Sabtu, 12 Februari 2011

Ketuban Pecah DINI ( buat yang ce/yang istrinya lagi hamil )

Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrane ( PROM ) merupakan rupture membrane fetal sebelum onset persalinan. Sebagian besar kasus ini terjadi pada waktu mendekati kelahiran, tetapi saat ketuban pecah sebelum masa gestasi 37 minggu, maka disebut preterm PROM atau ketuban pecah dini preterm.
Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling sering dijumpai. Insiden ketuban pecah ini dilaporkan bervariasi dari 6% hingga 10% , dimana sekitar 20% kasus terjadi sebelum memasuki masa gestasi 37 minggu. Sekitar 8 hingga 10% pasien ketuban pecah dini memiliki risiko tinggi infeksi intrauterine akibat interval antara ketuban pecah dan persalinan yang memanjang. Ketuban pecah dini berhubungan dengan 30 hingga 40% persalinan preterm dimana sekitar 75% pasien akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini dari jadwal.
Ketuban pecah dini merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas perinatal serta berhubungan dengan infeksi perinatal dan kompresi umbilical cord akibat oligohidramnion. Infeksi koriodesidual memiliki peranan penting dalam etiologi terjadinya ketuban pecah dini terutama pada usia gestasi awal.
Pendekatan ketuban pecah dini pada kehamilan minggu ke 34 hari pertama hingga minggu ke 36 hari ke 6 hingga saat ini masih tetap mengundang banyak kontroversi. Beberapa studi menunjukan bahwa pemanjangan masa gestasi minggu ke 34 hari pertama memberikan sedikit atau tidak memberikan reduksi morbiditas neonatal karena insiden morbiditas dan kematian bayi ini tidak berbeda bermakna, dengan mereka yang dilahirkan setelah usia gestasi 36 minggu 6 hari. Ketuban pecah dini preterm antara minggu ke 34 hingga 37 berhubungan erat dengan korioamnionitis dan morbiditas neonatal. Pelaksanaan persalinan aktif dan melalui operasi Caesar pada kasus ketuban pecah dini tidak menunjukan perbedaan bermakna.
Ketuban pecah dini dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi pada neonatus meliputi respiratory distress syndrome, cord compression, oligohidramnion, enterokolitis nekrotikans, gangguan neurology, infeksi neonatal dan perdarahan interventrikular. Oleh sebab itu klinisi yang mengawasi pasien harus mampu menegakkan diagnosis ketuban pecah dini dan memberikan terapi yang akurat untuk memperbaiki luaran dan prognosis pasien ketuban pecah dini dan bayinya.


BAB 2
PEMBAHASAN


1.DEFINISI

Ketuban Pecah Dini ( KPD ) atau spontaneous / early /premature rupture of the membrane ( PROM ) adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multi para kurang dari 5 cm.
Bila periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah pecah, maka dapat terjadi infeksi yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak. Untunglah karena adanya antibiotik spektrum luas , maka hal ini dapat ditekan.
Sampai saat ini masih banyak pertentangan mengenai penatalaksanaan KPD yang bervariasi dari doing nothing sampai pada tindakan yang berlebihan. Insidens KPD terjadi kira-kira 6-10% dari semua kehamilan.


2. Anatomi dan struktur Membran Fetal

Amnion manusia terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Lapisan ini tidak mengandung pembuluh darah maupun saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan amnion. Lapisan paling dalam dan terdekat pada fetus ialah epithelium amniotik. Epitel amniotik ini mensekresikan kolagen tipe III dan IV dan glikoprotein non kolagen ( laminin , nidogen dan fibronectin ) dari membrane basalis, lapisan amnion disebelahnya.
Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada membrane basalis ini membentuk skeleton fibrosa dari amnion. Kolagen dari lapisan kompakta disekresikan oleh sel mesenkim dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial ( tipe I dan III ) mendominasi dan membentuk parallel bundles yang mempertahankan integritas mekanikan amnion. Kolagen tipe V dan VI membentuk koneksi filamentosa antara kolagen interstitial dan membrane basalis epithelial. Tidak ada interposisi dari materi yang menyusun fibril kolagen pada jaringan konektif amniotic sehingga amnion dapat mempertahankan tensile strength selama stadium akhir kehamilan normal.
Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotic yang paling tebal terdiri dari sel mesenkimal dan makrofag diantara matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini membentuk jaringan longgar dari glikoprotein non kolagenosa.
Lapisan intermediate ( spongy layer atau zona spongiosa ) terletak diantara amnion dan korion. Lapisan ini banyak mengandung hydrated proteoglycan dan glikoprotein yang memberikan sifat “spongy” pada gambaran histology. Lapisan ini juga mengandung nonfibrillar meshwork yang terdiri sebagian besar dari kolagen tipe III. Lapisan intermediate ini mengabsorbsi stress fisik yang terjadi.
Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki tensile strength yang lebih besar. Korion terdiri dari membrane epithelial tipikal dengan polaritas langsung menunu desidua maternal. Pada proses kehamilan, vili trofoblastik diantara lapisan korionik dari membrane fetal ( bebas plasenta ) mengalami regresi. Dibawah lapisan sitotrofoblas ( dekat janin ) merupakan membrane basalis dan jaringan knektif korionik yang kaya akan serat kolagen.
Membran fetal memperlihatkan variasi regional. Walaupun tidak ada bukti yang menunjukan adanya titik lemah dimana membrane akan pecah, observasi harus dilakukan untuk menghindari terjadinya perubahan struktur dan komposisi membrane yang memicu terjadinya ketuban pecah dini.
Vintziuleos dalam hipotesisnya memandang bahwa cairan amnion mengandung materi bakteriostatik tertentu sebagai pelindung terhadap proses infeksi potensial dan penurunan volume cairan amnion dapat menghambat kemampuan pasien dalam menghadapi infeksi. Penelitian oleh borna et al menunjukan bahwa pasien dengan oligohidramnion ( AFI<5) memiliki risiko tinggi menderita korioamnionitis dan sepsis pada neonatus.
Sebagian besar bukti mengarah bahwa ketuban pecah dini berhubungan dengan proses biokimia meliputi rusaknya kolagen antarmatriks ekstraseluler amnion dan korion dan programmed death of cell pada membrane janin dan lapisan uteri maternal ( desidua ) sebagai respon terhadap berbagai rangsangan seperti peregangan membrane ( membrane stretching ) dan infeksi saluran reproduksi , yang menghasilkan mediator seperti prostaglandin, sitokin dan hormone protein yang mengatur aktivitas enzim degradasi matriks.


3. Faktor Risiko.

Berbagai faktor risiko berhubungan dengan timbulnya ketuban pecah dini. Ras kulit hitam cenderung memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Pasien dengan status sosioekonomi rendah , perokok, riwayat penyakit menular seksual, riwayat persalinan preterm sebelumnya, perdarahan pervag†nam atau distensi uteri ( misal polihidramnion dan gemelli ) memiliki risiko tinggi. Tindakan prosedural seperti amniosentesis juga dapat memicu ketuban pecah dini.

Beberapa faktor risiko yang memicu terjadinya ketuban pecah dini ialah :
1. Kehamilan multiple : kembar dua ( 50%) , kembar tiga ( 90 %).
2. Riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2-4x
3. Tindakan segama : tidak berpengaruh kepada risiko, kecuali jika hygiene buruk , predisposisi terhadap infeksi.
4. perdarahan pervag†nam : trimester pertama ( risiko 2x ) , trimester kedua/ketiga ( 20x )
5. Bakteriuria : risiko 2x ( prevalensi 7 % )
6. PH vag†na di atas 4,5 : risiko 32% ( vs. 16%)
7. Servix tipis / kurang dari 39 mm : risiko 25% ( vs 7%)
8. Flora vag†na abnormal : risiko 2-3x
9. Fibronectin > 50 mg/ml : risiko 83% ( vs 19% )
10. Kadar CRH ( corticotropoin releasing hormone ) maternal tinggi misalnya pada stress psikologis , dsb. Dapat menjadi stimulasi persalinan preterm.

4. Patofisiologi

Ketuban pecah dini berhubungan dengan kelemahan menyeluruh membrane fetal akibat kontraksi uteri dan peregangan berulang. Membran yang mengalami rupture premature ini tampak memiliki defek fokal disbanding kelemahan menyeluruh. Daerah dekat tempat pecahnya membrane ini disebut “ restricted zone of extreme altered morphology” yang ditandai dengan adanya pembengkakan dan kerusakan jaringan kolagen fibrilar pada lapisan kompakta, fibroblast maupun spongiosa. Daerah ini akan muncul sebelum ketuban pecah dini dan merupakan daerah breakpoint awal. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ilalah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi.


5. Manifestasi Klinis

Setelah ketuban pecah dini pada kondisi “term’, sekitar 70% pasien akan memulai persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah dini preterm, periode latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik dengan usia gestasional, misalnya pada kehamilan minggu ke 20 hingga ke 26, rata-rata periode latensi sekitar 12 hari. Pada kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34, periode latensi berkisar hanya 4 hari.
Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif terhadap ibu dan bayi. Peningkatan lipid peroxidation dan aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam eritrosit. Bayi premature memiliki pertahanan antioksidan yang lemah. Reaksi radikal bebas pada bayi premature menunjukan tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi selama minggu pertama kehidupan. Beberapa komplikasi pada neonatus diperkirakan terjadi akibat meningkatnya kerentanan neonatus terhadap trauma radikal oksigen.


6. Diagnosis

Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan dari anamnesis, permeriksaan fisis dan studi laboratorium. Pasien sering kali mengeluhkan adanya carian yang keluar mendadak akibat adanya kebocoran yang berkelanjutan. Klinisi harus menanyakan apakah pasien mengalami kontraksi , perdarahan pervag†nam atau riwayat hubungan seksual atau ada tidaknya deman. Hal ini penting untuk verifikasi karena akan berhubungan dengan penatalaksanaan yang akan diberikan.
Adanya carian yang keluar dari vag†na atau kebocoran dari servikal terutama saat pasien batuk atau saat diberikan fundal pressure dapat membantu menegakan diagnosis ketuban pecah dini. Metode diagnostic dengan menggunakan nitrazine papper dan penentuan ferning memiliki tingkat sensitivitas mencapai 90%. PH vag†na normal berkisar 4,5 dan 6 sedangkan ph cairan amnion lebih alkali dengan PH 7,2 hingga 7,3 . Nitrazine paper akan berubah menjadi biru bila PH berada diatas 6 sehingga mengubah nitrazine paper menjadi biru dan memberikan hasil positif palsu. Vaginosis bakterial juga dapat mengakibatkan hal yang sama.

7. Penatalaksanaan.

Penatalaksanaan kehamilan dengan komplikasi ketuban pecah dini perlu mempertimbangkan morbiditas dan mortalitas immaturitas neonatal yang berhubungan dengan persalinan dan risiko infeksi terhadap ibu dan janin.

1. Medikasi
• Kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal pasca ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan risiko terjadinya sindrom distress pernafasan ( 20 – 35,4% ), hemoragi intraventrikular ( 7,5 – 15,9% ), enterokolitis nekrotikans ( 0,8 – 4,6% ). Rekomendasi sebagian besar menggunakan betamethason ( celestone ) intramuscular 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari. National Institute of Health merekomendasikan pemberian kortikosteroid sebelum masa gestasi 30 – 23 minggu, dengan asumsi viabilitas fetus dan tidak ada infeksi intra amniotik. Pemberian kortikosteroid setelah masa gestasi 34 minggu masih controversial dan tidak direkomendasikan kecuali ada bukti immaturitas paru melalui pemeriksaan amniosentesis.

• Antibiotik
Pemberian antibiotic pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi neonatal dan memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan meliputi ampisilin 2 gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama 48 jam, diikuti pemberian amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam untuk lima hari. Pasien yang mendapat kombinasi ini dimungkinkan dapat mempertahankna kandungan selama 3 minggu setelah penghentian pemberian antibiotik setelah 7 hari.

• Agen Tokolitik
Pemberian agent tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi namun tidak memperbaiki luaran neonatal. TIdak banyak data yang tersedia mengenai pemakaian agen tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen tokolitik jangka panjang tidak diperkenankan dan hingga kini masih menunggu hasil penelitian lebih jauh.

2. Penatalaksanaan berdasarkan masa gestasi
• Masa gestasi dibawah 24 minggu.
Sebagian besar pasien akan mengalami persalinan dalam 1 minggu bila terjadi ketuban pecah dini dengan periode latensi sekitar 6 hari , dan sebagian besar yang lahir biasanya mengalami banyak masalah seperti penyakit paru kronik, gangguan neurology dan perkembangan, hidrosefalus dan cerebral palsy. Sekitar 50% janin dengan ketuban pecah dini pada minggu ke 19 akan mengalami sindrom Potter, 25% pada mereka yang lahir di minggu ke 22 dan 10% pada mereka yang lahir setelah maa gestasi 26 mingu. Pasien harus mendapat konseling mengenai manfaat dan risiko penatalaksanaan akan kemungkinan bayi tidak dapat bertahan secara normal.

• Masa gestasi 24 – 31 minggu
Persalinan sebelum masa gestasi 32 memicu morbiditas dan mortalitas neonatal berat. Bila tidak dijumpai infeksi intraamniotik maka kehamilan diupayakan dipertahankan hingga 34 minggu. Bila ada infeksi intraamniotik maka pasien akan melahirkan dalam waktu 1 minggu. Klinisi harus memberikan kortikosteroid dan antibiotik serta melakukan penilaian menyeluruh mengenai keadaan janin melalui monitoring fetal dan ultrasonografi. Pemberian kortikosteroid pada masa gestasi 24 -28 minggu tidak banyak bermanfaat.

• Masa gestasi 32 – 33 minggu
Biasanya Mengalami masalah dengan maturitas paru-paru, induksi persalinan dan penanganan bayi premature harus segera direncanakan. Upaya mempertahankan kehamilan lebih lama setelah maturitas paru akan meningkatkan risiko amnionitis maternal, kompresi umbilical cord, rawat inap yang makin lama dan infeksi neonatal.

• Masa gestasi 34 – 36 minggu
Biasanya klinisi menghindari upaya memperlama kehamilan. Sebuah studi menunjukan bahwa penatalaksanaan konservatif antara masa gestasi 34 hingga 36 minggu akan meningkatkan risiko korioamnititis. Walaupun kortikosteroid tidak diindikasikan untuk kehamilan lewat 34 minggu, pemberian antibiotik tetap dilakukan sebagai profilaksis infeksi streptococcus group B dan fasilitasi penanganan neonatus perematur harus disiapkan segera. Ketuban pecah dini preterm atau perterm PROM bukan merupakan kontraindikasi persalinan pervag†nam.


8. Komplikasi

Morbiditas ketuban pecah dini menjadi kurang serius bila terjadi pada kehamilan yang mendekati term dibandingkan kehamilan yang lebih awal. Pada kasus ketuban pecah dini biasanya 80-90% akan mengalami partus dalam kurun waktu 24 jam. Ada beberapa hal perlu dipertimbangkan pada ketuban pecah dini :
- Ketuban pecah dini merupakan penyebab pentingnya persalinan premature dan prematuritas janin.
- Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika persalinan dilakukan setelah 24 jam onset
- Insiden prolaps tali pusat ( cord prolapse ) akan meningkat bila dijumpai adanya malpresentasi
- Pengeluaran cairan ketuban untuk waktu yang akan lama akan menyebabkan dry labour atau persalinan kering
- Hipoplasia pulmonal janin sangat mengancam janin, khususnya pada kasus oligohidramnion


PS(plus sayin' ) : Jangan mencoba Therapy tanpa sepengetahuan dokter anda. artikel ini hanya dibuat agar pengetahuan anda mengenai pecahnya ketuban pada wanita hamil , entah itu istri anda, teman, saudara, sehingga anda dapat melakukan yang terbaik bagi si Ibu apabila mendapati hal ini di dalam kehidupan anda. SEgera bawa ke Rumah sakit terdekat.

gestasi = kehamilan
intra uterine= dalam rahim
morbiditas = angka kematian bayi


 http://ceriwis.us

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman