Senin, 10 November 2008

Mengubah Kekalahan Menjadi Kemenangan -

Oleh: M. Iqbal*


Judul di atas adalah sub judul yang saya dapatkan dari buku “Berpikir dan Berjiwa Besar” yang ditulis David J. Schwartz. Di dalam sub judul tersebut lengkapnya ialah, “Bagaimana Mengubah Kekalahan Menjadi Kemenangan”. Sengaja saya hilangkan kata ‘bagaimana’ agar judul di atas sedikit nyastra. Dan tulisan ini memang terinspirasi dari buku tersebut. Saat saya membacanya saya mendapatkan kesan yang begitu mendalam.

Kita temukan di kalangan kelas menengah ke bawah, apa pun profesinya sering mengalami kekalahan, keletihan, dan ketakberdayaan. Di antara mereka ada yang bercerita tentang situasi yang saya sebutkan di atas, dan ada juga yang hanya dipendam saja, mengutuk dirinya, dan membiarkan dirinya dalam keadaan seperti itu. Kata-kata negatif bermunculan dari mulutnya entah menyalahkan diri sendiri atau pun orang lain. Di antara kata semacam itu ialah seperti “semua yang aku lakukan sia-sia saja”, “aku merasa bodoh sekali”, “sudah berkali-kali aku menulis namun tak juga dimuat, aku memang tak bakat” dan masih banyak lagi. Akhirnya, mereka putus asa dan membiarkan dirinya dalam keadaan seperti itu, tak ada usaha lagi, menyalahkan nasib, dan menghindar untuk maju lagi, serta tetap berada di zona kenyamanannya. Kenyamanan dalam keresahan, karena kalah. Itulah gambaran dalam dunia orang-orang kalah.

Namun lain halnya dalam dunia orang-orang berhasil. Kita temukan mereka dari kalangan bawah (miskin), menengah (standar), maupun atas (kaya). Dan satu hal yang sama-sama mereka pernah alami dalam menempuh keberhasilannya yaitu “sama-sama pernah mengalami situasi keras” ujar David J. Schwartz dan bisa mengatasinya, tak kenal kalah. Adapun perbedaan antara orang (menjadi) sukses dengan orang (menjadi) gagal ialah “respon mereka terhadap kekalahan“, begitu David membedakannya. “Ketika orang yang sekarang menjadi orang terbuang terpukul jatuh, ia gagal untuk bangkit kembali. Ia cuma berbaring di tempatnya terjatuh. Tuan menengah bangkit berlutut, merangkak menjauh, dan ketika sudah tidak terlihat, berlari ke arah yang berlawanan sehingga ia akan yakin tidak akan terpukul jatuh lagi. Akan tetapi tuan sukses bereaksi secara berbeda ketika ia terpukul jatuh. Ia bangkit, belajar dari kesalahannya, melupakan pukulan tersebut, dan bergerak maju.”. Itulah penjelasan David mengenai perbedaan orang yang gagal dan sukses dalam merespon terhadap kekalahan.

Dalam bukunya, David menyarankan agar kita membaca biografi ataupun autobiografi orang-orang besar, karena kita akan menemukan mereka sebagai seorang individu yang telah mengatasi rintangan besar dan riil. Sungguh, sudah menjadi keniscayaan dalam menuju keberhasilan akan menjumpai kesulitan-kesulitan, seperti yang dialami orang-orang dalam biografi dan autobiografi, yang menggoda kita untuk kalah dan menyerah. Namun bisakah kita menjalani hidup tanpa kekalahan? Dan bisakah kemunduran kita dijadikan sebagai pendorong untuk kemajuan kita?

Ada beberapa kisah menarik mengenai jawaban pertanyaan di atas tersebut, sebagaimana yang ditutur oleh David juga.

”Para penonton film bioskop yang mengenal Lionel Barrymore tidak akan pernah melupakannya. Pada tahun 1936, bintang besar ini mengalami retak pada tulang pinggul. Retakan ini tidak pernah sembuh. Kebanyakan orang mengira bahwa karier Barrymore pun tamat. Akan tetapi tidak untuk Barrymore. Ia menggunakan rintangan ini untuk melicinkan jalan menuju keberhasilan acting yang lebih besar. Selama delapan belas tahun berikutnya, walaupun mengalami nyeri yang tidak pernah berkurang, ia memainkan lusinan peran yang berhasil di atas kursi roda.

“Bintang besar Opera Metropolitan, Risa Stevens, berkata di dalam Reader’s Digest (Juli 1955) bahwa pada saat paling tidak bahagia dalam hidupnya ia mendapat nasihat terbaik yang pernah ia peroleh. Pada awal karirnya, Nona Stevens gagal mendapatkan peran dalam Opera Metropolitan “Auditions of the Air”. Sesudah gagal mendapatkan peran tersebut, Nona Stevens menjadi sangat kecewa. “Saya sangat ingin mendengar,” ujarnya, “Bahwa suara saya benar-benar lebih baik daripada suara gadis lain itu, bahwa putusan itu tidak adil, bahwa saya kekurangan koneksi yang tepat untuk menang. Sering ketika saya ingin mengasihani diri,” Nona Stevens melanjutkan, “kata-kata itu terus terdengar oleh saya. Malam itu kata-kata tadi membangunkan saya. Saya tidak dapat tidur hingga saya menghadapi kelemahan saya. Berbaring di sana di dalam gelap, saya bertanya kepada diri sendiri, ‘mengapa saya gagal?’ bagaimana saya dapat menang pada kesempatan berikutnya?’ dan saya mengakui kepada diri sendiri bahwa suara saya tidak sebagus yang seharusnya, bahwa saya harus menyempurnakan bahasa saya, bahwa saya harus mempelajari lebih banyak peran.”

“Nona Stevens melanjutkan untuk mengatakan bagaimana tindakan menghadapi kesalahannya tidak hanya membantunya berhasil di atas pentas, tetapi juga membantunya mendapatkan lebih banyak teman dan mengembangkan kepribadian yang lebih menyenangkan.”

Mempelajari kesalahan dan lalu memperbaikinya adalah salah satu cara untuk mengatasi kegagalan dimana kegagalan tidak akan terulangi lagi untuk yang kedua kalinya. Seperti halnya dua contoh di atas. Saat Stevens gagal mendapatkan peran dalam suatu opera bergengsi, yang ia lakukan kemudian adalah menasihati dirinya dengan memberikan sugesti positif, dan belajar lebih giat lagi, mempelajari kelemahan-kelemahannya, dan akhirnya ia berhasil. Begitu juga dengan Lionel Barrymore, walau ia mengalami keretakan pada tulang pinggulnya tapi ia tak menjadikannya patah arang, justru menjadikannya ‘mengubah kelemahan menjadi keunggulan’. Walhasil, ia tetap mendapatkan acting walau dalam kursi roda. “Jangan melarikan diri dari kekurangan. Cari tahu kesalahan dan kelemahan anda, kemudian perbaiki.” Begitulah nasihat David J. Schwartz.

Betul, semua orang pernah melakukan kesalahan, siapa saja, dan juga mempunyai kekurangan. Letak perbedaannya adalah dalam SIKAP. Ya, semua orang akan berbeda dalam menyikapi kesalahan dan kelemahannya. Namun, secara garis besar ada tiga golongan dalam menyikapi keduanya:

Pertama, golongan negatif. Golongan ini selalu melihat dari kacamata negatif entah pada diri sendiri maupun orang lain. Mereka selalu mencari kambing hitam atau mencari kesalahan-kesalahan mengapa mereka bisa gagal atau kalah. Ketika mereka ditimpa kedua hal tersebut mereka mengatakan, “gara-gara dia/aku melakukan itu aku jadi gagal, “atau “dia memang jauh lebih pintar dibanding saya, jadi wajarlah kalau saya kalah,” “aku memang bodoh dan sudah ditakdirkan seperti ini, “ “lantaran ia kita jadi kalah dalam pertandingan ini,” “setekun apa pun aku tak kan bisa” dan masih banyak lagi kata-kata negatif seperti itu. Atau bisa juga mereka selalu melihat masa lalu yang kelam yang memberikan efek pada saat ini.

Kedua, golongan objektif. Golongan ini memandang kedua hal itu biasa saja, artinya tidak menyalahkan orang lain maupun diri sendiri, namun cenderung apatis dan tidak juga memperbaiki nasibnya. Mereka menerima hal itu dengan lapang dada, tapi tak berniat untuk memperbaikinya. Kata-kata yang sering dikatakan oleh golongan ini adalah, “mungkin ini sudah takdir saya”, atau “nasib kita memang lagi sial”.

Ketiga, golongan positif. Golongan ini sebetulnya hampir sama dengan golongan kedua, tapi perbedaannya ialah saat terjadi kegagalan mereka menerima dan memperbaiki kesalahannya, tak putus asa, tak menyalahkan nasib, belajar lebih giat lagi, inovatif, dan kreatif. Dengan cara-cara seperti itu dia tak akan mengalami kesalahan yang serupa. Dia terus maju dan maju. Dengan memandang positif terhadap kegagalan akan membantu memecahkan persoalan, dan mempunyai motivasi yang sangat tinggi. Adapun kata-kata yang sering diucap oleh golongan positif ini yaitu, “kegagalan ini adalah salah satu cara lain untuk menjadi pemenang,” “saya bukan gagal, justru saya sedang belajar menuju sukses”, “ah, baru 10 kali tulisanku ditolak media, belum 100 kali. Saya akan coba lagi”, “besok aku akan cari lain untuk melakukannya”, dan masih banyak lagi.

So, kita ingin masuk masuk golongan mana kalau benar-benar ingin sukses? Sungguh. keputusan ada di tangan kita sendiri.

* M. Iqbal Dawami adalah penulis yang aktif di komunitas GARIS, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman