Jumat, 07 November 2008

Mengatasi Perasaan Takut Gagal

Oleh Ade Asep Syarifuddin


KAWAN saya sudah lima tahun berpacaran, tapi belum juga melangsungkan pernikahan. Dia bilang takut bercerai setelah menikah. Sementara tetangga saya ingin sekali mengembangkan bisnis jual beli pakaian seperti pamannya, tapi setelah ditimbang-timbang nggak mulai-mulai. Di bilang takut rugi, apalagi kondisi perekonomian sedang lesu. Kalau untung tidak masalah, kalau rugi kan risikonya cukup besar. Dan banyak lagi cerita-cerita yang sering kita dengar sehari-hari yang intinya takut melangkah karena takut dengan risiko kegagalan.

Pandangan-pandangan tersebut jelas merupakan cara berpikir yang tidak tepat. Hidup ini pilihan-pilihan, kita sendiri yang menentukan jadi apa, apakah jadi pengusaha, pegawai negeri, pedagang, tentara, polisi, wartawan, penyiar radio, konsultan atau apa pun profesi yang ada dan setiap pilihan ada risiko-risiko yang mesti ditanggung. Seorang polisi lalulitas misalnya, memiliki risiko berpanas-panasan apabila jalanan macet. Itu benar-benar terjadi di kota-kota besar, sementara seorang wartawan pun tidak lepas dari risiko komplain dari pembacanya apabila beritanya cukup kritis kepada kelompok tertentu. Jadi, profesi apa yang tidak memiliki risiko? Apakah pegawai negeri lantas tidak mempunyai risiko? Tidak juga, pegawai negeri sipil risikonya memiliki pendapatan bulanan yang pas-pasan karena usahanya juga pas-pasan dan sangat minimal. Karena semua profesi rentan dengan risiko, berarti kita harus selalu siap menghadapi perubahan-perubahan jaman dan kompetisi dengan pihak lain dan tidak lantas bermalas-malasan karena merasa pekerjaannya ada di wilayah yang aman.

Bagaimana hubungan antara risiko dengan takut gagal? Sebelum membahas risiko dan kegagalan ada baiknya kita membahas dulu cara kerja pikiran kita. Bila ada sesuatu kejadian di luar diri kita, sesuatu kejadian itu sifatnya netral, yang memberikan makna kepda kejadian itu adalah pikiran kita sendiri. Ketika mendengar satu kata, pikiran lantas membuat makna berupa simbol terhadap kata tadi sekaligus membuat makna yang berisi nilai—positif maupu negatif—dari kata tadi. Kalau referensi awal tentang satu kata tersebut negatif, maka setiap mendengar kata tersebut akan negatif terus. Sebaliknya, apabila referensi awalnya positif, akan positif selamanya. Tapi tidak usah khawatir, ada satu cara untuk me-reporgramming pikiran kita, sehingga mindset awal yang negatif bisa diubah menjadi positif dengan suatu metode.

Kalau pikiran bisa diprogram, berarti kesuksesan pun apakah bisa diprogram? Betul sekali, kesuksesan bisa diprogram asalkan memiliki komitmen dan kemauan untuk senantiasa memelihara pikiran ke arah yang kita inginkan. Kita mengendalikan pikiran, bukan kita yang dikendalikan oleh pikiran. Sukses misalnya, itu bisa diprogram lewat pikiran dengan cara kita selalu berpikir tentang kesuksesan yang kita inginkan. Contoh, kita ingin menjadi pengusaha yang memiliki keuntungan sebulan Rp50 juta. Namun pada bulan pertama keinginan tersebut belum tercapai. Tapi terus menerus dicoba lagi dan dicoba lagi sampai akhirnya tercapai. Selagi pikiran kita berpikir sukses, maka kemungkinan sukses itu akan datang. Persoalannya hanya waktu yang mungkin tidak sesuai dengan yang kira harapkan. Bila kita cukup sabar dan yakin suatu ketika akan sukses, ini merupakan modal awal yang cukup berharga. Sebab, waktu kita bukanlah waktu Tuhan. Kita ingin secepatnya mencapai suatu tujuan. Kesannya tergesa-gesa, terburu-buru, sementara Tuhan sendiri memiliki waktu sendiri. Artinya, selagi orang itu memelihara keinginan disertai dengan usaha dan berdoa, maka suatu ketika akan sampai juga. Problemnya, kita tidak mengetahui jarak tempuh untuk mencapai tujuan kita itu berapa lama. Ini merupakan rahasia Tuhan yang harus dilengkapi dengan senjata optimisme terus menerus. Jadi, sukses = usaha terus menerus + optimisme yang membara.

Bila kita melakukan sesuatu dan belum tercapai, itulah sebenarnya yang menurut kamus orang yang tidak sukses disebut g-a-g-a-l. Padahal menurut kamus orang sukses, hal itu hanyalah keinginan yang belum tercapai. Keinginan yang belum tercapai tersebut bisa jadi rugi, untung kecil, atau kondisi pasar tidak kondusif. Kondisi-kondisi tersebut dinamakan risiko. Artinya, ketika kita merencanakan sesuatu dalam kehidupan ini, hal apa saja, kemudian kita sudah siap risiko yang paling tidak enak sekalipun, maka pada saat itu juga tidak ada kata g-a-g-a-l. Maju terus pantang mundur.

Jadi, ketika sudah mematangkan suatu rencana berikut untung rugi dan risikonya, langkah kedua adalah berbuat. Setelah berbuat, kita akan tahu, mengapa belum tercapai rencana-rencana yang kita tetakan dan dari sana kita bisa mengetahui penyebabnya. Tapi kalau belum apa-apa sudah takut melangkah karena takut g-a-g-a-l, dan mengeset pikirannya untuk g-a-g-a-l, maka yang dipikirkannya akan terjadi. Wong sewaktu kita menetapkan tujuan, salah satu risikonya adalah tidak tercapai, mengapa kita merasa takut tujuan itu tidak tercapai. Kalau belum tercapai ya coba lagi dan coba lagi sampai tercapai, titik. Beres kan. Mengapa terlalu banyak pertimbangan yang akhirnya tidak melakukan perbuatan apa-apa. Lebih baik gagal lima kali, tapi mencoba 15 kali, ketimbang tidak gagal tapi tidak pernah berbuat apa pun.

Tipe-tipe orang yang tidak mau menghadapi risiko adalah tipe orang yang mencari aman, berada di wilayah comfort zone. Menurut Robert K. Tiyosaki orang yang berada di comfort zone salah satunya adalah karyawan. Setiap bulan dia mendapatkan kepastian finansial.,Kerja keras atau tidak keras pendapatannya tetap segitu-gitu saja sebelum gajinya dinaikkan. Tapi memang secara risiko mereka aman, tidak akan dipusingkan oleh harga-harga di luar yang naik turun, fluktuasi dollar terhadap rupiah. Tapi lagi-lagi “tipe karyawan” --saya sebutkan di sini tipe karyawan, tidak semua karayawan seperti ini karena banyak karyawan yang memiliki usaha sendiri—sangat sulit untuk berkembang, karena dirinya telah membuat tembok-tembok yang kuat untuk membentengi dirinya supaya aman dan nyaman dan tidak ada badai risiko yang bisa tembus ke benteng tadi.

Sementara tipe pengusaha, entrepreneur, adalah orang yang memiliki watak dare to fail berani gagal (judul buku Billi PS Liem). Ini adalah dunia yang sebenar-benarnya. Manusia hidup dalam sebuah reality show yang menarik. Dibutuhkan seni untuk menghadapinya, sehingga kasus demi kasus yang terjadi dapat disikapi dengan tepat dan membawa kita ke arah pola hidup dan cara pikir yang lebih baik lagi. Bagaimana kalau pengusaha tidak berani, khawatir tujuannya tidak tercapai, terlalu banyak pertimbangan, lebih banyak memikirkan risiko ketimbang fokus ke tujuan. Saya jamin dia akan batal jadi pengusaha. Karena tipe pengusaha itu coba dulu baru evaluasi, bahkan prinsip mereka agak dekat ke nekat-nekat gitu, risiko belakangan.

Acara-acara reality show di televisi yang menguji ketangguhan dan keberanian seseorang apakah Fear Factor, atau yang lainnya, cukup positif untuk dijadikan bahan perbandingan kita dalam menginspirasi untuk mencapai tujuan. Hanya yang berani, ulet, tekun, gigih, pantang menyerah dan mental baja sajalah yang dapat menjadi juara alias mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara yang pesimis, negatif thingking, buruk sangka, mengambil kesimpulan jelek sebelum sesuatu terjadi, dia hanya akan menjadi pecundang dan merugikan dirinya sendiri. Jadi tinggal pilih juga sebenarnya, mau sukses atau mau g-a-g-a-l. Kalau ingin sukses, sekali lagi, pikirkah tentang kesuksesan setip saat, kapan pun dan di mana pun, sebeliknya kalau mau jadi pecundang, pikirlah yang tidak enak-tidak enak.

Dalam kenyataannya, pikiran memiliki hukum-hukum sendiri. Pikiran itu bukan kita dan kita buka pikiran. Pikiran itu sangat liar dan tidak bisa diatur kecuali oleh pawangnya. Hukum pikiran yang pertama, pikirkan segala sesuatu yang ingin kita pikirkan, kedua, hentikan berpikir apabila kita tidak ingin memikirkan sesuatu pikiran, yang ketiga, kontrol pikiran dengan kesadaran. Kesadaran itulah yang menjadi pawang pikiran, asalkan segala pikiran yang muncul dikonfirmasi ulang kepada kesadaran, maka kita akan senantisa berpikir yang kita inginkan. Contoh sederhana, kita berpikir tentang sesuatu, ingin ke luar negeri misalnya karena mendapatkan bonus akhir tahun, kalau kita bertanya ulang kepada diri sendiri, mengapa saya harus ke luar negeri, apa manfaatnya, apakah bukan pemborosan? Setelah ditimbang-timbang ternyata disimpulkan, memang harus ke luar negeri untuk mengadopsi pengalaman dan kultur negeri lain yang sudah maju. Proses berpikir ulang dan menimbang-nimbang itu adalah posisi kesadaran mengontrol pikiran. Demikian halnya apabila kita berpikir tentang keburukan seseorang, tanyakan kembali, mengapa kita harus berburuk sangka pada orang itu, apa manfaatnya, apakah lebih baik berbaik sangka saja karena belum ada bukti yang kuat bahwa orang itu berbuat salah. Proses memikirkan kembali itu adalah posisi kesadaran juga. Di sini kesadaran sudah berbuat sesuai dengan yang kita inginkan, bukan sebaliknya, berbuat sesuatu yang pikiran inginkan.

Kembali kepada gagasan awal, tidak ada alasan untuk takut gagal karena mencoba sesuatu. Kalu mau mencoba ya, lakukan saja kalau sudah melalui tahap pertimbangan yang cukup matang dan tidak lantas terjebak dalam kebingungan, bimbang, ragu dan sikap-sikap sejenisnya. Dan yang perlu dicatat, orang yang berani mengambil risiko hanyalah orang-orang yang sukses. Terserah, tinggal pilih yang mana. Kegagalan atau keberhasilan dimulai dari pikiran kita sendiri.[] * Ade Asep Syarifuddin adalah trainer yang berbasiskan NLP, motivator SDM. Selain menekuni training SDM, ia juga adalah Editor in Chief dan General Manager pada Harian Radar Banyumas di Purwokerto. Dia dapat dihubungi lewat e-mail: ade_asep@yahoo.com atau Hp: +628122670444.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman