Kunjungan saya ke Desa Yobeh dilakukan di sela-sela Festival Danau Sentani 2012, Kamis (22/6/2012) lalu. Setelah mengambil beberapa gambar, saya mendapati seluruh rombongan mengerubungi Kepala Suku. Rupanya ia sedang menjelaskan sesuatu, tentang Tifa berumur ratusan tahun.
"Tifa dibuat menggunakan kulit manusia. Umurnya dua ratus tahun. Dulu ada dua, Tifa laki-laki sama perempuan. Yang perempuan dibawa ke Belanda, sekarang dimuseumkan di sana. Di sini, tinggal Tifa laki-laki," jelas sang Kepala Suku, tampak berusaha terus menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dengan pengunjung.
Tifa adalah alat musik khas Papua yang berbentuk gendang. Mendengar penjelasan sang Kepala Suku, seluruh rombongan penasaran. Kami lalu dibolehkan masuk ke dalam sebuah rumah tempat Tifa itu disimpan. Sebelum masuk ruangan, kami wajib mengucap salam. Permisi...
Ada dua Tifa yang menggantung di langit-langit. Warnanya hitam, mungkin termakan usia. Sejepret-dua jepret kamera dan saya pun keluar untuk ganti giliran dengan pengunjung lainnya. Di pintu rumah, Kepala Suku angkat bicara.
"Tifa ini sebagai pertanda kalau ada warga yang mau meninggal. Yang rambutnya sudah memutih, yang sudah ada bercak-bercak di wajahnya. Malam hari, Tifa akan bunyi sendiri. Pertanda besoknya dia akan meninggal."
Astaga! Ini adalah hal paling mistis yang saya temui sepanjang FDS 2012. Tapi rupanya Kepala Suku belum selesai cerita.
"Kalau Tifa ini bunyi, yang di Belanda sana juga bunyi. Bersamaan," kata dia.
Setelah tercekat beberapa detik, dua warga lokal yang berdiri tak jauh dari situ mengalihkan perhatian saya. Mereka membawa tombak panjang, memegangnya dengan hati-hati dan mengelusnya dengan cermat. Itu adalah tombak keramat.
"Ini juga tombak laki-laki dan tombak perempuan. Digunakan untuk perang. Tidak bisa digunakan sembarang orang, harus yang sudah tua atau punya kedudukan," tutur salah seorang warga Yobeh.
Seperti pondasi bangunan, tombak itu juga terbuat dari kayu besi. Tombak laki-laki sekitar 3 meter tingginya, sementara yang perempuan sekitar 3,5 meter. Motif khas Papua terukir di tiap bagian tombak itu, dari pangkal sampai ujung. Sama seperti Tifa keramat itu, tombak ini juga usianya tak tanggung-tanggung.
"Lima belas keturunan. Sekarang digunakan untuk acara pelantikan," tambahnya.
Saya bertanya, apa nama tombak itu? Mereka tersenyum dan menjawab, kalau nama tombaknya tak boleh disebut. Terlalu sakral.
Tak sampai satu jam kami singgah di Desa Yobeh. Masih dengan senyum mengembang, warga setempat mengantar kepergian kami ke dermaga. Melambaikan tangan lama sekali hingga kapal tak terlihat.
Di dalam kapal, pemandu kami, Andre bicara kepada segelintir orang termasuk saya. Kata-katanya tersendat, namun bisa ditangkap oleh siapa pun yang kebetulan sedang berada di dekatnya.
"Saya dekat sekali dengan Kepala Suku-nya. Menginap di rumahnya beberapa hari. Selama bertahun-tahun saya nggak tahu sama sekali tentang batu, tombak, apalagi Tifa. Mereka sembunyikan itu rapat-rapat," tuturnya.
Lanjut Andre, ini adalah kali pertama Desa Yobeh membuka diri untuk wisatawan. Dari 24 desa adat di Danau Sentani, tak lebih dari 5 desa yang membuka wajah untuk pariwisata. Tampaknya masyarakat Desa Yobeh sudah mulai mengetahui dampak positif pariwisata, terutama untuk aspek ekonomi dan kesejahteraan.
"Banyak sekali desa di sini (Danau Sentani-red) yang minta didatangi wisatawan. Tapi nggak semuanya mungkin, soalnya jarak pulaunya ada yang jauh sekali dekat hilir," tambah Andre.
Saya pun terkesima. Sulit membayangkan kalau hampir seluruh desa adat di sini kini berlomba-lomba untuk dikenal turis, membuka pintu lebar-lebar terhadap dunia pariwisata. Mereka mengungkapkan apa yang telah disimpan beratus-ratus tahun lamanya.
sumber
Jangan lupa di like dan Follow Twitter | @osserem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar