Kamis, 22 September 2011

Belajar dari Krisis Utang AS

Belajar dari Krisis Utang AS:
Ilustrasi. Foto
ZONA INFO 1 - Corbis Ekonomi Amerika Serikat (AS) bagai terkena pukulan telak ketika Standard & Poor’s (S&P) menurunkan peringkat utangnya dari AAA menjadi AA+ pada 5 Agustus 2011. Pasar keuangan global meriang.

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari krisis utang AS? Fitch Ratings pada 16 Agustus 2011 malah mempertahankan peringkat AAA terhadap AS. Prediksi kredit tersebut stabil. Kendati menyalakan sinyal positif, Fitch akan mengevaluasi penilaian tersebut pada akhir tahun ini.

Fitch mengancam akan memberikan prediksi negatif jika para pengambil kebijakan AS gagal menyepakati penghematan USD2,1 triliun atau jika ekonomi AS memburuk secara signifikan.

Pun Moody’s dan Japan Credit Rating (JCR) tidak menyatakan perubahan peringkat utang AS. Rasio utang AS terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mencapai 93,20 persen. Berapa rasio idealnya? Bagi negara Eropa, rambu-rambu itu termuat dalam ”Undang- Undang Dasar” pendirian Uni Eropa yang disebut Maastricht Treaty.

Sarinya, negara anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN yang tak melewati tiga persen dari PDB dan rasio utang pemerintah tak melebihi 60 persen. Bagaimana rasio utang negara lain? Jepang 220,30 persen, Yunani 142,80 persen, Italia 119 persen, Belgia 96,80 persen, Irlandia 96,20 persen, Portugal 93 persen, Islandia 87,80 persen, Sri Lanka 85 persen, Kanada 84 persen, Jerman 83,20 persen, Prancis 81,70 persen, Hungaria 80,20 persen, Inggris 80 persen, Israel 77,90 persen, Mesir 73,80 persen, Austria 72,30 persen, India 69,20 persen, Brasil 66,10 persen, Mongolia 64,80 persen, Belanda 63,70 persen, dan Spanyol 60,10 persen.

Pada 24 Agustus 2011 JCR menyampaikan afirmasi bahwa peringkat Indonesia untuk utang jangka panjang valuta asing (foreign currency longterm senior debt) pada BBB dan utang jangka panjang valuta lokal (foreign currency longterm senior debt) pada BBB. Kedua peringkat itu dengan prediksi stabil.

Untuk itu, boleh kita bersyukur. Ini beberapa pelajaran yang bisa dipetik. Pertama, utang dan tujuannya. Ditjen Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan, menegaskan bahwa utang merupakan bagian dari kebijakan fiskal (APBN) yang menjadi bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi secara menyeluruh.

Utang merupakan konsekuensi dari postur APBN yang mengalami defisit. Sarinya, pendapatan negara lebih kecil daripada belanja negara. Utang juga merupakan instrumen utama untuk membayar kembali utang yang telah jatuh tempo (debt refinancing). Itulah mengapa kita selalu menambah utang.

Tetapi, mengapa jumlah utang terus menanjak? Dampak krisis ekonomi pada 1997/1998 menjadi salah satu alasan kunci. Saat itu terjadi depresiasi rupiah sangat tinggi terhadap mata uang asing hingga mencapai Rp17 ribu per USD1.

Untuk memperkokoh permodalan perbankan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menggelontorkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan menerbitkan obligasi rekapitulasi bagi 29 bank nasional. Kedua, pembatasan pagu utang.

Adalah benar rasio utang Indonesia terhadap PDB amat rendah 26,90 persen. Kinerja inimengungguli negara-negara ASEAN lainnya antara lain Thailand 44,10 persen, Filipina 47,30 persen, Vietnam 52,80 persen, Malaysia 54,20 persen, dan Singapura 97,20 persen.

Sayangnya, jumlah utang kita terus mendaki. Data BI menunjukkan utang Indonesia hingga Juni 2011 mencapai Rp1.723,9 triliun.

Dalam sebulan utang pemerintah naik Rp7,34 triliun dibandingkan Mei 2011 Rp1.716,56 triliun. Jika dibandingkan utang per Desember 2010 Rp1.676,85 triliun, jumlah utang hingga Juni 2011 bertambah Rp47,05 triliun.

Wah! Maka, pagu utang dalam setahun harus ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini bertujuan untuk menciptakan alat pengawasan dan mencegah melesatnya jumlah utang.

Dengan bahasa lebih bening, langkah ini bertujuan untuk menekan potensi risiko gagal bayar (default risk). Ketiga, bunga kompetitif. Utang itu meliputi pinjaman dalam dan luar negeri dan Surat Berharga Negara (SBN).

SBN antara lain meliputi Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias sukuk negara dalam rupiah dan valuta asing (valas) dengan aneka struktur seperti ijarah, musyarakah, dan istisna.

Nah, dalam menambah utang luar negeri, pemerintah seharusnya mencari bunga yang paling kompetitif dan persyaratan amat lunak. Keempat, utang valas swasta. Pemerintah wajib lebih mewaspadai pertumbuhan utang valas swasta yang melejit USD17,301 miliar per Juni 2010 menjadi USD94,333 miliar per Juni 2011. Cermati pula bank nasional yang terus menambah utang luar negeri dengan basis pendapatan rupiah.

Kelima, percepatan pelunasan utang. Pada 12 Oktober 2006, BI atas nama pemerintah pernah mempercepat pelunasan pinjaman kepada IMF (International Monetary Fund) di bawah skim Extended Fund Facility (EFF). Jumlah pelunasan SDR (special drawing right) 2.153.915.825 atau ekuivalen USD3.181.742.918 (USD/SDR= 1.47719) sebagai sisa pinjaman yang seharusnya jatuh tempo pada akhir 2010.

Namun, sejak itu tidak terdengar lagi. Padahal, itu penting untuk menekan jumlah utang dan mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu, percepatan pelunasan utang harus menjadi prioritas pemerintah. Sejatinya, pengelolaan ekonomi berupa penambahan utang itu bertujuan untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat. Tetapi, tengok data berikut.

Ekonomi tumbuh 6,1 persen pada 2010 lalu naik menjadi 6,5 persen masing-masing pada kuartal I dan II-2011. Tetapi, tingkat pengangguran terbuka hanya menipis dari 7,14 persen atau 8,32 juta orang per Agustus 2010 menjadi 6,80 persen atau 8,12 juta orang per Februari 2011.

Artinya, hanya tumbuh 200 ribu kesempatan kerja selama enam bulan padahal setiap pertumbuhan ekonomi satu persen semestinya mampu menciptakan 400 ribu kesempatan kerja.

Untuk itu, pengawasan terhadap manajemen utang harus ditingkatkan tiada bertepi. Hal ini bertujuan untuk menebalkan kesempatan kerja yang lebih banyak dan menipiskan tingkat kemiskinan. Alhasil, rakyat mampu merasakan makna utang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman