Oleh: Her Suharyanto
Suasana hall di satu hotel bintang lima di Jakarta pagi itu, sekitar pertengahan tahun 90an terasa hangat, kendati suhu udara sangat dingin oleh pendingin buatan. Di bagian belakang ruang seminar hotel tersebut dibangun panggung untuk talkshow. Seperti biasa, kami para wartawan duduk di bagian belakang, dekat pintu, untuk lebih memudahkan perburuan sumber berita.
Tapi hari itu mata saya cukup santun, tidak jelalatan mencari “buruan”. Mengapa, karena di panggung ada seorang pembicara, perempuan, muda, yang sangat menarik perhatian.
Kalimat-kalimatnya jelas, cerdas, tegas dan teratur, memberikan gambaran transparan tentang kepribadian sekaligus kecerdasan intelektualnya. Para wartawan ekonomi yang meliput seminar itu saling berbisik, “siapa dia” karena pembicara itu, saat itu memang belum cukup dikenal. Karena sesama wartawan tidak bisa menjawab, saya bertanya pada peserta seminar yang duduk di depan saya. Peserta seminar itu membuka seminar-kit-nya dan menjawab, “Sri Mulyani Indrawati, dari FEUI.”
Seminar itu dihadiri oleh banyak sekali peserta, dan diliput puluhan wartawan. Bahkan dari media tempat saya bekerja ada tak kurang dari empat orang wartawan, karena media kami adalah media ekonomi. Kami langsung saling bisik, bahwa kami harus bisa mendapatkan nomor telepon kantor dan rumahnya.
Ternyata cukup banyak wartawan yang mempunyai instink jurnalistik yang sama. Usai seminar Sri Mulyani langsung dikerubuti oleh para wartawan, kendati tidak semuanya menulis tentang dia di koran terbitan hari berikutnya. Tetapi yang pasti di media tempat kami bekerja, itulah awal kami mengenal Sri Mulyani, yang di kemudian hari sempat menjadi salah satu direktur regional Dana Moneter Internasional (IMF) dan kemudian menjadi ketua Bappenas dalam kabinet pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mulai dari seminar itu Sri Mulyani menjadi nara sumber andalan kami, terutama untuk membantu memaknai peristiwa-peristiwa atau data-data ekonomi terbaru. Media-media lain pun, termasuk televisi, kemudian memberi panggung yang luas bagi Sri Mulyani untuk tampil di muka publik.
DALAM KONTEKS personal branding, Sri Mulyani adalah contoh yang pada hemat saya sangat menarik. Brand yang kuat adalah brand yang didukung oleh ciri intrinsik produk yang dicitrakan. Karena itu yang pertama harus diperhatikan dalam proses branding adalah kualitas personal yang hendak di-brand. Memang bisa saja orang membangun citra diri sebagai A atau B atau C, tetapi kalau faktanya dia adalah X suatu saat citra itu akan berangsur pudar, dan ciri X perlahan-lahan akan tampil juga. Kalau pun orang tetap mampu mempertahankan citra A, atau B atau C tersebut, terlalu besar energi dan sumber daya yang diperlukan untuk menjaga citra tersebut.
Karena itu sebelum melakukan proses branding memang penting bagi setiap orang untuk mengenal siapa dirinya, dan apa keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. Normalnya setiap orang yang sehat pasti mengetahui dengan persis apa yang menjadi keunggulannya dibandingkan dengan orang lain. Kalau di sebuah kantor orang mengeluh mengapa si A “yang hanya gitu-gitu aja kok gajinya lebih gede,” itu berarti orang yang mengatakan itu merasa lebih unggul dibanding dengan si A, dan karenanya merasa punya hak untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Tetapi memang umumnya, terutama dalam budaya timur, orang tidak serta merta berani mengakui, apalagi mengklaim bahwa dirinya lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Orang merasa lebih sreg kalau keunggulan itu bukan sebuah klaim tetapi sebuah pengakuan dari luar.
Persis yang dialami oleh Sri Mulyani adalah pengakuan dari luar, yakni pengakuan dari media massa. Wartawan tahu bahwa Sri Mulyani mempunyai pemikiran-pemikiran ekonomi yang kritis, terutama dalam menilai kondisi perekonomian tanah air waktu itu, sehingga dengan senang hati media massa mengutip pernyataan-pernyataannya, bahkan memburunya, kalau perlu sampai menjelang tengah malam.
Di Indonesia, dalam hal personal branding, pola yang terjadi dengan Sri Mulyani inilah yang lebih umum terjadi. Orang mempunyai keunggulan tertentu, kemudian “dipergoki” oleh media massa, dan kemudian nama berikut pernyataannya menjadi judul-judul koran dan majalah, wajahnya menjadi familiar bagi penonton televisi, dan kemudian menjadi orang terkenal. Mungkin saja orang memang peduli dengan karir, tetapi jarang yang berpikir strategis, bahwa personal branding adalah bagian dari strategi menempuh karir. Kalau saja Sri Mulyani tidak pernah keluar kampus untuk berbicara di seminar-seminar, bisa jadi dia menjadi ketua jurusan, dekan atau bahkan rektor. Tetapi apakah dia akan sempat duduk di jajaran petinggi IMF dan kemudian menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan dan Ketua Bappenas?
MEMANG BERUNTUNG mereka yang secara personal mempunyai kapasitas yang langsung bisa menarik perhatian media massa. Tetapi tidak semua orang seberuntung itu. Sangat mungkin terjadi ada orang yang memiliki kemampuan hebat tetapi seumur hidup tidak pernah dipergoki wartawan. Sekali-sekali mungkin dia bertemu dengan wartawan, tetapi bidang dan keahliannya berbeda sekali dengan minat sang wartawan, sehingga tak sekali pun namanya terpajang di media massa. Apa yang hendak dilakukan?
Persis di sanalah soalnya, memang ada yang harus dilakukan. Orang harus mengambil langkah proaktif supaya namanya muncul di media massa. Sebab bagaimanapun juga, sesuai dengan namanya, media massa memberi kemungkinan untuk mereka yang berkualitas untuk mempromosikan dirinya. Kalau anda termasuk orang yang tidak didekati oleh wartawan, mengapa bukan anda yang mengambil inisiatif untuk mendekati media massa, dan mengambil menfaat dari pendekatan itu?
Selama belasan tahun menjadi wartawan, saya sering diperkenalkan dengan orang-orang yang sangat hebat. Pada kemudian hari saya tahu orang yang memperkenalkan saya dengan tokoh-tokoh tersebut memang seorang perantara. Tujuannya tidak lain agar saya mengenal orang itu, mewawancarainya, dan menuliskannya untuk media massa. Ada orang yang memang ingin memperjuangkan sesuatu, tetapi tidak sedikit orang yang sebenarnya sedang dalam proses branding.
Ada terlalu banyak kasus seperti ini. Salah satu yang masih saya ingat dengan jelas adalah tentang seorang ekonom, yang waktu itu, awal tahun 90-an, masih berstatus sebagai mahasiswa S2. Dia rajin sekali menelepon kami di koran, untuk bertanya tentang isyu-isyu terbaru, dan kemudian mengatakan, “Wah, itu mestinya ditulis. Kalau belum ada yang nulis, boleh deh saya tulis.” Maka muncullah tulisan dalam bentuk byline story (tulisan dengan nama penulis di bagian atas) atas nama teman itu. Dari teman-teman di media lain saya tahu, teman ini rajin melakukan hal yang sama bukan hanya di media tempat saya bekerja, tetapi juga di media-media lain. Dan upaya itu membuahkan hasil.
Dia berhasil menempatkan diri dalam jajaran ekonom muda papan atas di negeri ini. Dulu dia memang melakukan berbagai langkah proaktif untuk mendekati media.Tetapi sekarang pendulum bergerak ke arah yang berlawanan. Para wartawan mengejar dia untuk meminta komentar dan pendapat.
Contoh lain yang jelas sekali adalah tentang Sigit Pramono, yang saat tulisan ini dibuat masih menjadi Direktur Utama BNI 46. Para wartawan ekonomi mengenal dia, karena dia memang tergolong sukses sebagai seorang bankir. Tetapi tak banyak wartawan non ekonomi yang mengenal dia. Bertemu di mall-pun mungkin para wartawan tidak akan menegurnya. Itu pula yang terjadi dengan wartawan Kompas, Arbain Rambey. Wartawan foto ini tidak mengenal sang dirut bank BUMN tersebut. Tapi justru di sanalah proses branding baru itu diciptakan. Sigit Pramono, bersama seseorang menemui Arbain Rambey dan meminta agar sang wartawan menilai foto-foto karyanya. Kisahnya begitu mulus. Arbain menilai foto-foto Sigit Pramono memang bagus, sehingga berani memajang foto sang dirut di korannya, dan merekomendasikan agar foto-foto tersebut dipamerkan. Dan yang terjadi kemudian, dalam satu kesempatan, Sigit Pramono melelang fotonya, dan harga yang didapatkan dari fotonya mencapai rekor tertinggi yang pernah terjadi dalam sejarah fotografi di tanah air. Apa yang akan terjadi tanpa rujuk-puji (endorsement) sebuah media seperti Kompas?
DALAM PRAKTIKNYA memang cukup banyak orang yang tahu persis kemampuan media massa dalam melakukan endorsement bagi popularitas maupun bagi brand-nya. Kadang dalam tugas jurnalistik saya menemukan hal yang sangat mengesalkan terkait dengan hal ini. Seringkali ada rencana konferensi pers, tetapi konferensi pers itu mulur dari waktu yang ditentukan, hanya karena ada wartawan media besar, atau wartawan televisi tertentu, yang belum datang. Padahal waktunya sudah ngaret bukan main lamanya. Ada juga sumber yang diwawancarai dalam satu door-stop-interview (seorang menteri pernah menyindir saya dengan menyebut praktik ini sebagai jurnalisme cegatan) oleh sejumlah wartawan media cetak, dan memperlihatkan sikap ogah-ogahan. Tetapi setelah datang wartawan televisi beberapa menit kemudian, wajah masamnya langsung sumringah. Lebih banyak senyum yang ditebarkan, dan suaranya menjadi lebih jelas dan enak didengar.
Tetapi umumnya rasa kesal saya tidak berlangsung lama, karena kemudian saya sadar bahwa sumber itu memang sedang berperilaku sebagai manusia ekonomi. Diwawancarai media besar, apalagi televisi, akan jauh lebih menguntungkan dalam sisi branding, dibanding diwawancarai media kecil. Diwawancarai oleh media besar atau televisi akan mendongkrak popularitasnya.
* Her Suharyanto adalah penulis dan editor independen dengan pengalaman belasan tahun. Tulisannya tersebar di sejumlah media seperti Mingguan Hidup, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Minggu Pagi, Utusan, dan Kompas. Sebelumnya, ia pernah bekerja di PH Idola Citra Utama, wartawan Indonesia Business Weekly, Bisnis Indonesia, dan Dow Jones Newswires. Ia memenangi beasiswa British Chevening Award dari British Council untuk studi jurnalistik di Cardiff, Wales, Inggris (1995). Hingga kini ia telah menulis 7 buku (4 atas nama sendiri, 3 sebagai ghost writer), 1500 straight news (berita pendek), 300 features, 100 artikel, 10 cerpen, 120 sandiwara radio, satu iklan televisi, 20 advertorial, 30 bahan presentasi seminar. Ia banyak diundang untuk berbicara dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik dan kepenulisan di berbagai kalangan dan kelompok profesi. Kini Her Suharyanto adalah executive editor pada Scripta Production, rumah produksi yang menangani penulisan biografi dan manuscript buku populer. Ia dapat dihubungi melalui email: her_suharyanto@hotmail.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
instanx
Total Tayangan Halaman
Categories
- abdul muid badrun (2)
- Acha Septriasa (4)
- ade asep syafruddin (4)
- alexandra dewi (1)
- alpiyanto (1)
- andrew ho (91)
- Ardian syam (22)
- arief yuntanu (2)
- arif gunawan (40)
- arif yustanu (1)
- artikel (13118)
- bambang trim (1)
- beni bevly (1)
- berita (3795)
- BLOGERNAS (1)
- damardi darmawangsa (13)
- danang a akbarona (2)
- dany chandra (3)
- dewi lestari (1)
- Dian Sastro (1)
- didik darmanto (2)
- dodi mawardi (2)
- DOWNLOAD EBOOK GRATIS (234)
- edi zaqeus (1)
- edit (110)
- eko jalu santoso (1)
- eni kusuma (11)
- goenardjoadi goenawan (1)
- hari subagya (7)
- haryanto kandani (4)
- hendra (10)
- ida kuraeny (1)
- indra cahya (1)
- iqnatius muk kuang (8)
- jennie s bev (1)
- johanes koraang (1)
- joko susilo (47)
- joni liu (2)
- joshua w utomo (2)
- joycelina (1)
- kerjadarirumah (4)
- kristopher david (1)
- lamser aritonang (1)
- Luna maya (15)
- m ichsan (41)
- m ikbal (1)
- Mariana Renata (1)
- marsello ginting (1)
- marzuki usman (3)
- Mieke Amalia (1)
- mugi subagya (1)
- muk kuang (1)
- Mulan Jameela (1)
- original artikel (103)
- profil (3)
- pujiono (1)
- rab a broto (4)
- Revalina S. Temat (3)
- riyanto s (4)
- ronal frank (2)
- roni jamaludin (1)
- ruby herman (1)
- ruddy kusnadi (1)
- rudy lim (19)
- sansulung john sum (1)
- saumimam saud (1)
- stephen barnabas (1)
- suryanto wijaya (3)
- syahril syam (17)
- tan bonaventura andika sumarjo (1)
- tanadi santoso (1)
- tante girang (454)
- thomas sugiarto (8)
- tung desem waringin (4)
- undang a halim (1)
- walpaper (50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar