Rabu, 29 Oktober 2008

BAHAGIA DAN LAW OF ATTRACTION

Oleh: Syaril Syam

“Kita dapat meningkatkan kebahagiaan kita sendiri, tak peduli apa pun gen yang kita warisi.
~ D.G. Myers, The Pursuit of Happiness

“Kebahagiaan itu adalah mengembangkan fitrah kemanusiaan kita sendiri.”
~ Syahril Syam

Pada beberapa tahun yang lalu, sekitar awal tahun 2005, saya gencar menawarkan proposal pelatihan ke beberapa perusahaan dan BUMN di Makassar; isi proposal tersebut menawarkan pelatihan tentang kebahagiaan. Dan apa yang terjadi? Tidak satu pun proposal saya diterima dengan berbagai alasan. Namun, ada satu alasan utama yang dikatakan oleh semua perusahaan tersebut, bahwa apa hubungan antara kebahagiaan dengan kinerja perusahaan. Bukankah bahagia itu urusan personal masing-masing karyawan? Biar sajalah kebahagiaan itu menjadi pencarian jati diri masing-masing karyawan. Begitulah alasan yang dikemukakan, seolah-olah bahwa bahagia itu adalah pencarian personal dan tidak ada hubungan sama sekali dengan kinerja perusahaan, apalagi menaikkan tingkat keuntungan perusahaan.

Namun di saat ini, sangat ramai orang membicarakan tentang Law of Attraction (LOA), bahkan muncul sebuah film dengan judul The Secret yang mengungkapkan hukum ini kepada seluruh dunia, dan inti dari menerapkan LOA adalah bahagia. Coba Anda simak perkataan Rhonda Byrne, sang penulis dan penggagas The Secret, “Jalan pintas ke segala sesuatu yang Anda inginkan dalam hidup adalah MENJADI dan MERASA bahagia sekarang juga.”

Anda lihat bukan? Kebahagiaan itu justru menjadi inti dari LOA; kebahagiaan itu justru akan membuat Anda mudah meraih impian Anda, kebahagiaan itu justru membantu sebuah perusahaan untuk menaikkan tingkat penjualannya. Dengan kata lain, kebahagiaan itu bukan hanya menjadi pencarian personal saja, tapi juga cara yang sangat ampuh dalam meraih kesuksesan. Lantas, apa itu kebahagiaan, dan bagaimana hubungan erat antara kebahagiaan dan LOA?

Sebelumnya saya ingin mengajak Anda untuk melihat dulu sejarah psikologi. Dalam sejarah psikologi kita akan mengenal seorang ahli yang bernama Martin Seligman. Seligman dibesarkan dalam psikologi klinis, yakni psikologi yang melihat jiwa manusia sebagai mesin yang sering mengalami kerusakan. Ia menyebut psikologinya waktu itu sebagai psikologi bengkel, yang hanya berkutat memperbaiki jiwa manusia. Ratusan tahun psikologi diwarnai oleh pandangan seperti ini, bahwa jika seseorang tidak mencapai apa yang diinginkan, maka ada satu atau beberapa gangguan kejiwaan yang dialami. Pandangan ini juga telah melahirkan banyak teknik terapi. Seligman sendiri adalah orang yang jarang tersenyum, sampai ia mengalami suatu epifani (titik balik) yang merubah hidupnya dan merubah sejarah psikologi. Martin Seligman kemudian mengisahkan dirinya:

Waktu itu saya sedang menyiangi taman kami bersama putri saya, Nikki, yang berumur lima tahun. Saya harus mengakui bahwa walaupun telah menulis sebuah buku dan banyak artikel tentang anak-anak, saya tidak terlalu pandai menghadapi mereka. Saya berorientasi-tujuan dan hemat waktu, dan ketika menyiangi taman, saya hanya menyiangi. Namun, Nikki melemparkan rumput-rumput liar itu ke udara sambil menari dan menyanyi. Oleh karena dia mengganggu, saya berteriak kepadanya, dan dia berjalan menjauh. Beberapa menit kemudian dia kembali, dan berkata, “Ayah, saya ingin bicara dengan Ayah.”

“Ya, Nikki?”

“Ayah ingat sebelum ultahku yang ke-5? Sejak berumur 3 tahun sampai 5 tahun, aku suka merengek. Aku merengek setiap hari. Pada hari ultahku yang ke-5, aku memutuskan untuk tidak lagi merengek. Itu hal tersulit yang pernah kulakukan. Dan kalau aku bisa berhenti merengek, Ayah juga bisa berhenti menjadi penggerutu.”

Setelah “menemukan” epifani di atas, Martin Seligman kemudian berkata, “Ini ilham bagi saya. Perkataan Nikki tepat sasaran. Saya memang penggerutu. Saya telah menghabiskan lima puluh tahun hidup saya sebagian besar dengan cuaca mendung di dalam jiwa, dan sepuluh tahun terakhir saya bagaikan awan nimbus yang berjalan di sebuah rumah tangga yang disinari mentari. Nasib apa pun yang saya dapatkan barangkali bukan karena saya seorang penggerutu, lebih tepatnya saya tetap bernasib baik walaupun saya penggerutu. Pada saat itu, saya memutuskan untuk berubah.”

Dari sinilah kemudian Seligman melihat manusia bukan lagi sebagai sarang penyakit, tetapi khazanah kelebihan dan keutamaan. Hingga ketika ia menjadi presiden perkumpulan psikologi Amerika, ia kemudian mengumandangkan dan mengajak rekan-rekannya untuk beralih dari psikologi klinis (bengkel) ke psikologi positif, yang melihat manusia sebagai ladang keutamaan dan kelebihan. Secara singkat, psikologi ini mengajarkan tentang hal-hal yang membuat kita bahagia. Psikologi seharusnya bukan saja untuk menyembuhkan tapi juga membuat hidup kita menjadi lebih bahagia. Dalam penelitian telah ditemukan bahwa banyak orang yang telah “mati”; secara fisik ia hidup tapi secara jiwa ia kering; banyak orang telah kehilangan kebahagiaan, belum lagi dengan berbagai macam tuntutan hidup dan impian-impian yang ingin dicapai; maka semakin banyaklah orang yang “mati”.

Untuk mengukuhkan mazhab barunya, Seligman kemudian mengadakan berbagai penelitian dan salah satunya ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Authentic Happiness. Sebenarnya, sebelum Seligman sudah banyak pakar psikologi yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari tentang psikologi positif ini. Olehnya itu, saya akan mengemukakan berbagai penelitian tersebut yang berkenaan dengan kebahagiaan.

Mari kita mulai dengan mendefenisikan kebahagiaan itu dulu. Banyak orang mendefenisikan tentang kebahagiaan, dan apa pun defenisi tersebut adalah benar, karena setiap orang memandang kebahagiaan dengan caranya masing-masing. Namun saya tertarik untuk mengutip defenisi kebahagiaan yang dikemukakan oleh Haidar Bagir berikut ini:

1. Kesejahteraan (well-being), yakni kepuasaan atau pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup (eksternal). Lawannya adalah ketiadaan atau kekurangan (deprivation) hal-hal tersebut.
2. Kerelaan, yakni terhadap keadaan yang di dalamnya seseorang berada (internal). Lawannya adalah kegelisahan atau kecemasan.
3. Perasaan mengetahui makna hidup.

Pada bagian pertama kebahagiaan erat kaitannya dengan pemenuhan keinginan-keinginan dalam hidup; dan biasanya ketika keinginan tersebut tidak terpenuhi maka yang terjadi adalah ketidakbahagiaan. Defenisi pertama ini mengungkapkan tentang kebahagiaan yang dipengaruhi oleh kondisi eksternal; kebahagiaan dilihat berdasarkan suatu peristiwa yang menyenangkan.

Lebih tinggi dari yang pertama, defenisi yang kedua banyak dibicarakan oleh psikologi kognitif dan sering dibicarakan oleh banyak motivator. Defenisi kedua ini mengemukakan kebahagiaan dilihat dari sisi internal, melihat kebahagiaan bukan lagi karena pengaruh kondisi eksternal tapi kebahagiaan dilihat dari pandangan kita terhadap kondisi eksternal. Bagaimana persepsi kita terhadap suatu peristiwa dan bagaimana reaksi kita terhadap suatu peristiwa adalah bahasan utama dari defenisi kedua ini.

Pada tingkatan tertinggi, kita akan melihat defenisi yang ketiga, yaitu kemampuan untuk memaknai hidup. Defenisi ketiga ini sering juga disebut sebagai pencerahan atau biasa juga disebut sebagai kecerdasan spiritual. Berada pada tingkatan kebahagiaan mana Anda saat ini, hanya Andalah yang mengetahuinya.

Setelah kita melihat defenisi kebahagiaan ini, dapat kita simpulkan bahwa bahagia itu adalah kondisi pikiran dan emosi yang bersifat positif. Jika kondisi pikiran dan emosi seseorang itu negatif maka secara otomatis dia tidak akan bahagia. Nah, ketika kita berbicara tentang pikiran dan emosi inilah, sesungguhnya kita berbicara tentang teori kuantum. Apa itu teori kuantum?

Werner Heisenberg adalah salah seorang perumus komprehensif pertama teori kuantum. Dia menantang fisika mekanika klasik dengan menunjukkan bagaimana gagasan-gagasan tradisional tentang dunia perlu diubah. Aplikasi dari teori kuantum ini menghasilkan akselerasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, yang berujung pada tergelarnya Internet yang membongkar batas-batas antarnegara.

Bagaimana penjelasan ilmiah tentang teori kuantum Heisenberg ini? Gerakan pada tingkat sub-atom, menurutnya, tidak lagi dapat dijelaskan sebagai pergerakan kontinyu. Melalui eksperimen, dia menunjukkan bahwa tindakan mengamati mampu mengakibatkan gangguan pada tingkat sub-atom. Jadi, posisi ataupun momentum tidak dapat diukur dengan tepat.

Ketidakmungkinan dalam memprediksi secara akurat jalur partikel partikel sub-atom melalui pengukuran posisi dan momentum ini selanjutnya dikenal dengan nama Prinsip Ketidakpastian Heisenberg atau Prinsip Indeterminisme. (Sebenarnya teori ini sangat berimplikasi besar pada pemikiran filosofis manusia. Dalam bahasa filsafat, teori ini berujung pada perdebatan antara aliran determinisme dan aliran indeterminisme. Kita tidak akan masuk pada pembahasan filosofis tersebut, yang jelas menurut saya, pembahasan ini berkenaan dengan kemerdekaan individu dan keharusan universal atau dalam bahasa agama adalah pembahasan mengenai keadilan Tuhan).

Saat mengukur cahaya, Heisenberg menunjukkan bahwa momentum dan posisi dari sebuah atom secara potensial ada, namun tidak ada secara aktual, sampai seseorang melakukan usaha untuk mengukurnya. Dalam hal ini, tindakan mengamati akan menentukan apakah panjang gelombang (momentum) dari realita atau partikel (posisi) realita yang muncul.

Jika tindakan mengamati mampu mengubah apa yang terjadi pada tingkat sub-atom, coba bayangkan apa arti teori ini terhadap persepsi kita atas kehidupan sehari-hari. Hal ini membuka berbagai macam kemungkinan. Sebagai contoh, Heisenberg mengatakan, “Jalur tersebut ada hanya pada saat kita mengamatinya.” Dengan kata lain, pengamat berperan dalam penciptaannya. Teori ini juga menjelaskan bahwa sesungguhnya kita bersama-sama Tuhan melakukan proses penciptaan.

Jika, misalnya saja, kita memilih menghubungkan segala sesuatu yang kita lihat dan kita lakukan dalam konteks fisika kuantum, maka kita dapat mengambil posisi di mana kita bisa membentuk realita setiap saat dalam kehidupan kita. Secara sadar atau tidak sadar, kita menetapkan pilihan di antara berbagai pilihan yang terus-menerus ditawarkan.

Dengan uraian singkat tentang teori kuantum, dapat kita lihat bahwa setiap orang—sadar atau tidak sadar—telah menciptakan realitas kehidupannya sendiri. Jika pikiran dan emosi Anda negatif, maka realitas negatif (yang Anda tidak inginkan) akan selalu hadir dalam kehidupan Anda. Dan sebaliknya, begitu pikiran dan emosi Anda positif (dengan kata lain Anda selalu bahagia) maka Anda akan selalu menciptakan (baca: menarik) kehidupan positif yang Anda inginkan. Jadi, meraih kesuksesan itu begitu sederhana dan mudah; Anda tinggal merubah kondisi pikiran dan emosi Anda ke arah bahagia, maka Anda pun akan menarik kesuksesan tersebut.

Seperti yang telah kita lihat di atas, bahwa bahagia itu pada defenisi yang tertinggi adalah memaknai kehidupan; kebahagiaan yang bersifat pencapai spiritualitas diri, maka dapat kita simpulkan bahwa semakin seseorang itu dekat dengan Sang Maha maka semakin mudah dan cepat seseorang itu meraih sukses dan bahagia. Dengan kata lain bahagia adalah jalan bagi manusia untuk mengembangkan fitrah kemanusiaannya sendiri untuk menjadi manusia sempurna. Dan, jalan untuk mencapainya adalah senantiasa bersyukur atas apa yang telah Anda miliki dan yang akan Anda miliki (untuk pembahasan bersyukur akan kita bahas pada tulisan yang lain). Sebagai penutup tulisan ini saya akan mengutipkan kepada Anda hasil-hasil penelitian yang berkenaan dengan kebahagiaan:

1. Orang bahagia dapat melihat, mengecap, membaui, dan mendengar lebih baik, dan mereka dapat mendeteksi perbedaan-perbedaan yang tidak kentara dalam sentuhan.
2. Penglihatan itu seketika membaik ketika seseorang memikirkan pikiran-pikiran yang menyenangkan.
3. Obat psikosomatik telah membuktikan bahwa perut, hati, jantung, dan semua organ internal kita berfungsi lebih baik ketika kita bahagia.
4. Ketidak-bahagiaan adalah satu-satunya penyebab dari segala penyakit psikosomatik dan bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya pengobatannya.
5. Hidup lebih lama/berumur panjang.
6. Memiliki sistem imun yang kuat.
7. Memperbaiki sistem pernapasan dan menghilangkan rasa sakit.
8. Memiliki hubungan manusiawi yang hangat.
9. Sukses dalam pekerjaan dan belajar.
10. Menikmati hidup.
11. Yang paling mudah menyebar–di antara kelompok kerja–adalah kegembiraan dan kehangatan, sedangkan emosi mudah tersinggung dan depresi hampir tidak menyebar sama sekali.
12. Semakin positif suasana hati secara keseluruhan orang-orang yang berada di tim manajemen puncak, semakin erat kerjasama mereka dan semakin bagus bisnis perusahaan.
13. Pemimpin yang menggunakan humor dengan bebas, bahkan pada saat-saat menegangkan, dan mengirim pesan-pesan positif akan membuat simpatik relasi seorang pemimpin.
14. Orang bahagia mampu meningkatkan penjualannya secara signifikan.

Maka, BERBAHAGIALAH!!![ss]

* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, publik speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com atau kunjungi http://syahril-ril.blogspot.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman