Oleh: Ir. Anom Wiratnoyo, MM
Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka.”
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitroh. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasroni atau majusi.”
Keadaan seorang ibu yang hamil sungguh luar biasa. Tiba-tiba semua ibu-ibu yang ditemuinya di jalan, di pasar, di tempat kerja, di mal, dan di mana pun terlihat sedang hamil atau mendorong kereta bayi. Ini bukanlah hipnotis atau si ibu itu sakit mata. Tapi, puncak kebahagiaan telah menyedot fokus perhatiannya kepada setiap ibu hamil yang tertangkap pandangan matanya. Sehingga, ibu-ibu yang tidak hamil terlewat dari perhatiannya. Seperti seorang remaja baru mendapat hadiah motor Honda. Maka, seolah seluruh motor di jalan adalah Honda yang setipe dengan miliknya. Kegembiraan telah mengarahkan perhatian orang kepada objek yang menjadikan kegembiraannya. Dan mengabaikan yang lain.
Kata pertama yang terucap oleh si ibu, setiap berbicara dengan orang dekat atau siapa pun, adalah soal bayi yang dikandungnya. Tak mau kalah, teman yang bertemu dengan sangat antusias menanyakan keadaan si bayi, seolah berebut menarik perhatian si jabang bayi. Tak ketinggalan, keempat kakek-neneknya berlomba menjadi juru bicara paling canggih bagi si makhluk mungil dalam rahim itu. Semua dengan bayangan yang sama, seorang bayi mungil yang lucu, sehat, menggemaskan, menggugah semangat, dan memberi harapan masa depan yang cerah.
Ayahnya pun demikian. Setiap telepon ke rumah yang ditanyakan adalah keadaan bayinya. Semangat kerjanya terpompa hampir sepuluh kali lipat. “Semua keringat yang menetes ini adalah untuk belahan jiwaku,” katanya. Jauh hari sebelum kelahiran musyawarah dilakukan untuk mempersiapkan perlengkapan si bayi. Kalau bisa, yang terbaik dan termahal yang mampu dibeli. Hari-hari diisi dengan menata ulang posisi furnitur di kamar utama. Mengatur posisi terbaik untuk tempat tidur bayi.
Seluruh kebahagiaan, antusias dan semangat yang dibalut cinta ini adalah rahmat Allah SWT. Rahmat yang menghapus penderitaan seorang ibu yang membawa beban 1,5 – 3 kilogram ke mana pun dia pergi. Beban yang tidak bisa dilepasnya sedetik pun untuk disimpan sejenak di atas meja. Seperti tasnya yang hanya 0,6 kilogram diletakkan sejenak di meja untuk mengurangi sedikit rasa pegal ketika kondangan. Allah mengabadikan penderitaan ini dengan firman-Nya (QS 31:14), “Lemah yang bertambah-tambah.”
Rahim yang hanya sebesar telur bebek tiba-tiba membesar untuk dapat menampung bayi yang panjangnya 50 sentimeter dan beratnya 3 kilogram. Makhluk yang tidak hanya berdiam diri di perut ibunya. Bahkan, malam hari ketika si ibu tertidur lelap pun terkadang bayi mungil ini menendang dinding rahim. Memaksa rahim untuk lentur dan kuat. Ibu yang terkejut terbangun seketika. Mulutnya langsung tersenyum. Tangannya mengusap perutnya yang buncit sambil berdoa, “Nak, apa pun yang kau lakukan ibu rida.”
Tibalah masa persalinan. Allah SWT mengabadikannya dengan firman-Nya (QS 46:15), “Susah payah.” Bayi dengan panjang 50 sentimeter dan berat 3 kilogram itu harus keluar melalui lubang persalinan yang tak sebanding dengan ukurannya. Perjuangan si ibu melahirkan sering disebut sebagai perjuangan hidup dan mati. Sakit yang luar biasa. Energi harus dikuras dengan teknik napas tertentu. Ketika si bayi berhasil keluar, lemaslah seluruh persendian. Luluh seluruh syaraf. Lemah terasa seluruh otot. Roh seakan melayang entah ke mana. Sejenak seakan berada di satu ruang kosong tak bertepi. Begitu bayi mungil disodorkan ke lengan kanan si ibu yang masih tergeletak, satu sentuhan menyentak syaraf lengannya. Mengalir dengan kecepatan super ke seluruh tubuh. Memanggil kembali roh yang sempat limbung. Menghidupkan kembali seluruh sel, jaringan, dan syaraf. Kekuatan baru mendadak muncul. Berlipat ganda dibanding sebelumnya. Rahmat Allah SWT kembali memeluk si ibu yang berjuang penuh keikhlasan dan cinta.
Pengasuhan 1-2 tahun adalah masa yang sangat kritis. Karena bayi betul-betul dalam keadaan tidak berdaya. Sangat bergantung pada orang dewasa. Ayah dan ibu sibuk mengurusnya siang dan malam. Terkadang, kedua nenek ikut mengasuh dan menjaga. Bersenandung sambil mengajarkan kalimat, “Laa ilaha illa-llah.”
Umur 2-5 tahun adalah masa pengasuhan yang sangat melelahkan. Anak mulai menjelajah. Bukan hanya wilayah bergeraknya yang makin meluas. Semua barang ingin dikenalnya dengan menyentuh atau menggigitnya, tanpa tahu sedikit pun bahayanya. Tapi, masa balita ini pun dapat dilalui dengan baik. Tidak satu pun balita di dunia ini yang menjengkelkan. Semuanya lucu dan menggemaskan jika dipandang. Pandangan yang dipenuhi rahmat Allah SWT.
Memasuki usia sekolah adalah masa yang membutuhkan biaya sangat besar. Sering kali bukan hanya ayah, ibu pun ikut bekerja. Kondisi yang makin menjauhkan hubungan orangtua dan anak. Keadaan perlahan mulai berubah. Cinta dan kasih sayang yang telah terjalin hampir 6 tahun dari sejak kandungan. Cinta dan kasih sayang yang diselimuti rahmat Allah SWT mulai menghampiri titik baliknya. Ayah-ibu yang sibuk dan lelah bekerja seakan belajar untuk mengumpat anaknya, “Nggak tahu bapak capek. Kamu bisanya minta mainan melulu. Kapan kamu belajar?!”
Sungguh tidak ada yang memungkiri lelahnya ayah, dan juga ibu, yang bekerja. Juga tidak ada yang menolak bahwa hasil bekerjanya itu adalah untuk anak. Untuk gizi, prestasi, dan kesenangan anak lainnya. Tapi, jika ada ayah, apalagi ibu, yang berkata atau bersikap kasar bahkan mengumpat kepada anaknya, sungguh bukan suatu cara yang diridai oleh Allah SWT. Ayah dan ibu tidak perlu bersikap kasar kepada anak—bagaimanapun keadaannya—dengan alasan capek yang langsung diucapkan maupun terselubung. Capek terselubung adalah ketika orangtua tidak menyadari kondisi lelahnya, langsung merespon kesalahan anak. Yang terjadi adalah pengendalian emosi yang sangat lemah. Kemarahan bisa meledak tanpa ujung pangkal. Jika hal ini sering diulang maka menjadi kebiasaan yang akan dibenarkan oleh orangtua itu sendiri. Karena hanya 1 per 1.000.000 orangtua yang mau mengakui kesalahannya dalam mendidik anak.
Sebutlah Pak Bakri, yang menyadari betapa susah dan beratnya berusaha mengubah perilaku terhadap kedua anaknya, Hasanah dan Nurul. Selama 20 tahun umur Hasanah dan 17 tahun umur Nurul, jarang sekali dia berkata manis pada mereka. Sifatnya yang emosional dan kekesalannya di sekolah ditumpahkannya di rumah. Istrinya yang semula tidak pernah berkata kasar, jadi terbawa virus emosi yang disebarkannya. Nuansa rumahnya adalah nuansa emosi, dari bangun tidur sampai menjelang tidur kembali. Hanya saat tidurlah yang bebas dari ucapan keras di rumah itu.
Sekarang, bahkan untuk mengucapkan “sayang” kepada anaknya saja terasa kaku di lidah. Seakan kata itu adalah kosa kata asing yang baru dipelajarinya. Tetapi, tekadnya sudah bulat dan mantap. “Aku harus berubah atau api neraka akan menyantapku,” begitu kalimat yang diucapkannya di sela doanya.
Terbayang suasana di akhirat yang dengan dramatis dan berkesan disampaikan Ustaz Sobar dalam satu pengajian, “Diriwayatkan ada seorang hamba yang berjalan hendak masuk ke dalam surga. Malaikat mengiringinya dengan menebarkan bau yang harum. Ketika hamba ini sudah siap masuk ke surga, tiba-tiba terdengar suara yang keras, ‘Tahan! Dia ayahku, aku adalah anaknya. Aku ada di neraka adalah gara-gara dia. Dulu, dia tidak pernah mengajariku ibadah dengan benar. Dia membiarkan aku tidak shalat. Dia membiarkan aku tidak puasa. Dia membiarkan aku berani melawan padanya dan pada ibuku. Dia membiarkan aku berzina. Sekarang, aku akan menuntutnya’”.
Mutiara Hikmah:
1.Orangtua telah mengorbankan segala sesuatu untuk mempersiapkan kelahiran bayi, mengasuh dan mendidiknya.
2.Seharusnyalah pengorbanan itu dituntaskan dengan pengasuhan yang penuh kasih sayang dan pendidikan yang mengakar pada akidah, syariat, dan akhlak secara kuat.
3.Kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya—besar maupun kecil—akan menjadi tuntutan di hari penuntutan.
* Ir. Anom Wiratnoyo, MM adalah Kepala SMA pada Yayasan Pendidikan Insan Kamil, Bogor, Jawa Barat. Artikel ini merupakan penggalan dari seri tulisan renungan ramadhan untuk Jam’an Marhuman Indonesia. Alumnus Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) Angkatan 4 ini juga seorang ustaz dan dapat dihubungi di telepon: 0251-332307.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
instanx
Total Tayangan Halaman
Categories
- abdul muid badrun (2)
- Acha Septriasa (4)
- ade asep syafruddin (4)
- alexandra dewi (1)
- alpiyanto (1)
- andrew ho (91)
- Ardian syam (22)
- arief yuntanu (2)
- arif gunawan (40)
- arif yustanu (1)
- artikel (13118)
- bambang trim (1)
- beni bevly (1)
- berita (3795)
- BLOGERNAS (1)
- damardi darmawangsa (13)
- danang a akbarona (2)
- dany chandra (3)
- dewi lestari (1)
- Dian Sastro (1)
- didik darmanto (2)
- dodi mawardi (2)
- DOWNLOAD EBOOK GRATIS (234)
- edi zaqeus (1)
- edit (110)
- eko jalu santoso (1)
- eni kusuma (11)
- goenardjoadi goenawan (1)
- hari subagya (7)
- haryanto kandani (4)
- hendra (10)
- ida kuraeny (1)
- indra cahya (1)
- iqnatius muk kuang (8)
- jennie s bev (1)
- johanes koraang (1)
- joko susilo (47)
- joni liu (2)
- joshua w utomo (2)
- joycelina (1)
- kerjadarirumah (4)
- kristopher david (1)
- lamser aritonang (1)
- Luna maya (15)
- m ichsan (41)
- m ikbal (1)
- Mariana Renata (1)
- marsello ginting (1)
- marzuki usman (3)
- Mieke Amalia (1)
- mugi subagya (1)
- muk kuang (1)
- Mulan Jameela (1)
- original artikel (103)
- profil (3)
- pujiono (1)
- rab a broto (4)
- Revalina S. Temat (3)
- riyanto s (4)
- ronal frank (2)
- roni jamaludin (1)
- ruby herman (1)
- ruddy kusnadi (1)
- rudy lim (19)
- sansulung john sum (1)
- saumimam saud (1)
- stephen barnabas (1)
- suryanto wijaya (3)
- syahril syam (17)
- tan bonaventura andika sumarjo (1)
- tanadi santoso (1)
- tante girang (454)
- thomas sugiarto (8)
- tung desem waringin (4)
- undang a halim (1)
- walpaper (50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar