Senin, 10 November 2008

Ketika usiaku menjelang Pensiun

Oleh: Masbukhin Pradhana


Juli 2005 tanggal 20, kala itu pertama kali saya men-share pengalaman menjalani bisnis di kelas Entrepeneurship di perusahaan otomotif. Pesertanya rata-rata berusia 52 tahun yang berarti 3 tahun lagi akan pensiun. Usia peserta yang menjelang pensiun itu memang pantas menjadi bapak saya. Namun mereka mengakui telah kalah start dan setengah menyesal, “kenapa tidak memulai dari dulu...” Saya pun berpikir, “Gimana sih rasanya kalau tiga tahun lagi kita pensiun?”

Saya pun berkelana dengan mesin waktu ke tahun 2026. Ketika itu usia saya sudah 52 tahun dan tinggal punya sisa waktu 3 tahun untuk bekerja di perusahaan. Apa yang terjadi jika usia saya dipanjangkan sampai menjelang pensiun.

Kira-kira posisi saya ketika itu, apakah sudah menjadi supervisor, manager, general manager atau sudah director. Bukan kah makin tinggi jabatan, semakin kita merasa takut meniggalkan posisi tersebut. Kalau sebelum pensiun kita sebagai desecion maker dengan kekuasaan yang besar, namun tiba-tiba kekuasaan itu lepas, bukan kah malah terasa bahwa kita “sudah habis“? Mungkin itulah rasanya post power sindrome, gak enak rasanya.

Tapi saya pun berpikir, kalau saya masih menjabat sebagai supervisor apalagi masih menjadi staff, tentu betapa jelek prestasi saya di mata perusahaan, sehingga jabatan pun tak kunjung naik hingga menjelang pensiun. Sehingga terkadang pikiran jelek pun hinggap, kalau saya bekerja di perusahaan saja tidak bisa memberikan kontribusi yang baik padahal perusahaan tersebut didukung oleh tim, apalagi kalau saya sudah pensiun dan hidup sendiri tanpa tim, tentu betapa lebih payahnya hasil kinerja saya.

Apa yang harus dilakukan setelah pensiun? Apakah pulang kampung untuk menekan pengeluaran? Dengan pulang kampung, rasanya kembali ke masa kanak-kanak. Menikmati udara desa yang belum banyak tercampur asap kendaraan dan pabrik. Melihat hijaunya pepohonanan. Jalan pagi tanpa alas di rumput yang masih basah oleh embun.

Ataukah tetap di Jakarta karena sudah mengenal tetangga kanan kiri sejak mempunyai rumah sendiri. Menikmati usia tua bersama tetangga seusia.

“Itu kan masalah aktifitas harian dan lingkungan...,“ pikirku. Padahal masih banyak masalah yang lain.

Yang lebih menggelisahkan lagi, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan rutin.

Apakah saya melamar kerja harian. Kok kerja lagi yaaa...

Atau membuat bisnis? Bukan kah usiaku sudah terlalu tua untuk memulai?

Mungkin usiaku telah tua, tapi semangat harus tetap berkobar. Masak sih pengalaman hidup selama 50-an tahun tidak bisa dipakaia sebagai bekal berbisnis?

Saya pikir, saya harus mulai sekarang, sebelum semuanya terlambat. Masalahnya bukan terlambatnya, tapi mulai nanti atau sekarang adalah sama saja. Bukan kah kalau aku berniat berwira usaha, sekarang atau nanti sama saja?

Tapi kalau aku mulai sekarang, mungkin waktuku akan terbagi.

Tapi kalau tidak mulai, aku tidak akan bisa membuktikan bahwa bisnis adalah “menarik“. Kalau ditunda terus, tentu keberhasilan pun akan tertunda. Jika harus melewati kegagalan pun, tentu harus saya lewati segera, agar ketika saya pensiun, bisnisku sudah berjalan dengan lancar. Jangan sampai ketika aku sudah dapat surat pensiun, dan tidak bekerja lagi, aku baru memulai bisnis yang memang harus melewati jatuh, jatuh, jatuh dan bangun kembali untuk selanjutnya menuju Sukses.

Penutup

Aku pun tersadar. Kini usiaku baru beranjak 31-an.

Akupun berpikir “Apakah aku harus mulai membangun bisnis ketika usiaku 52 tahun atau dari sekarang ?“

Kenapa tidak sekarang ?!

* Masbukhin Pradhana adalah motivator bisnis yang bergabung dalam komunitas Jakarta Entrepreneur Club.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman