Selasa, 11 November 2008

BACK TO THE FLOOR

Oleh Arief Yuntanu


Ada sebuah acara stasiun TV swasta yang kebetulan saya lihat. Dalam acara tersebut ada seorang petinggi/direktur sebuah perusahaan jasa pemindahan barang yang cukup besar sedang melakukan pekerjaan survei. Ia mengangkat barang di rumah klien. Pokoknya dia melakukan pekerjaan yang dikerjakan oleh anak buahnya.

Walaupun agak segan melihat bosnya ikut dalam pekerjaan kasar, tetapi si pekerja tersebut semakin akrab dengan bosnya. Sampai akhirnya, keputusan-keputusan strategis yang diambil si bos berasal dari pengalamannya melakukan pekerjaan bersama anak buahnya.

Biasanya seseorang yang punya jabatan tinggi jarang sekali melihat secara langsung atau tahu proses pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya. Mereka hanya senang dan tenang berada di kursi empuk di balik meja kerjanya saja. Tak hanya itu, ruangan yang sejuk oleh ruangan AC tak jarang membuat mereka terlena untuk tidak meninggalkan ruangannya. Alasannya, sibuk mendisposisi surat, meeting, dan sebagainya. Dari kondisi tersebut tak banyak anak buah yang kenal dengan bosnya, demikian pula sebaliknya. Mereka hanya kenal namanya namun kompetensi dan hasil kerja tidak tahu sama sekali.

Pada saat penilaian kinerja karyawan ternyata hanya berdasarkan atas nilai kira-kira dan cenderung subyektif sehingga sangat besar pengaruh biasnya.

Perilaku back to the floor sepertinya layak untuk dilakukan oleh seorang manajer, direktur, petinggi perusahaan, atau para pembuat keputusan strategis lainnya. Baik keputusan-keputusan mengenai sumberdaya manusia maupun tentang strategi bisnis. Kalau saja mereka mau jujur, sebenarnya kontribusi karyawan dalam proses usaha perusahannya sangatlah besar. Sayangnya mereka tahu tetapi tidak mau tahu.

Perilaku yang biasa terjadi pada seorang pejabat, yang sudah mendarah daging, atau sudah jadi penyakit kronis. Yaitu menggunakan kekuasaan dan pengaruh bukan untuk kepentingan perusahaan tetapi untuk kepentingan karir pribadinya. Mereka menumpuk uang untuk disetor sebagai upeti ke atasan yang lebih tinggi demi kelancaran jabatannya. Hubungan kemanusiaan dengan karyawan yang mendukung dirinya malah diabaikan. Seorang dengan tingkat korupsi “tinggi” malah lancar sekali kariernya. Sedang karyawannya yang bekerja setengah mati memeras keringat tidak pernah dapat menikmati jenjang karier yang seharusnya dipikirkan oleh seorang pejabat atau petinggi perusahaan tersebut.

Kekuasaan dan pengaruh seorang manajer seharusnya dipergunakan secara tepat dan lebih luas untuk merujuk kemampuan manusia (karyawan) sebagai hasil dari perwujudan kompetensi manajer tersebut.

Seorang Akio Morita, pendiri perusahaan elektronik terkenal Sony Corp., mengatakan tidak ada keajaiban dalam sukses perusahaan maupun manajernya selain daripada bagaimana memberlakukan karyawan sebagai manusia. Filosofi dasar Sony tentang karyawan adalah mereka diperlakukan sebagai rekan dan asisten, bukan hanya sebagai sarana untuk mendatangkan keuntungan perusahaan saja. Karyawan merupakan faktor penting karena mereka adalah bagian permanen dari sebuah perusahaan.

Sukses yang diraih Sony membuktikan kebenaran pandangan Akio Morita. Morita menegaskan bahwa sumber daya manusia memang paling penting dalam suatu perusahaan. Apalagi mereka yang mampu memberikan kerja, talenta, kreatifitas, inovasi, dan semangat pada perusahaannya. Sangat logis jika salah satu tugas seorang manajer yang paling penting adalah memperhatikan hal-hal tersebut di lingkungan perusahaannya. Proses seleksi, pelatihan dan pengembangan karyawan tidak akan optimal jika seorang manajer tidak “Back To The Floor”

Manajer yang selalu menjadi legenda (dikenang dan dihormati) adalah orang yang selalu bisa mencetak generasi yang lebih baik, perilaku yang lebih baik, memberi bekal kail yang kokoh untuk mencari ikan. Bukan orang yang mudah bagi-bagi uang dan upeti.

Bagaimana dengan Anda?

* Arief Yuntanu adalah seorang pegawai BUMN di Pekanbaru, Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman