Senin, 29 Agustus 2011

SITUASI LIBYA KINI, SUDAH TIDAK MENAKUTKAN LAGI



Tripoli – Saat pemberontak menyerbu kompleks kediaman Muammar Khadafi, jutaan warga Libya ikut menyaksikan dan menantikan momen-momen ketika mereka tak perlu hidup dalam ketakutan lagi.
Abdul Rahman Sharif merasa begitu tergerak saat mengetahui kesuksesan pemberontak itu. Ia bahkan mengajak ketiga putrinya yang berusia 11, 15 dan 18 tahun untuk menyaksikan sendiri. Saat hari gelap, ia kembali bersama istrinya dan keesokan harinya, Sharif mengajak ibundanya yang berusia 90 tahun. Meski peluru berdesing di atas kepala mereka, Sharif tak peduli.
“Kami harus menyingkirkan Khadafi dari kehidupan setiap rakyat. Beberapa membencinya, tapi ada yang mau mati demi dia. Suka atau tidak, ia memang berpengaruh,” ujar pria berusia 56 tahun itu. Sharif menggambarkan perasaan gundah, tak ada hukum dan sinisme selama empat dekade Khadafi memimpin Libya.
Warga Tripoli turun ke jalanan, menyaksikan perjuangan para pemberontak mengambil alih satu demi satu titik-titik kekuasaan Khadafi di jalanan. Mereka memihak para pemberontak, mendukung setiap saat penting sebelum menerobos ke kompleks kediaman Khadafi, Bab Al Aziziya. Rakyat, seperti Sharif, tak ingin lagi merasakan ketakutan itu.
“Saat pemberontakan mulai enam bulan lalu, kami semua sudah sadar akan ada pertumpahan darah. Saat Bab Al Aziziya dikuasai, kami lagi-lagi dilanda ketakutan karena gosipnya, Khadafi meracuni persediaan air kami. Lihat kan apa yang ia lakukan terhadap kami?” lanjut Sharif. Intinya, rakyat Libya tak merasa seperti hidup di negara sendiri.
Beberapa hari terakhir, warga terpukau menyaksikan polisi dan militer yang tadinya menjadi simbol rasa takut, perlahan terpukul mundur. Seorang insinyur mesin yang berada di Green Square Tripoli, Ali Al Ayan, menyaksikan bersama putrinya saat pasukan Khadafi melakukan persiapan dalam upaya menangani pemberontak.
Ayan sedang berada di dalam rumah, ketika televisi Al Jazeera melaporkan pemberontak telah mencapai tempat yang pernah ia injak itu. Ayan pun keluar rumah, inign menyaksikan sendiri bagaimana para pemberontak melakukannya. Ia gembira menyaksikan pemberontak amat terkoordinasi, menyerang dari keempat penjuru mata angin.
“Itu rencana yang baik. Hanya dalam setengah jam, Square telah mereka kuasai dan tak ada tentara Khadafi. Senjata dan peralatan ditinggalkan, beberapa menanggalkan seragamnya dan lari. Benar-benar malam yang baik bagi rakyat Libya,” lanjut Ayan.
Seperti Sharif dan warga lain, Ayan mengaku suka merinding jika melintasi Bab Al Aziziya. Sebab itulah saat melihat temboknya runtuh dan terbuka, ia tiba-tiba teringat foto-foto pasca-Perang Dingin saat Rusia bebas dari rasa takut terhadap Kremlin. Ia membandingkan betapa nasib Khadafi tak jauh beda dengan Boris Yeltsin saat itu.
Ayan juga mengingat saat mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan memerintahkan membom tempat itu pada 1986 silam. “Kami (yakin telah) melakukan apa yang harus dilakukan. Rakyat Libya melakukan apa yang sudah sepantasnya dilakukan,” lanjutnya.
Sentimen serupa, yakni rasa bebas dari ketakutan, merasuk ke seluruh raga rakyat Libya. Sebuah perjuangan panjang, lebih dari 40 tahun untuk merasa bebas dan merdeka. Hal ini mengingatkan Sharif akan ayahnya yang meninggal pada 1972, tiga tahun setelah Khadafi berkuasa karena mengkudeta Raja Idris I.
“Kalian semua akan mengalami masa kelam di bawah pimpinannya (Khadafi). untunglah, saya tak ada di sini untuk menyaksikan itu semua,” ujar ayah Sharif di hadapan keluarganya, sesaat sebelum menghembuskan napas terakhir.








////////////

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman