Ketika pasangan SBY-Budiono terpilih menjadi Presiden RI tahun 2009, ucapan selamat memenuhi ruang media massa lokal dan nasional di seluruh Indonesia. Sebagaimana juga di propinsi-propinsi lain di Indonesia, setahun sebelumnya, koran-koran di Jawa Barat dipenuhi oleh ucapan selamat pada gubernur terpilih Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf. Pada 16 Desember 2010, 36 Camat di Kabupaten Bandung secara bersama-sama memberikan ucapan selamat kepada Bupati terpilih dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung. 36 ucapan itu dalam satu koran pada hari itu, belum pada hari-hari lainnya dan di koran-koran lain. Sangat sering kita menemukan ucapan-ucapan selamat pada seorang pejabat terpilih terutama saat musim pemilihan.
Sudah menjadi kesadaran publik kita, ketika seorang memenangkan pemilihan jabatan, ucapan selamat mengalir dari mana-mana: dari atasan, dari bawahan, dari rekan pejabat, relasi kerja, mitra usaha, dari masyarakat yang memiliki keterkaitan fungsional dengan pejabat dan dari konstituen pendukung politiknya. Hampir tak pernah ditemukan pernyataan bahwa ucapkan selamat kepada pejabat terpilih adalah tradisi yang salah. Hampir semua masyarakat menganggapnya sebagai hal yang baik, biasa dan benar sebagai wujud dukungan dan ungkapan simpatik.
Sesungguhnya, ucapan selamat pada pejabat publik yang baru terpilih adalah tradisi yang tak ada dasar logika dan etikanya, apalagi secara agama. Berikut ini alasan-alasan ucapan selamat kepada pejabat selama ini adalah kebiasaan yang salah kaprah.
Pertama, ketika seorang pejabat sudah terpilih dan dilantik artinya ia baru akan memulai bekerja mengemban tugasnya sebagai pejabat. Baru akan mulai artinya belum apa-apa, belum ada hasil kerja dan karyanya yang bisa dilihat, dibuktikan dan ditunjukkan. Dari sisi mana ucapan selamat perlu diberikan? Dapat dipastikan, alasannya dari sisi memenangkan
pemilihannya. Bukankah memenangkan pemilihan tidak menjamin kesuksesannya dalam tugas kepemimpinannya? Dan ini banyak sekali contoh.
Begitu selesai melakukan sumpah jabatan, terbentanglah setumpuk tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh seorang pejabat baru. Banyak terjadi, jangankan setelah selesai masa jabatannya, baru beberapa bulan saja, sudah muncul kekecewaan masyarakat yang tidak puas pada kemampuannya bekerja, pada ketidakseriusannya mengatasi persoalan-persoalan, atau pada ketiadaan program-program strategis yang ditawarkan. Yang ditawarkan pun belum tentu akan berhasil. Evaluasi 100 hari kerja pemerintahan SBY-Budiono untuk melihat bukti-bukti awal dari janji-janjinya diwarnai kekecewaan masyarakat yang luas. Pada tiga bulan pertama, masyarakat menilai belum menemukan tanda-tanda ada gerakan yang dirasakan ‘greget’ terutama dalam memberantas korupsi. Hingga sekarang, program pemberantasan korupsi dirasakan tidak tegas dan tidak serius. Hingga sekarang sudah satu tahun lebih pun, pemerintah SBY dinilai tidak menunjukkan prestasi dalam memberantas korupsi. Bahkan korupsi semakin menggila, mafia semakin merajalela, sementara ketegasan hukum tidak ada. Banyak kasus besar masih misteri dan trilyunan dana negara raib. Sementara angka kemiskinan rakyat tidak juga berkurang. Sejumlah tokoh pemuka berbagai agama pada bulan Januari 2011, mengeluarkan surat protes berisi kebohongan-kebohongan publik pemerintahan SBY mengenai capaian-capaian pembangunan. “Reformasi telah gagal, kita terpaksa harus memulianya lagi dari nol,” kata Yudi Latif, pengamat politik dan kenegaraan.
Selain hasil kerja belum bisa dievaluasi, banyak pejabat masuk penjara belum lama setelah dilantik karena melakukan penyelewengan dan korupsi. Kejaksaan Negeri Sumenep menetapkan Bupati Abuya Busro Karim, sebagai tersangka korupsi Dana APBD ketika baru beberapa bulan menjadi Bupati pada tahun 2004. Tahun 2008, KPK mengganjar 10 tahun penjara Bupati Garut Agus Supriadi karena menyelewengkan uang negara sebesar 13 Miliar lebih. Walikota Medan Rahudman Harahap, menjadi tersangka korupsi ketika baru beberapa bulan menduduki kursinya. Agusrin Maryono, Gubernur Bengkulu ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2008 karena melakukan penyelewengan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan senilai Rp 21,3 miliar, juga tak lama setelah dilantik. Mantan Gubernur Jawa Barat, Dany Setiawan dihukum 4 tahun penjara karena korupsi pengadaan alat berat dan mobil ambulan yang seluruhnya merugikan negara sekitar Rp 72,057 miliar.
Laporan ICW tahun 2007, menyebutkan ada 41 bupati dijadikan tersangka karena melakukan korupsi. Tahun 2009, empat gubernur ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi di daerahnya masing-masing: Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin, Gubernur Kalimantan Timur Awang Farouk Ishak, Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin dan Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamudin.
Padahal, ketika dilantik, halaman-halaman media massa dipenuhi ucapan-ucapan selamat atas terpilihnya mereka. Dari fakta-fakta di atas, nampak ucapan selamat adalah sesuatu yang salah kaprah. Ucapan itu sama sekali tidak bermakna. Yang tidak terungkap melakukan korupsi pun belum tentu bersih. Menghadapi hukum dunia, orang bisa berkelit, jejak bisa dihilangkan, belum lagi kongkalingkong hakim dan jaksa dengan tersangka.
Kedua, kecuali sedikit yang dasarnya benar-benar pengabdian, dalam kesadaran umum pejabat kita, niat dan tujuan meraih jabatan bukan ingin berbakti dengan tulus, memberikan sumbangsih tenaga dan fikiran kepada masyarakat, negara dan bangsa, tetapi lebih sebagai pengembangan karir, sebagai persaingan kelompok, rebutan kekuasaan dan bayangan menikmati fasilitas dan kekuasaan. Karenanya, banyak terjadi, yang memenangkan pemilihan pejabat atau pemimpin bukan calon terbaik, tapi yang paling banyak pendukungnya melalui mobilisasi massa. Yang terpilih bukan yang terbaik menyebabkan banyak pejabat kita tak maksimal melakukan tugasnya, gagal menjalankan amanat dan berdusta dengan janji-janjinya. Kecuali sedikit yang berhasil menorehkan prestasi, umumnya, hanya rutinitas dan tidak terjadi perubahan mendasar. Buruknya malah melakukan penyelewengan dan korupsi.
Ketiga, dalam Islam, jabatan (apalagi pemimpin) adalah amanat yang sangat berat. Begitu beratnya, sampai Tuhan Pencipta Alam Semesta sendiri memberikan peringatan-Nya yang keras dan tegas bahwa orang yang mau menerima amanat adalah orang bodoh: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh” (Al-Ahzab: 72). Bila amanat itu sangat berat, langit dan bumi saja tidak sanggup memikulnya, dan mau menerimanya (apalagi memperebutkannya) disebut sebagai kedzaliman dan kebodohan, bukankah kesalahan yang amat besar mengucapkan selamat kepada seorang pejabat terpilih yang telah bersaing memperebutkan amanat?
Ucapan Selamat yang Benar
Ucapan selamat umumnya diberikan sebagai ungkapan simpatik, bentuk dukungan moril dan kegembiraan atas kemenangan. Tapi, ini pun tidak ada dasarnya sama sekali. Mengapa harus simpatik? Bukankah yang disebut ‘kemenangan‘ itu sesungguhnya adalah memikul amanat yang berat? Bukankah sebuah jabatan yang akan dijalankan belum tentu berhasil? Apalagi bila cara memenangkannya pun ditempuh dengan cara-cara yang tidak etis dan tidak bermoral misalnya dengan money politis. Mengapa harus gembira? Bukankah amanat itu berat dan jarang manusia lulus memikulnya sementara ancaman siksa Tuhan bagi yang menyelewengkan amanat dan khianat atas janji-janjinya, sangat besar di sisinya-Nya kelak? Bila dimaksudkan sebagai dukungan moril, seharusnya bukanlah dengan memberikan ucapan selamat ketika memenangkan pemilihan tetapi berupa teguran dan pelurusan melalui kontrol yang efektif. Itulah dukungan yang benar. “Mereka yang selalu mengiyakan ucapan-ucapan kita,” kata Kong Hu Cu, “adalah musuh-musuh yang berbahaya. Sahabat-sahabat sejati adalah mereka yang mau menegur dan meluruskan kesalahan-kesalahan kita.”
Contoh teladan bagaimana memberikan dukungan yang benar pada seorang pejabat terpilih adalah kisah termashur Umar bin Khattab. Dalam acara pelantikannya sebagai khalifah, Umar bertanya pada yang hadir apakah mereka akan taat kepada khalifah dan apakah yang akan dilakukan jika Umar memerintah keluar dari jalan Allah dan Rasul-Nya? Tiba-tiba seorang laki-laki melompat keluar dari barisan dan berteriak lantang: “Wahai Umar, kami akan taat kepadamu selama engkau berada di jalan Allah dan Rasul-Nya, tetapi bila tidak, ini yang akan berbicara.” Kata lelaki itu sambil menghunuskan pedangnya pada khalifah Umar. “Kami akan meluruskanmu dengan ini!“
Tentu, zaman sekarang yang sudah jauh dari wibawa moral agung, cara itu tidak bisa ditiru sepenuhnya tapi ruhnya tidak boleh hilang. Misalnya memberikan “ucapan selamat” dengan kalimat, “Tugas berat menanti Anda. Kalau benar akan kami dukung, tapi kalau salah, jangan marah bila kami tegur dan kami luruskan!” Kalimat itu dilontarkan sambil tak perlu mengucapkan “selamat” yang tak bernilai apa-apa.
Ucapan selamat yang benar bisa diberikan tetapi bukan pada awal pelantikan melainkan pada akhir masa jabatannya dengan catatan sebagai berikut: Pertama, kepemimpinannya diakui berhasil dan sukses. Semua program berjalan, lembaga mengalami kemajuan yang signifikan, kesejahteraan anggota, bawahan atau masyarakat meningkat, tidak terjadi penyelewengan jabatan dan korupsi. Kedua, semua bawahan, anak buah atau masyarakatnya tidak ada yang merasa tersakiti dan terdzalimi yang akan menuntutnya, kalau tidak di dunia, di akhirat kelak. Ketiga, bawahan dan masyarakatnya merasakan kehilangan saat pergantiannya. Kesedihan dan derai air mata mengiringi pergantian pejabat yang dicintainya karena sikapnya menjadi inspirasi dan teladan bawahannya, penuh dedikasi dan terasa membawa kemajuan bersama. Di akhir masa jabatannya yang diselenggarakannya pun bukan pesta perpisahan melainkan permohonan maaf kepada seluruh bawahan atau masyarakatnya bila selama kepemimpinannya ada yang salah, tidak puas, ada kekurangan, atau ada yang merasa tersakiti dan terdzalimi. Bila seorang pejabat atau pemimpin berhasil seperti itu, barulah ucapan selamat di akhir masa jabatannya layak diberikan.
Merubah kebiasaan ucapan selamat kepada pejabat tentu sangat berat karena kesalahankaprahan itu sudah menjadi budaya. Persoalannya berpulang kepada masing-masing kita, apakah ingin meningkatkan kualitas kesadaran atau ingin tetap terbiasa memelihara kesalahan-kesalahan. Daripada mengucapkan selamat yang salah mendingan diam. “Falyaqul khairan awliyasmut!” Kata Nabi SAW. [] Wallahu ‘alam!
sumber
Jangan lupa di like...
@osserem Follow juga ya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar