Oleh: Ariesandi Setyono
Pada suatu hari di rumah tetangga, Anton sedang bermain dengan adiknya dan tiba-tiba saja si adik menangis dengan keras karena mainannya direbut. Anton tidak mau mengalah dan malahan mengejek adiknya. Ibunya melihat hal itu terjadi dan dengan serta merta berteriak dengan suara nyaring nan merdu, “Ayooo..., teruskan... ya ganggu adikmu terus. Nanti Mama hukum kamu kalau terus ganggu adikmu. Kan adikmu masih kecil kamu yang lebih tua ngalah dong?“
Anton terdiam kebingungan, dalam hatinya ia berkata, “Lho, tadi katanya disuruh terus, lha kok kalau saya teruskan malah dihukum dan kapan adik akan lebih tua daripada kakak, ya?”
Anton mempunyai pikiran seperti itu karena telah sering mendengar ucapan ibunya yang seperti tadi. Setiap kali ia dan adiknya berebut mainan selalu saja adiknya akan menangis untuk menarik perhatian ibunya. Dan anehnya ibunya selalu mengatakan hal yang sama seperti di atas kepadanya.
Cerita yang lain lagi terjadi ketika saya mengunjungi seorang teman yang anaknya merayakan pesta ulang tahun pertama dalam satu tahun kehidupannya yang membingungkan. Orangtuanya dengan bangga memuji anaknya di depan banyak tamu, ”Aduh cantiknya anak ini. Anak siapa ya ... kok cantik sekali? Mari kemari ini ada hadiah untuk Putri yang begitu cantik.”
Anda perhatikan kalimat yang digunakan oleh orangtua Putri untuk memuji anaknya. Seringkah anda mendengar orangtua memuji seperti itu? Bisakah anda menemukan sesuatu yang janggal dalam kalimat tersebut?
Jika anda analisa lebih dalam anda akan menemukan bahwa pada suatu saat jika kalimat pujian seperti di atas sering diucapkan, anak akan mempunyai pertanyaan besar dalam dirinya; ”Sebenarnya aku ini anak siapa ya? Apa benar anak papa dan mama? Tapi kok mereka sering menanyakan aku ini anak siapa?”
Seandainya pertanyaan itu muncul dalam diri anak, apakah itu wajar? Ya... tentu saja. Orangtua sudah memancing pertanyaan itu untuk muncul tanpa disadari. Apalagi jika anak bertindak tidak sesuai dengan keinginan orangtua lalu dihukum, maka pertanyaan itu akan semakin terdorong keluar. Dalam hati si anak akan mempunyai pertanyaan lagi, ”Eh benar juga ya. Kalau aku benar-benar anak papa dan mama kenapa mereka menghukum aku seperti ini ya. Kalau adik yang melakukannya tidak dihukum seberat ini? Kenapa ya kok aku selalu dihukum lebih berat daripada adik. Jangan-jangan ... Aku ini sebenarnya anak siapa, ya?”
Sampai di sini anda tentu berpikir, ”Wah susah sekali menjadi orangtua. Kok ini salah dan itu salah ya. Saya dulu juga diperlakukan seperti itu oleh orangtua saya. Tapi kok ya .... tidak apa-apa tuh? Sekarang hidup saya juga sukses?”
Oh yaaaa... Pernahkah anda merenung dan menggali dalam diri anda apakah ada konflik-konflik kecil yang timbul yang anda abaikan saja karena tidak tahu jawabannya. Dan anda mengabaikan karena anda melihat sepintas tidak ada pengaruh besar bagi kehidupan anda. Sesekali saja muncul tapiiii .... ya tidak perlu diungkit lagi ah.
Anda benar. Anda bisa sukses dengan apa yang orangtua anda telah lakukan pada anda. Tahukah anda seandainya orangtua kita melakukan sesuatu yang lebih positif lagi dari apa yang telah dilakukannya maka kita bisa jadi lebih sukses daripada sekarang. Bukankah setiap akibat merupakan hasil dari suatu sebab. Dan jika sebabnya berbeda maka akibatnya berbeda juga, betul kan?
Bayangkan ketika anak masih kecil saja kita sudah menanamkan pandangan-pandangan yang menyebabkan konflik diri. Bagaimana jika konflik ini semakin banyak muncul dalam dirinya, apa jadinya anak-anak? Apakah setiap anak mampu dan mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan setiap konflik diri ini? Apakah kita sebagai orangtua tahu dan sadar bahwa ada banyak perkataan dan tingkah laku kita yang menyebabkan konflik diri pada anak? Bagaimanakah bersikap konsisten dengan perkataan dan tindakan kita?
Berhati-hatilah dengan apa yang kita ucapkan dan lakukan kepada anak-anak kita. Jika perkataan dan perbuatan itu sering diulang maka pikiran bawah sadar anak akan menangkapnya dan menyimpannya sebagai fakta kebenaran. Apapun faktanya, positif ataupun negatif, akan dianggap sebagai kebenaran dan diwujudkan dalam realita fisik si anak. Itulah yang disebut hipnosis. Kita sadari atau tidak, kita telah menghipnosis anak-anak dengan perkataan dan perbuatan kita. Karena semua yang kita lakukan dan ucapkan pada anak-anak kita sekarang kelak juga akan menjadi program dan cara pikirnya.
Apakah yang kita inginkan?
Sebagai orangtua kita tentunya berharap bahwa anak-anak kita kelak bertumbuh sebagai anak yang penuh percaya diri, mempunyai daya juang yang kuat, berbakti pada orangtua, menjalani kehidupan yang sukses di masyarakat. Kita menginginkan mereka hidup mandiri – bukannya tinggal bersama kita ketika mereka sudah berumur tiga puluhan.
Masyarakat seringkali menilai keberhasilan kita sebagai orangtua dari keberhasilan mendidik anak-anak kita. Dan karena itu banyak orangtua juga terjebak dengan hal ini. Demi pandangan masyarakat terkadang kita mengorbankan, mengabaikan dan melalaikan keinginan dan hak anak-anak untuk mempunyai pilihan bebas. Ada orangtua merasa malu kalau anaknya masuk sekolah kejuruan karena menurunkan martabatnya. ”Lha, masa saya ini Doktor, Phd dari luar negeri, anaknya masuk kejuruan. Taruh di mana muka saya ini?” Bisakah anda melihat hubungan antara gelar orangtua dengan apa keinginan anak atau level pendidikan anak?
Ada kasus menarik juga mengenai pendidikan, seorang ibu yang malu kalau anaknya mendapat nilai jelek di sekolah. Si ibu yang berkonsultasi pada saya sudah saya ingatkan jangan membuat anak merasa bersalah kalau mendapat nilai 80. Saya katakan suatu saat akan terjadi pemberontakan dalam dirinya. Karena si anak merasa terlalu dituntut. Si ibu tidak percaya. Dia mengatakan bahwa teman-teman sekelasnya nilainya bagus-bagus, rata-rata 90. Jadi kalau anaknya mendapat nilai 80 itu berarti anaknya bodoh.
Ketika suatu hari anaknya pulang dengan nilai ulangan 85 si ibu mengomel lagi. ”Aduh kamu ini gimana sih, masa teman-temanmu dapat nilai 90 semua kok kamu cuman dapat segini aja. Ini kan soal yang gampang? Bikin malu mama aja kamu ini.” Si anak, yang kelas 2 SD ini terdiam dan masuk ke kamarnya. Pada malam hari, ketika si anak selesai belajar untuk menghadapi ulangan keesokan harinya, si anak mendekat ke mamanya dan mengatakan, ”Mam, besok saya gak usah ke sekolah aja ya?” Lalu mamanya dengan bingung balik bertanya, ”Lha kenapa kamu tidak mau ke sekolah?” Si anak dengan agak ketakutan balik menjawab; ”Besok ada ulangan, Ma dan saya takut kecewakan Mama lagi kalau ulangan saya nilainya tidak bagus.”
Blaaaaarrrrr... Mamanya langsung menelepon saya. Tidak tahu harus menjawab apa. Dan saya juga bingung mendapat pertanyaan si mama. Saya hanya mengatakan kepada si mama untuk memeluk anaknya dan memintanya berjanji untuk menerima apapun hasil ulangan anaknya di depan anaknya sendiri.
Saya banyak menjumpai orangtua yang mengatakan bahwa anak-anaknya tidak berbakti kepadanya. Ketika saya tanya apa alasannya, maka mereka menjawab bahwa anak-anaknya tidak mau menuruti keinginannya. Dalam hati saya bertanya kepada diri sendiri, ”Apakah tidak terlalu dangkal menilai bakti anak hanya dari apakah anak menurut atau tidak kehendak orangtuanya?”
Kita harus menyadari anak-anak kita bukanlah kita. Kita bisa mengajarkan sesuatu kepada mereka tetapi kita tidak bisa memaksakan pemikiran kita kepadanya karena mereka mempunyai alam pikiran sendiri. Ada suatu pemikiran yang sangat bagus dari seorang pemikir besar. Saya kutipkan di sini agar kita menjadi semakin terbuka dan semakin memahami peran sebagai orangtua dan tidak membuat anak-anak ... bingung.
Anak
Anakmu bukan milikmu
Mereka adalah putra-putri sang hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka lahir lewat engkau tetapi bukan dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan milikmu
Berilah mereka kasih sayang,
namun jangan berikan pemikiranmu
Karena pada mereka ada alam pikiran sendiri
Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun tidak boleh membuat mereka menyerupai engkau
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
ataupun tenggelam ke masa lampau
Engkaulah busur tempat anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi
(Kahlil Gibran)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
instanx
Total Tayangan Halaman
Categories
- abdul muid badrun (2)
- Acha Septriasa (4)
- ade asep syafruddin (4)
- alexandra dewi (1)
- alpiyanto (1)
- andrew ho (91)
- Ardian syam (22)
- arief yuntanu (2)
- arif gunawan (40)
- arif yustanu (1)
- artikel (13118)
- bambang trim (1)
- beni bevly (1)
- berita (3795)
- BLOGERNAS (1)
- damardi darmawangsa (13)
- danang a akbarona (2)
- dany chandra (3)
- dewi lestari (1)
- Dian Sastro (1)
- didik darmanto (2)
- dodi mawardi (2)
- DOWNLOAD EBOOK GRATIS (234)
- edi zaqeus (1)
- edit (110)
- eko jalu santoso (1)
- eni kusuma (11)
- goenardjoadi goenawan (1)
- hari subagya (7)
- haryanto kandani (4)
- hendra (10)
- ida kuraeny (1)
- indra cahya (1)
- iqnatius muk kuang (8)
- jennie s bev (1)
- johanes koraang (1)
- joko susilo (47)
- joni liu (2)
- joshua w utomo (2)
- joycelina (1)
- kerjadarirumah (4)
- kristopher david (1)
- lamser aritonang (1)
- Luna maya (15)
- m ichsan (41)
- m ikbal (1)
- Mariana Renata (1)
- marsello ginting (1)
- marzuki usman (3)
- Mieke Amalia (1)
- mugi subagya (1)
- muk kuang (1)
- Mulan Jameela (1)
- original artikel (103)
- profil (3)
- pujiono (1)
- rab a broto (4)
- Revalina S. Temat (3)
- riyanto s (4)
- ronal frank (2)
- roni jamaludin (1)
- ruby herman (1)
- ruddy kusnadi (1)
- rudy lim (19)
- sansulung john sum (1)
- saumimam saud (1)
- stephen barnabas (1)
- suryanto wijaya (3)
- syahril syam (17)
- tan bonaventura andika sumarjo (1)
- tanadi santoso (1)
- tante girang (454)
- thomas sugiarto (8)
- tung desem waringin (4)
- undang a halim (1)
- walpaper (50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar