Foto Ilyas Karim
Anda tentu pernah melihat foto upacara pengibaran Bendera Merah Putih pertama kali di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta Pusat. Di foto itu tampak dua orang pengibar bendera yang dikelilingi oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ibu Fatmawati, dan SK Trimurti. Pemuda pengibar bendera yang bercelana pendek itulah Ilyas Karim.
Saat ini Ilyas tinggal di sebuah rumah sederhana di Jl. Rawajati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan, bersebelahan dengan rel kereta api. Saat ditemui detikcom, Selasa (12/8/2008) kemarin, Ilyas masih tampak bugar. Meski gerak badannya tidak segesit dulu, namun dia tidak tampak bungkuk ataupun tergopoh ketika berjalan.
Ilyas menceritakan pengalamannya sebagai pengibar bendera Merah Putih pertama di republik ini. Waktu itu, Ilyas adalah seorang murid di Asrama Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng Jakarta Pusat. Malam hari sebelum dibacakan proklamasi kemerdekaan RI, Ilyas beserta 50-an teman dari API diundang ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56.
"Katanya ada acara gitu," tutur Ilyas.
Saat berkumpul di rumah Soekarno itulah Sudanco (Komandan Peleton) Latief menunjuknya untuk menjadi pengibar bendera di acara proklamasi kemerdekaan keesokan harinya. Satu orang pengibar yang lain yang ditunjuk adalah Sudanco Singgih, seorang tentara PETA. "Saya ditunjuk karena paling muda. Umur saya waktu itu 18 tahun," kata Ilyas.
Ilyas menceritakan pengalaman itu dengan penuh semangat. Matanya yang harus diplester agar tidak terpejam tampak berbinar. Ilyas memang menderita stroke mata. Dokter menganjurkannya untuk memlester kelopak matanya agar tidak terpejam. Sudah berbagai upaya pengobatan ditempuhnya namun belum juga membuahkan hasil.
Meski dengan sakitnya itu, Ilyas tetap aktif beraktivitas. Sejak tahun 1996 dia menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia yang memiliki cabang di 14 propinsi, antara lain di Medan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon.
"Saya akan diganti tahun 2009 nanti," kata Ilyas.
Yayasan itu sendiri bergerak di bidang sosial. Kegiatannya antara lain penyantunan anak yatim, pembangunan tempat ibadah, dan penyantunan orang jompo.
Ilyas lahir di Padang, Sumbar. Dia sekeluarga baru menetap di Jakarta pada 1936. Ayahnya dulu seorang camat di Matraman. Di zaman penjajahan Jepang, ayahnya dibawa ke Tegal dan dieksekusi tentara Jepang. Sejak saat itu, Ilyas menjadi yatim.
Setelah pengibaran Sang Saka Merah Putih itu, Ilyas kemudian menjadi tentara. Pada 1948, Ilyas dan sejumlah pemuda di Jakarta diundang ke Bandung oleh Mr Kasman Singodimejo. Di Bandung, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kesatuan tentara ini kemudian berganti nama jadi Siliwangi. Nama Siliwangi merupakan usul dari Ilyas.
Sebagai tentara, Ilyas pernah diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di berbagai daerah, termasuk ditugaskan sebagai pasukan perdamaian di Libanon dan Vietnam. Pada 1979, Ilyas pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Kehidupannya mulai suram, karena dua tahun kemudian dia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi, di Lapangan Banteng, Jakpus. Sejak saat itu hingga saat ini dia tinggal di pinggir rel KA.
"Tidak pernah ada orang bernama Ilyas Karim saat Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Yang berdiri di samping Latief Hendraningrat adalah Suhud dari barisan pelopor," ujar budayawan dan pemerhati sejarah, Fadli Zon kepada detikcom, Minggu (21/8/2011).
Fadli menambahkan, pengakuan Ilyas yang mengaku sebagai pria bercelana pendek dan berdiri membelakangi kamera dalam foto pengibaran bendera itu tidak bisa diterima. Jelas orang itu adalah Suhud.
"Dia mengaku disuruh membantu Latief. Disuruh memegangi tali. Tapi dalam buku kesaksian Latief Hendraningrat dan lainnya tidak pernah ada hal itu. Jelas bahwa Suhudlah yang berdiri di sana, bukan Ilyas Karim," beber Fadli.
Fadli dan rekan sejarawan lainnya benar-benar telah mempelajari foto-foto saat pengibaran bendera 17 Agustus 1945 yang digelar di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta itu. Dia yakin Ilyas Karim cuma mengaku-aku saja.
"Ini bahaya, proklamasi itu sangat penting. Kalau semua orang bisa asal mengaku ini bagaimana?" keluh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Apalagi setelah pengakuannya, Karim Ilyas dihadiahi apartemen di Kalibata. Menurutnya, jangan sampai justru orang-orang yang berhak dan berjasa dilupakan, sementara yang mengaku-aku justru dielu-elukan.
"Dulu ada yang mengaku-aku Supriyadi juga. Kalau seperti ini terus bagaimana sejarah bangsa," tutupnya.
Ilyas Karim, Pengibar Pertama Sang Saka Merah Putih ?
Di usianya yang ke-81, pria sepuh itu masih tetap menikmati hidupnya di pinggir rel Kalibata, Jakarta Selatan. Pria yang kini menderita stroke mata itu seharusnya bisa hidup lebih layak. Sebab, pria bernama Ilyas Karim adalah pelaku sejarah penting. Dialah pengibar pertama Sang Saka Merah Putih pada 17 Agustus 1945 lalu.Anda tentu pernah melihat foto upacara pengibaran Bendera Merah Putih pertama kali di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta Pusat. Di foto itu tampak dua orang pengibar bendera yang dikelilingi oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ibu Fatmawati, dan SK Trimurti. Pemuda pengibar bendera yang bercelana pendek itulah Ilyas Karim.
Saat ini Ilyas tinggal di sebuah rumah sederhana di Jl. Rawajati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan, bersebelahan dengan rel kereta api. Saat ditemui detikcom, Selasa (12/8/2008) kemarin, Ilyas masih tampak bugar. Meski gerak badannya tidak segesit dulu, namun dia tidak tampak bungkuk ataupun tergopoh ketika berjalan.
Ilyas menceritakan pengalamannya sebagai pengibar bendera Merah Putih pertama di republik ini. Waktu itu, Ilyas adalah seorang murid di Asrama Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng Jakarta Pusat. Malam hari sebelum dibacakan proklamasi kemerdekaan RI, Ilyas beserta 50-an teman dari API diundang ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56.
"Katanya ada acara gitu," tutur Ilyas.
Saat berkumpul di rumah Soekarno itulah Sudanco (Komandan Peleton) Latief menunjuknya untuk menjadi pengibar bendera di acara proklamasi kemerdekaan keesokan harinya. Satu orang pengibar yang lain yang ditunjuk adalah Sudanco Singgih, seorang tentara PETA. "Saya ditunjuk karena paling muda. Umur saya waktu itu 18 tahun," kata Ilyas.
Ilyas menceritakan pengalaman itu dengan penuh semangat. Matanya yang harus diplester agar tidak terpejam tampak berbinar. Ilyas memang menderita stroke mata. Dokter menganjurkannya untuk memlester kelopak matanya agar tidak terpejam. Sudah berbagai upaya pengobatan ditempuhnya namun belum juga membuahkan hasil.
Meski dengan sakitnya itu, Ilyas tetap aktif beraktivitas. Sejak tahun 1996 dia menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia yang memiliki cabang di 14 propinsi, antara lain di Medan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon.
"Saya akan diganti tahun 2009 nanti," kata Ilyas.
Yayasan itu sendiri bergerak di bidang sosial. Kegiatannya antara lain penyantunan anak yatim, pembangunan tempat ibadah, dan penyantunan orang jompo.
Ilyas lahir di Padang, Sumbar. Dia sekeluarga baru menetap di Jakarta pada 1936. Ayahnya dulu seorang camat di Matraman. Di zaman penjajahan Jepang, ayahnya dibawa ke Tegal dan dieksekusi tentara Jepang. Sejak saat itu, Ilyas menjadi yatim.
Setelah pengibaran Sang Saka Merah Putih itu, Ilyas kemudian menjadi tentara. Pada 1948, Ilyas dan sejumlah pemuda di Jakarta diundang ke Bandung oleh Mr Kasman Singodimejo. Di Bandung, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kesatuan tentara ini kemudian berganti nama jadi Siliwangi. Nama Siliwangi merupakan usul dari Ilyas.
Sebagai tentara, Ilyas pernah diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di berbagai daerah, termasuk ditugaskan sebagai pasukan perdamaian di Libanon dan Vietnam. Pada 1979, Ilyas pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Kehidupannya mulai suram, karena dua tahun kemudian dia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi, di Lapangan Banteng, Jakpus. Sejak saat itu hingga saat ini dia tinggal di pinggir rel KA.
Benarkah Ilyas Karim Pengibar Bendera Saat Proklamasi?
Sosok Ilyas Karim mendadak populer setelah mengaku sebagai orang yang mengibarkan bendera pusaka saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pertanyaannya benarkah Ilyas Karim benar-benar melakukan hal itu?"Tidak pernah ada orang bernama Ilyas Karim saat Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Yang berdiri di samping Latief Hendraningrat adalah Suhud dari barisan pelopor," ujar budayawan dan pemerhati sejarah, Fadli Zon kepada detikcom, Minggu (21/8/2011).
Fadli menambahkan, pengakuan Ilyas yang mengaku sebagai pria bercelana pendek dan berdiri membelakangi kamera dalam foto pengibaran bendera itu tidak bisa diterima. Jelas orang itu adalah Suhud.
"Dia mengaku disuruh membantu Latief. Disuruh memegangi tali. Tapi dalam buku kesaksian Latief Hendraningrat dan lainnya tidak pernah ada hal itu. Jelas bahwa Suhudlah yang berdiri di sana, bukan Ilyas Karim," beber Fadli.
Fadli dan rekan sejarawan lainnya benar-benar telah mempelajari foto-foto saat pengibaran bendera 17 Agustus 1945 yang digelar di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta itu. Dia yakin Ilyas Karim cuma mengaku-aku saja.
"Ini bahaya, proklamasi itu sangat penting. Kalau semua orang bisa asal mengaku ini bagaimana?" keluh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Apalagi setelah pengakuannya, Karim Ilyas dihadiahi apartemen di Kalibata. Menurutnya, jangan sampai justru orang-orang yang berhak dan berjasa dilupakan, sementara yang mengaku-aku justru dielu-elukan.
"Dulu ada yang mengaku-aku Supriyadi juga. Kalau seperti ini terus bagaimana sejarah bangsa," tutupnya.
detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar