Pemerintah mulai merasakan jumlah pegawai negeri sipil saat ini, dalam kaitannya dengan belanja pegawai, semakin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Langkah drastis pun ditempuh. Pemerintah memutuskan menghentikan sementara penerimaan Pegawai Negeri Sipil selama setahun, mulai 1 September 2011 mendatang hingga 31 Desember 2012.
"Sudah ditandatangani di depan Wapres," kata Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara E.E. Mangindaan menjelaskan kebijakan moratorium itu di Kantor Wakil Presiden, Rabu, 24 Agustus 2011.
Menteri Mangindaan menjelaskan untuk mengukuhkan kebijakan ini, pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama yang ditandatangani tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri Keuangan. Kebijakan ini juga tidak terlepas dari program reformasi birokrasi. "Di mana area perubahan yang menonjol dalam reformasi birokrasi adalah kelembagaan atau struktur organisasi," katanya.
Moratorium PNS tidak hanya diberlakukan di lingkungan pemerintah pusat, melainkan juga di daerah.
Namun, pemerintah juga memberi catatan kaki. Kebijakan ini tidak berarti penghentian total penerimaan abdi negara. Pemerintah masih akan merekrut pegawai secara amat selektif, sesuai kualitas dan kuantitas yang diperlukan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam sebuah kesempatan, mengatakan bahwa kebijakan moratorium PNS ditempuh dengan maksud agar anggaran di daerah bisa lebih optimal dimanfaatkan.
Tak hanya berhenti di situ, pemerintah juga berupaya memangkas jumlah PNS dengan menawarkan program pensiun dini. Salah satu yang sudah menyiapkan langkah ini adalah Kementerian Keuangan. Diperkirakan, jumlah potensi pegawai Lapangan Banteng yang bisa mengikuti program ini bisa mencapai 1.000 orang.
Sekretaris Jenderal Kemenkeu Mulia P. Nasution mengatakan lembaganya telah menetapkan kriteria bagi pegawai Kemenkeu yang bisa mengajukan diri mengikuti program pensiun dini. Syaratnya: mereka harus berusia 50 tahun ke atas atau memiliki masa kerja sedikitnya 20 tahun. Untuk golongan kepangkatan, kebijakan ini berlaku bagi mereka yang ada di tingkat pelaksana, sampai pegawai yang masih golongan III.
Beban belanja
Jika menilik anggaran pemerintah, beban negara untuk membiayai belanja pegawai memang terus meningkat. Data Badan Kepegawaian Negara per Desember 2010 menyebutkan jumlah PNS telah mencapai 4.598.1090 orang.
Dalam laporan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2012 tertera bahwa selama enam tahun terakhir terjadi peningkatan alokasi belanja pegawai rata-rata 20,1 persen per tahun. Jika pada 2006 pemerintah cukup mengandalkan anggaran belanja pegawai sebesar Rp73,3 triliun atau 2,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), pada tahun 2011 jumlah tersebut melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi Rp182,9 triliun atau 2,5 persen terhadap PDB.
Dengan anggaran itu, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pemerintah pusat juga meningkat; dari 16,6 persen di tahun 2006 menjadi sekitar 20,1 persen pada 2011.
Peningkatan alokasi dan anggaran belanja pegawai tersebut tak lepas dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah guna memperbaiki penghasilan dan kesejahteraan pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, dan para pensiunan.
Kebijakan itu diantaranya adalah kenaikan gaji pokok bagi PNS dan TNI/Polri secara berkala, pemberian gaji ke-13, kenaikan tunjangan fungsional dan tunjangan struktural, kenaikan uang lauk pauk bagi anggota TNI/Polri, pemberian uang makan kepada PNS mulai tahun 2007, serta kenaikan pokok pensiun dan pemberian pensiun bulan ke-13.
Kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri serta pokok pensiun dalam periode tersebut masing-masing sebesar rata-rata 15 persen di tahun 2006 dan 2007, 20 persen pada 2008, 15 persen di tahun 2009, 5 persen pada 2010, dan rata-rata 10 persen di tahun 2011.
Alhasil, penghasilan dan tunjangan kesejahteraan aparatur negara dalam periode tersebut meningkat, yang tercermin pada kenaikan take home pay riil (setara harga beras) bagi PNS. Saat ini pendapatan terendah yang diterima PNS adalah Rp2 juta, guru PNS Rp2,65 juta, dan anggota TNI/Polri Rp2,63 juta.
Kritik DPR
Langkah ini tak luput dari kritik DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Ganjar Pranowo, yang menangani sektor pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan reformasi birokrasi, menilai kebijakan moratorium hendaknya ditempuh setelah dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap manajemen sumber daya manusia PNS selama ini.
“Moratorium PNS tidak bisa dipukul rata, tidak bisa diterapkan di seluruh departemen atau kementerian secara sekaligus. Harus ditetapkan di sektor dan daerah mana saja yang perlu diberlakukan,” kata Wakil Ketua Komisi II, Ganjar Pranowo, saat berbincang dengan VIVAnews.
Ganjar melihat saat ini masih banyak sektor yang justru memerlukan tambahan PNS baru. Sebagai contoh, sektor pendidikan memerlukan tambahan tenaga guru. "Bila jumlah pegawai berlebih, barulah moratorium dapat diterapkan," kata dia.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada Dr. Anggito Abimanyu menilai moratorium PNS maupun pensiun dini memang akan membantu menghemat anggaran negara.
"Sebetulnya ada dua dampaknya, mempengaruhi anggaran sekarang dan anggaran yang akan datang. Kalau sekarang itu gaji, kalau yang akan datang itu pensiunnya," kata Anggito.
Bagi Anggito, upaya penghematan anggaran pemerintah masih bisa dilakukan melalui cara lain. Salah satunya adalah menggunakan pegawai kontrak (outsource).
Jika jadi menerapkan sistem ini, pemerintah memang akan mengeluarkan dana yang cukup tinggi untuk biaya gaji. Tapi, di sisi lain, pemerintah tidak perlu menyiapkan dana untuk membayar biaya pensiun pegawai tersebut. "Pensiun itu tidak bekerja tapi negara membayar jasa pada saat PNS itu aktif bekerja," ujar dia.
Anggito juga menilai program pensiun dini di Kementerian Keuangan seharusnya dibarengi dengan pemberian insentif kepada pegawai. "Harus ada insentif misalnya dua bulan gaji atau berapa. Kalau tidak ada, mana ada pegawai yang mau."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar