Senin, 10 November 2008

Kekerasan Atas Nama Cinta

Oleh: M. Iqbal Dawami


Akibat dari adanya tragedi Perang Dunia II, penduduk Jepang sering kali merasa bersalah pada setiap makhluk hidup, baik pada sesama manusia maupun hewan serta tumbuh-tumbuhan. Anggapan mereka bahwa terjadinya perang tersebut adalah karena dimulai dari bangsa mereka yang kemudian merambat ke semua negara. Dalam hidupnya mereka mudah sekali meminta maaf, dan merasa bersalah yang berlebihan jika mereka melakukan kesalahan, baik sengaja maupun tidak. Maka tak aneh jika bagi penduduk Jepang budaya bunuh diri sudah mendarah daging, karena berangkat dari perasaan bersalah tadi. Perasaan bersalah tersebut telah diwariskan pada anak-cucu mereka, dari generasi ke generasi. Mereka diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai dengan --salah satunya-- membungkukkan punggungnya kepada siapa pun, tak terkecuali pada anak-anak.

Lalu, bagaimana dengan penduduk Indonesia? Padahal saat ini kekerasan dan anarki telah menjadi budaya. Apakah itu yang akan kita wariskan pada anak-cucu kita? Apakah kita bisa menjamin budaya kekerasan itu tidak akan terwariskan pada generasi mendatang bila mereka (anak-anak) saat ini selalu saja disodori budaya kekerasan, baik dalam media cetak maupun elektronik?

Selain kekerasan antar ‘orang dewasa’, kekerasan pada anak-anak juga semakin marak, mulai dari pemukulan, pelecehan, pemerkosaan, pencabulan, dan segala macam eksploitasinya. Saya tak bisa membayangkan masa depan anak-anak yang masa kecilnya mengalami kekerasan. Yang jelas mereka akan mengalami trauma, dan selalu mengingatnya sampai kapan pun. Trauma tersebut kemudian akan mempengaruhi kepribadian dan bisa berdampak negatif pada diri sendiri dan orang lain.

Adalah sebuah hal alamiah jika anak-anak mencontoh orang dewasa. Dengan kata lain, orang dewasa merupakan referensi utama anak-anak, baik secara verbal maupun non-verbal. Baik yang positif maupun negatif. Maka wajar juga jika ada pepatah mengatakan bahwa anak akan belajar menghargai jika ia tumbuh dalam kasih sayang. Sebaliknya anak akan belajar melawan jika ia tumbuh dalam penindasan, masuk akal bukan? Bukankah agama juga mengatakan kalau anak adalah titipan/amanat Tuhan. Artinya, kita wajib menjaga dan menyayangi anak-anak, bukan sebaliknya.

Seringkali orangtua tak menyadari ketika mereka memarahi anak-anaknya dengan bentakan, caci dan makian, dan bahkan terkadang dengan fisik juga. Padahal secara tak langsung mereka telah mengajarkan kekerasan pada anak-anaknya, walau mereka mengatakan atas dasar cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, jika kita ingin menyelamatkan generasi mendatang, kita harus mengajarkan dan memberi contoh yang baik sejak dini. Kasih sayang, perhatian, dan perlindungan adalah komponen yang harus kita berikan pada anak-anak kita, sehingga di masa depannya mereka akan menjadi manusia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Kemudian mereka pun akan mewariskan hal yang sama pada anak-cucu mereka. Begitu seterusnya.

Lalu bagaimana jika nanti ternyata proses penanaman pengajaran dan pemberian contoh yang telah disebut di atas gagal? Yang pasti orang-orang dewasa baru akan tumbuh menjadi penerus generasi orang-orang dewasa terdahulu, yaitu yang suka membuat kerusuhan, kekerasan atas nama keadilan, dan sebagainya. Mereka akan menjadi orang brutal, haus kekuasaan, dan melakukan segala cara untuk memenuhi hawa nafsunya seperti yang dilakukan para seniornya terdahulu. Jutaan anak tengah siap meneruskan perilaku orang-orang dewasa yang brutal saat mereka menggantikannya. Mereka yang dibesarkan di jalanan seperti pengamen, pedagang asongan, pengemis adalah calon-calon pelaku kerusuhan yang dikomandoi oleh mereka yang dibesarkan di lingkungan borjuis yang melakukan praktik KKN. Itu yang akan terjadi jika mereka semua tak diselamatkan oleh generasi dewasa saat ini. Anak-anak yang ditindas akan menjadi penindas saat dewasa. Anak-anak yang pernah diperlakukan secara tidak manusiawi akan balik menjadi pelaku kekerasan saat dewasanya. Itulah hukum alam. Buah yang jatuh takkan jauh dari pohonnya, begitu pepatah lama mengatakan.

Salah satu yang patut kita perhatikan adalah orangtua dan kebijakan negara. Bagaimana pun peranan kedua pihak tersebut sangatlah signifikan dalam menentukan baik buruknya dunia anak-anak. Orangtua adalah penentu pertama terhadap baik buruknya pertumbuhan anak-anak. Sebagaimana Dorothy Nolte mengatakan, “Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi, jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri, jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali, jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri, jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri, jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.”

Orangtua adalah guru pertama dan yang utama untuk anak-anak. Orangtua merupakan titik tolak anak-anak. Sedang negara merupakan guru kedua yaitu dengan menerapkan kebijakan-kebijakannya melalui lembaga yang bernama sekolah. Nah, jika keduanya bisa mendidik dengan baik dan benar maka anak-anak akan menjadi generasi unggul dan siap menjadi agent of change bagi negara Indonesia ini. Orangtua melalui pendidikannya dengan cara tak mengajarkan kekerasan, namun tak juga memanjainya secara over. Dan negara mendidik melalui kebijakan-kebijakan yang apik di sekolah-sekolah, atau dengan dibuatnya (dan tentunya dilaksanakan juga) UU tentang hak atau memberi perlindungan terhadap anak-anak. Dari situ saya yakin anak-anak bisa menjadi orang-orang yang kita harapkan. Semoga saja.

* M. Iqbal Dawami adalah penulis yang aktif di komunitas GARIS, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman