Senin, 10 November 2008

Gelombang Binal Konsumerisme

Oleh: Joshua W. Utomo



Perayaan hari-hari besar keagamaan dari hari ke hari semakin identik dengan 'perayaan' konsumerisme. Pasar swalayan, supermarket dan mal-mal menjadi lebih menarik untuk dikunjungi ketimbang tempat-tempat peribadatan. Bahkan tampaknya, pusat-pusat perbelanjaan ini telah menjadi 'wahana peribadatan' baru bagi para konsumer fanatik yang tergantung sekali pada merek-merek kondang itu. Belanja besar-besaran senyampang musim obralan merupakan ekspresi kerelijiusan mereka pada 'agama' mereka yang 'baru' ini.

Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran keuangan tak mencukupi yang penting bisa memborong hal-hal yang diinginkan merupakan kepuasan pemeluk 'agama baru' ini. Decak kagum dan sorot mata kecemburuan dikombinasi dengan komentar 'wah' dari para tetangga mampu membawa mereka ke 'alam ekstasi"--sebuah nirwana bagi pemeluk gelombang 'agama baru' --konsumerisme ini.

Memang rasanya kurang tepat bila konsumerisme ini dikatakan sebagai sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat didalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme semakin subur dan berkembang amat cepat saja. Pola hidup konsumerisme ini tak ubahnya virus yang 'contagious' yang mampu menular dengan amat dari satu individu ke individu lainnya. Apalagi bila budaya 'gengsi', pamor dan status sosial-keningratan masih saja dileluri dan dijadikan patokan untuk menilai kemanusiaan seseorang.

Gelombang binal 'agama baru' (new-yet-old-ism)--konsumerisme ini telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia di jaman ini. Sayangnya perubahan yang terjadi ini, lebih menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif dan menyengsarakan hidup manusia itu sendiri. Salah satu contoh perubahan image didunia konsumerisme ini adalah: sekitar sosok Santa Klaus (Sinterklas) yang menjadi maskot di bulan Desember saat perayaan Natal sedang marak-maraknya itu. Santa Klaus yang sesungguhnya adalah bernama Bapa Suci Nikolas, Episkop dari Gereja Kristen Orthodoks Timur di wilayah keuskupan Smyrna yang hidup sekitar abad ke-4 itu. Beliau memang adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan baik hati serta selalu memperhatikan umatnya, tapi sosok Santa Klaus yang ada sekarang ini telah berubah dari sosok aslinya.

Bila kehadiran Bapa Episkop Nikolas itu dilakukan secara diam-diam, tanpa diiringi pesan sponsor dan aneka ragam promosi; kini kehadiran Santa Klaus--image beliau yang baru, ciptaan para produsen ternama ini selalu diiringi oleh pelbagai promosi dan pesan sponsor demi menarik minat para konsumen, terutama anak-anak. Pesan-pesannya dikemas sedemikian rupa oleh banyak produsen dan tak satupun yang ada hubungannya dengan pesan rohani.

Bila kita amati, rasanya lengkap sudah struktur 'agama baru'--konsumerisme ini:

1. Selain memiliki wahana buat segala aktifitasnya (viz. supermarket, mal, pasar swalayan,dsb),

2. Format ritualnya (viz. belanja seharian penuh, dorong-dorongan/rebutan barang yang populer, memborong hasil belanjaan dengan keringat bercucuran, dsb),

3. Sejumlah penganutnya (viz. konsumer fanatik),

4. Para pemimpin (viz. produsen, perusahaan ternama),

5. Musik dan lagu-lagu (silahkan datang aja ke mal, nanti khan anda bisa menikmati lagu-lagunya) dan

6. Figur/sosok yang dinanti-nanti (viz. Santa Klaus) plus

7. Usaha dakwah atau misinya dalam kemasan yang amat canggih dan menawan di setiap bentuk media, seakan tak mungkin lagi bagi kita untuk bisa melepaskan diri dari pengaruh pola hidup konsumerisme ini.

Pesan dan semangat serta makna terdalam relijiusitas Natal ataupun Perayaan-perayaan Hari besar agama-agama lainnya seakan tergantikan oleh pesan dan semangat binal dari gelombang konsumerisme ini. Perhiasan intan berlian, baju-baju bermerek, aksesori tubuh kelas dunia, anggur merah dan gelas-gelas champaigne serta menu gourmet kreasi master chef taraf internasional di Symphony Hall atau hotel-hotel berbintang empat yang berada dipusat kota sangatlah dinanti-nanti sebagai puncak dari aktifitas ritual konsumerisme dari para konsumen fanatik ini.

Apakah gelombang binal konsumerisme ini juga telah menerpa kita, yang tahu tentunya diri kita sendiri. Kalau memang ternyata kita tidak tahu, maka sekali lagi mari kita bersama Kang Ebiet G. Ade untuk bertanya pada rumput yang bergoyang....

* Joshua W. Utomo, psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah juga pendiri dari Heal & Grow Center™ (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) dia mendirikan Sanggar Kinanthi™(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo Productions™ (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi di prof_jw@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman