Senin, 10 November 2008

Saya Bangga jadi Orang Indonesia (01): Tetangga Kami yang Baik

-
Oleh Ebenezer Siadari


Di kampung halaman kami dahulu, di sebuah desa bernama Sarimatondang di Sumatera Utara, ada tradisi yang saya sangat sukai. Kami anak-anak menyebutnya kebiasaan kirim-mengirim. Kalau tiba Tahun Baru, di kampung kami yang mayoritas penduduknya beragama Kristen itu biasanya kami mengirimkan kue-kue buatan orang tua kami (kembang loyang, dodol, kue bakar, kacang tojin, wajik Bandung dst) kepada tetangga-tetangga muslim. Mereka sebenarnya tak bisa kami sebut tetangga karena mereka tinggal agak jauh, berseberangan kampung. Tetapi pekerjaan 'mengirim' itu kami lakoni dengan senang hati.

Yang kami kirimi kue-kue itu biasanya adalah kawan-kawan muslim yang mempunyai pertalian sosial dengan kami. Apakah karena mereka adalah langganan tempat kami belanja sayur-mayur atau pecal, teman sejawat orang tua kami, tukang membetulkan rumah kalau bocor, kawan sekolah kami, dan sebagainya.

Sebagai balasannya, nanti pada Hari Raya, kami akan mendapatkan lagi kiriman dari tetangga Muslim itu. Aneka rupa isi kiriman itu. Kembang loyang, dodol dan sejenisnya tetap ada. Tetapi para tetangga Muslim itu, yang banyak juga diantaranya kawan-kawan dari bersuku Jawa, biasanya lebih kreatif. Maka seringkali juga ada lontong sayur, getuk, kue lapis, nagasari dan sejenisnya.

Sesama kami anak-anak biasanya saling membanggakan jumlah kiriman yang kami terima. Memang seringkali berbeda jumlahnya antar satu rumah dengan rumah lainnya. Jumlah kiriman itu secara tidak langsung menggambarkan seberapa luas relasi kita dengan tetangga Muslim.

Di Jakarta, saya mendapati pengalaman yang unik. Saya sebagai anggota komunitas baru di sekitar rumah, di desa Sarua, Ciputat, bertetangga dengan sebuah keluarga muslim yang, dari pengamatan saya, sangat taat. Sama seperti keluarga saya, mereka baru memiliki seorang putra. Semula saya sudah was-was. Sebagai seorang kristen yang kadang-kadang merasa minoritas di Jakarta ini, dalam hati saya sering berpikir-pikir, wah, bakal ada masalah nggak sama ini tetangga. Apakah dia akan cukup nyaman bertetangga dengan saya yang selain kristen, Batak lagi. (Istilahnya, minoritas ganda).

Ternyata kebalikannya. Tetangga kami itu demikian ramah. Mereka yang pertama menyapa kami, bahkan datang bertamu. (Wah, saya jadi malu, padahal, kami yang seharusnya datang memperkenalkan diri). Belakangan, istri-istri kami jadi demikian akrabnya. Berboncengan naik motor mereka belanja ke mana-mana. Dan, yang membuat saya agak terenyuh, suatu hari si Ibu tetangga itu bahkan menjelaskan kepada istri saya begini. "Bu, kapan-kapan kita ke pasar X yuk. Di sana kalau beli daging murah-murah dan masih segar. Daging Babi juga ada di sana. Kalau mau beli ke sana saja. Nanti kita bareng ya…."

Belakangan ini, ada lagi kebiasaan tetangga baru kami itu yang membuat kami sekeluarga (yang hobinya makan)makin ternanti-nanti. Beberapa kali saat berbuka puasa, kami juga mendapat kiriman hidangan berbuka puasa. Unik-unik. Kadang-kadang ada onde-onde yang tidak terbuat dari ketan melainkan dari tepung ubi.

Kala lain, lontong sayur yang ada baksonya. Kalau pisang molen, entah sudah berapa kali mampir di rumah kami. Kalau mengingat kata istri saya bahwa si ibu tetangga itu sebenarnya nggak pintar masak (dan mereka sering belajar sama-sama bikin masakan tertentu), pastilah kiriman si ibu tetangga itu datangnya dari tempat lain juga. Entah itu dari sanak saudaranya yang sering berkunjung ke rumah mereka atau mungkin dia beli.

Tentu saja, kami juga harus cukup tahu diri. Istri saya yang pernah bekerja di sebuah restoran, kadang-kadang berinisiatif juga mengirimkan masakannya kepada tetangga kami itu. Sebetulnya, kirim-mengirim ini sudah agak berlangsung lama, jauh sebelum bulan puasa. Kalau suami si Ibu tadi tugas ke luar kota, ketika kembali ke Jakarta, si Ibu tadi sering pula membagi oleh-oleh si Bapak kepada kami. Sebaliknya, manakala saya ke luar kota, istri saya juga tidak lupa membagikannya kepada mereka.

Tiap kali saya menikmati 'kiriman' dari sang tetangga, saya merasa bersyukur dan merasa bangga sebagai orang Indonesia. Indonesia yang begini luas, begini beragam penduduknya, begitu kaya budaya dan tradisinya ternyata bukan hanya diisi oleh orang-orang yang membuat kita merasa malu sebagai orang Indonesia seperti yang sering kita saksikan di tayangan-tayangan televisi tentang para koruptor dan pelaku kriminal.

Orang-orang baik di Indonesia masih ada dan saya kira masih banyak. Kebiasaan-kebiasaan baik dan kebiasaan-kebiasaan luhur juga masih dapat kita temukan dalam keseharian kita. Dan, itu bukan di tempat-tempat yang kita anggap seharusnya tempat orang untuk berbuat baik, seperti di tempat-tempat ibadah.

Tetapi di dekat-dekat kita, di tetangga kita, di jalanan yang mungkin kita lalui setiap hari dan juga mungkin di tempat kita mencari nafkah.

Kebaikan-kebaikan kecil yang kami nikmati dari tetangga itu ternyata menghasilkan banyak lagi kebaikan-kebaikan besar di kemudian hari. Kami pernah lupa mengunci pintu pagar ketika bepergian. Dan tetangga kami menguncikannya sambil mengirimkan SMS kepada istri saya memberitahu bahwa mereka sudah menguncikan pintu pagar kami. Kala lain, ada ular tiba-tiba masuk ke rumah mereka dan si Ibu berteriak lewat jendela rumah kami meminta tolong. Kami kemudian bersama-sama meminta tolong kepada tukang ojek yang lewat untuk menolong kami (sebab diantara kami sendiri tidak ada yang berani menangkap ular).

Saya lantas berujar dalam hati, alangkah bangganya kita menjadi bangsa Indonesia jika setiap hari kita dapat mengisi kebaikan-kebaikan dengan sesama. Tidak perlu dengan kebaikan-kebaikan besar. Kebaikan-kebaikan kecil, kemurahan-kemurahan yang kelihatannya remeh temeh, pada saatnya akan sangat berarti menjadikan kita sebagai bangsa yang besar. Sungguh saya bangga jadi orang Indonesia. Anda juga, bukan?

* Eben Ezer Siadari adalah wartawan, pemimpin redaksi majalah WartaBisnis dan BisnisKita, tinggal di Jakarta. Lahir di Sarimatondang, Sumatera Utara, 27 Juli 1966, ia menamatkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Menimba pengetahuan jurnalistik di Thomson Foundation, Cardiff, Inggris (1994), ia juga adalah alumni International Visitor Leader Program (1997) yang diselenggarakan oleh United States of Information Agency (USIA), Washington. Tercatat sebagai associate pada Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI, karyanya sebagai penyunting antara lain Sketsa 50 Eksekutif Indonesia (1997), Gubernur Gorontalo menjawab Rakyat (2005) dan The Power of Value in Uncertainty World, Reflesi seorang CEO, Herris Simanjuntak (2005). Menikah, dengan satu putri (6 tahun) waktu senggangnya dihabiskan dengan tidur dan berburu makanan etnik murah dan ramah di sekitar tempatnya tinggal. Ia dapat dihubungi melalui email: ebenezersiadari@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman