Jumat, 31 Oktober 2008

SUKSES SEJATI

Oleh: Roni Djamaloeddin

Sukses, memang hak—bahkan impian—setiap orang. Ia “hanya” dapat dijangkau oleh mereka yang sehat pikirannya. Sehat dalam arti sanggup memimpikan, merencanakan matang-matang aksinya, dan merealisasikannya dalam tindakan nyata. Di lain itu, yang tidak sehat pikirannya atau yang terkungkung oleh angan kosong tanpa upaya nyata, tak layak mendapatkannya.

Pencapaiannya pun tak semudah memimpikannya. Sebab, untuk mencapainya perlu perjuangan dan pengorbanan yang teramat berat. Energi yang diperlukan pun juga cukup besar. Apalagi niat dan tekad sebagai fundamennya, harus benar-benar membaja. Karena tanpa ada harmoni keduanya (niat dan tekad), segala pendukungnya menjadi sia-sia.

Terlebih yang namanya rintangan, gangguan, ujian, cobaan, cacian, fitnahan, dan semacamnya, pasti ada dan siap menghajarnya. Intensitas dan volumenya pun cukup tinggi. Seakan siap merontokkan keinginan siapa pun yang melewatinya.

Taruh saja pengalamannya Thomas Alfa Edison. Impiannya menciptakan bola lampu listrik ternyata harus melakukan eksperimen 1000 kali. Yaa…, 1000 kali! Bukan hanya 10-50 atau 100-200 kali saja. Andai saja kegagalan pada eksperimen yang ke-999, ditambah cercaan-cacian teman-teman seprofesi (yang sebelumnya mungkin “pasti” ada) membuatnya mutung (putus asa), tentu, ia tak akan pernah mencipta lampu listrik. Akibatnya, perkembangan teknologi (perlistrikan) tentu tak secanggih sekarang.

Itu contoh kecil bagaimana sukses itu terwujud. Kita semua tentu telah mengalaminya, walau dalam skala yang lebih kecil dan suasana yang jauh berbeda. Kalimat manis yang kiranya tak pernah terlupakan—dan selalu terbisik di hati—adalah: “Seandainya saya dulu berhenti ketika ‘a – z’ melantakkan segalanya, tentu langkah/usaha saya tak seperti sekarang, hancurlah semuanya. Beruntung sekali saya waktu itu punya komitmen yang sangat kuat, hingga saya meraih sukses seperti sekarang.”

Definisi dan Tingkatan
Dalam kamus bahasa Indonesia, sukses artinya hasil atau berhasil. Secara harfiah, sukses berarti tercapainya segala hal yang diusahakan atau dimimpikan. Apa pun hasilnya dan bagaimanapun kenyataannya, asal yang diangankan menjadi nyata, sukses namanya. Tak peduli bagaimana akibatnya terhadap orang lain maupun lingkungan sekitarnya, apakah berdampak baik ataukah yang berdampak buruk.

Namun, definisi ini tidak kaku. Arti dan maknanya bisa berkembang sesuai pengalaman, pemikiran, dan pemahaman yang mengartikan. Semakin luas pengalaman seseorang, semakin “lengkap” definisi yang dihasilkan. Semakin tinggi tingkat pemikiran dan pemahaman seseorang, semakin “sempurna” makna yang diciptakan.

Seorang illegal logger mengartikan sukses bila dapat menjarah kayu sebanyak-banyaknya, dalam keadaan aman tanpa diendus apalagi ditangkap aparat. Seorang koruptor memaknai sukses bila dapat mengorupsi uang perusahaan ataupun negara dengan sangat rapi serta aman terkendali. Seorang “Usamah bin Laden” memahami sukses bila jaringan Al-Qaeda-nya dapat menghancurkan Amerika beserta sekutunya.

Siswa SMA yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional (UN), memaknai sukses bila dinyatakan lulus oleh sekolahnya dan nilai pelajaran yang diujinasionalkan sangat memuaskan. Para mahasiswa—baik jenjang D1 - D4 maupun S1 - S3—memaknai sukses dalam studinya bila memperoleh predikat cumlaude.

Pencari kerja mengatakan sukses bila diterima bekerja di lembaga/perusahaan bonafide yang dilamarnya dengan gaji yang besar. Seorang penulis memaknai sukses bila buku karyanya menjadi bestseller dan mengalami cetak ulang puluhan kali. Seorang pemulung mengatakan dirinya sukses bila telah menjadi bosnya pemulung, dan asetnya miliaran rupiah. Seorang Andrias Harefa merasakan sukses dan bahagia bila telah menghasilkan 100 buku—sementara sekarang belum genap 35 buku.

Seorang politikus memaknai sukses bila telah bersinggasana di Senayan (gedung DPR/MPR). Seorang Mike Tyson memahami sukses dalam dunia tinju bila telah menyandang gelar juara dunia kelas berat sejati. Seorang negarawan memaknai sukses bila telah “menguasai” istana kepresidenan.

Berbagai bentuk sukses di atas berlaku pula pada sebagian ulama maupun tokoh spiritual. Seorang dai mengatakan dirinya sukses bila telah menyandang “dai semiliar umat”. Seorang tokoh spiritual memaknai sukses bila dirinya dapat bermanfaat sebesar-besarnya terhadap kemaslahatan dan ajaran/seruan/pemikirannya dipakai jutaan umat.

Lain halnya sukses yang diimplementasikan oleh para tokoh sufi. Rabiah Adawiyah merayakan suksesnya—setelah semalam suntuk melakukan mujahadah (memerangi hawa nafsunya sendiri) tanpa diselingi istirahat/tidur—dengan berpuasa di siang harinya. Syeh Makdum Ibrahim meyakini dirinya sukses menjalankan sholat bila saat sholat sudah tidak dengar lagi bonang-nya (alat musik/gamelan Jawa) dibunyikan—oleh karenanya beliau mendapat sebutan “Sunan Bonang”. Sunan Kalijogo memahami sukses “berguru” kepada Sunan Bonang, ketika dibaiat langsung dapat menyatakan “ma’rifat” (bertemu langsung) dengan Dzat (Wujud) Tuhan—menyatakan mati sak jeroning ngaurip (membuktikan mati sebelum mati yang sesungguhnya terjadi).

Pengalaman dan Pemikiran
Saya pribadi, membagi sukses menjadi dua. Sukses secara mikro dan sukses secara makro. Sukses secara mikro adalah tercapainya segala macam keinginan manusia menurut ukuran/standar/patokannya sendiri-sendiri. Contoh-contoh di atas dapat dikatagorikan sukses mikro. Oleh karenanya, persepsi dan ukuran suksesnya masing-masing orang bisa berbeda—dan bisa pula sama dengan yang lain.

Sedang sukses secara makro adalah suksesnya manusia menurut kriteria/standar/patokan Tuhan. Sukses memenuhi segala sesuatu yang menjadi kehendak-Nya, baik perintah, larangan, maupun segala kersa-Nya. Suksesnya manusia menjalani ujian-Nya. Sukses menjalani kehidupan dunia berdasar “Undang Undang Mutlak”-Nya.

Sukses karena berhasil mendidik diri benar-benar patuh dan tunduk di hadapan-Nya—yang direalisasikan dalam bentuk patuh dan tunduk di hadapan rasul-Nya. Patuh dan tunduk dalam mencontoh wataknya malaikat yang berlaku sujud di hadapan khalifah-Nya. Tidak membantah sama sekali, walau derajadnya di sisi Tuhan lebih mulia dan terhormat dari pada sosok yang harus dipatuhi (bangsa manusia). Persis patuhnya “mayat” di hadapan pemandi/penyucinya. (Seandainya dianalogikan dengan keberadaan kita, mungkin kita tidak akan pernah mau patuh apalagi hormat kepada seorang “kere” [gelandangan] yang derajadnya jauh di bawah kita.)

Memenuhi perintahnya Nabi SAW yang menjadi madlul-nya hadits (inti pokoknya hadits) “muutu qabla anta muutu” (belajarlah menyatakan/merasakan mati sebelum mati yang sebenarnya terjadi). Walaupun perintah ini nampaknya “mustahil” dikerjakan, namun ia benar-benar nyata adanya. Ia benar-benar dapat dipelajari dan dibuktikan kebenarannya.

Sebab, sesuatu dan sesulit apa pun, bila dipelajari dengan super-serius, kemungkinan besar akan mendapatkan hasilnya. Namun bila tidak pernah dipelajari, maka menjadi mustahil bila membawa hasil. Sebagaimana peribahasa arab yang mengatakan man jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka akan menuai hasilnya). (Perihal ilmu tentang mati ini, uraian tambahannya dapat dibaca di harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 02 Agustus 2003. Atau http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0803/02/0803.htm)

Akibat nyata bila perintah Nabi SAW tersebut diterapkan dengan sungguh-sungguh serta super-serius dalam mempelajarinya adalah dimungkinkannya “bisa” menghayati merasakan dan meyakini seyakin-yakinnya (hakkul yakin) bahwa dunia ini adalah ilusi dan fatamorgana, yang hakekatnya tidak ada (nafi). Dapat merasakan hikmah luar biasa di balik beriman yang sejatinya. Dapat merasakan indahnya menikmati dzikir—di mana rasa nikmatnya sama sekali tak sepadan bila dibandingkan dengan orgasme, apalagi kenikmatan-kenikmatan lain.

Sehingga, perjalanan berdunianya menjadi istikomah/stabil. Karena hati sebagai “komandan” aktivitas telah mapan pada kehendak-Nya. Telah maqam (bertempat tinggal) pada dzikir. Tidak lagi dikuasai nafsu yang tentaranya: angah-angah, serakah, egois, sombong, mudah tersinggung, merasa benar sendiri, merasa suci, sok kuasa, kumingsun, dan lain sebagainya.

Potensi lahiriahnya tetap lumrahnya manusia; bekerja, berumah tangga, bermasyarakat dan bernegara. Profesi apa pun dijalani dengan sebaik-baiknya. Jadi pelajar, pegawai, pejabat, konglomerat, presiden, maupun yang petani, pemulung, pedagang asongan, sampai yang kelas “budak”, dilalui dengan penuh kesungguhan dan sikap profesional. Kesemuanya tinggal menjalani “siliring qudrat”-Nya. Menjalani garis nasib yang telah dipatok oleh-Nya.

Bagaikan buih yang kumampul (terombang ambing) di tengah samudra. Bukan buihnya yang bisa bergerak ke sana ke mari, melainkan karena dahsyatnya gelombang samudranya. Bukan manusianya yang bisa menyelesaikan pekerjaan, persoalan, maupun berbagai bentuk tanggung jawab yang harus dipikulnya, melainkan karena katut (hanyut) kekuatan Dzat Yang Maha Sempurna.

Itulah sukses yang sejati. Kombinasi yang harmonis antara sukses mikro dan sukses makro. Namun demikian, realisasinya sangat ditentukan oleh pengalaman, pemikiran dan tingkat pemahaman masing-masing. Sedang arti dan makna sukses yang selama ini ada, kiranya dapat diserap sari pati hikmahnya.

Akhir kata, meminjam redaksi QS. Al Kafirun ayat 6, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, “Bagimu suksesmu, dan bagiku suksesku. Masing-masing diri berhak memaknai dan menentukan (nasib) suksesnya sendiri. Orang lain tak berhak mengaturnya.” Namun semua berpulang kepada Anda. Bagaimana?[rj]

* Roni Djamaludin adalah dosen STT POMOSDA dan guru SMA POMOSDA Tanjunganom Nganjuk. Menulis buku “REVOLUSI GAGASAN” yang diterbitkan oleh pustaka Pondok Sufi Bandung. Sedang buku kedua-ketiganya, “MENGGUGAT MITOS: Meluruskan Filosofi Dan Pemikiran Menuju Islam Kaaffah” dan “THE MIND OF ARSY: Refleksi Holistik-Intuitif Meraih Hidup Bermakna” sedang berkelana mencari penerbit. Ia dapat dihubungi melalui 08123419879 dan email: ronijamal@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman