Selasa, 11 November 2008

SIAPAKAH YANG RAJA?

Oleh: Ardian Syam


Ada satu pepatah dalam bahasa Indonesia yang saya tidak tahu sejak kapan mulai digunakan: ‘pelanggan (atau pembeli) adalah raja’. Sebuah pepatah yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang bergerak di bidang penjualan atau pemasaran memperlakukan pembeli atau pelanggan.

Bila dilihat dari pepatah itu maka tidak akan banyak pelanggan dari banyak perusahaan terutama yang berlabel badan usaha milik negara/daerah yang perlu mengkeluhkan layanan buruk yang mereka terima. Namun, apa yang kita dengar di mana-mana? Masih banyak pelanggan, pembeli, nasabah, client (atau apapun cara menyebut mereka) yang menyuarakan keluhan mereka. Keluhan yang disampaikan di televisi, radio, majalah, ataupun koran, termasuk ke saluran-saluran resmi perusahaan yang memberikan pelayanan tersebut.

Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar? Di semua industri; perbankan, energi, air minum, telekomunikasi, penerbangan dan masih banyak lagi sektor industri di negara kita yang tercinta ini masih sering kita dengar keluhan dari pengguna jasa tersebut atas kualitas jasa yang mereka terima dari pemberi jasa tersebut.

Bisakah sekarang kita tetap bertahan pada pepatah tersebut; ‘pelanggan (pembeli) adalah raja’? Mari kita melihat dari sisi memberi dan menerima. Saya sangat yakin bahwa seluruh etnis di negara tercinta ini mengenal arti kata raja, karena semua etnis di negara kita yang tercinta ini di jaman dulu pernah memiliki raja atau hidup dalam jaman kerajaan. Sehingga tidak akan terlalu sulit membawa konsep raja dalam tulisan ini.

Benarkah bila saya mengatakan bahwa kepada raja, kita lebih sering memberi terlebih dahulu daripada meminta atau menerima? Bahkan dari kisah-kisah di jaman dulu kita pernah dengar bahwa orang-orang bisa memberi lebih dari satu kali baru kemudian berani meminta, berani mengharapkan raja akan memberi balasan.

Di satu negara lain, kita mungkin pernah mendengar bahwa hampir seluruh sektor industri akan memberikan kesempatan bagi para pembeli untuk menukar kembali barang yang pernah mereka beli sejauh pembeli tersebut masih menyimpan bukti pembelian barang itu. Bahkan untuk alasan yang sangat sederhana; warna barang itu ternyata tidak terlalu cocok untujk si pembeli. Sangat sederhana. Pembeli bahkan mempunyai pilihan yang sangat luas. Dapat menukarkan dengan barang yang sama dengan warna yang berbeda. Menukarkan dengan barang yang berbeda, warna berbeda, tetapi dengan harga yang sama. Menukarkan dengan barang apapun yang memiliki harga lebih tinggi, bila si pembeli mau membayar untuk selisih harga tersebut. Menukarkan dengan barang apa saja yang memiliki harga lebih rendah dan mengembalikan selisih harga yang telah dibayarkan pembeli. Yang paling akhir adalah mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkan pembeli bila barang tersebut dikembalikan kepada penjual.

Ini belum termasuk bila barang tersebut kadaluwarsa dan menyebabkan pembeli menderita sakit. Penjual bahkan tidak meminta kembali barang tetapi membayar biaya berobat yang harus dikeluarkan pembeli atau mengganti sampai dengan sepuluh kali lipat harga barang yang dibeli.

Bagaimana dengan barang yang dibayar dengan cicilan? Di negara kita tercinta kita sering mendengar panjar, down payment, dan istilah lain yang menunjukkan bahwa barang tersebut baru dapat dibawa pulang oleh pembeli bila pembeli telah memberikan sejumlah uang terlebih dahulu. Walaupun kemudian sisa harga barang tersebut akan dibayar secara bertahap, tetapi tetap saja pembeli baru menerima barang bila telah memberikan sejumlah uang. Memberi terlebih dahulu baru menerima.

Di negara yang tadi saya ceritakan, bahkan banyak barang yang dibayar secara cicilan dapat langsung dinikmati oleh pembeli tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang terlebih dahulu. Benar-benar menerima dahulu baru memberi.

Kita masih belum membahas apakah perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa atau menjual produk tersebut benar-benar tahu apa yang diinginkan pelanggan mereka. Tapi lihatlah dalam konteks memberi dan menerima.

Lalu masih bisakah kita mengatakan bahwa pelanggan memang raja? Sementara kita sebagai perusahaan penyedia jasa atau penjual produk justru menuntu pelanggan atau pembeli untuk memberi (uang) terlebih dahulu sebelum mereka menerima (jasa atau produk) dari kita?

Ada pembelaan yang cukup menarik dari teman-teman marketer atau sales person. Bahwa belum tentu para pembeli atau pelanggan tersebut akan bersedia membayar jasa atau produk yang telah mereka nikmati, atau bila pun membayar akan perlu ditagih berkali-kali terlebih dahulu baru melakukan pembayaran. Sebuah pembelaan yang bagus sekali. Sangat bagus dan semakin memperlihatkan bagaimana konteks memberi dan menerima terjadi antara penjual dan pembeli di Indonesia.

Justru terlihat sekali bahwa para penjual sama sekali tidak trust kepada pelanggan atau pembeli. Benarkah kita bisa tidak trust kepada raja? Percayakah anda? Sebagian besar raja di jaman dulu disayang oleh rakyat, karena raja menunjukkan bahwa dia amanah, dan karena itu pula rakyat trust pada raja. Mereka percaya raja tidak akan menyalah gunakan rasa percaya rakyat.

Mari kita balik ke konteks pembeli dan penjual, benar kekhawatiran tentang tidak bayar, karena perusahaan akan segera berhenti beroperasi bila tidak ada cash in flow. Tetapi coba anda lihat statistik anda sendiri berapa banyak pembeli atau pelanggan, baik yang pasca bayar maupun yang membayar secara cicilan, yang lalai melakukan pembayaran? Dari beberapa perusahaan yang saya tahu ternyata yang lalai melakukan pembayaran berjumlah jauh di bawah 20%. Sebagian besar perusahaan memiliki pelanggan atau pembeli yang lalai membayar bahkan kurang dari 3%. Itu berarti sebagian besar pembeli atau pelanggan anda, baik yang melakukan pembayaran secara cicilan maupun yang pasca bayar saja akan sangat sedikit.

Pertanyaan saya berikut, apakah menurut anda, di negeri yang saya katakan tadi tidak seorangpun pembeli atau pelanggan yang lalai melakukan pembayaran, apapun alasan mereka? Ada! Jumlah pelanggan atau pembeli yang lalai melakukan pembayaran juga tidak banyak berbeda dengan yang terjadi di negara kita yang tercinta ini. Lalu apakah kita masih harus terus mempertahankan sikap untrust kita kepada para pelanggan atau pembeli?

Sekarang jadi pertanyaan buat saya, apakah benar kata-kata ‘pelanggan adalah raja’? Apakah itu bukan sekedar terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sebuah sikap yang nyata-nyata tidak kita miliki? Sebuah sikap yang ada di negara tempat kata-kata tersebut berasal. Karena dengan begitu banyak bukti statistik yang kita punya, tetap saja kita tidak memperlakukan pelanggan sebagai raja.

Pemikiran yang saya usulkan, adalah seberapa besar kesediaan kita untuk mulai trust kepada pelanggan sehingga kita benar-benar dapat memperlakukan mereka sebagai raja? Memberi lebih banyak kepada mereka daripada yang dapat kita terima dari mereka. Tentu saja tanpa melupakan cost and benefit, serta tetap mempertahankan konsep bahwa perusahaan adalah wealth multiplying organization.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman