Oleh: Ardian Syam
Anda yang pernah bersekolah di Yogyakarta terutama yang tidak tinggal di orangtua dan kos di tempat dengan fasilitas standar pasti tahu apa yang terjadi ketika Anda lapar di malam hari. Setelah Anda menyelesaikan tugas sekolah, Anda lapar dan tidak ada makanan yang tersedia di tempat kos Anda, tentu saja, itu kan tempat kos dengan fasilitas standar. Anda mungkin saja akan pergi ke luar rumah dan mencari warung makan, untuk sekedar mengisi perut agar Anda dapat tidur sehingga bangun dengan perasaan enak di pagi hari.
Tetapi ternyata Anda begitu kelelahan karena tugas sekolah yang Anda kerjakan. Bukan hanya itu, kebetulan warung terdekat membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit jalan kaki, itu berarti Anda butuh waktu dua puluh menit untuk menuju ke warung dan pulang ke kamar kos, belum termasuk waktu untuk makan di warung. Malam sudah terlalu larut dan Anda harus segera tidur karena pagi-pagi sekali esok hari Anda harus sudah tiba di sekolah karena ada beberapa persiapan presentasi karena tugas sekolah yang baru Anda selesaikan.
Belum lagi bila Anda tetap tidak bisa memilih makanan di sana karena sudah terlalu larut. Tetapi hal yang paling buruk adalah bahwa ternyata warung itu sudah kehabisan makanan. Benar-benar buruk. Sudah berjalan sepuluh menit dalam lapar, tiba di sana dan tahu bahwa tidak ada yang bisa dimakan. Pilihan Anda adalah menempuh sepuluh menit perjalanan pulang dalam lapar, atau berjalan lebih jauh untuk menemukan warung yang masih buka. Itu pun masih ada kemungkinan Anda akan menemukan nasib yang tidak berbeda.
Bagi Anda yang selalu berpikir positif mungkin tetap akan melanjutkan perjalanan ke warung berikut karena Anda begitu yakin Anda akan menemukan warung yang masih buka dan menyediakan makanan yang dapat dan suka Anda makan. Tetapi tidak begitu dengan yang lain. Mungkin akan segera pulang dan berharap akan dapat melupakan rasa lapar. Atau dengan sangat berharap akan menemukan pedagang keliling. Waduh, mengapa baru sekarang teringat kepada para pedagang keliling setelah menempuh waktu sepuluh menit berjalan kaki dalam lapar, ya?
Ya, pedagang keliling. Mungkin penjual mi godok gaya Yogya, mungkin pedagang nasi goreng atau pedagang sate dari Madura atau yang lain. Mereka berkeliling dengan gerobak makanan masing-masing dengan bentuk, rupa dan warna khas mereka masing-masing.
Tetapi bagi saya, bila berada dalam keadaan seperti tadi maka saya akan dengan tabah duduk di depan rumah kos memegang piring dan sendok menanti pedagang keliling. Mengapa piring dan sendok sendiri? Perasaan saya akan lebih nyaman untuk membeli makanan yang disajikan di piring sendiri, saat siap disajikan, saya bayar, masuk kamar dan proses memamah biak dapat saya lanjutkan tanpa harus ditunggui sang pedagang. Kasihan bila dia harus menunggu saya selesai makan, sementara bila tidak demikian mungkin dia sudah bisa langsung berangkat untuk melayani konsumen berikut.
Sebagai orang Indonesia yang selalu merasa belum makan bila belum menemukan nasi, maka saya lebih memilih untuk membeli nasi goreng. Selain itu, merekalah yang mendominasi supply. Pedagang makanan lain tidak akan terlalu banyak yang berkeliling. Namun apa yang sering saya temukan dari sebagian besar pedagang nasi goreng di sekitar kos saya? Nasi goreng petualangan.
Mengapa saya namakan nasi goreng petualangan? Mereka mungkin menjual nasi goreng karena memang mereka butuh penghasilan untuk kehidupan minimal mereka. Mereka bukan orang yang hobi memasak apalagi chef. Sementara bahan baku yang dibutuhkan, beras, termasuk komoditas yang mudah ditemukan di pasar manapun (beda dengan mi), atau tidak perlu pengolahan yang agak repot seperti lontong atau ketupat yang harus dimasukkan dulu ke dalam bungkus dulu.
Karena hal itu pula maka mereka bukan orang yang mampu memasak dengan baik. Ketika Anda memakan masakan para chef amatir tersebut maka Anda akan menemukan bahwa di suap pertama Anda akan kepedasan karena bagian itu mengandung banyak sambal, sementara di suap berikut Anda akan merasakan nasi tersebut terlalu asin, suap ke tiga mungkin Anda bahkan menemukan nasi yang sama sekali masih putih. Itu berarti mereka tidak benar-benar mampu mengaduk nasi untuk membuat nasi goreng.
Di situlah petualangan yang saya katakan. Anda tidak akan pernah tahu apa rasa nasi goreng dalam sendok yang akan Anda masukkan ke dalam mulut. Pedas, asin atau tanpa rasa sama sekali. Anda bahkan bisa main tebak-tebakan dengan rasa nasi yang ada di sendok Anda.
Mengapa mereka tetap eksis dengan rasa masakan yang pasti akan membuat para chef asli mengkerutkan dahi? Apakah mereka tidak ditinggalkan konsumen. Saya? Yang kelelahan karena tugas sekolah kemudian lapar karena banyak berfikir berani-berani meninggalkan mereka? Saya tahu benar bahwa risiko saya adalah harus berjalan beberapa menit dengan perut lapar dan belum tentu menemukan warung yang masih menjual makanan, lalu harus jalan lebih jauh atau pulang dengan rasa lapar yang belum hilang? Mana berani saya menempuh risiko itu.
Maka saya dan orang-orang yang setipe akan lebih memilih menunggu dengan tabah kesempatan emas untuk mendapatkan pengalaman penuh petualangan itu.
Begitulah bisnis, ketika konsumen tidak berani mengambil pilihan maka bisnis akan tetap eksis. Apapun kualitas yang kita sediakan untuk konsumen, mereka tidak akan pernah berpaling dari Anda. Andai itu monopoli, maka itulah monopoli yang sejati. Semua konsumen bisa menyalahkan Anda, tetapi tetap saja mereka akan membeli dari Anda. Sayang memang bahwa itu tidak dikuasai oleh satu pihak atau satu orang saja. Tetapi mari kita singgung soal monopoli itu.
Tetapi itu tidak akan pernah lama. Akan ada orang atau orang-orang yang tahu bagaimana melayani pelanggan. Kemudian orang-orang itu tahu pula bagaimana menghemat biaya-biaya yang tidak perlu, dan itu dimanfaatkan untuk menekan harga jual produk mereka. Kemudian mereka juga tahu bagaimana memberi tahu orang-orang semua tentang hal itu. Lalu mereka memelihara konsumen dengan baik sehingga semua konsumen mereka saling memberi tahu. Apa yang akan terjadi pada pembuat petualangan tersebut?
Di mana Anda sekarang berada, di mana sekarang Anda bekerja, bagaimana perusahaan Anda memperlakukan para konsumen?
Apakah konsumen Anda mendapatkan petualangan seperti saya dengan nasi goreng yang saya tunggu dengan tabah itu?
Ketika ada orang lain, pihak lain atau perusahaan lain yang mengetahui semua taktik itu, apa yang akan terjadi dengan perusahaan tempat Anda bekerja?
Ketika itu ada beberapa pedagang nasi goreng keliling yang tidak berhasil membuat petualangan. Setiap sendok akan sama, sama-sama tidak enak, atau bahkan sama-sama enak. Tetapi tidak banyak yang bisa saya kenali sebagai ciri khas mereka.
Ketika itu, terjepit di antara rasa lelah dan rasa lapar, kemudian terisilah perut dengan nasi goreng (penuh petualangan atau tanpa petualangan) dan diikuti dengan rasa mengantuk maka saya tidak dapat dengan mudah mengingat ciri-ciri khas tampilan gerobak mereka masing-masing. Buat saya ciri tampilan gerobak mereka tidak berbeda sama sekali.
Tetapi ketika sebuah perusahaan masuk ke bisnis yang dijalankan perusahaan tempat Anda bekerja, ketika mereka tahu kelemahan produk perusahaan Anda, maka mereka jelas tidak akan menggunakan ciri identitas yang mirip dengan ciri identitas dari perusahaan tempat Anda bekerja. Sehingga akan sangat jelas beda identitas antara perusahaan mereka dengan perusahaan tempat Anda bekerja.
Andai saja ketika itu pedagang yang mampu memasak dengan baik memiliki ciri identitas yang jelas pada gerobak mereka, misal menggunakan warna yang mencolok seperti jingga, merah atau kuning, saya mungkin akan mengingat-ingat ciri tersebut. Saya mungkin mengalami kesulitan untuk mengingat ciri pedagang yang memberi petualangan kepada saya. Tetapi paling tidak saya tidak akan membeli dari pedagang yang tidak menggunakan ciri gerobak berwarna mencolok.
Saya bahkan mungkin mengingat jam berapa si pedagang dengan gerobak berwarna mencolok itu lewat. Men-set reminder dan membeli pada saat dia lewat, dan menyimpan untuk saat-saat lapar beberapa menit kemudian. Lalu akankah Anda biarkan ketidakmampuan memuaskan pelanggan menyebabkan perusahaan Anda mati?[as]
* Ardian Syam adalah penulis buku “Kacamata Kuda”.
Minggu, 02 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
instanx
Total Tayangan Halaman
Categories
- abdul muid badrun (2)
- Acha Septriasa (4)
- ade asep syafruddin (4)
- alexandra dewi (1)
- alpiyanto (1)
- andrew ho (91)
- Ardian syam (22)
- arief yuntanu (2)
- arif gunawan (40)
- arif yustanu (1)
- artikel (13118)
- bambang trim (1)
- beni bevly (1)
- berita (3795)
- BLOGERNAS (1)
- damardi darmawangsa (13)
- danang a akbarona (2)
- dany chandra (3)
- dewi lestari (1)
- Dian Sastro (1)
- didik darmanto (2)
- dodi mawardi (2)
- DOWNLOAD EBOOK GRATIS (234)
- edi zaqeus (1)
- edit (110)
- eko jalu santoso (1)
- eni kusuma (11)
- goenardjoadi goenawan (1)
- hari subagya (7)
- haryanto kandani (4)
- hendra (10)
- ida kuraeny (1)
- indra cahya (1)
- iqnatius muk kuang (8)
- jennie s bev (1)
- johanes koraang (1)
- joko susilo (47)
- joni liu (2)
- joshua w utomo (2)
- joycelina (1)
- kerjadarirumah (4)
- kristopher david (1)
- lamser aritonang (1)
- Luna maya (15)
- m ichsan (41)
- m ikbal (1)
- Mariana Renata (1)
- marsello ginting (1)
- marzuki usman (3)
- Mieke Amalia (1)
- mugi subagya (1)
- muk kuang (1)
- Mulan Jameela (1)
- original artikel (103)
- profil (3)
- pujiono (1)
- rab a broto (4)
- Revalina S. Temat (3)
- riyanto s (4)
- ronal frank (2)
- roni jamaludin (1)
- ruby herman (1)
- ruddy kusnadi (1)
- rudy lim (19)
- sansulung john sum (1)
- saumimam saud (1)
- stephen barnabas (1)
- suryanto wijaya (3)
- syahril syam (17)
- tan bonaventura andika sumarjo (1)
- tanadi santoso (1)
- tante girang (454)
- thomas sugiarto (8)
- tung desem waringin (4)
- undang a halim (1)
- walpaper (50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar