Minggu, 04 Desember 2011

KIsah Bidan Sunarti; 34 tahun Mengabdi Dalam Penyuluhan KB Teladan

KIsah Bidan Sunarti; 34 tahun Mengabdi Dalam Penyuluhan KB Teladan: Sejak tahun 70_an pemerintah gencar menekan pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana (KB). Saat itu, program ini bisa disebut barang baru bagi masyarakat, tak aneh jika sebagaian masyarakat merasa tabu dengan program ini, bahkan tidak sedikit yang menolaknya. Terus bagaimana program ini berhasil? Peran para penyuluh KB tidak bisa diabaikan, mereka berjuang menyadarkan masyarakat tentang pentingnya KB hingga ke desa-desa secara door to door ( dari pintu ke pintu) seperti apa kisahnya ?

Adalah Sunarti, perempuan berusia 55 tahun ini merupakan salah satu pegawai Badan Keluarga Berencana di kabupaten Wonosobo yang sudah 33 tahun menjadi penyuluh KB tepatnya pada tahun 1977 hingga sat ini. Karir kali pertama dimulai sebagai pegawai wiyata bhakti dan mendapatkan tugas di Kecamatan Sapuran. sepanjang melakoni pekerjaan sebagai penyuluh KB selama 3 dekade lebih tersebut banyak kisah menarik.

Saat ditemui di rumahnya di kampung Senden Kulon Wonosobo perempuan yang saat ini menjabat sebagai penyuluh KB penyelia di Kecamatan Selomerto ini berkisah bahwa sebelum bekerja sebagai penyuluh KB, usai lulus SMA tahun 1973 dia sempat bekerja di Sekolah Luar Bisa Don Bosco Di Wonosobo sebagai pembantu klinik sekolah selama 4 tahun, kemudian pada tahun 1977 saat mendengar ada informasi lowongan penyuluh KB dia bergabung dan tercatat sebagai pegawai wiyata dan bertugas di Kecamatan Sapuran.

Pekerjaan sebagai penyuluh KB pada jaman itu ternyata tidak mudah seperti saat ini.ejumlah tantangan dihadapi saat menggaet calon akseptor di desa- desa. Pasalnya kondisi transportasi pada jaman itu cukup sulit. Sebab, belum semua jalan bisa diakses dengan mudah, bahkan alat transportasi seperti angkutan umum maupun tukang ojek belum ada. Tak hanya itu, pada umumnya saat itu desa-desa wilayah kerjanya banyak yang belum terpasang listrik. Belum lagi, yang lebih menantang adalah kehadiran program KB belum banyak diterima warga karena masih dianggap tabu.

Kendati tantangan yang dihadapi cukup besar, tak membuat Sunarti patah arang. Dia berkisah bahwa untuk mengunjungi calon akseptor dia rela berjalan hingga 5 jam pada waktu malam hari menuju desa yang menjadi sasaran. Proses menuju lokasi dilakoni dengan berjalan kaki dengan menggunakan obor karena hari telah gelap. Bila ada kepala desa yang tergolong kaya, dia mendapatkan fasilitas dijemput dengan kuda, itu pun baru bisa didapatkan setelah dia sampai di desa tersebut kemudian oleh pihak aparat desa diantar ke rumah-rumah warga dengan menunggang kuda.

“ Yang paling menyulitkan saat itu, karena kondisi pemukiman warga di Wonosobo bukit dan gunung saat hujan pernah jalan merangkak, karena kalau tidak merangkat bisa terjatuh,”aku perempuan Wonosobo 3 April 1955 ini.

Sampai di desa tersebut, kata perempuan berambut pendek ini, dia kemudian menginap di rumah kepala desa. Kemudian pada esok harinya ketiga hari sudah terang dia mendatangi satu persatu rumah penduduk menjelaskan tentang pentingnya KB harapanya mereka mau menjadi akseptor. Namun tak mudah, karena KB saat itu masih dianggap tabu masyarakat. Banyak warga yang menolak program KB. Bahkan untuk sekedar menjelaskan tentang pentingnya KB, warga tidak memberikan waktu dan memilih bersembunyi saat mengetahui Sunarti datang karena takut.

“ Warga itu pada ketakutan saat kita datang, banyak yang ngumpet saat kita datang. Saat pintunya kita ketuk, mereka kunci dari dalam. Kemudian saat kita lewat pintu belakang mereka sudah lari, seperti kucing-kucingan karena mereka takut KB,”tandasnya

Untuk mensiasati hal tersebut , kata ibu dua anak ini, karena dari kantornya ditarget mendapatkan akseptor, sementara kondisi di lapangan ditolak. Pada hari berikutnya kepada keluarga yang menolak KB dia bersama teman penyuluh berbagi peran. Caranya, salah satu temannya mengetuk dari pintu depan. Kemudian dia sudah berdiri pintu belakang, sehingga saat pemilik rumah berlari dia menghadang lewat pintu belakang.

“ Warga saat itu seperti angker memandang kita, padahal kita hanya minta untuk didengar tentang pentingnya KB bagi keluarga agar lebih terarah dan sejahtera,”jelas ibu dari Eko Setyo Nugroho dan Dwi Agusti Ningrum.

Setelah berhasil menggaet ibu-ibu jadi akseptor, rupanya Sunarti belum mendapatkan jalan mulus, ia berkisah pernah suatu hari seorang ibu memasang KB jenis Spiral. Kemudian selang tiga hari dia bersama bidan Kecamatan yang memasang spiral di datangi suami wanita tersebut. Pria itu datang dengan rasa amarah meminta dia melepas KB spiral yang sudah terpasang dengan membawa senjata tajam dan mengancam akan membunuh kalau spiral tidak dilepas.

“ Kita tidak bisa berbuat banyak, karena dia membawa bendo ( gobang) sambil marah-marah. Namun dia kita bohongi, bidan mengeluarkan spiral baru dari tasnya saat pria tersebut minta bukti dia tunjukan bahwa spiral sudah dilepas dan tidak tahu kalau spiral itu dikeluarkan dari tas,”katanya

Selama menjadi penyuluh KB, Suami dari Sunarman ini mengaku tidak hanya mengalami pengalaman yang menantang dan menyedihkan. Namun juga menemukan pengalaman yang lucu. Dia berkisah pernah sosialisasi tentang jenis KB di sebuah desa yang sangat terpencil yakni di perbatasan Wonosobo- Purworejo. Saat itu merupakan awal dia menjadi penyuluh KB dan belum menikah. Kepada seoarang warga dia menjelaskan jenis KB Spiral dan penggunaan kondom. Kemudian warga tersebut memilih jenis kondom. Saat menjelaskan dia memperagakan penggunaan kondom dimasukan di jari jempol. Selang satu bulan berikutnya dia mendatangi keluarga tersebut. Alang kepalang dia di komplin oleh seoarang ibu tersebut. Katanya model KB pakai kondom tidak manjur, karena dia tetap hamil usai berhubungan dengan sang suami walaupun sudah menggunakan kondom dobel.

“ Orangnya marah-marah, katanya sudah pakai kondom dobel, tapi dipakaikan di kedua jempol tangan sumainya. Saat itu memang saya yang salah, karena saya tidak menjelaskan dengan gamblang, karena masih malu saat itu saya belum menikah. Yang buat susah belum ada peraga seperti sekarang,”kata Bendahara Ikatan penyuluh Keluarga berencana (I PeKB) Kabupaten Wonosobo ini.

Nenek bercucu satu ini yang mendapatkan beasiswa Diploma tiga komunikasi penyuluh ini menjelaskan bahwa kendati bekerja sebagai penyuluh pada zaman itu banyak kisah menantang juga menyimpan rasa senang. Utamanya saat dia berhasil menggaet akseptor, walaupun jauh dan menempuh jalan berkilometer rasa lelah terasa hilang. Sepanjang melakoni sebagai penyuluh KB hingga tiga dekadi lebih. Sunarti tergolong penyuluh yang teladan, penghargaan yang pernah diraih diantaranya Juara I Penyuluh KB teladan tingkat Kabupaten tahun 1993, Juara 4 penyuluh KB teladan Tingkat Jateng tahun 1993 serta Juara I penyuluh KB teladan Tingkat Kabupaten tahun 2009.

“ Pokoknya kalau dapat akseptor merasa plong, kalau sekarang tergolong mudah karena Kb sudah tidak dianggap tabu,”pungkas nenek dari Gracias Imanuel Kanan Simanjuntak inI."

Sumber: http://dinstanby.blogspot.com/2011/01/kisah-bidan-sunarti-dalam-penyuluhan-kb.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman