Senin, 10 November 2008

BANGGA SAYA JADI ORANG INDONESIA (5): Pak Sumarso Pahlawan Saya

Oleh: Eben Ezer Siadari


Pak Sumarso tak mengenal saya. Saya pun tak kenal beliau. Ia tak berbicara dengan saya. Saya pun tak sempat menyapa dia. Perjumpaan kami tak lebih dari delapan menit. Bahkan sebenarnya bukan perjumpaan. Hanya secara kebetulan saja kami berada pada satu waktu di satu tempat. Yakni di Kereta Rel Listrik (KRL) AC jurusan Serpong-Tanah Abang. Suatu hari di minggu pertama Januari.

Tapi Pak Sumarso begitu melekat di hati saya. Dan saya mencatat namanya yang tertera di atas saku baju kerjanya yang berwarna biru muda. Saya bahkan sempat memotret wajahnya dengan kamera handphone saya (lihat, www.banggaindonesia.com), meskipun tak sempurna hasilnya. Pak Sumarso kala itu sedang berbicara menjurus kepada berdebat, dengan salah seorang penumpang kereta itu. Di situlah saya mengaguminya. Dan saya jadi bangga jadi orang Indonesia.

Pak Sumarso adalah kondektur KRL AC bertiket Rp10 ribu sekali jalan (tetapi diskon 20% sehingga efektifnya adalah Rp8 ribu). Pagi itu seperti biasa, ia memeriksa satu per satu karcis penumpang. Ketika tiba giliran seorang penumpang yang berdiri tak jauh dari saya, si penumpang menyodorkan uang Rp5.000-an seraya berbisik-bisik. Tapi Pak Sumarso menolak. Ia menasihati si penumpang agar seharusnya tak naik KRL itu jika tak punya tiket.

Pak penumpang masih berusaha bernegosiasi. Mengatakan bahwa ia terburu-buru. Mengatakan bahwa ia harus segera tiba di kantor. Dan terus saja menyodor-nyodorkan Rp5000-an itu. Tapi Pak Sumarso bergeming. Dan Pak Sumarso menjelaskan peraturan bahwa penumpang yang tidak dapat menunjukkan karcis, harus didenda lima kali dari harga karcis. Itu berarti Rp50 ribu.

Pak penumpang merah padam mukanya. Ia masih ngotot dan berkata ia tidak punya uang sebesar itu. Pak Sumarso, dengan kesabaran seorang orangtua, dan emosi sedingin es, kembali berkata bahwa ia harus menjalankan tugasnya. Lalu ia mengatakan jika pak penumpang tak bersedia membayar, atau sedang tidak punya uang, ia akan meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya. KTP itu akan dititipkan di salah satu stasiun. Nanti kalau pak penumpang sudah punya uang, ia dapat menebus KTP itu.

Pak penumpang masih bersungut-sungut. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Ia menyerahkan KTP-nya kepada Pak Sumarso. Lalu Pak Sumarso merogoh tas kecil yang disandangnya. Mengeluarkan surat tanda terima, mengisi dan menandatanganinya lantas menyerahkan kepada pak penumpang.

Pak penumpang merah padam mukanya. Penumpang lain terbelah dua reaksinya. Seorang penumpang berkata, seolah membela pak penumpang yang kena denda. "Biarin aja. Jangan ambil KTP-nya. Nanti bikin KTP baru saja," katanya. Tapi penumpang lain di kereta itu diam menjurus menyalahkan pak penumpang yang tak punya karcis. Memang tak adil jika ada orang yang bersusah payah membeli karcis Rp8000, sementara ada yang ingin naik dengan menyogok sang kondektur.

Apa sih istimewanya Pak Sumarso? Kok ia bisa menyita perhatian dan perlu pula mengambil waktu saya untuk menceritakannya?

Pak Sumarso barangkali tak istimewa bagi mereka yang belum mengenal suasana kereta api di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Tetapi sekali Anda kenal dan memahami apa yang terjadi di atas kereta itu, Anda akan setuju bahwa tindakan kecil yang dilakukan Pak Sumarso adalah kemewahan yang makin susah kita cari.

Hampir setiap hari saya menggunakan jasa kereta api berangkat dari stasiun Sudimara di kawasan Ciputat ke stasiun Tanah Abang di Jakarta Pusat. Sesekali naik KRL AC tetapi lebih sering naik KRL Ekonomi dengan tiket Rp1.500 sekali jalan. Dan saya selalu sedih luar biasa. Di KRL Ekonomi itu, dengan harga tiket yang menurut saya paling murah dibanding ongkos kendaraan umum mana pun di Jakarta ini, toh masih banyak yang tak mau bersusah-susah membeli tiket. Saya tidak tahu mengapa. Ada yang memang samasekali tak mau menyisihkan uang Rp1.500. Ada yang seolah-olah tanpa rasa bersalah menyelipkan Rp1.000-an ke tangan kondektur. Dan semua orang sepertinya sudah tahu sama tahu tentang 'korupsi' kecil-kecilan yang terjadi secara massal itu.

Yang mengherankan saya, para kondektur KRL Ekonomi itu sepertinya juga acuh menjurus senang dengan keadaan itu. Caranya menagih tiket, dengan hanya menggamit satu per satu penumpang tetapi tidak pernah dengan sungguh-sungguh menagihnya, sungguh membingungkan saja. Banyak di antara penumpang itu berpura-pura tidur ketika Pak Kondektur melintas. Dan Pak Kondektur mendiamkan saja. Yang lebih menyakitkan hati, para penumpang yang duduk adem di antara berjubelnya penumpang itu, banyak juga yang sama sekali tidak membayar. Dan terus mengoceh kesana-kemari, tentang enaknya makan di restoran X, tentang sedapnya pulang kampung liburan kemarin dengan naik pesawat terbang. Tetapi giliran Pak Kondektur menagih tiketnya, ia cuma nyengir dan mengangkat tangan, "Halo Pak, he he he..." Dan Pak Kondektur seolah salah tingkah.

Jangan dikira mereka yang tak sudi membeli tiket itu, atau yang menyogok dengan Rp1000-an itu adalah orang-orang tidak mampu. Atau orang-orang yang tidak berpendidikan. Tidak. Para pedagang, ibu-ibu rumah tangga yang mengantarkan anaknya ke sekolah, banyak juga yang disiplin membayar. Justru yang tidak sudi membayar itu, dugaan saya adalah kalangan berpendidikan, terpelajar, dan bekerja di Jakarta. Justru karena mereka sudah terbiasa naik KRL itu, sudah mengenal dengan akrab para kondekturnya, maka mereka menganggap semua bisa diatur. Semua bisa cincai. Dan korupsi kecil-kecilan tapi massal itu terjadi terus-menerus.

Di KRL AC keadaannya memang tak separah di KRL Ekonomi itu. Penumpang pada umumnya disiplin membeli tiket dan menunjukkannya kala Pak Kondektur memeriksa. Tapi tidak selalu. Ada juga kalanya kondektur-kondekturnya termakan oleh sogok. Saya bahkan pernah bersitegang ketika seorang penumpang menyodorkan Rp5000-an kepada Pak Kondektur dan sang Kondektur dengan diam-diam menyelipkan ke kantongnya.

Saya protes. "Pak, kok tidak didenda? Padahal, banyak penumpang manakala tidak dapat menunjukkan karcis, didenda?!" tanya saya kala itu.

Pak Kondektur menoleh kepada saya. Lantas berkata. "Kapan? Tapi bukan oleh saya bukan?" kata dia.

Ah, Pak Kondektur itu salah menangkap pesan yang ingin saya sampaikan. Bukan persoalan apakah dia atau kondektur lainnya yang melakukannya. Melainkan alangkah tidak adilnya bila seorang kondektur seperti dirinya membiarkan orang tak membayar tiket secara penuh, membiarkan orang lain membayar lebih besar dan membiarkan jasa perkertaapian terus terpuruk seperti sekarang. Dan lebih parah lagi, membuat harga diri, kewibawaan para kondektur merosot dari waktu ke waktu.

Dalam sebuah talkshow di TVRI beberapa waktu lalu yang membahas perkeretaapian, seorang pejabat yang menangani kereta api membuat saya gemas dan jengkel. Ketika itu ada seorang penelepon mengeluh bahwa kereta api di Jabodetabek ini sudah seperti rimba tak bertuan. Dan memang penelepon itu benar. Semua orang bisa naik. Dan kondektur sama sekali kehilangan wibawa. Korupsi berjalan tanpa ada yang menghentikan. Kondektur mengutip uang dari para penumpang, bukan mengharuskan penumpang membeli tiket. Dan semua diam. Seperti semuanya sudah berjalan wajar. Seolah-olah kereta itu bisa berjalan dengan sendirinya, tanpa bahan bakar yang ditanggung belanja negara yang padahal itu dibebankan kepada kita dan anak cucu kita. Dalam bentuk pajak. Dalam bentuk utang luar negeri.

Tetapi apa jawab Pak Pejabat itu?

Kata dia, dilihat dari kapasitas KRL Ekonomi Jabodetabek memang sudah tidak memungkinkan lagi bagi kondektur untuk memeriksa tiket. Menurut dia, penumpang demikian berjubel sehingga kondektur tak sempat memeriksa satu per satu. Karena itu, menurut dia, setiap stasiun akan dibenahi lagi sehingga hanya yang punya tiket yang bisa masuk.

Pak Pejabat itu bohong. Atau setidaknya setengah benar. Atau ia memang sama sekali tak pernah naik KRL Ekonomi. Jika ia pernah naik KRL Ekonomi, ia akan tahu, seberjubel apa pun KRL itu, Pak Kondektur pasti akan berkeliling memeriksa tiket. Tetapi Pak Kondektur memang tidak benar-benar memfokuskan tugasnya memeriksa tiket. Ia lebih memusatkan perhatian untuk mengutip Rp1000-an dari tiap-tiap penumpang dan memasukkan ke kantongnya. Dan, di stasiun pemberhentian entah di mana nanti, seperti yang pernah saya lihat, sang kondektur akan menyetorkan hasil kutipannya kepada seseorang di ruang masinis. Dan mereka membagi-baginya entah ke mana saja.

Boleh juga diuji dengan cara lain. Cobalah Pak Pejabat itu naik KRL Ekonomi trip terakhir dari Tanah Abang menuju Serpong. KRL itu biasanya sudah agak sepi dan tidak ada alasan bahwa Pak Kondektur tak bisa menjalankan tugasnya karena berjubel. Pak Pejabat mungkin akan terkejut bahwa praktik yang terjadi sama saja. Kebanyakan penumpang tak membeli tiket seharga Rp1.500 itu. Banyak yang cuma mengangkat tangan, atau satu dua menyerahkan Rp1000-an. Pak Kondektur, dengan keramahan seorang orang baik-baik, segera mengantongi uang itu. Pak Kondektur itu sudah menyalahartikan arti keramahan. Menjadi orang baik, bukan dengan cara demikian. Ia justru akan menjadi orang baik, bila ia menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Sehingga perekerataapian kita sehat. Sehingga uang negara tidak terus-menerus digunakan untuk menomboki kerugiannya. Sehingga negara bisa mengalokasikan lebih banyak lagi uang untuk pendidikan. Dan uang sekolah lebih murah. Uang sekolah anak-anak kondektur itu dan juga uang sekolah anak-anak kita.

Tapi korupsi massal itu berjalan terus. Entah sampai kapan.

Sudah bosan kita bicara tentang parahnya korupsi. Sudah bosan pula kita digemparkan oleh pembongkaran kasus-kasus korupsi di media. Juga kita sudah bosan mendengar para eksekutif perusahaan kereta api kita mengeluh bahwa mereka butuh dana, butuh investasi baru, butuh uang membenahi dan membeli kereta api baru. Tapi mengapa kebocoran-kebocoran seperti itu dibiarkan? Dan itu dibiarkan bukan karena mereka tak mampu mengatasinya, tetapi justru karena sebagian orang kereta api itu sendiri menikmatinya dan mendapatkan keuntungan dari sana?

Pak Sumarso yang saya lihat tipikal sekali dengan kebanyakan orang Jawa yang hidupnya prihatin. Potongan rambutnya rapih, sebagaimana para priyayi umumnya. Cara berpakaiannya mirip seperti para pegawai negeri umumnya. Kemeja biru muda dan celana panjangnya biru tua, terseterika dengan rapih. Tapi tindakannya itu, di KRL AC pada pagi hari itu, benar-benar membuat saya bangga jadi orang Indonesia. Sudah terlalu sering saya tak menemukan orang seperti Pak Sumarso. Yang bisa bertindak tegas dengan suaranya yang lembut. Yang bergeming walaupun ada yang membujuknya. Walaupun tindakaannyaa menyebabkan ia disalah-salahkan. Ia menjadi minoritas di antara mayoritas buruk.

Saya kira kita pantas mencari sebanyak mungkin orang seperti Pak Sumarso.

Jakarta, 19 Januari 2006
© Eben Ezer Siadari

* Eben Ezer Siadari tinggal dan bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Buku karyanya sebagai penyunting antara lain, Sketsa 50 Eksekutif Indonesia (WartaEkonomi, 1996), The Power of Value in Uncertain Business World, Refleksi Seorang CEO (Gramedia Pustaka Utama,2004) dan Gubernur Gorontalo Menjawab Rakyat (2005). Catatan-catatan pribadinya dapat dilihat di THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG, www.sarimatondang.blogspot.com dan BANGGA SAYA JADI ORANG INDONESIA, www.banggaindonesia.blogspot.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman