Rabu, 08 Oktober 2008

Mengapa Harus Malu?




“The most important human endeavor is striving for morality in our actions. Our inner balance and even our very existence depend on it. Only morality in our actions can give beauty and dignity to life.

– Upaya manusia yang terpenting adalah tindakan yang berlandaskan moralitas. Keseimbangan jiwa dan keberhasilan kita sangat tergantung padanya (moralitas). Hanya sikap dan tindakan yang berlandaskan moralitas yang dapat memberikan keindahan dan meningkatkan martabat kehidupan kita.”
Einstein

Pada bulan Maret lalu saya menjenguk salah seorang kakak di Melbourne. Selama 3 hari di kota tersebut, saya benar-benar merasa heran karena cost of living atau biaya hidup di kota maju seperti itu tidak seperti yang saya bayangkan. Harga buah-buahan dan daging maupun kebutuhan pokok lainnya cukup murah. Sementara daya beli masyarakat disana cukup besar. Bisa dibayangkan kesejahteraan masyarakat disana pasti terjamin.

Keadaan itu sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia. Harga-harga kebutuhan pokok di Indonesia semakin tak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat. Padahal negri ini dikenal memiliki tanah subur dan sumber daya alam yang kaya.

Sebaliknya, negri ini ternyata juga dikenal memiliki hutang luar negri sangat banyak. Bahkan menurut Paul Wolfowits, Presiden Bank Dunia, untuk tahun 2006 Indonesia dijanjikan pinjaman sebesar US $900 juta. “Jumlah itu adalah jumlah yang sangat serius,” ucapnya dalam kunjungan ke Indonesia beberapa waktu yang lalu.

Kekayaan negri ini maupun hutang luar negri lebih banyak diselewengkan daripada dimanfaatkan untuk mengoptimalkan fungsinya untuk mengentaskan kemiskinan ataupun memajukan kehidupan bangsa. Korupsi telah berakibat semakin bertambah besar jumlah penduduk miskin dan penganguran. “Korupsi adalah persoalan yang sangat serius di negri ini,” ujar Paul Wolfowits saat meminta bantuan KPK untuk mengawasi adanya penyimpangan.

Persoalan korupsi di Indonesia sangat sulit diberantas. Paul Wolfowits menilai itu karena sistem yudisial di Indonesia buruk. Faktor tersebut sesungguhnya penghalang bagi keadilan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Bila kita menengok ke Cina, Zhu Rongji adalah satu contoh seorang pemimpin yang mampu menghapus label negrinya dari negara terkorup di dunia. Ketika dilantik pada bulan Maret 1998 sebagai perdana mentri, dengan lantang ia mengucapkan, “Berikan kepada saya seratus peti mati. Sembilan puluh sembilan untuk koruptor, dan satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama.”

Sejak tahun 2001, terhitung lebih dari 4.000 jiwa dieksekusi mati. Ribuan peti mati itu terisi pejabat tinggi sampai biasa, pengusaha, hingga wartawan. Di lain pihak, penegakan hukum di Cina dengan cara menghukum mati siapapun yang melanggar hukum tanpa pandang bulu dinilai sangat mengerikan. Tetapi itulah salah satu jalan yang telah menyelamatkan Cina dari kehancuran.

Sementara itu Cina juga menganggarkan dana cukup besar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain memajukan pendidikan di dalam negri, pemerintah mengirim ribuan siswa belajar ke luar negri dan mengundang para pakar bisnis berbicara di Cina. Cara tersebut telah memacu ekonomi Cina bertumbuh pesat, mencapai 9% per tahun.

Sikap korup atau manipulatif sangat merugikan dan menimbulkan malapetaka bagi pihak lain, menghambat kemajuan dan hanya menciptakan kehancuran. Dari Cina kita melihat seorang pemimpin jelaslah memiliki peran yang sangat signifikan untuk menekan tindak korupsi. Tetapi kita tidak perlu menunggu terlalu lama sampai pemimpin seperti Zhu Rongji muncul untuk memperbaiki keadaan. Kita sendiri harus berinisiatif membangun kesadaran dan sikap baru agar tidak ikut terjun dalam jurang kehancuran.

Langkah yang pertama adalah membangun kesadaran ‘malu’ melanggar nilai-nilai moralitas ataupun melakukan perilaku buruk lainnya. Meminjam istilah yang biasa digunakan oleh Aa Gym, seorang ulama ternama di Indonesia, budayakan kesadaran tersebut dari dalam diri sendiri, dari hal yang terkecil, dan sejak saat ini. Komitmen yang tertanam untuk selalu menjunjung nilai-nilai moralitas akan membentuk sikap disiplin dan memacu kemauan untuk memperbaiki kualitas diri.

Bila sikap ‘malu’ melanggar nilai-nilai moralitas serta melakukan perilaku buruk lainnya benar-benar membudaya di dalam diri kita sendiri, maka tak sulit untuk mengajak orang-orang di sekitar kita untuk bersikap serupa. “The silence often of pure innocence. Persuades when speaking fails. – Diam seringkali pertanda kebaikan yang murni. Berdampak lebih nyata, ketika kata-kata sudah tidak berguna,” kata seorang seniman Inggris ternama, William Shakespeare. Kurang lebih ia mengingatkan bahwa sikap adalah kata-kata yang paling efektif untuk mempengaruhi orang lain.

Contoh bangsa yang memiliki rasa malu tinggi dan sangat maju adalah Jepang. Bangsa Jepang adalah bangsa yang paling tidak tahan menanggung malu. Jika melakukan kesalahan, pelanggaran hukum atau gagal, maka mereka tidak segan menebusnya dengan kematian. Setiap tahun sedikitnya 175 orang melakukan Harakiri, yaitu bunuh diri untuk menegakkan nama baik dan harga diri. Bayangkan, alangkah pesat kemajuan kita dan bangsa ini di bidang tehnologi dan berbagai bidang lainnya seperti di Jepang, bila setiap individu di Indonesia memiliki rasa ‘malu’ melanggar nilai-nilai moralitas serta melakukan perilaku buruk lainnya.

Membudayakan sikap ‘malu’ memerlukan kejujuran, untuk menilai apakah perbuatan kita sendiri sudah sesuai dengan norma atau moralitas kemanusiaan ataukah tidak. Dikatakan oleh Einstein, “If a rich man is proud of his wealth, he should not be praised until it is known how he employs it – Jika seseorang sangat bangga dengan kekayaannya, dia tidak perlu dipuji sampai diketahui bagaimana cara dia mendapatkan kekayaan tersebut.” Einstein menandaskan bahwa martabat dan kekaguman pada seseorang tidak dapat diperoleh dari hasil manipulasi atau perbuatan buruk lainnya.

Bila kita jujur menilai perbuatan kita, lalu merasa malu bila upaya yang kita lakukan tidak sejalan dengan nilai moralitas, maka hal itu akan memacu diri kita untuk memperbaiki diri dan bersikap lebih baik lagi. Yakinilah bahwa setiap perbuatan yang sejalan dengan moralitas dan kebaikan pasti bermanfaat untuk kemajuan hidup Anda. “Goodness is the only investment that never fails. – Kebaikan adalah satu-satunya investasi yang tidak pernah gagal,” tegas Henry David Thoreau.

Malu bukan selalu pertanda buruk. Malu melakukan perbuatan yang melanggar moralitas ataupun perbuatan buruk lainnya adalah jalan untuk memperbaiki diri sekaligus keadaan kita. Saya yakin seandainya sikap malu hal ini dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia terutama para pengusaha dan abdi negara, ditunjang dengan hukum dan peradilan yang tegas seperti legenda penegak hukum ideal yang tergambar dalam serial film Justice Bao, maka masyarakat pasti lebih sejahtera, tidak ada kemiskinan ataupun busung lapar maupun hutang luar negri yang besar.

* Andrew Ho adalah seorang motivator, pengusaha, dan penulis buku best seller

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman