Selasa, 28 Oktober 2008

EMPLOYEE ENGAGEMENT: APAKAH SEKADAR SLOGAN? -

Oleh: Sunarso

Hari itu, Kamis, tanggal 21 Februari 2008, sekitar jam lima sore, saya mendengar percakapan dua orang karyawan di sebuah toilet. Karena berada di dalam WC, saat itu saya tidak tahu persis siapa kedua karyawan itu. Namun, dari suara dan isi pembicaraannya, saya bisa menduga mereka adalah karyawan dari unit sebelah yang kebetulan satu lantai dengan kantor saya.

Ceritanya, hari itu listrik padam sejak jam 12 siang. Lampu dan AC semuanya mati karena genset sebagai cadangan supply listrik ternyata juga bermasalah. Setelah empat jam listrik tak kunjung hidup, manajemen pun memulangkan para karyawan. Di antara ratusan karyawan yang tampak berseri-seri karena bisa pulang lebih awal, ternyata ada sebagian yang masih setia di kantor menunggu listrik menyala lagi. Mereka sedang mengejar date line pekerjaan yang sudah dijanjikan kepada nasabah.

”Hai, kenapa belum pulang? Sudah jam lima, lho...” sapa karyawan pertama.

”Iya, nih. Saya harus menyelesaikan pekerjaan sore ini juga karena besok ditunggu nasabah,” jawab karyawan satunya.

”Ah, kayak nggak ada hari lagi. Bilang saja karena listrik mati maka pekerjaannya belum selesai. Beres, kan?” timpal karyawan pertama. ”Ah, tidak. Buat saya, kalau masih memungkinkan kenapa harus ditunda?” ujar karyawan kedua.”Malu rasanya kalau memikirkan apa yang saya berikan kepada perusahaan. Saya merasa apa yang saya berikan kepada perusahaan masih belum sepadan dengan apa yang saya terima. Ketika saya butuh rumah, perusahaan membelikannya. Ketika saya butuh kendaraan, perusahaan memenuhinya. Ketika keluarga sakit, perusahaan mengobatinya. Ketika anak masuk SMA, perusahaan juga meminjami biayanya. Ketika saya perlu training pun, perusahaan membayarinya. Ya, saya benar-benar malu pada diri saya sendiri,” tambah karyawan kedua ini.

”Alah… jangan sok pahlawan, lu!” cemooh karyawan pertama seraya ngeloyor pergi.

Employee Engagement
Percakapan kedua karyawan di toilet itu mengingatkan saya pada apa yang kita sebut employee engagement. Saya percaya, bagi karyawan Permata Bank—tempat saya bekerja saat ini—istilah itu sudah tidak asing lagi. Namun, seberapa banyak dari mereka yang benar-benar memahami maknanya? Jawabannya tentu ada pada diri mereka masing-masing.

Menurut Towers Perrin, seperti saya kutip dari “Q-12 Information Pack” Bank Permata, employee engagement adalah kesediaan dan kemampuan karyawan untuk memberikan kontribusi kepada kesuksesan perusahaan, di mana karyawan mengerahkan upayanya atas kemauan sendiri pada pekerjaan mereka, dalam bentuk usaha ekstra, kemampuan berpikir, dan energi.

Gambaran tentang employee engegement mungkin dapat diambil dari sebuah bank, yang dulu dikenal sebagai bank pribumi yang hebat, namun sekarang dimiliki oleh Khasanah Berhad. Bank tersebut merupakan salah satu perusahaan yang diidolakan oleh para lulusan baru perguruan tinggi terkenal di negeri ini. Reputasinya sebagai perusahaan idola pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia pertengahan tahun lalu, bersamaan dengan Astra Internasional, Citibank, dll.

Konon, setiap karyawan merasa bangga bekerja di bank ini. Karyawannya merasa malu kalau pulang jam lima ’teng’. Di antara karyawan telah tumbuh budaya self control maupun interpersonal control yang kuat. Ketika salah seorang karyawan tercium akan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang, karyawan lain langsung menegurnya. Bahkan, seorang driver--menurut informasi dari salah satu teman yang pernah bekerja di bank ini—dapat menegur pejabat setingkat group head. Ia pernah menolak perintah pejabat ini karena diminta mengantar ke suatu tempat yang tidak sesuai dengan surat jalannya. Sebaliknya, sang pejabat tinggi tersebut juga secara ’legowo’ dapat menerima peringatan tersebut, sekalipun peringatan datang dari hanya seorang driver.

Di bank ini juga tidak ada serikat pekerja. Ketika saya mencoba mengonfirmasi hal ini, teman saya menjelaskan, ”Esensi serikat pekerja adalah memperjuangkan hak-hak pekerja. Kalau tanpa serikat pekerja saja manajemen telah memberikan seluruh hak-hak mereka, bahkan dalam beberapa hal lebih dari sekedar yang dibutuhkan karyawan, lalu apa urgensinya membentuk serikat pekerja?”

Sebagai contoh, dalam hal tunjangan kesehatan, bank ini menanggung seluruh biaya rawat inap karyawannya yang sedang sakit tanpa batasan waktu. Karyawan diobati sampai benar-benar sembuh. Lain lagi bila bicara pinjaman karyawan, katakan saja pinjaman rumah. Seluruh biaya yang terkait dengan proses pinjaman seperti BPHTB, notaris, asuransi, appraisal, dll., semuanya dibayari dulu oleh perusahaan. Biaya-biaya tersebut baru dibebankan kepada karyawan setelah pinjaman cair dengan memotong gaji karyawan secara bertahap sesuai kemampuannya.

Yang tidak kalah menarik, kabarnya perusahaan memberikan subsidi atas biaya-biaya tersebut. Bahkan, ada item-item tertentu seperti biaya appraisal yang ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Kalau karyawan merasa telah ’diorangkan’—telah diperlakukan sangat istimewa—tampaknya akan sulit bagi mereka untuk tidak mencintai perusahaan, bukan?

Apakah perusahaan tempat Anda bekerja telah memperlakukan karyawannya sebagaimana contoh bank di atas? Saya kira jawaban dari masing-masing karyawan akan sangat bermacam-macam. Bagi saya, kalau ditanyakan apakah kita butuh waktu dalam merealisasikan hal ini, saya kira ’Ya’. Namun, sepanjang yang saya ketahui, saat ini manajemen sedang berusaha ke arah sana. Sebagai contoh, manajemen baru saja selesai melakukan survei Q-12 (question twelve) untuk mengetahui tingkat engagement karyawan. Saat ini hasil suvei sedang ditindaklanjuti melalui Impact Planning. Perusahaan juga telah meningkatkan plafond kredit karyawan meskipun tidak berarti karyawan bisa secara otomatis memanfaatkannya. Ketentuan DBR dan perhitungan cicilan secara flat tampaknya menjadi penyebab masalah ini. Perusahaan juga sedang menciptakan tempat kerja dengan apa yang disebut great place to work.

Menurut saya, yang harusnya sama-sama disadari oleh perusahaan maupun karyawan sendiri adalah bahwa menciptakan employee engagement itu tidaklah mudah. Walaupun, bukan pula itu sesuatu yang ’mustahil’ diwujudkan. Upaya realisasi ini merupakan sebuah proses yang tidak akan pernah berakhir. Dibutuhkan kesabaran! Harus ada ’gayung bersambut’ antara karyawan dengan perusahaan. Perusahaan harus ’mengorangkan’ dan memperlakukan karyawan secara istimewa.

Di sisi lain, karyawan harus siap mengubah mindset-nya. Karyawan harus bekerja sesuai aturan yang telah digariskan perusahaan serta mematuhi kode etik yang ditetapkan oleh perusahaan. Karyawan harus memiliki etos kerja yang tinggi (kinerja, keinginan memberikan dukungan, energi, keuletan, antusiasme, komitmen, dll.) dan—ini yang tidak kalah penting—karyawan harus mau dan mampu berubah sesuai tuntutan perkembangan perusahaan.[sun]

* Sunarso adalah seorang auditor di Bank Permata yang juga aktif menulis artikel untuk ”PermataInfo”, media internal perusahaannya. Alumnus workshop SPP ”Writing Skill for Executives & Managers” Angkatan Ke-8 ini sudah menghasilkan sejumlah artikel menarik di bidang yang dia geluti. Sunarso dapat dihubungi melalui email: snarso@permatabank.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman