Senin, 10 November 2008

Destiny

Oleh: Agung Prabowo, ObTpH


Everything that irritates us about others can lead us to an understanding of ourselves.
[Carl Jung]

Kerja! Kata yang begitu mempesonanya sehingga berpengaruh dalam urat nadi kehidupan kita. Ada sebagian diantara anda dan juga saya, rela menghabiskan waktunya di sekolahan sekedar sebagai penantian. Bisa penantian yang diisi sambil belajar, bergembira, berfoya-foya atau bisa juga merenung bahkan meratapi. Pastinya, penantian itu menghantar ke jurusan pintu gerbang yang disebut “kerja”. Mungkin sebagian dari anda pun ada yang sudah tak sabar menanti di bangku sekolah. Sehingga memutuskan untuk sekolah sembari bekerja. Juga tak sedikit yang langsung memutuskan untuk bekerja tanpa repot-repot menanti di sekolah.

Disisi lain, tak sedikit pula orang tua yang sibuk mengusung kata kerja sebagai gerbang keberhasilan anak-anaknya. Sampai-sampai ada orang yang harus rela membeli dengan kecongkakan selembar ijazah sebagai syarat untuk bekerja.

Begitu mempesonanya kerja itu sehingga (dalam kehidupan seperti tadi) tidak memberikan ruang-ruang kepada kita untuk sekedar mencicipi selain dari gerbang yang disebut kerja. Setiap kita bernafas, menoleh, berjalan, berlari, bercinta, makan, berbicara, bahkan tidur sekalipun selalu kita menjumpai gerbang mempesona yang disebut kerja. Saking mempesonanya kata “kerja”, sehingga begitu tidak banyaknya pilihan selain kata kerja sebagai pilihan hidup.

Anehnya, ketika kita sudah sampai dan masuk pada gerbang yang disebut kerja, tak sedikit diantara kita yang kemudian merasa kecewa. Bahwa yang terjadi bukan pesona kerja seperti yang dibayangkan saat menunggu di persekolahan. Malahan sebaliknya kerja bukan menjadi pesona lagi, malahan menjadi malapetaka dalam hidup kita.

Bagaimana itu bisa terjadi? Salah satu persoalannya adalah bahwa kerja itu tidak diresapi sebagai destiny (panggilan) kita. Sehingga kerja dimaknai sebagai rutinitas belaka, yang apabila hal itu terus-menerus terpupuk, bisa berujung pada virus keterpaksaan. Virus inilah yang harus kita cegah karena bisa menggerogoti keluhuran dari makna kerja yang mempesona itu.

Bagaimana kita mengantisipasi hal itu? Salah satunya adalah dengan menemukenali destiny kita. Bagaimana menemukenalinya? Jung, seorang pemikir dalam bidang psikologi menterjemahkannya dengan istilah yang lebih genuine, yakni kesadaran kolektif. Semacam kesadaran akan sesuatu yang kemudian juga disadari juga oleh orang lain. Sehingga membentuk pola dalam sebuah masyarakat.

Bentuk dari menemukenali destiny gaya Jung adalah dengan mencari persamaan karakter kita dengan tokoh-tokoh. Bisa tokoh dari dalam kisah kitab suci, pewayangan, komik, film kartun, tokoh-tokoh berpengaruh abad ini, bahkan orang yang kita jumpai dalam perjalanan hidup ini. Kita dapat menemukan karakter-karakter yang nyaris sempurna mirip dengan karakter kita.

Sahabat dan inspirator belajar saya(Andrias Harefa) dalam buku best seller-nya Sukses Tanpa Gelar, menuliskan 15 tokoh yang sukses tanpa gelar di dunia ini. Itu adalah cara praktis menemukenali destiny kita. Yang terpenting ketika kita menemukan kemiripan itu adalah timbul dalam diri kita kemiripan-kemiripan yang berbuah pada sebuah kesadaran. Dan ketika kita menemukan kesadaran itu, kita seperti dibimbing menuju pada destiny kita. Itulah salah satu cara menjaga makna kerja yang mempesona. Bagaimana dengan kita?

* AgUNg PrABOwO,ObTpH adalah alumnus Fakultas Psikologi Universitas Surabaya dan Pendidikan Sistem Bisnis Terapan jurusan Teknik Industri, ITS Surabaya. Ia suka menyandang gelar informal ObTpH [Orang Bodoh Tapi Pengen Hebat]. Bagong, demikian nama panggilannya, sekarang sedang menyelesaikan metode BAHASA IMAJINASI (Imagined Associate Program). Gagasan yang sempat ditelurkannya ke dalam buku adalah “Memimpin Perubahan” [Indybook press] dan sekarang sedang menuliskan konsep Bahasa Imajinasi. Ia dapat dihubungi di: bagong-obtph@cbn.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman