Rabu, 29 Oktober 2008

MENGEMBANGKAN IDE-IDE KREATIF YANG SIAP DILAKSANAKAN -

Oleh: Risfan Munir


“If your mind can conceive it, and your heart can believe it, you can achieve it.”
~ Jesse Jackson

Dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan terutama di tempat kerja, kita sering harus berpikir dan mengerahkan kreativitas dalam menyusun rencana, merancang produk/jasa ataupun acara. Dalam situasi itu biasanya disarankan untuk bisa berpikir sebebas-bebasnya, agar semua kretivitas dapat dimunculkan tanpa kendala. Namun kenyataannya, berpikir bebas itu ternyata sulit karena pada saat itu juga kita dihantui oleh risiko-risiko gagal, malu kalau tidak perfect, dst. Akibatnya, proses berpikir kreatif menjadi terkendala dan ide cemerlang menjadi buyar.

Peoses berpikir kreatif memang sering bertabrakan, konflik dengan pemikiran kritis yang terjadi di kepala. Oleh karena itu, diperlukan strategi berpikir yang lebih positif, tidak saling meniadakan. Untuk permasalahan seperti itu NLP (neuro linguistic programming) punya kiat yang dipelajari oleh penemunya. Kiat ini disebut model berpikir ala Walt Disney, yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap kreatif, tahap realitis, dan tahap kritis.

Pertama, berpikir kreatif. Sarannya adalah perankan diri kita sebagai si Kreatif yang memulai rancangan dengan menggali dan mengungkapkan, menulis ide secara bebas. Seperti seniman "urakan" yang duduk di sebuah taman yang hijau, diteduhi pohon rindang, tanpa peduli keadaan sekeliling, apalagi komentar orang. Ide-ide dibiarkan mengalir secara bebas, tanpa peduli logika atau format, tata bahasa atau aturan lainnya. Yang penting adalah mengungkap ide seluas-luasnya, dengan cepat. Mengapa harus cepat? Karena daya konsentrasi pikiran tidak bisa berlangsung terlalu lama. Kalau sudah terinterupsi hal lain biasanya kembalinya juga butuh waktu yang lama. Jangan pula risau soal bahan, referensi, nanti saja itu, yang penting semua ide tertuang dahulu. Mencari referensi, membaca buku/artikel bisa membuyarkan ide orisinal, dan memudarkan momentum menulis atau merancang ide lainnya.

Kedua, berpikir logis/realistis. Setelah tahap kreatif di atas dianggap memadai, kita berganti peran sebagai si Logis. Bayangkan kita menghadapi setumpuk naskah, atau draf desain, yang diserahkan oleh seorang penulis atau seniman. Tugas kita harus mematangkannya. Maka, yang akan kita lakukan adalah melihat sistematika dan kelengkapannya, lalu menilai apakah kerangka sudah logis, strukturnya mengikuti kaidah-kaidah yang standar, wajar, dan konsisten? Apakah detail-detailnya sudah memadai, lengkap dengan unsur spesifik yang menguatkan keunikan dan citra yang ingin ditonjolkan? Tugas si Logis di sini yang menyistematisasi, membuatnya lebih fokus dan konsisten pada tema utama, serta melengkapinya dengan detail, gaya, unsur-unsur yang unik, menggugah perasaan penikmat.

Ketiga, berpikir kritis. Kini saatnya pekerjaan dialihkan kepada si Kritikus. Sesuai namanya, di sini kita berperan sebagai tukang kritik. Mulai dari menantang tema, tujuan, hipotesis, hingga asumsi yang digunakan. Menantang sistematika, konsistensi pengungkapan atau penulisan. Hingga sikap kritis terhadap aspek-aspek teknis dan finishing, seperti tata bahasa, titik koma, dan kaidah-kaidah dasar lainnya.

Si Kritikus perlu bersikap sebagai lawan, penguji, atau anggota tim penilai atas proposal (karya). Memosisikan diri sebagai pembeli, konsumen, atau pengguna sehingga hasil yang diharapkan adalah karya yang tahan uji dan layak jual.

Dengan memerankan ketiga aktor/aktris tersebut, maka ketiga peran masing-masing tadi diberi kesempatan untuk berkontribusi. Karena kalau tidak, biasanya, ketiganya bisa saling mengganggu. Saat menggali ide dan mengungkapkan gagasan, muncul gangguan untuk mengoreksi, mengedit; atau "ancaman" dan kekhawatiran kalau ditolak, ditertawakan oleh penguji atau konsumen.

Ketiga tahapan tersebut bisa diulang (iterasi), sampai dirasa lengkap dan meyakinkan untuk disajikan kepada penikmat.

Ikat Makna:
1. Silakan Anda mengambil posisi relaks, santai, bernapas dengan teratur, lupakan sejenak urusan apa pun.
2. Cobalah mengingat suatu saat di mana Anda merasa sangat kreatif, cobalah ingat kapan dan peristiwa apakah itu. Kalau sudah, beralih ke saat Anda merasa sangat realistis, bayangkan peristiwanya, apa yang Anda pikir dan rasakan. Kemudian, beralih ke saat-saat di mana Anda sangat kritis, tajam melihat persoalan, ingat-ingat peristiwa apa itu, bagaimana pikiran dan perasaan Anda saat itu.
3. Cobalah ambil ide, rencana kegiatan, atau rancangan produk yang akan Anda garap.

4. Bawalah ide tersebut ke situasi di mana Anda dalam kondisi yang kreatif, secara bebas keluarkan gagasan apa pun, seideal-idealnya, seaneh-anehnya, hingga jadi ide yang betul-betul Anda inginkan.
5. Bawalah ide yang kreatif itu ke situasi di mana Anda sangat realistis. Kaitkan dengan sumber daya yang ada, baik waktu, dana, kapasitas organisasi, dan manusia yang ada atau bisa diadakan, dan sesuaikan ide Anda dengan pikiran-pikiran realistis.
6. Berikutnya, bawa ide dan usulan penyempurnaan si Realis itu ke situasi di mana Anda merasa jadi kritikus. Cobalah mengkritisi ide tersebut secara konstruktif, adakah yang kurang, risiko gagal atau 'diserang' lawan, dan seterusnya. Lalu, sesuaikan ide tersebut, sehingga menjadi ide kreatif yang sudah disesuaikan dengan realitas kondisi dan diuji secara kritikal.
7. Kalau Anda kurang puas, masih ada yang mengganjal, maka silakan mengulang proses kreatif, realistis, dan kritis tersebut sekali lagi, sampai dirasa siap dilaksanakan.[rm]

* Risfan Munir, konsultan, pelatih di bidang manajemen dan perencanaan, serta penulis buku “Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif” (2006). Tinggal di Jakarta dan bisa dihubungi melalui email: risfano@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman