Selasa, 28 Oktober 2008

MAUKAH ANDA BERUBAH?

Oleh: Duddy Indarto

Pernahkah Anda mengutuk diri sendiri, terlalu banyak mengeluh sambil menyalahkah Tuhan? Menyalahkan karena berprasangka tidak adil. Atau, terlalu iri pada sesama. Berpandangan bahwa orang lain diberikan rezeki dan keadaan yang serba ada. Serba enak. Sedangkan, ketika Anda menengok diri sendiri, masih jauh dari kata cukup.

Masih hidup serba kekurangan. Atau, Anda merasa hidup selalu sial. Nasib selalu buruk. Dalam kehidupan keseharian hanya dipenuhi duka lara. Nyaris, tak ada cerita bahagia di dalamnya. Hidup serasa suram, harapan akan datangnya kebahagiaan seperti fatamorgana. Harapan yang belum pasti kapan datangnya. Ditambah lagi, merasa tak ada potensi terbaik dalam diri. Pesimis akan masa depan. Hati selalu terpuruk. Bahkan, tampaknya hidup terasa gelap.

Ah, semoga saja itu tak terjadi. Saya sekadar ingin bicara tentang optimisme, bukan pesimisme. Hasrat untuk membahas optimisme berawal dari curhat seorang kakak ipar saya. Dia, merasa seperti yang saya ceritakan di awal. Lebih banyak diam ketika saya mendengar ceritanya. Hanya saja, saya merasa ada yang perlu diluruskan. Ada yang sepertinya perlu pemikiran berbeda dalam mennyikapi fenomena nasib kita. Ya, pandanglah dunia dengan cara yang berbeda. Karena, dunia pun begitu. Di balik sisi gelap, ada cahaya yang terang benderang. Gelap terang dunia itu niscaya. Tinggal, pandai-pandai kita dalam memilihnya.

Orang Jawa bilang, hidup ini sawang sinawang (saling melihat). Orang yang merasa miskin, kadang terlalu melihat dan mendongak ke atas. Sambil berandai-andai, memimpikan betapa enaknya jadi orang kaya. Sementara, kadang, orang yang dipandang kaya itu rupanya tak seindah yang dibayangkan oleh si miskin. Hidup selalu sibuk. Urusan banyak. Kadang persoalan datang silih berganti. Tak ada hentinya. Setiap pulang ke rumah, tinggal capeknya saja.

Singkatnya, nyaris tak ada waktu senggang untuk menikmati hidup. Menikmati kekayaan yang dimilikinya. Begitulah hidup dalam bingkai sawang sinawang.

Saya tak hendak mengatakan bahwa jangan jadi orang kaya. Justru, kita perlu kaya. Hanya, tak sekadar kaya materi. Kaya jiwa juga perlu. Karena, inilah sebenarnya kekayaan yang mendatangkan kebahagiaan. Dalam kondisi apa pun. Untuk bisa meraihnya, kita memang perlu menggelorakan semangat untuk berubah. Agama sendiri telah mengajarkan itu. Tuhan tidak akan mengubah nasib sebuah kaum, sebelum mereka mau mengubah nasib diri mereka sendiri. Inilah yang dinamakan proses.

Bagi siapa pun yang kini sedang merasa terpuruk. Tak ada kata selain kita mesti bangkit. Membangun kembali keping-keping semangat yang masih ada. Memaksimalkan segenap potensi yang kita miliki. Mari sama-sama kita mengejar mimpi yang belum terwujudkan. Mimpi yang masih tertunda.

Kita mesti ingat, masa depan adalah apa yang kita rangkai hari ini. Selangkah demi selangkah, mari kita semai dan wujudkan mimpi-mimpi kita bersama. Semangat untuk berubah kita bangun kembali. Kali ini, kita memang perlu sepakat dengan kata para pakar pengembangan diri, sikap optimis. Ya, sebuah optimisme dalam diri kita. Sikap optimis itu perlu asal proporsional, asal tidak berlebihan. Optimisme perlu ada sebagai awal perubahan atas diri kita, bukan sebaliknya, selalu pesimis. Yang kita perlukan adalah optimisme, bukan pesimistis. Sebab sikap pesimis tidak akan pernah menghasilkan apa-apa. Percayalah![di]

* Duddy Indarto adalah alumnus STIE Perbanas Surabaya dan pengelola sanggar kreativitas anak Ciluuba (kecil-kecil luar biasa). Ia tinggal di Jalan Taman Indah II/20, Surabaya 60234. Duddy dapat dihubungi di telepon 031-8287161, flexi: 031-70069909, atau email: duddyspidey@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman