius. Disaksikan kerumunan orang, penabrak mengemis-ngemis meminta maaf yang tentu saja langsung saya maafkan dengan syarat. Saya katakan bahwa maaf yang saya berikan tidak semerta-merta menghapuskan tanggung jawabnya memperbaiki kondisi mobil yang dirusaknya, dengan membebaninya biaya klaim administrasi asuransi kendaraan bermotor.
Tentu saja tindakan saya tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai dendam, karena dendam diartikan sebagai keinginan keras untuk membalas tindakan atau perbuatan yang merugikan saya. Artinya kalau saya tidak begitu saja memaafkan penabrak, bukan berarti saya dendam, tetapi sebatas meletakkan persoalannya secara proporsional. Memaafkan secara moral tidak berarti menghapuskan pertanggungjawaban hukum seseorang yang bersalah, ini bisa menimbulkan pemaafan semu. Memaafkan tapi tidak tulus, mengampuni tapi tidak ikhlas. Bukan memaafkan model ini yang diajarkan agama.
Beratnya memberikan maaf kepada orang lain, lebih didominasi amarah dan benci karena merasa teraniaya. Jika persoalan memberikan maaf karena sebatas moral tanpa ada kesalahan atas pelanggaran hukum, akan lebih indah dan bermanfaat bila dengan mudah memaafkan bahkan sebelum orang yang bersalah tersebut meminta maaf, karena belum tentu orang yang kita anggap bersalah sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Lain halnya bila bersangkut-paut dengan pelanggaran hukum.
Jangan mudah meminta maaf
Ada kondisi yang membuat kita berpikir dan bertindak sekenanya tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain. Di jalan, dengan tanpa rasa bersalah kita dengan seenaknya memotong jalan kendaraan orang lain tanpa sinyal. Ketika bergaul, ucapan tanpa pikir panjang dapat menyakiti hati orang lain. Saat bekerja dengan separuh hati, berakibat hasil yang didapat tidak memuaskan, bahkan sering merugikan tempat kita bekerja. Keputusannya membuat kebijakan hanya menguntungkan diri sendiri, menindas kepentingan orang lain. Tak terhitung kesalahan yang telah diperbuat dengan sengaja, terlebih lagi kesalahan di luar kesadaran. Kemudian dengan mengandalkan kekuatan maaf, mereka cukup meminta maaf tanpa beban di hati atau jiwanya. Mereka meyakini bahwa setelah mulut berucap maaf dan dijawab dengan pemberian maaf, maka sudah terlepas pula tanggung jawabnya.
Hidup memang diwarnai terang atau gelap, badai atau pelangi. Banyak badai yang terjadi karena kita sendiri yang membuatnya tanpa disadari. Cobalah sesekali menengok ke belakang, maka akan terlihat betapa panjang jejak kehancuran yang kita tinggalkan. Betapa banyak luka di hati orang-orang yang pernah kita sakiti. Itu semua tidak mudah terhapus hanya dengan kekuatan maaf, melainkan dengan tindakan. Tindakan yang menunjukkan bahwa maaf yang kita minta, lahir dari hati dan pikiran penuh kesadaran. Perbuatan yang sedikitnya memperbaiki masa kini dengan bercermin dari kesalahan yang telah lewat. Karena kita sadar bahwa kita tidak akan bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu. Dengan demikian, bukan puing reruntuhan yang kita perlihatkan, tapi keindahan pelangi setelah badai.
Memang sudah kodrat kita sebagai manusia tak luput dari kesalahan, akan tetapi kita diberikan akal pikiran, hati dan perasaan untuk dapat berpikir dan merasa apa yang yang baik, apa yang benar sebagai persiapan dalam melangkah. Setidaknya bukan sengaja melakukan kesalahan dengan mau mengerti dan berempati terhadap orang lain. Sehingga kita tidak terjebak dalam perangkap maaf yang dapat memudahkan seseorang untuk berbuat salah. Berpikir mudah untuk meminta maaf, akan mencetak pribadi yang cenderung terus menerus melakukan banyak kesalahan. Agama tidak mengajarkan orang untuk sering meminta maaf, melainkan keutamaan untuk memberi maaf.
Bagaimana pendapat Anda? Tak perlu meminta maaf bila tidak sepaham. Cukup tunjukkan kesalahan saya, kemudian bersiap menerima ucapan terima kasih dari saya. Jakarta, 1 Maret 2008.[ms]
* Mugi Subagyo adalah praktisi SDM di perusahaan multinasional, pengamat Teknologi Informasi, Graphic Designer, Senior di dunia percetakan dan pemerhati Bahasa & Sastra Indonesia. Mugi dapat dihubungi melalui email: mugisby@yahoo.co.id.
Kata “maaf” diartikan sebagai ampunan/pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan. Manifestasinya dalam hubungan bermasyarakat, bila seseorang melakukan apa yang dianggap sebagai kesalahan, maka dengan meminta maaf berarti telah diampuni/dibebaskan dari hukuman. Dengan kata lain bila bersalah, mintalah maaf, maka selesailah sudah masalah, tuntaslah persoalan, beres!
Apa betul demikian? Kalau benar seperti itu, tidak akan pernah kita lihat orang berkelahi di jalan cuma karena masalah sepele, misalnya kendaraan satu menyenggol kendaraan lain, sepeda motor melanggar pejalan kaki, atau pertengkaran lain. Padahal kita menyaksikan sendiri, di mana pihak yang salah telah meminta maaf. Lantas apa yang menyebabkan persoalan tersebut tidak kunjung selesai dengan baik, malah meruncing menjadi pertikaian? Ini dapat berarti bahwa di samping meminta maaf, ada hal lain yang lebih esensial. Hal mana perlu ditengok kembali, karena cukup jauh sudah kita ikut hanyut dengan pengertian bahwa segalanya dapat diselesaikan dengan “maaf”.
Meminta maaf erat kaitannya dengan memberi maaf, artinya bila ada seseorang yang meminta maaf, maka ada pihak di seberangnya yang memberi maaf. Memaafkan diartikan juga sebagai sikap dan tindakan mulia, tidak lagi menganggap salah bagi seseorang yang berbuat salah. Memaafkan adalah sifat yang diajarkan semua agama sebagai pengejawantahan dari kebaikan dan kebajikan manusia beriman.
Meminta maaf adalah hasil penalaran jernih atas kesadaran telah melakukan kekeliruan. Namun praktiknya, banyak orang meminta maaf bukan dilandasi kesadaran telah melakukan kesalahan, melainkan meminta maaf hanya demi menghindari hukuman. Mereka berkeyakinan dengan meminta maaf, maka orang wajib memaafkan (seperti diajarkan agama) yang berarti membebaskannya dari hukuman. Mereka lupa, bahwa memaafkan terbagi dalam dua kategori, yaitu memaafkan sebagai suatu sikap moral dan sebagai sikap hukum. Secara moral orang yang bersalah bisa dimaafkan, tetapi secara hukum, dia harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Itu sebabnya proses hukum selalu diperlukan untuk memastikan seseorang bersalah atau tidaknya, karena menyangkut pertanggungjawaban atas kesalahannya.
Tidak memaafkan bukan berarti dendam
Terjadi dilema bagi korban, di mana orang yang bersalah kepadanya berinisiatif memohon maaf dengan harapan si korban akan menanggapinya dengan semangat manusiawi yang sama pula. Di sini si korban khawatir bila memberikan respon positif, akan ditafsirkan secara sepihak sebagai akhir prosesnya mencari keadilan. Sebaliknya respon negatif yang diberikan akan dijadikan pintu masuk pelaku kriminal untuk mengekspos watak positifnya guna mencari dukungan sekaligus melecehkan korban dengan menyebut mereka sebagai manusia yang tidak berperi-kemanusiaan.
Untuk soal yang bobotnya lebih ringan, korban juga memiliki kekhawatiran bila maaf yang diberikan diartikan sebagai aborsi dari aneka kewajiban yang harus ditanggung peminta maaf.
Sebagai contoh mudahnya, saya pernah mengalami mobil yang dikendarai ditabrak sepeda motor dari belakang, padahal kondisi mobil saat itu sedang diam saat lampu merah. Kalau hanya menyenggol spion meski dengan sangat keras, atau menyerempet sisi mobil hingga meninggalkan jejak garis yang tidak dapat dihapus, biasanya saya langsung memaafkan dengan berpikir bahwa itu jauh lebih baik dibandingkan saya mengejar, menyumpah, lalu bertengkar yang akhirnya menjadi semakin buruk. Namun, kali ini motor yang menabrak tadi tidak bisa langsung jalan, jadi kami berurusan setelah meminggirkan kendaraan dan melihat penumpang tadi tidak terluka serius. Disaksikan kerumunan orang, penabrak mengemis-ngemis meminta maaf yang tentu saja langsung saya maafkan dengan syarat. Saya katakan bahwa maaf yang saya berikan tidak semerta-merta menghapuskan tanggung jawabnya memperbaiki kondisi mobil yang dirusaknya, dengan membebaninya biaya klaim administrasi asuransi kendaraan bermotor.
Tentu saja tindakan saya tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai dendam, karena dendam diartikan sebagai keinginan keras untuk membalas tindakan atau perbuatan yang merugikan saya. Artinya kalau saya tidak begitu saja memaafkan penabrak, bukan berarti saya dendam, tetapi sebatas meletakkan persoalannya secara proporsional. Memaafkan secara moral tidak berarti menghapuskan pertanggungjawaban hukum seseorang yang bersalah, ini bisa menimbulkan pemaafan semu. Memaafkan tapi tidak tulus, mengampuni tapi tidak ikhlas. Bukan memaafkan model ini yang diajarkan agama.
Beratnya memberikan maaf kepada orang lain, lebih didominasi amarah dan benci karena merasa teraniaya. Jika persoalan memberikan maaf karena sebatas moral tanpa ada kesalahan atas pelanggaran hukum, akan lebih indah dan bermanfaat bila dengan mudah memaafkan bahkan sebelum orang yang bersalah tersebut meminta maaf, karena belum tentu orang yang kita anggap bersalah sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Lain halnya bila bersangkut-paut dengan pelanggaran hukum.
Jangan mudah meminta maaf
Ada kondisi yang membuat kita berpikir dan bertindak sekenanya tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain. Di jalan, dengan tanpa rasa bersalah kita dengan seenaknya memotong jalan kendaraan orang lain tanpa sinyal. Ketika bergaul, ucapan tanpa pikir panjang dapat menyakiti hati orang lain. Saat bekerja dengan separuh hati, berakibat hasil yang didapat tidak memuaskan, bahkan sering merugikan tempat kita bekerja. Keputusannya membuat kebijakan hanya menguntungkan diri sendiri, menindas kepentingan orang lain. Tak terhitung kesalahan yang telah diperbuat dengan sengaja, terlebih lagi kesalahan di luar kesadaran. Kemudian dengan mengandalkan kekuatan maaf, mereka cukup meminta maaf tanpa beban di hati atau jiwanya. Mereka meyakini bahwa setelah mulut berucap maaf dan dijawab dengan pemberian maaf, maka sudah terlepas pula tanggung jawabnya.
Hidup memang diwarnai terang atau gelap, badai atau pelangi. Banyak badai yang terjadi karena kita sendiri yang membuatnya tanpa disadari. Cobalah sesekali menengok ke belakang, maka akan terlihat betapa panjang jejak kehancuran yang kita tinggalkan. Betapa banyak luka di hati orang-orang yang pernah kita sakiti. Itu semua tidak mudah terhapus hanya dengan kekuatan maaf, melainkan dengan tindakan. Tindakan yang menunjukkan bahwa maaf yang kita minta, lahir dari hati dan pikiran penuh kesadaran. Perbuatan yang sedikitnya memperbaiki masa kini dengan bercermin dari kesalahan yang telah lewat. Karena kita sadar bahwa kita tidak akan bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu. Dengan demikian, bukan puing reruntuhan yang kita perlihatkan, tapi keindahan pelangi setelah badai.
Memang sudah kodrat kita sebagai manusia tak luput dari kesalahan, akan tetapi kita diberikan akal pikiran, hati dan perasaan untuk dapat berpikir dan merasa apa yang yang baik, apa yang benar sebagai persiapan dalam melangkah. Setidaknya bukan sengaja melakukan kesalahan dengan mau mengerti dan berempati terhadap orang lain. Sehingga kita tidak terjebak dalam perangkap maaf yang dapat memudahkan seseorang untuk berbuat salah. Berpikir mudah untuk meminta maaf, akan mencetak pribadi yang cenderung terus menerus melakukan banyak kesalahan. Agama tidak mengajarkan orang untuk sering meminta maaf, melainkan keutamaan untuk memberi maaf.
Bagaimana pendapat Anda? Tak perlu meminta maaf bila tidak sepaham. Cukup tunjukkan kesalahan saya, kemudian bersiap menerima ucapan terima kasih dari saya. Jakarta, 1 Maret 2008.[ms]
* Mugi Subagyo adalah praktisi SDM di perusahaan multinasional, pengamat Teknologi Informasi, Graphic Designer, Senior di dunia percetakan dan pemerhati Bahasa & Sastra Indonesia. Mugi dapat dihubungi melalui email: mugisby@yahoo.co.id.
HIPNOTIS BUKAN KEJAHATAN
Sering diberitakan di media cetak dan elektronik bahwa banyak terjadi tindak kejahatan baik di atas angkutan umum, di pasar, di terminal, bahkan di perumahan, di mana untuk melumpuhkan korbannya, konon para pelaku menggunakan modus operandi hipnotis.
Menjelang mudik Idul Fitri 1428 H, di beberapa sudut kota di Jakarta terpampang spanduk- spanduk, yang berisi himbauan agar para pemudik waspada terhadap tindak kriminal yang menggunakan kejahatan hipnotis.
Sampai saat ini, terutama di Indonesia hipnotisme menjadi korban salah pengertian, sehingga dianggap identik dengan takhayul, ilmu hitam (black magic). Walaupun demikian, banyak orang yang mempelajarinya secara rasional, dan kemudian mempraktikkannya, termasuk mereka yang mempraktekan ilmu ini dalam dunia entertainment.
Sejarah Hipnotis
Pada mulanya hipnotis adalah upaya penyembuhan yang dirintis oleh Paracelcus. Dia mencoba menyembuhan pendarahan dan hysteria dengan magnet. Usaha ini dilanjutkan oleh Anton Mesmer. Mesmer mula-mula menyembuhkan orang-orang sakit dengan usapan magnet dan kemudian meletakkan tangan sambil memindahkan fludium (cairan magnetis), yang menurut Mesmer mengalir dari badannya.
James Braid, penerus aliran ini adalah penyelidik hipnotisme pertama bangsa Inggris. Braid menyatakan bahwa hipnosa disebabkan oleh cara yang menimbulkan keadaan jiwa letih dan kurang wajar. Dalam penelitiannya, Braid menemukan bahwa pemfokusan pandangan mata (eye fixtation) mengakibatkan suatu kondisi kelelahan, misalnya kelopak mata menjadi sangat lelah sehingga tidak bisa dibuka oleh subjek. Ia beranggapan, itu adalah kunci mesmerisme. Setelah itu dia banyak melakukan eksperimen. Kemudian Braid mengembangkan teori tentang perhatian mata. Ia meminta subjek untuk menatap berbagai objek dari berbagai posisi, termasuk memandang matanya dan juga api lilin, dan berhasil membawa subjek masuk ke kondisi trance.
Di samping itu, seorang padri asal Mesir Abbe Faria menemukan cara menyugesti orang dengan kekuatan kata-kata. Memandang sebuah benda tajam-tajam dan diiringi dengan perintah tegas: ”Tidur!” cukup untuk mendatangkan keadaan hipnosa. Ia mengabaikan gerak-gerak tangan dan gerak-gerak lainnya serta adanya fludium atau cairan magnetis dalam hipnotis.
Pada awalnya, Braid menamakan penemuannya sebagai neurypnology. Neurypnology berasal dari bahasa Yunani yang berarti nervous sleep. Di kemudian hari, ia menggunakan kata neuro-hypnotism yang berasal dari kata Hypnos, yaitu dewa tidur dalam mitologi Yunani. Selanjutnya, demi mempermudah ucapan, ia menghilangkan kata neuro. Penemuannya akhirnya diberi nama hypnotism atau hypnosis. Dengan demikian Braid dipandang sebagai “Bapak Hipnosis”.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan minat orang mempelajari hipnostis, maka muncul definisi-definisi mengenai hipnotis. Di bawah ini dikutipkan beberapa definisi dari hipnotis. Hipnosis adalah suatu kondisi di mana perhatian menjadi terpusat sehingga tingkat sugestibilitas meningkat tinggi. Hipnosis adalah seni komunikasi untuk memengaruhi seseorang sehingga mengubah tingkat kesadarannya, yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak.
Gelombang otak dapat diukur dengan alat yang disebut electroencephalograph (EEG) yang ditemukan pada tahun 1968. Manusia mempunyai 4 jenis gelombang otak. Beta (12-40 Hz), alfa (8-12 Hz), theta (4-8 Hz), dan delta (0,1-4 Hz). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hipnosis berada pada gelombang alfa dan theta. Semakin dalam seseorang masuk ke dalam kondisi hipnosis (trance), semakin rendah gelombang otaknya, dalam hal ini ia akan masuk ke theta yang dalam.
Kata hipnotis atau juru hipnotis adalah orang yang melakukan hipnosis. Sedangkan seseorang yang dihipnosis disebut subjek atau suyet.
Menurut statistik para ahli hipnotis asal Perancis, Jerman, dan Belanda, ada lima persen orang yang tak bisa dihipnotis, 10 persen bisa dihipnotis tapi hanya bisa sampai pada keadaan mengantuk, 60 persen sampai pada tidur nyenyak yang sedang. Sedangkan 25 persen sampai pada tidur somnabul (jalan-jalan dalam tidur) dengan amnesia (lupa). Anak-anak dan remaja sampai umur 20 tahun, serta orang-orang yang berpendidikan relatif tinggi adalah subjek-subjek yang paling baik.
Praktik gendam (ilmu hitam untuk membuat orang lain tak sadar, sehingga harta bendanya bisa diambil) sering disalahkaprahkan dengan hipnotis. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Braid, hipnosis dapat dijelaskan dalam kerangka ilmiah dan diterima sebagai suatu teknik pengobatan oleh dunia kedokteran Inggris.
Manfaat Hipnotis
Di New York, Amerika Serikat, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh hipnosis terhadap operasi pengangkatan payudara. Operasi ini melibatkan 200 orang perempuan, dan dibagi menjadi dua kelompok. Sebelum dilakukan operasi, kelompok pertama menjalani sesi hipnosis, sedangkan kelompok kedua menjalani sesi konsultasi dengan psikolog terlatih. Seusai operasi, para pasien yang menjalani hipnosis mengaku tidak merasa terlalu kesakitan. Mereka juga tidak banyak mengeluh mual, lelah, tidak nyaman, atau perasaan tertekan seperti yang dikeluhkan pasien yang tidak menjalani hipnosis. Kelompok kedua membutuhkan lebih banyak obat bius. Dengan demikian, hipnosis bisa mengurangi rasa sakit dan ada unsur penghematan (Media Indonesia, 28/10/07).
Terapi hipnosis dapat juga diterapkan untuk mengurangi rasa sakit saat melahirkan, menurunkan berat badan, kecanduan terhadap narkoba, ganja, alkohol, judi, seks, merokok, dan lain-lain.
Salah seorang praktisi hipnotis asal Indonesia, Romy Rafael, membuat terobosan. Ia menawarkan proses hipnosis melalui buku dan compact disk (CD). Jadi, tidak ada pertemuan fisik antara penghipnotis dengan suyet. Kehadiran penghipnotis diwakili oleh buku dan CD. Subjek tinggal membaca buku dan mendengarkan sugesti dari penghipnotis melalui CD. Kemudian diadakan peneletian; 80 persen dari 500 orang perokok yang menggunakan buku dan CD Hypnotherapy menyatakan telah berhenti merokok.
Jelaslah bahwa hipnotis adalah ilmu, yang bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain, misalnya ilmu psychology (ilmu jiwa). Selama ini belum ada kajian ilmiah mengenai gendam, sehingga antara hipnotis dan gendam tidak bisa dibandingkan. Sangatlah tidak beralasan kalau ada pihak-pihak yang menyamakan hipnotis dengan kejahatan. Justru yang harus diwaspadai adalah orang-orang yang menawarkan ilmu hipnotis, padahal mereka bukan ahli hipnotis. Mereka ini hanya memanfaatkan ketidaktahuan orang awam untuk mengeruk keuntungan.[m]
* Marsudijono adalah karyawan di PT Pertamina dan alumnus Sekolah Penulis Pembelajar. Ia dapat dihubungi di nomor: 0816935133
Menjelang mudik Idul Fitri 1428 H, di beberapa sudut kota di Jakarta terpampang spanduk- spanduk, yang berisi himbauan agar para pemudik waspada terhadap tindak kriminal yang menggunakan kejahatan hipnotis.
Sampai saat ini, terutama di Indonesia hipnotisme menjadi korban salah pengertian, sehingga dianggap identik dengan takhayul, ilmu hitam (black magic). Walaupun demikian, banyak orang yang mempelajarinya secara rasional, dan kemudian mempraktikkannya, termasuk mereka yang mempraktekan ilmu ini dalam dunia entertainment.
Sejarah Hipnotis
Pada mulanya hipnotis adalah upaya penyembuhan yang dirintis oleh Paracelcus. Dia mencoba menyembuhan pendarahan dan hysteria dengan magnet. Usaha ini dilanjutkan oleh Anton Mesmer. Mesmer mula-mula menyembuhkan orang-orang sakit dengan usapan magnet dan kemudian meletakkan tangan sambil memindahkan fludium (cairan magnetis), yang menurut Mesmer mengalir dari badannya.
James Braid, penerus aliran ini adalah penyelidik hipnotisme pertama bangsa Inggris. Braid menyatakan bahwa hipnosa disebabkan oleh cara yang menimbulkan keadaan jiwa letih dan kurang wajar. Dalam penelitiannya, Braid menemukan bahwa pemfokusan pandangan mata (eye fixtation) mengakibatkan suatu kondisi kelelahan, misalnya kelopak mata menjadi sangat lelah sehingga tidak bisa dibuka oleh subjek. Ia beranggapan, itu adalah kunci mesmerisme. Setelah itu dia banyak melakukan eksperimen. Kemudian Braid mengembangkan teori tentang perhatian mata. Ia meminta subjek untuk menatap berbagai objek dari berbagai posisi, termasuk memandang matanya dan juga api lilin, dan berhasil membawa subjek masuk ke kondisi trance.
Di samping itu, seorang padri asal Mesir Abbe Faria menemukan cara menyugesti orang dengan kekuatan kata-kata. Memandang sebuah benda tajam-tajam dan diiringi dengan perintah tegas: ”Tidur!” cukup untuk mendatangkan keadaan hipnosa. Ia mengabaikan gerak-gerak tangan dan gerak-gerak lainnya serta adanya fludium atau cairan magnetis dalam hipnotis.
Pada awalnya, Braid menamakan penemuannya sebagai neurypnology. Neurypnology berasal dari bahasa Yunani yang berarti nervous sleep. Di kemudian hari, ia menggunakan kata neuro-hypnotism yang berasal dari kata Hypnos, yaitu dewa tidur dalam mitologi Yunani. Selanjutnya, demi mempermudah ucapan, ia menghilangkan kata neuro. Penemuannya akhirnya diberi nama hypnotism atau hypnosis. Dengan demikian Braid dipandang sebagai “Bapak Hipnosis”.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan minat orang mempelajari hipnostis, maka muncul definisi-definisi mengenai hipnotis. Di bawah ini dikutipkan beberapa definisi dari hipnotis. Hipnosis adalah suatu kondisi di mana perhatian menjadi terpusat sehingga tingkat sugestibilitas meningkat tinggi. Hipnosis adalah seni komunikasi untuk memengaruhi seseorang sehingga mengubah tingkat kesadarannya, yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak.
Gelombang otak dapat diukur dengan alat yang disebut electroencephalograph (EEG) yang ditemukan pada tahun 1968. Manusia mempunyai 4 jenis gelombang otak. Beta (12-40 Hz), alfa (8-12 Hz), theta (4-8 Hz), dan delta (0,1-4 Hz). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hipnosis berada pada gelombang alfa dan theta. Semakin dalam seseorang masuk ke dalam kondisi hipnosis (trance), semakin rendah gelombang otaknya, dalam hal ini ia akan masuk ke theta yang dalam.
Kata hipnotis atau juru hipnotis adalah orang yang melakukan hipnosis. Sedangkan seseorang yang dihipnosis disebut subjek atau suyet.
Menurut statistik para ahli hipnotis asal Perancis, Jerman, dan Belanda, ada lima persen orang yang tak bisa dihipnotis, 10 persen bisa dihipnotis tapi hanya bisa sampai pada keadaan mengantuk, 60 persen sampai pada tidur nyenyak yang sedang. Sedangkan 25 persen sampai pada tidur somnabul (jalan-jalan dalam tidur) dengan amnesia (lupa). Anak-anak dan remaja sampai umur 20 tahun, serta orang-orang yang berpendidikan relatif tinggi adalah subjek-subjek yang paling baik.
Praktik gendam (ilmu hitam untuk membuat orang lain tak sadar, sehingga harta bendanya bisa diambil) sering disalahkaprahkan dengan hipnotis. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Braid, hipnosis dapat dijelaskan dalam kerangka ilmiah dan diterima sebagai suatu teknik pengobatan oleh dunia kedokteran Inggris.
Manfaat Hipnotis
Di New York, Amerika Serikat, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh hipnosis terhadap operasi pengangkatan payudara. Operasi ini melibatkan 200 orang perempuan, dan dibagi menjadi dua kelompok. Sebelum dilakukan operasi, kelompok pertama menjalani sesi hipnosis, sedangkan kelompok kedua menjalani sesi konsultasi dengan psikolog terlatih. Seusai operasi, para pasien yang menjalani hipnosis mengaku tidak merasa terlalu kesakitan. Mereka juga tidak banyak mengeluh mual, lelah, tidak nyaman, atau perasaan tertekan seperti yang dikeluhkan pasien yang tidak menjalani hipnosis. Kelompok kedua membutuhkan lebih banyak obat bius. Dengan demikian, hipnosis bisa mengurangi rasa sakit dan ada unsur penghematan (Media Indonesia, 28/10/07).
Terapi hipnosis dapat juga diterapkan untuk mengurangi rasa sakit saat melahirkan, menurunkan berat badan, kecanduan terhadap narkoba, ganja, alkohol, judi, seks, merokok, dan lain-lain.
Salah seorang praktisi hipnotis asal Indonesia, Romy Rafael, membuat terobosan. Ia menawarkan proses hipnosis melalui buku dan compact disk (CD). Jadi, tidak ada pertemuan fisik antara penghipnotis dengan suyet. Kehadiran penghipnotis diwakili oleh buku dan CD. Subjek tinggal membaca buku dan mendengarkan sugesti dari penghipnotis melalui CD. Kemudian diadakan peneletian; 80 persen dari 500 orang perokok yang menggunakan buku dan CD Hypnotherapy menyatakan telah berhenti merokok.
Jelaslah bahwa hipnotis adalah ilmu, yang bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain, misalnya ilmu psychology (ilmu jiwa). Selama ini belum ada kajian ilmiah mengenai gendam, sehingga antara hipnotis dan gendam tidak bisa dibandingkan. Sangatlah tidak beralasan kalau ada pihak-pihak yang menyamakan hipnotis dengan kejahatan. Justru yang harus diwaspadai adalah orang-orang yang menawarkan ilmu hipnotis, padahal mereka bukan ahli hipnotis. Mereka ini hanya memanfaatkan ketidaktahuan orang awam untuk mengeruk keuntungan.[m]
* Marsudijono adalah karyawan di PT Pertamina dan alumnus Sekolah Penulis Pembelajar. Ia dapat dihubungi di nomor: 0816935133
THINK AND ACT POSITIVELY
Oleh: Muk Kuang
Apa yang membuat seseorang berhasil?
Lalu apa yang membedakan mereka dengan yang lain?
Apa rahasia di balik itu semua?
Ada dua hal mendasar yang menjadi kunci utama, yaitu:
1. Cara seseorang berpikir
2. Cara seseorang bertindak
Apa pun yang kita pikirkan, dan apa pun yang kita lakukan baik itu positif maupun negatif akan memberikan dampak pada kehidupan kita sendiri. Ketika seseorang mendoktrin dirinya sesuatu yang buruk dari kecil, seperti misalnya 'Saya ini tidak mampu, saya ini kurang berpengalaman, saya ini masih muda, saya ini berlatar belakang keluarga miskin, saya ini kurang cantik, saya ini hanya lulusan dalam negeri', semua afirmasi negatif yang dibangun oleh seseorang kepada dirinya akan memengaruhi pola perilakunya sehari-hari.
Individu seperti ini menjadi takut melakukan sesuatu, ia menjadi takut gagal, ia menjadi pribadi yang penuh keraguan, ia menjadi orang yang menyesali kekurangannya, ia menjadi kehilangan kepercayaan diri. Apa yang Anda pikirkan, akan memengaruhi perasaan Anda. Apa yang Anda rasakan saat ini, akan memengaruhi perilaku sehari-hari Anda. Perilaku Anda yang akan menentukan keberhasilan Anda.
“Think you are the best; you will be better than the rest.
Think you are worst and you will be the worst.”
Dalam buku saya yang berjudul Think and Act like A Winner, dikatakan bahwa cara seseorang berpikir dan bertindak yang akan menentukan masa depannya. Banyak orang terperangkap oleh pengalaman buruk sendiri sehingga membuat mereka trauma untuk melakukan hal besar. Banyak orang lebih mendengarkan komentar negatif terhadap diri mereka sehingga membuat mereka berpikir negatif pula terhadap diri sendiri. Banyak orang berasosiasi dengan komunitas yang selalu mengeluh sehingga membuat mereka menjadi pribadi yang terus menerus mengeluh akan kondisi sendiri tanpa melakukan sesuatu yang berarti.
Tinggalkan semua mindset yang selalu negatif karena hal itu hanya akan menyeret seseorang ke dalam keterpurukan. Saatnya mindset negatif itu diganti dengan sebuah antusiasme dan optimisme. Bangun sebuah kebiasaan yang positif, dengan mulai mengisi hari Anda dengan sesuatu yang bernilai. Isi pikiran Anda dengan sesuatu yang bernilai positif. Jangan membuat komentar negatif mendominasi hidup Anda. Yakinkan bahwa Anda adalah pribadi yang luar biasa. Lakukan yang terbaik yang bisa Anda lakukan saat ini, dan jangan pernah menunda. Fokuskan pikiran Anda kepada apa yang bisa dilakukan dan bukan kepada apa yang tidak bisa dilakukan.
Pribadi yang positif diawali dari cara berpikir dan pada akhirnya akan berdampak pada cara berperilaku.
Setiap manusia memiliki potensi yang luar biasa di dalam dirinya, tapi terkadang manusia itu sendiri memilih untuk mengubur potensinya itu dikarenakan pola pikir yang ia pelihara. Semoga bukan ini yang Anda pilih.
Apa pun yang terjadi di masa lalu, apa pun yang pernah Anda alami, hiduplah untuk saat ini. Mulai membangun kebiasaan berpikir dan bertindak yang positif.
Isi hidup kita dengan sesuatu yang berharga dan jangan sia-siakan untuk sesuatu yang hanya akan merugikan hidup Anda.
Salam Pemenang,
* Muk Kuang adalah penulis buku “Think and Act like A Winner”, seorang trainer, dan pembicara seminar. Ia dapat dihubungi di email: mukkuang@gmail.com atau blognya di: http://ignatiusmk.blogspot.com.
Salam Pemenang,
* Muk Kuang adalah penulis buku “Think and Act like A Winner”, seorang trainer, dan pembicara seminar. Ia dapat dihubungi di email: mukkuang@gmail.com atau blognya di: http://ignatiusmk.blogspot.com.
THE SECRET OF SELF-CONCEPT
Pernahkan Anda melihat ada seseorang yang tampaknya bisa “memiliki segalanya”, hidupnya berkelimpahan, bisa bepergian ke mana saja ia mau, bisnisnya lancar, fisiknya bugar, keluarganya harmonis, dan ia tampak begitu dihormati di mana saja ia berada. Sementara itu, sebagian besar orang yang hidup di dunia ini justru terpuruk ke dalam keadaan frustrasi karena hidup di bawah standar.
Kualitas personal apakah yang dimiliki oleh orang yang super sukses tersebut dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang lainnya, sehingga ia selalu dapat mewujudkan kehidupan yang diinginkannya?
Pasti ada suatu RAHASIA yang dimiliki baik secara sadar maupun tidak oleh orang yang super sukses tersebut yang dapat kita pelajari dan terapkan untuk mewujudkan kehidupan ideal sesuai standar yang kita tetapkan sendiri.
Baru-baru ini, buku THE SECRET tampaknya banyak dibicarakan orang. Dalam buku itu Rhonda Byrne mengungkapkan rahasia yang sebenarnya pernah ditemukan dan telah ditemukan lagi sepanjang sejarah. Memahami hukum di balik rahasia itu akan mengubah segalanya. Ide sentralnya adalah mengenai Hukum Gaya Tarik. Hukum mental ini secara sederhana berbunyi: “Segala sesuatu yang Anda pikirkan dalam benak Anda akan tertarik ke dalam kehidupan Anda.” Hidup yang Anda jalani seperti adanya sekarang merupakan produk sebab akibat. Cara Anda berpikir dalam hidup adalah seperti magnet yang menarik peristiwa-peristiwa yang terjadi ke dalam hidup Anda baik maupun buruk.
Sekalipun ada beberapa hal yang saya merasa tidak sependapat dengan konsep yang diajarkan THE SECRET seperti:
Rhonda Byrne dan para pendukungnya hampir meniadakan peran TUHAN dalam urusan-urusan manusia, sebagian lagi bahkan menyamakan alam semesta sebagai tuhan yang merespon semua hal yang kita pikirkan.
Byrne dan kawan-kawan terlalu mengutamakan pengejaran material, keapatisan sosial, dan menyalahkan korban untuk berbagai peristiwa menyedihkan yang terjadi dalam hidup mereka.
Namun, buku tersebut masih memiliki banyak hal baik untuk disampaikan, yang harus kita lakukan adalah meluruskan konsepnya.
TUHAN menciptakan dunia agar manusia dapat mengendalikan banyak hal melalui hukum-hukum alam yang begitu spesifik dan terukur sehingga kita dapat mengirim orang ke bulan dan mengembalikannya ke bumi dengan ketepatan hitungan per detik. Bukan tidak mungkin bahwa Ia juga menciptakan hukum-hukum mental supaya manusia dapat mengendalikan lebih banyak kehidupannya. TUHAN tetaplah pribadi yang menciptakan segala sesuatunya. Dialah Sang Pencipta, Sang Penyembuh, dan Sang Penolong yang memberikan harapan bagi manusia.
Pengungkapan RAHASIA ini hanya memberi kita lebih banyak akses untuk mendapatkan apa yang telah TUHAN ciptakan dan ini tidak dapat menggantikan kedudukan TUHAN.
Hukum Gaya Tarik dan Self-Concept
Semua hal yang Anda ketahui tentang diri Anda, semua hal yang Anda percayai, dan semua hal yang pernah Anda alami dalam hidup terekam dalam mental hard-drive kepribadian Anda, yaitu di dalam self-concept Anda. Self-concept Anda mendahului dan memprediksi tingkat performa dan efektivitas setiap tindakan Anda. Tingkah laku nyata Anda akan selalu konsisten dengan self-concept yang terdapat dalam diri Anda.
Self-concept Anda memiliki tiga komponen utama, yaitu:
Self-Ideal (Diri Ideal)
Self-ideal adalah komponen pertama dari self-concept Anda. Self-Ideal Anda terdiri atas semua harapan, impian, visi, dan idaman Anda. Self-Ideal adalah sosok seperti apa yang paling Anda inginkan untuk menjadi diri Anda di segala bidang kehidupan Anda.
Self-Image (Citra Diri)
Bagian kedua dari self-concept Anda adalah self-image. Bagian ini menunjukan bagaimana Anda membayangkan diri Anda sendiri yang akan menentukan bagaimana Anda akan bertingkah laku dalam situasi tertentu.
Self-Esteem (Jati Diri)
Bagian ketiga self-concept adalah self-esteem. Definisi paling tepat untuk menggambarkan self-esteem adalah seberapa besar Anda menyukai diri Anda sendiri.
Hukum Gaya tarik hanya akan bereaksi dengan tingkat pemikiran yang mendalam yaitu apa yang Anda rasakan di dalam self-concept Anda. Perubahan dalam self-concept Anda akan mengubah kehidupan lahiriah Anda. Perubahan dalam self-concept Anda akan mengubah realitas yang Anda hadapi. Apa yang Anda tayangkan pada layar mental Anda akan menarik orang, benda, situasi, kejadian, sumber daya, dan juga “keberuntungan” yang sejalan dengan karakter pikiran yang dominan pada self-concept Anda.
Langkah-langkah meningkatkan level self-concept Anda untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik adalah sbb:
Tentukan self-deal Anda dengan standar yang tinggi, dengan nilai-nilai dan visi yang jelas (Anda ingin menjadi orang seperti apa? Ingin memiliki apa? Tinggal di mana? Dsb.)
Secara bertahap sesuaikan self-image Anda untuk bisa sejajar dengan self-ideal Anda. Caranya adalah dengan melakukan latihan visualisasi (tentukan bagi diri Anda sendiri tingkah laku tertentu atau tujuan tertentu yang ingin Anda capai, lihatlah diri Anda sendiri memancarkan tingkah laku tersebut secara spesifik, terimalah adegan ini dan perubahan yang disajikannya sebagai sesuatu yang telah menjadi bagian hidup Anda).
Tingkat self-esteem Anda ditentukan oleh seberapa cocok self-image Anda, yaitu performa dan tingkah laku Anda saat ini dengan self-ideal Anda. Setiap kali Anda merasa sanggup menjalankan sesuatu pada tingkat yang paling baik, Anda akan merasa sangat puas dan self-esteem Anda akan melejit naik.[sb]
* Stephen Barnabas adalah penulis buku “Financial Self-Concept: Kunci Meraih KEKAYAAN dan KESUKSESAN Sejati” (Gramedia, 2008). Ia dapat dihubungi di email:
[Pembelajar.Com::]
Kualitas personal apakah yang dimiliki oleh orang yang super sukses tersebut dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang lainnya, sehingga ia selalu dapat mewujudkan kehidupan yang diinginkannya?
Pasti ada suatu RAHASIA yang dimiliki baik secara sadar maupun tidak oleh orang yang super sukses tersebut yang dapat kita pelajari dan terapkan untuk mewujudkan kehidupan ideal sesuai standar yang kita tetapkan sendiri.
Baru-baru ini, buku THE SECRET tampaknya banyak dibicarakan orang. Dalam buku itu Rhonda Byrne mengungkapkan rahasia yang sebenarnya pernah ditemukan dan telah ditemukan lagi sepanjang sejarah. Memahami hukum di balik rahasia itu akan mengubah segalanya. Ide sentralnya adalah mengenai Hukum Gaya Tarik. Hukum mental ini secara sederhana berbunyi: “Segala sesuatu yang Anda pikirkan dalam benak Anda akan tertarik ke dalam kehidupan Anda.” Hidup yang Anda jalani seperti adanya sekarang merupakan produk sebab akibat. Cara Anda berpikir dalam hidup adalah seperti magnet yang menarik peristiwa-peristiwa yang terjadi ke dalam hidup Anda baik maupun buruk.
Sekalipun ada beberapa hal yang saya merasa tidak sependapat dengan konsep yang diajarkan THE SECRET seperti:
Rhonda Byrne dan para pendukungnya hampir meniadakan peran TUHAN dalam urusan-urusan manusia, sebagian lagi bahkan menyamakan alam semesta sebagai tuhan yang merespon semua hal yang kita pikirkan.
Byrne dan kawan-kawan terlalu mengutamakan pengejaran material, keapatisan sosial, dan menyalahkan korban untuk berbagai peristiwa menyedihkan yang terjadi dalam hidup mereka.
Namun, buku tersebut masih memiliki banyak hal baik untuk disampaikan, yang harus kita lakukan adalah meluruskan konsepnya.
TUHAN menciptakan dunia agar manusia dapat mengendalikan banyak hal melalui hukum-hukum alam yang begitu spesifik dan terukur sehingga kita dapat mengirim orang ke bulan dan mengembalikannya ke bumi dengan ketepatan hitungan per detik. Bukan tidak mungkin bahwa Ia juga menciptakan hukum-hukum mental supaya manusia dapat mengendalikan lebih banyak kehidupannya. TUHAN tetaplah pribadi yang menciptakan segala sesuatunya. Dialah Sang Pencipta, Sang Penyembuh, dan Sang Penolong yang memberikan harapan bagi manusia.
Pengungkapan RAHASIA ini hanya memberi kita lebih banyak akses untuk mendapatkan apa yang telah TUHAN ciptakan dan ini tidak dapat menggantikan kedudukan TUHAN.
Hukum Gaya Tarik dan Self-Concept
Semua hal yang Anda ketahui tentang diri Anda, semua hal yang Anda percayai, dan semua hal yang pernah Anda alami dalam hidup terekam dalam mental hard-drive kepribadian Anda, yaitu di dalam self-concept Anda. Self-concept Anda mendahului dan memprediksi tingkat performa dan efektivitas setiap tindakan Anda. Tingkah laku nyata Anda akan selalu konsisten dengan self-concept yang terdapat dalam diri Anda.
Self-concept Anda memiliki tiga komponen utama, yaitu:
Self-Ideal (Diri Ideal)
Self-ideal adalah komponen pertama dari self-concept Anda. Self-Ideal Anda terdiri atas semua harapan, impian, visi, dan idaman Anda. Self-Ideal adalah sosok seperti apa yang paling Anda inginkan untuk menjadi diri Anda di segala bidang kehidupan Anda.
Self-Image (Citra Diri)
Bagian kedua dari self-concept Anda adalah self-image. Bagian ini menunjukan bagaimana Anda membayangkan diri Anda sendiri yang akan menentukan bagaimana Anda akan bertingkah laku dalam situasi tertentu.
Self-Esteem (Jati Diri)
Bagian ketiga self-concept adalah self-esteem. Definisi paling tepat untuk menggambarkan self-esteem adalah seberapa besar Anda menyukai diri Anda sendiri.
Hukum Gaya tarik hanya akan bereaksi dengan tingkat pemikiran yang mendalam yaitu apa yang Anda rasakan di dalam self-concept Anda. Perubahan dalam self-concept Anda akan mengubah kehidupan lahiriah Anda. Perubahan dalam self-concept Anda akan mengubah realitas yang Anda hadapi. Apa yang Anda tayangkan pada layar mental Anda akan menarik orang, benda, situasi, kejadian, sumber daya, dan juga “keberuntungan” yang sejalan dengan karakter pikiran yang dominan pada self-concept Anda.
Langkah-langkah meningkatkan level self-concept Anda untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik adalah sbb:
Tentukan self-deal Anda dengan standar yang tinggi, dengan nilai-nilai dan visi yang jelas (Anda ingin menjadi orang seperti apa? Ingin memiliki apa? Tinggal di mana? Dsb.)
Secara bertahap sesuaikan self-image Anda untuk bisa sejajar dengan self-ideal Anda. Caranya adalah dengan melakukan latihan visualisasi (tentukan bagi diri Anda sendiri tingkah laku tertentu atau tujuan tertentu yang ingin Anda capai, lihatlah diri Anda sendiri memancarkan tingkah laku tersebut secara spesifik, terimalah adegan ini dan perubahan yang disajikannya sebagai sesuatu yang telah menjadi bagian hidup Anda).
Tingkat self-esteem Anda ditentukan oleh seberapa cocok self-image Anda, yaitu performa dan tingkah laku Anda saat ini dengan self-ideal Anda. Setiap kali Anda merasa sanggup menjalankan sesuatu pada tingkat yang paling baik, Anda akan merasa sangat puas dan self-esteem Anda akan melejit naik.[sb]
* Stephen Barnabas adalah penulis buku “Financial Self-Concept: Kunci Meraih KEKAYAAN dan KESUKSESAN Sejati” (Gramedia, 2008). Ia dapat dihubungi di email:
[Pembelajar.Com::]
Langganan:
Postingan (Atom)
instanx
Total Tayangan Halaman
Categories
- abdul muid badrun (2)
- Acha Septriasa (4)
- ade asep syafruddin (4)
- alexandra dewi (1)
- alpiyanto (1)
- andrew ho (91)
- Ardian syam (22)
- arief yuntanu (2)
- arif gunawan (40)
- arif yustanu (1)
- artikel (13118)
- bambang trim (1)
- beni bevly (1)
- berita (3795)
- BLOGERNAS (1)
- damardi darmawangsa (13)
- danang a akbarona (2)
- dany chandra (3)
- dewi lestari (1)
- Dian Sastro (1)
- didik darmanto (2)
- dodi mawardi (2)
- DOWNLOAD EBOOK GRATIS (234)
- edi zaqeus (1)
- edit (110)
- eko jalu santoso (1)
- eni kusuma (11)
- goenardjoadi goenawan (1)
- hari subagya (7)
- haryanto kandani (4)
- hendra (10)
- ida kuraeny (1)
- indra cahya (1)
- iqnatius muk kuang (8)
- jennie s bev (1)
- johanes koraang (1)
- joko susilo (47)
- joni liu (2)
- joshua w utomo (2)
- joycelina (1)
- kerjadarirumah (4)
- kristopher david (1)
- lamser aritonang (1)
- Luna maya (15)
- m ichsan (41)
- m ikbal (1)
- Mariana Renata (1)
- marsello ginting (1)
- marzuki usman (3)
- Mieke Amalia (1)
- mugi subagya (1)
- muk kuang (1)
- Mulan Jameela (1)
- original artikel (103)
- profil (3)
- pujiono (1)
- rab a broto (4)
- Revalina S. Temat (3)
- riyanto s (4)
- ronal frank (2)
- roni jamaludin (1)
- ruby herman (1)
- ruddy kusnadi (1)
- rudy lim (19)
- sansulung john sum (1)
- saumimam saud (1)
- stephen barnabas (1)
- suryanto wijaya (3)
- syahril syam (17)
- tan bonaventura andika sumarjo (1)
- tanadi santoso (1)
- tante girang (454)
- thomas sugiarto (8)
- tung desem waringin (4)
- undang a halim (1)
- walpaper (50)