Charlie’s Angeluddin
Bukan hanya nyanyian Nazaruddin yang menyita perhatian publik. Kehadiran para penasihat hukum tersangka suap Sesmenpora tersebut juga memikat mata banyak orang. Tim pengacara yang dipimpin O.C. Kaligis itu diisi tiga perempuan muda, cantik, dan pintar bak trio cewek di film Charlie’s Angels. Siapa mereka?
Nama Dea tidak melejit sendirian. Ada dua temannya lagi, yakni Aldila Warganda dan Haghia Sophia Lubis, yang gara-gara kasus itu juga makin melambung. Ketiganya banyak menjadi pembicaraan setelah O.C. Kaligis memercayai kemampuan mereka dan memasukkan tiga perempuan itu ke tim pembela Nazaruddin.
Saat ditemui Jawa Pos (induk Jambi Independent) di kantor O.C. Kaligisi di Jalan Majapahit kawasan Monas, dia tampak malu-malu ketika hal itu disinggung. Namun, dia tidak mau terlalu jauh membicarakan masalah itu. Sebab, dia juga merasa surprise dengan hal itu. "Salah satu keuntungan dari menangani kasus ini, saya bisa kenal banyak orang," ujarnya.
Sebenarnya, kalau mau jeli, wajahnya sudah sering muncul di televisi jauh sebelum kasus Nazaruddin mencuat. Terutama pada medio 2003-2005, saat Dea menjadi artis. Ketika itu, dia membintangi beberapa sinetron seperti Bukan Cinderella dan Kisah Adinda. Namun, dia memilih meninggalkan dunia itu.
Ibu dua anak tersebut mengatakan bahwa meninggalkan dunia hiburan bukan perkara sulit. Sebab, dia merasa tidak memiliki passion dunia seni peran itu. Keinginan menjadi pengacara sudah kadung tertanam kuat di hatinya lantaran tergila-gila dengan serial komedi Ally McBeal yang diperankan Calista Flockhart.
Serial itu mengisahkan kelucuan Ally menangani kasus-kasus hukum lengkap dengan konfliknya ke klien dan atasannya. Nah, gara-gara serial tersebut, setelah lulus SMA dia masuk ke Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. "Kalau saya bilangnya, jadi lawyer itu panggilan hati," jelasnya.
Dia lantas terbahak saat Jawa Pos menyinggung tidak banyak perempuan cantik yang memilih profesi itu. Menurut dia, justru seharusnya banyak perempuan yang bisa menggeluti dunia itu. Sebab, bagi dia, menjadi lawyer sangat menyenangkan. Saking senangnya dengan profesi lawyer, dia sempat bingung ketika ditanya apa dukanya menjalani pekerjaan itu.
Dalam kasus Nazaruddin itu, dia dipercaya O.C. Kaligis untuk menangani dan mendampingi kliennya bersama Aldila. Karena kasus tersebut menyita perhatian masyarakat, keluarganya mewanti-wanti agar perempuan kelahiran Solo, 26 september 1982, itu lebih berhati-hati. "Keluarga bilang, nuansa politisnya besar. Keselamatan harus dijaga," jelasnya.
Kalau Dea berangkat dari masa lalunya sebagai pemain sinetron, Aldila Warganda muncul sebagai sosok gadis kampus yang cerdas. Aldilla tercatat sebagai lulusan Universitas Jenderal Soedirman dengan disiplin ilmu pidana murni. Dia juga berhasil meraih juara Asian Law Student Association (ASLA) tiga tahun berturut-turut pada 2003-2005.
Karena kecerdasannya tersebut, O.C. Kaligis menawari Aldila untuk bergabung di kantornya. Tawaran itu jelas tidak dia siakan-siakan. Sebab, sepengetahuan dia, O.C. Kaligis tidak pernah membuka lowongan pekerjaan, tetapi mencari bibit-bibit baru. "Saya masuk hampir bersamaan dengan Dea," kenangnya.
Dengan bekal ilmu pidana murninya, pengacara kelahiran Jakarta, 28 april 1984, itu pun kerap diajukan untuk bersidang. Kasus yang ditanganinya tidak tanggung-tanggung. Di usianya yang masih muda, dia dipercaya untuk menangani kasus korupsi dan berhubungan dengan KPK. "Keluarga suka khawatir, tapi saya suka menenangkan. Kalau ada ancaman, (keluarga) tidak dikasih tahu," tuturnya.
Dia juga senada dengan Dea bahwa pekerjaannya tidak ada yang berhubungan dengan gender. Meskipun, dia tahu tidak banyak perempuan yang menjadi pengacara. Baginya, pekerjaan pengacara sangat mulia karena mendampingi orang yang awam hukum. "Meski sedih juga banyak yang meremehkan profesi ini," kata anak keempat di antara enam bersaudara itu.
Untuk kasus Nazar, dia menyatakan tidak ada yang spesial. Dalam arti, dia tidak pernah membedakan siapa kliennya. Kalau sudah bersama klien, dia mengaku siap memberikan pendampingan terbaik. Misalnya, saat Prita digosipkan bakal ditahan. "Saya menemani Prita sampai jam 1 pagi," tandasnya.
Kalau kisah Haghia, beda lagi. Di antara tiga pengacara perempuan Nazaruddin, perempuan kelahiran 26 April 1982 itu adalah yang paling senior di O.C. Kaligis. Di kasus Nazaruddin, dia mendapat peran yang cukup penting, yakni memegang penanganan kasus di luar negeri.
Dia menjadi pengacara karena keprihatinannya terhadap kehidupan perekenomian bangsa. Atas dasar itu, dia memilih jurusan hukum perekonomian di Universitas Indonesia. Jurusan itu dipilih karena dia yakin, jika sektor perekonomian negara beres, kehidupan akan membaik. "Saya ingin jadi agent of change," ujarnya.
Aldila, misalnya, memiliki putri berusia 1,5 tahun yang diberi nama Aliyah Azzahra Rajasa. Si kecil adalah anugerah yang sangat indah baginya. Seperti lazimnya seorang ibu, Dila juga merasa sangat berat meninggalkan buah hati. “Apalagi, saya programkan putri saya untuk dapat ASI eksklusif sampai dua tahun,” ujarnya.
Lantaran ingin tetap memberikan ASI di waktu yang sempit itu, setiap pulang ke rumah, Dila harus selalu pegang Aliyah. Maklum, dia khawatir kalau kesibukan dan tidak rutinnya memberikan ASI bisa membuat ASI-nya tidak berproduksi. “Biasanya memang seperti itu. Untung, saya tetap bisa memberikan ASI,” imbuhnya.
Lulusan Universitas Jenderal Soedirman itu juga benar-benar ingin memberikan waktu yang berkualitas bagi putrinya. Kalau hari libur tiba, sebisanya dia meluangkan waktu untuk pergi bersama si kecil. Tentang hal itu, dia punya kenangan sendiri. “Sebelum nikah, sukanya ke tempat gaul. Tapi sekarang, ke tempat yang belum pernah dibayangkan sebelumnya,” ucap Dila.
Bagaimana membina hubungan dengan suami? Dia menjelaskan bahwa suaminya tidak terlalu rewel. Sebab, Ody Mahendra, suaminya, sudah tahu tentang profesi Dila sejak mereka berpacaran. Tetapi, agar tetap harmonis, memang Dila juga mengenalkan dunianya kepada sang kepala rumah tangga.
Tidak jarang Dila mengajak suaminya ke sidang atau ruang tahanan. Salah satunya, dia pernah mengajak Ody bertemu dengan Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu. Itu dia lakukan supaya sang suami tahu tentang tata cara menjenguk tahanan. “Kalau pulang ke rumah, sebisanya tidak cerita tentang perkara,” ungkap dia.
Dea Tunggaesti, pengacara lain Nazaruddin, punya cara berbeda untuk membuat rumah tangganya dengan Nevio Parodi yang dianugerahi dua putri tetap harmonis. Dia juga memilih weekend untuk menciptakan family time yang berkualitas. Itu dia lakukan karena dua anaknya masih berumur tiga tahun dan satu tahun. “Weekend waktu terbaik,” ucap dia.
Memang pekerjaannya saat ini benar-benar menyita waktu. Dia harus bisa menyesuaikan diri dengan jam anak balita yang kadang tidak bersahabat. Misalnya, saat pulang ke rumah, anak-anak sudah tidur. Namun, saat dia tertidur, putrinya justru terjaga.
Tidak hanya mengatur hubungan dengan anak, perempuan cantik kelahiran Solo itu juga berusaha menjaga suasana keluarganya tetap hangat. Pekerjaannya sebagai pengacara yang kerap disebut punya banyak musuh biasanya membuat keluarga waswas.
“Saya punya trik supaya tidak punya musuh,” terangnya. Caranya, mengenal lawan di pengadilan. Biasanya, sebelum sidang dimulai, sebisanya dia mengobrol dengan kuasa hukum lawan. Kalaupun di sidang harus gontok-gontokan dengan lawan, setelah sidang dia kembali mengajak lawannya berbincang. “Dengan begitu, orang tua dan keluarga tidak lagi khawatir,” jelasnya.
Haghia, yang juga pengacara Nazaruddin, membenarkan cara koleganya menjaga anak. Bahkan, ada pula cara mereka yang dia terapkan. Biasanya, tiga pengacara muda itu suka menyelipkan obrolan tentang anak dan keluarga pada waktu senggang. Dengan begitu, mereka selalu kompak dan bisa memiliki banyak ilmu baru. “Nggak melulu bahas perkara,” ungkapnya. (dim/kuh/c11/iro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar