Jumat, 31 Oktober 2008

PENDIDIKAN “TERAMPIL BERPIKIR”

Oleh: Roni Djamaloeddin


Pada umumnya, berpikir dianggap sebagai sebuah tuntutan/kebutuhan. Artinya, bila keadaan mengharuskan untuk berpikir, barulah (secara otomatis dan alami) pikiran bekerja. Misalnya, ketika menghadapi masalah, merencanakan sesuatu, maupun ketika bekerja yang memang memerlukan pemikiran (bukan pekerjaan yang monoton). Hal-hal seperti ini memang menuntut pikiran untuk bekerja. Namun bila keadaan biasa (santai), tidak menuntut aktivitas berpikir, hampir pasti pikiran tidak dibekerjakan—tidak diasah agar terampil dan tajam.

Pada sisi lain, banyak yang beranggapan bahwa kemampuan berpikir—atau tepatnya keterampilan berpikir—adalah merupakan “gawan bayi” (watak bawaan). Ia tidak bisa diubah ke arah yang lebih baik. Usaha apa pun yang dilakukan, diprasangka akan sia-sia. Tidak banyak berarti bagi perkembangan keterampilan berpikir seseorang.

Ironisnya, keterampilan berpikir ini umumnya disejajarkan dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin baik keterampilan berpikirnya. Sebaliknya, rendahnya jenjang pendidikan, diasumsi rendah pula etos pikirnya.

Ironis lainnya, terampil berpikir ini disetarakan dengan terampil berbicara. Mereka yang terampil berbicara (di depan publik) dianggap pula terampil berpikir. Sedang yang kebetulan tidak pandai bicara, maka dianggaplah tidak terampil berpikir—walau ada kemungkinan sebagai pemikir yang baik.

Yang lebih parah lagi, serangkaian mata pelajaran di sekolah maupun berbagai mata kuliah di perguruan tinggi, disepadankan sebagai sarana melatih keterampilan berpikir. Kegiatan pembelajarannya pun kemudian diasumsikan sebagai sarana melatih keterampilan berpikir pula.

Apakah Memang Demikian?
Sama sekali tidak. Berpikir bukan hanya sekedar tuntutan/kebutuhan. Ia bisa diarahkan dan diubah menjadi sebuah keterampilan. Yaa, keterampilan berpikir namanya. Ia seperti halnya keterampilan-keterampilan lain pada umumnya. Keterampilan berenang, bernyanyi, akting, pidato, menulis buku, mengarang cerita, berjalan di atas tali, mengendarai sepeda roda satu, dan lain sebagainya. Kesemuanya butuh ”super serius” mempelajari dan mendalami agar menjadi terampil—dari peringkat sebelumnya yang sekadar bisa.

Keterampilan berpikir ini bisa didalami oleh siapa saja tanpa memandang usia. Ia bahkan bisa dilatihkan pada anak sejak usia dini—sebagaimana yang diajarkan Edward de Bono pada anak-anak usia 10 tahun (Erlangga, 1988). Keterampilan ini bukan sifat/watak bawaan. Ia tidak bisa disejajarkan dengan tingkat pendidikan. Belum tentu mereka yang tinggi pendidikannya (walaupun telah mengantongi berbagai gelar S3 di berbagai disiplin ilmu), tingkat berpikirnya mesti baik. Sebab, nyatanya, tidak sedikit di antaranya yang justru memprihatinkan cara berpikirnya. Dan belum tentu pula anak yang usianya baru 10 tahun itu mesti belum bisa berpikir.

Salah satu contoh pikiran yang telah terampil bekerja (berpikir) adalah sebagaimana pengalaman muridnya de Bono yang baru berumur 10 tahun—yang kalau di Indonesia umur-umur sekian itu masih duduk di kelas 4 SD—ketika diberi pertanyaan: “Bagaimana sikap dan tanggapan Anda bila para murid yang sedang belajar di sekolah itu digaji?” Pikiran terampilnya telah bisa mengapresiasi dengan “sempurna”. Di antara hasil pemikirannya:

“Sekolah itu (mencari ilmu agar pandai, cerdas, dan cakap) adalah butuhnya si murid, tidak sepantasnya bila ia mendapat gaji. Justru yang layak mendapat gaji adalah pengajarnya. Sebab merekalah yang telah bekerja keras, bersusah payah mendidik dan mencerdaskan para murid.”

“Dari pada dananya diberikan pada murid, lebih bijak bila dana tersebut dibelikan sarana pelengkap yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar. Toh para murid juga yang akan menuai hikmahnya, serta menjadikannya lebih pandai dan cerdas.”

“Pemberian gaji pada murid justru akan membelenggu dan meracuni pikiran si murid sendiri. Niatan belajarnya yang semula mencari ilmu, menambah wawasan dan pengetahuan, akan berubah menjadi mencari uang. Belajarnya kemudian tidak tulus dan tidak sungguh-sungguh, karena dalam hatinya hanya menanti gajian.”

Serta masih banyak lagi pikiran-pikiran terampil lainnya.

Namun, bagi pikiran yang belum terampil bekerja, tanpa berpikir panjang akan menjawab setuju. Menerima tawaran gaji dengan senang hati dan tangan terbuka. Senang bangga bahagia campur aduk menjadi satu, tanpa ada pemikiran terhadap pihak lain. Sama sekali tidak memikirkan dari mana asal dananya, mengapa mesti digaji, dan lain sebagainya. Selanjutnya berhayal yang bukan-bukan. Beli ini, beli itu, beli portabel, laptop, handphone 3G, dan seterusnya.

Bisa dibayangkan, pada taraf usia yang masih kanak-kanak, yang pada umumnya hanya bermain bermain dan bermain, masih sangat jauh dikatakan bisa “berpikir”, tapi nyatanya pikirannya di atas dewasa. Pikirannya benar-benar terampil, bahkan mendekati ”sempurna”. Tidak lagi dikuasi oleh ego dan nafsu. Malah sebaliknya, ego dan nafsunya telah ditundukkan oleh pikirannya dengan bijak—hikmah dari keterampilan berpikirnya.

Bagaimana bila mereka disuruh untuk memikirkan hal-hal lainnya, misalnya pendidikan, kenakalan remaja, atau bahkan korupsi yang merajalela? Saya optimis mereka mampu mengapresiasi dan memberi solusi dengan baik—sudah tentu erat kaitannya dengan referensi yang pernah dibaca dan kematangan psikologi kejiwaannya.

Keadaan pola pikir yang demikian ini, bagaimana bila dibandingkan dengan rata-rata pola pikir bangsa kita? Saya optimis, yang jenjang S1-S3 pun belum tentu “mampu” berpikir terampil seperti ini. Apalagi yang jenjang dasar dan menengah, sama sekali tidak ”nyambung”.

Benar-benar jauh berbeda. Bahkan bisa dikatakan bertolak belakang. Sebab, etos pikir bangsa kita rata-rata dijajah dan dibelenggu oleh ego dan nafsunya sendiri-sendiri. Oleh karenanya tidak heran bila negara kita sekarang mendapat gelar negara terkorup nomor dua di dunia.

Coba cermati. Yang katanya wakil rakyat, kumpulan orang-orang terhormat, begitu turun jabatan tidak sedikit yang justru masuk penjara. Yang namanya pejabat, mestinya melayani rakyat, tapi nyatanya tidak jarang yang malah menginjak-injak rakyat. Bahkan tidak sedikit yang justru mengambil alih hak mereka. Yang namanya mahasiswa, konon merupakan kumpulan masyarakat berpendidikan dan berlogika, nyatanya masih sering menyelesaikan masalah dengan tawuran, atau bahkan dengan “perang batu”.

Bagaimana Dengan Pendidikan?
Pendidikan yang ada selama ini sama sekali tidak mengarah (menyasar) pada keterampilan berpikir. Bisa dibuktikan sendiri, adakah di antara alumni pendidikan kita yang terampil berpikir sebagaimana muridnya de Bono di atas? (Kalau memang ada, tentunya menjadi manusia langka yang sangat berbahagia akibat mempunyai keterampilan berpikir. Saya salut kepada beliaunya.)

Pendidikan terlanjur identik dengan pengajaran serangkaian mata pelajaran di kelas. Pendidikan tingginya (seolah-olah) hanya disamakan dengan penguasaan materi bahan kuliah. Yang pada akhirnya, ending pendidikan hanyalah ”angka-angka” (nilai rapor dan ijazah).

Aneka cara modifikasi strategi dan pembaruan sistem pembelajaran, bongkar pasang kurikulum, tak banyak berarti bagi perkembangan keterampilan berpikir. Yang lebih ironis, banyak guru yang penerapan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) belum paham, sudah diganti dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP pun “nanti” belum berjalan sesuai harapan, (kira-kira saja) akan diganti lagi dengan KBLP (Kurikulum Berbasis Live Perfect), atau apa pun namanya. Begitu seterusnya, pergantian demi pergantian, perbaikan demi perbaikan, seolah tiada henti. Persis mottonya suzuki “inovasi tiada henti”. Namun sayang, hasilnya tak banyak berarti.

Akankah perbaikan demi perbaikan menjamin perubahan menuju masyarakat terdidik yang terampil berpikir? Wallahu a’lam. Namun, secara logika saya optimis hasilnya tidak banyak berubah. Sebab, para praktisi pendidikan sendiri, baik tingkat paling atas (pejabat struktural) sampai yang paling bawah (guru mata pelajaran), tidak banyak yang memahami apa itu keterampilan berpikir. (Jangankan memahami, mengerti saja mungkin belum.)

Penyebabnya, pendidikan yang dulunya telah diterima, tidak mengajarkan bagaimana keterampilan ini mesti dikembangkan. “Kurikulum Nasional”-nya (dulu) juga tidak menekankan bagaimana mencerdaskan diri, mengembangkan diri, serta mengkreasi diri untuk terampil berpikir. Pintu kran untuk hal-hal semacam ini tertutup erat. Terkondisikan karena perintah atasan. Bila atasan tidak memerintah, maka bawahan dilarang bertindak—beride pun (mungkin) juga dilarang. Sehingga kreativitas berpikir bawahan sangat kecil, bahkan bisa jadi tidak ada sama sekali.

Mereka juga tidak mengembangkan bagaimana berpikir yang kritis, cerdas, dan bijak itu mesti dilatih dan diterapkan. Sebagaimana kritik Hutabarat dkk dalam bukunya Logika (Erlangga, 1999), “Bahwa banyak di antara pelajar dan mahasiswa hanya dapat berpikir secara terpimpin, yaitu hanya sanggup menguasai/menghafal bahan-bahan kuliah dan diktat tanpa ada kemampuan berpikir secara kritis yang mutlak diperlukan dalam menuntut ilmu.” Satu-satunya penyebabnya, karena para guru/dosennya sendiri tidak mengajari yang demikian. Terpaku oleh aturan juklak dan juknis yang memang tidak mengatur hal demikian—konon aturan ini dijadikan pijakan utama dalam mengajar.

Lantas, solusinya?
Tak ubahnya tim sepak bola, agar diperoleh pemain-pemain yang terampil dalam bermain bola, maka pelatihan dan pendidikan persepakbolaan harus dimulai sejak dini. Dirikan sekolah sepak bola khusus untuk anak-anak. Datangkan para guru (pelatih) yang benar-benar mumpuni (profesional). Jangan asal comot dan asal pandai komentar.

Demikian halnya keterampilan berpikir. Agar diperoleh peserta didik yang terampil berpikir—sebagai generasi penerus bangsa yang kondisinya sangat memprihatinkan ini—, maka terapkan pendidikan terampil berpikir. Ajari mereka bagaimana berpikir yang baik. Kalau perlu—sebagaimana pengalaman de Bono—terapkan pelajaran baru. “Pelajaran Berpikir” namanya. Walau nampaknya asing, ia telah terbukti sangat ampuh digunakan oleh negara-negara maju.

Sebab, mata pelajaran ini telah diterapkan sebagai suatu subyek kurikulum pada ribuan sekolah di Inggris, Irlandia, Canada, Australia, Selandia Baru, USA, Malta, dan Israel. Dengan jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar, perguruan tinggi, hingga program latihannya sekelompok “milyarder”—yang masing-masing menangani lebih dari satu miliar dolar setahun. Bahkan, pelajarannya pun telah banyak dicari oleh berbagai perusahaan terkenal seperti IBM, Shell, Unilever, ICI, Dupon, dan sebagainya.

Tanpa ada keberanian merombak pola-pola pendidikan yang sudah ada, “mustahil” kiranya bangsa ini bangkit dari keterpurukan yang melanda semua sendi kehidupan. Sebaliknya, dengan memancang pondasi baru yang berupa “Pendidikan Terampil Berpikir”, sedikit demi sedikit namun pasti, bangsa ini akan mampu bangkit memperbaiki diri, mengembangkan diri, sekaligus mencerdaskan diri. Menuju bangsa madani yang merdeka sejati dan sempurna. Dan pada saatnya nanti—sebagaimana pengetahuannya para winasis—menjadi mercusuarnya dunia. [rj]

* Roni Djamaloeddin dapat dihubungi di ronijamal@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman