Bidan; Profesi Berat nan Mulia. Sebuah Pertaruhan Antara Darah dan Nyawa:
Tulisan ini saya ambilkan dari tulisan Sdri Aulia Gurdi dalam blog
Kompasiana. Cerita yang inspiratif dan menyentuh perasaan. Bacalah dengan pelan-pelan, lalu hayati, maka andapun akan dapat meneteskan air mata. Selamat membaca.
Mendatangi tempat praktek bidan kala hendak melahirkan masih menjadi pilihan sebagian besar masyarakat kita. Biaya melahirkan yang terjangkau, pelayanan yang lebih bersifat kekeluargaan, dan tempat klinik yang biasanya tak jauh dari lokasi rumah, adalah beberapa alasan mengapa masyarakat setia mendatangi klinik kebidanan. Tak heran bila klinik-klinik kebidanan tak pernah sepi pengunjung. Terkadang dalam satu keluarga tak hanya anak pertama, bahkan anak kedua, ketiga, lahir ditempat yang sama. Mereka datang bermodal kepercayaan.
Hampir selama 30 tahun lebih ibuku bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Selama kurun waktu itu, 15 tahun ia mengabdi sebagai perawat dan separuhnya lagi ia jalani sebagai bidan. Kini status ibuku adalah mantan bidan. Karena ia sudah pensiun dari profesinya. Ia memutuskan pensiun dini. Dengan alasan ingin momong cucu. Pernah ayahku menyarankan agar ibu membuka praktek bidan dirumah. Maksud ayah, agar ibu tetap bisa mengamalkan ilmunya. Selain itu, dengan membuka praktek, tentu ibu bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Tak hanya ayah. Teman-teman seprofesinya pun banyak yang mengajaknya bekerja sama membuka klinik atau balai pengobatan. Sudah banyak dari teman-temannya yang hidupnya berkecukupan dari hasil membuka praktek bidan ini. Namun semua tawaran itu ditampiknya. Sedikitpun ia tak berminat.
Kemudian berceritalah ibuku, tentang alasannya tak ingin menjalani saran yang diusulkan ayah. Ibuku beralasan ia ingin hidup tenang di hari tuanya tanpa diganggu perasaan tertekan dan stress karena membuka praktek. Lho?? kenapa stress? bukankah itu adalah dunianya selama ini. Dunia yang telah digelutinya selama hampir 15 tahun lamanya?
Penasaran akan alasan ibu membuatku bertanya lebih jauh padanya. Ibupun menjelaskan. Profesi bidan adalah profesi yang sangat penuh resiko dan tekanan. Seorang bidan mempunyai kewenangan menolong pasien selama kehamilan normal dan tak ada indikasi penyulit. Namun selalu ada saja kasus-kasus kehamilan pasca melahirkan yang mempunyai resiko besar dalam penanganannya. Memang tak sebesar resiko seorang dokter obgyn, meski yang dihadapi adalah obyek yang sama. Karena wewenang dan batas tanggung jawab dokter dan bidan berbeda. Karena memang bidan tak sederajat dengan dokter dalam tingkatan ilmu.
Selain itu, sebagaimana layaknya profesi dokter, profesi bidan juga yang sarat nilai pengabdian. Hingga butuh konsentrasi penuh dalam pelayanan. Sebagai contoh, bila sudah memutuskan untuk membuka praktek, pintu klinik harus terbuka setiap saat. Siaga 24 jam penuh didatangi pasien dan calon ibu yang akan melahirkan. Karena proses kelahiran kerap tak mengenal waktu. Kapanpun bisa terjadi, tak peduli pada dinihari, waktu saat kebanyakan orang beristirahat. Tak mungkin menolak pasien yang mengetuk pintu memohon pertolongan. Tentu saja ini memberatkan bagi ibuku yang ingin mencari ketenangan di usia pensiunnya. Bila itu dilakoninya, bukan tak mungkin waktunya kembali habis tercurah disana.
Begitupun di rumah sakit, khususnya dibagian kebidanan. Di sana, layaknya peran perawat, para bidan adalah asisten dokter. Bila pasien misalnya datang pada waktu dini hari hendak melahirkan, bidanlah yang menjadi garda depan menghadapi pasien, mendahului dokter yang biasanya datang belakangan. Saat pasien datang, biasanya sang dokter yang dituju si pasien akan ditelpon oleh bidan. Dan sebelum dokter datang, sekian petunjuk mengenai tindakan apa yang harus dilakukan terhadap pasien, diinstruksikan dokter kepada bidan lewat telpon. Ini menjadi standar prosedur kerja. Karena bila tak melapor dokter, jika sesuatu terjadi pada pasien ditengah jalan, ini bisa menjadi kasus yang ikut menyeret dan membelit si bidan. Karena dianggap lalai terhadap prosedur.
Namun lagi-lagi, waktu proses kelahiran kerap tak ada yang bisa mengaturnya. Ini hak prerogatif Tuhan. Seringkali, sebelum dokter datang, pasien sudah tak tahan untuk mengejan. Tanda waktu melahirkan sudah tiba. Bila sudah begini, bidanpun tak mungkin menunggu datangnya sang dokter. Ia harus segera memimpin proses kelahiran. Tugas dokter otomatis diestafet, berpindah ke tangannya. Karena nyawa ibu dan anak jauh lebih penting untuk didahulukan. Akhirnya si anak lahir ditolong sang bidan, meski ibunya menginginkan di tolong seorang dokter.
Dalam perjalanan 15 tahun menjadi bidan, cerita sedih dan tragis pernah pula ibuku alami. Saat itu adalah hari terkelam baginya, sepanjang perjalanan karirnya sebagai bidan. Ibuku gagal menolong seorang ibu yang menderita perdarahan hebat pasca melahirkan. Memang semua adalah kerja tim dengan sesama bidan lain dan atas kontrol serta pengawasan dokter obgyn tentunya. Namun malang tak dapat ditolak, sang ibu meninggal dunia tanpa sempat ditangani oleh dokter. Inilah mimpi buruk bagi seorang bidan. Saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, sang pasien terkulai lemah menutup mata, karena kehabisan darah. Tentu saja saat itu ibuku dan beberapa bidan yang bersamanya panik luar biasa.
Sungguh pengalaman traumatis. Membuat ibuku tak bisa tidur berhari-hari karena terus dihantui rasa bersalah. Terbayang selalu wajah si pasien saat meregang nyawa. Rasa bersalah yang terus terbawa bahkan sampai ke mimpinya. Membuat hari-hari ibuku diliputi stress berkepanjangan. Mentalnya tak cukup kuat menghadapi kasus traumatis itu. Padahal saat itu keluarga pasien pasrah menerima. Tak ada komplain. Bayangkan bila sudah ada kasus seperti itu, masih pula harus menghadapi klaim dari keluarga pasien yang tak terima. Tentu bidan masih harus berurusan sangat panjang dengan aparat hukum. Ceritanya tak berhenti sampai disitu.
Pengalaman buruk inilah yang saat itu membuat ibuku ingin berhenti dari profesinya sebagai seorang bidan. Ia tak cukup kuat mental menghadapi kasus demikian. Sementara kasus kematian ibu dan anak pasca melahirkan kerap terjadi tanpa diduga. Namun berkat dorongan teman-temannya ia berhasil melewati masa traumanya. Teman-temannyalah yang akhirnya bisa meyakinkan ibuku, bahwa semua itu adalah resiko pekerjaan. Tak ada yang perlu disalahkan. Semuanya takdir. Selama ia telah bekerja sesuai prosedur. Begitu hibur teman-temannya.
Sebagai seorang anak bidan, aku bisa merasakan peliknya tantangan profesi ini. Beberapa kali aku pernah diajak ibu menyaksikan langsung proses kelahiran normal seorang ibu. Menyaksikannya, benar-benar pengalaman mendebarkan bagi orang awam sepertiku. Terkesima saat kepala bayi lahir dari lubang kecil yang sangat sempit namun juga sangat elastis itu. Subhanallah…benar-benar menakjubkan. Meski aku melihatnya sambil mengernyit setengah ngeri. Tak terbayang bila kepala bayi macet dijalan lahir karena si ibu kelelahan dan berhenti mengejan. Tentu ini bisa membuat bayi membiru kehilangan nafas. Dan sudah pasti ini akan berdampak buruk pada kesehatan sang bayi kelak . Bukan tak mungkin pula menyebabkan kematian sang bayi. Inilah diantara contoh resiko besar yang mengiringi sebuah proses kelahiran.
Demi menyaksikan semua itu pula aku bisa mengerti mengapa Tuhan memberi ganjaran mati syahid bagi seorang ibu yang meninggal dunia saat melahirkan. Ia benar-benar berjuang dalam hidup dan mati. Kakinya menjejak di dua tempat. Dunia dan Akhirat. Itulah mengapa surga ada di telapak kaki ibu. Karena proses kelahiran yang luar biasa sakitnya ini, masih didahului dengan proses kehamilan selama 9 bulan lamanya. Meski itu proses alami, tentu bukan hal mudah menjalaninya.
Akhirnya aku berkesimpulan, diperlukan mental baja bila ingin menekuni profesi bidan. Selalu ada kasus-kasus berat yang mengiringi perjalanan profesinya. Meski sejatinya tak ada pekerjaan tanpa resiko. Dan aku pikir ibuku tak cukup punya mental itu. Tak heran ia pensiun dini…