Jumat, 31 Oktober 2008

MANAJEMEN TINJU

Oleh: Ardian Syam

Memang tulisan ini terinspirasi oleh kenyataan meninggalnya Anis Dwi Mulya setelah pertandingan di Gelar Tinju Profesional. Jelas diinspirasi oleh tulisan Pak Mimbar di www.wikimu.com yang menyatakan sejak tahun 1948 ada 21 orang petinju Indonesia yang meninggal akibat benturan kerasnya kepalan tangan.

Ini daftar yang didapat oleh Pak Mimbar: Ke 21 petinju yang tewas adalah Jimmy Koko (1948), Ricky Huang (1959), Sarono (1961), Robby Paff (1970), Aceng Jim (1978), Domo Hutabarat (1982), Agus Souissa (1987), Wahab Bahari (1987). Bongguk Kendy (1990), Yance Semangun (1993), Akbar Maulana (1995), Dipo Saloko (2000), Bayu Nyong Tray (2001), John Namtilu (2001), Alfaridzi (2001), Donny Maramis (2001), Johanes Bones Fransiskus (2003), Mula Sinaga (2003), dan Antonius Moses (2004), Jack Ryan (2004), Anis Dwi Mulya (2007).

Sangat tragis. Bahkan bila Anda perhatikan selama 7 tahun terakhir (2000-2007) ada 10 orang dalam daftar tersebut. Ini benar-benar ajaib. Begitu banyak orang yang suka pertunjukan gladiator di zaman dulu. Begitu pula dengan tinju, cukup banyak orang yang suka. Apakah ini cara kita menghargai kemanusiaan dan manusia itu sendiri? Lucunya dalam setiap pertandingan, sebuah kemenangan knock out bisa menghilangkan nilai yang sudah diraih.

Ini sangat persis dengan cara kita bersaing dalam bisnis. Knocked out. Di situs motivasi www.pembelajar.com saya pernah menulis artikel Kompetisi Formula Satu.

Benar bahwa perusahaan mengemban amanat sebagai multiplying wealth organization. Tetapi itu berarti melaju lebih kencang, sekencang yang mampu dilakukan. Bisa saja dalam perjalanan menjadi lebih kencang, kita harus melampaui perusahaan yang sudah berada di depan. Tenang saja. Itu Tantangan Leader (seperti yang bisa Anda baca di www.andriewongso.com) dan leader yang harus berpikir untuk mempertahankan posisi mereka sendiri.

Tetapi tetap saja ketika berbisnis Anda tidak perlu membuat kompetitor Anda menjadi knocked out. Bisnis adalah bisnis. Perusahaan diminta untuk menjadi lebih makmur. Berlipat ganda setiap saat.

Saat kita berhadapan dengan kompetitor, ada pilihan yang harus kita ambil. Berusaha menjadi lebih baik dari kompetitor dan membiarkan konsumen yang memilih, atau berusaha menjatuhkan kompetitor dan menjadi sendirian dalam bisnis tersebut.

Saya pernah baca salah satu tulisan Bondan Winarno tentang sebuah pabrik mobil di Detroit, Amerika Serikat. Ketika itu salah satu komponen mobil dijual dengan harga US$100. Lalu ada peniru di wilayah yang sama dan menjual komponen tersebut dengan harga US$50. Padahal menurut perhitungan pabrik mobil itu, biaya produksi komponen tersebut saja sudah di atas US$80.

Pabrik tersebut justru dengan tenang menjual komponen itu di harga US$40. Luar biasa memang, karena yang terjadi kemudian adalah para peniru yang, tentu saja, tidak mampu membuat dengan kualitas bahan yang sama dan menetapkan margin laba yang tidak tinggi, akan kelabakan bila harus menjual di bawah US$40. Tentu saja, para peniru yang tidak didukung modal yang cukup kuat, dengan segera gulung tikar.

Tidak jelas benar apakah peniru tersebut menggunakan merek yang sama, tetapi rasanya tidak. Karena bila mereka menggunakan merek yang sama, akan dengan mudah pabrik besar tersebut menuntut secara hukum. Komponen itu mungkin hanya dibuat dengan ukuran dan bentuk yang sama tetapi menggunakan merek yang berbeda.

Pada saat itu, sebenarnya sangat tergantung dengan keinginan konsumen. Mereka tentu tahu komponen mana yang memiliki kualitas yang tinggi. Walaupun memiliki fungsi yang sama, tetapi bila diproduksi dengan biaya yang sangat rendah (terlihat dari harga jual yang jauh lebih rendah), tentu saja memiliki kualitas yang lebih rendah. Bahkan mungkin umur penggunaan juga akan lebih pendek.

Tetapi, seperti pemain tinju, maka pabrik besar itu meng-knockout kompetitornya. Sayang memang, karena saat itu TQM belum mendunia dan Six Sigma bahkan belum diperkenalkan. Sehingga matilah para kompetitor kecil itu.

Itulah masalah yang muncul ketika berbisnis seperti pertandingan tinju. Lawan harus dihentikan kemampuan kompetisinya bila ingin menang. Tidak harus begitu, bisa saja mereka tetap hidup dan konsumen yang memilih sesuai kebutuhan masing-masing.

Kabar buruk lain dari kasus tersebut, setelah para kompetitor mati, pabrik besar itu tidak punya kompetitor lagi. Monopolis baru itu menjual komponen yang dibicarakan senilai US$125.[as]

* Ardian Syam dapat dihubungi di: Ardian.syam@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman