Jumat, 26 Agustus 2011

ADA HOTEL DI BONBIN, WALIKOTA RISMA PROTES



Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengajukan keberatan kepada Menteri Kehutanan (Menhut) yang telah memberi kewenangan terhadap Tim Pengelola Sementara (TPS) Kebun Binatang Surabaya (KBS) untuk menjaring investor. Wali Kota menolak masuknya investor itu karena mereka akan diizinkan mendirikan hotel di kompleks KBS alias Bonbin Surabaya.
Risma menceritakan, beberapa waktu lalu, dirinya bertemu pejabat kementerian kehutanan dan anggota serta pimpinan TPS di ruangannya. Saat itu pejabat kehutanan dan pihak TPS menyampaikan bahwa Bonbin harus dikelola secara profesional agar dapat menghasilkan banyak pemasukan untuk menghidupi satwa-satwa di sana. Salah satu rencana pengelolaan secara profesional itu adalah dengan mendirikan hotel. Menurut informasi, hotel akan menempati lahan di dalam Bonbin yang saat ini masih berdiri sebuah bangunan bertingkat untuk pemantauan satwa.
Mendengar kata hotel itu, Risma pun langsung menolak. “Mengapa saya ingin memperluas KBS? Justru ingin memperluas hutan kota. Target akan kami pindahkan ke Joyoboyo supaya hutan kotanya lebih luas. Mendengar kata akan dibangun hotel itu, saya langsung katakan, kalau gitu pemkot saja yang mengelola,” tutur Risma di ruang kerjanya, Rabu (24/8).
Menurutnya Bonbin telah mengharumkan nama Kota Surabaya, pernah menjadi kebun binatang terbesar se-Asia Tenggara. Bonbin juga memiliki manfaat beragam sebagai hutan kota. Sehingga, menurut Risma, tidak pas jika di dalam kompleks Bonbin akan dibangun hotel.
Keinginan Risma agar Pemkot bisa mengelola Bonbin juga didasari atas teguran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa waktu lalu. Intinya BPK memperingatkan bahwa lahan Bobin adalah aset Pemkot Surabaya dan harus memenuhi sejumlah ketentuan jika menjalin kerjasama dengan pihak ketiga yang dalam hal ini pihak TPS.
Menurut Risma, Pemkot saat ini belum mempunyai ikatan kerjasama dengan TPS namun tiba-tiba sudah terbit surat Menhut SK.281/MENHUT-IV/2010 tanggal 18 Agustus tentang TPS KBS.
Dalam teguran BPK tersebut, pemkot diingatkan, kalau berhubungan dengan pihak ketiga harus menggunakan PP 6/2006 yang diubah dengan PP 38/2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri 17/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
“Nah di situ diatur, jika berhubungan dengan pihak ketiga harus ada ikatan sewa-menyewa. Prosesnya pun macam-macam. Juga harus ada lelang. Atas dasar teguran BPK itu, saya mengundurkan diri dari tim (TPS). Sebab, dasarnya tak betul, maka konsep pengelolaan seperti itu tidak dibenarkan,” katanya.
Pemkot mengaku sudah beberapa bulan ini mengajukan izin pengelolaan Bonbin Surabaya ke Menhut. Namun, hingga sekarang belum ada balasan. Rencananya, dalam pengajuan izin itu, KBS akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Sementara itu, Ketua TPS Bonbin Surabaya Toni Sumampow mengatakan, pada Juni lalu wali kota memang mengajukan izin Lembaga Konservasi (LK) untuk mengelola Bonbin ke Balai Besar. Lalu pada 5 Agustus, Dirjen BKSDA membuat surat. “Isinya, kalau Wali Kota serius tolong mengajukan izinnya. Diberi waktu dua bulan untuk mengajukan itu,” ujar Toni.
Menurutnya, selama ini, pemkot selalu membuat berita seakan-akan sudah mengajukan izin, namun nyatanya belum pernah. “Silakan mengajukan, boleh saja dikelola sendiri asal memiliki dana, punya ahli (satwa), dan berbadan hukum,” tukasnya.
Kepada Surya, Toni mengatakan pelibatan investor dalam mengelola kebun binatang bukan sesuatu yang baru. Ia menyebut Pemkot Solo akan membangun kebun binatang, dan dibutuhkan dana Rp 100,8 miliar yang akan didukung sepenuhnya oleh investor. “Melihat rencana itu, Kementerian Kehutanan mengatakan, semestinya Bonbin (Surabaya) bisa meniru seperti itu,” kata Toni.
Sementara itu, Risma menilai selama dikelola TPS sejak 2010 lalu, kondisi Bonbin justru banyak mengalami penurunan. Baik dari jumlah satwa, kandang, maupun kualitas satwa. Padahal, menurut Risma, para penangkar di Bonbin sangat ahli. Ini ditunjukkan dengan keberhasilan mereka menangkarkan bekantan, komodo, jalak bali, dan beberapa satwa langka lain. “Dokternya sangat ahli. Sekarang, kalau Bonbin tidak menguntungkan, tidak mungkin diperebutkan,” ujar Risma.
Risma mengatakan, jika nanti pemkot diizinkan untuk mengelola, pihaknya akan mengaudit semua yang sudah dilakukan oleh pengelola sebelumnya. Baik itu aset, kandang, satwa dan lainnya. Dan, audit akan dilakukan secara transparan.
Bonbin Surabaya memang tidak pernah sepi dari persoalan sejak tahun 2006. Persoalan yang terutama mencuat adalah tentang pengelolaan Bonbin yang jadi tarik-menarik beberapa pihak. Akhirnya, pada 22 Februari 2010, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencabut izin Bonbin dari pengelola lama, dan kemudian pengelolaan diambilalih oleh sebuah tim yang dibentuk berdasarkan keputusan Kemenhut.
Tim yang disebut sebagai Tim Pengelolaan Sementara (TPS) ini terdiri dari beberapa unsur, antara lain dari Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI), dan dari Pemkot Surabaya.
TPS inilah yang kemudian menjalankan kepengurusan Bonbin dalam setahun terakhir ini. Tim diketuai oleh Toni Sumampow –yang juga dikenal sebagai Direktur Taman Safari Indonesia.
Berdasarkan catatan Surya, TPS pernah mengungkapkan bahwa untuk merevitalisasi Bonbin dibutuhkan dana antara Rp 80 miliar hingga Rp 100 miliar. Besarnya dana yang dibutuhkan itu terutama untuk memperbaiki kandang yang tak memenuhi syarat, dan ini sangat mendesak. Selama 20 tahun terakhir, sebagian besar kandang Bonbin tidak pernah direnovasi, yang menyebabkan banyak binatang tidak dapat hidup layak.
Dana ratusan miliar tersebut juga dibutuhkan untuk pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah (IPL), yang setidaknya sampai akhir tahun lalu belum dimiliki Bonbin. Disebutkan juga, sistem penyediaan air bersih perlu dibangun karena air untuk satwa Bonbin masih diambil dari Kali Surabaya yang diragukan kualitasnya bagi kesehatan hewan.
Dengan pendapatan Bonbin yang saat ini sekitar Rp 8 miliar per tahun, revitalisasi itu memang akan sulit terwujud tanpa mengundang pihak lain, yakni penyandang dana atau investor. Pendapatan selama ini, paling dominan dari penjualan tiket masuk dari pengunjung yang jumlahnya mencapai sekitar 1,6 juta pengunjung per tahun.
Menurut Toni seperti dikutip kantor berita Antara 11 Juli lalu, sudah ada setidaknya tiga investor yang serius melirik Bonbin dengan menyiapkan anggaran besar untuk perubahan dan pengembangan Bonbin yang seluas 15 hektare itu menjadi lebih baik. Namun demikian, investor juga menginginkan dana mereka kembali dalam jangka waktu tidak lama, sekitar 5 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman