Senin, 20 Oktober 2008

ADA CINTA DI BALIK HURUF

Oleh: J.I. Michell Suharli

Salam Winner,

Mozes tidak pernah mengerti, mengapa ia begitu bersemangat kuliah Pengantar Akuntansi 1. Padahal, sesi ini adalah dosen keempat untuk mata kuliah yang sama. Padahal , pelajaran akuntansi adalah pelajaran terberat sejak Mozes di SLTA. Padahal, ia selalu tidak suka dengan pengajar akuntansi, kecuali dosen yang saat ini menguliahinya. Dosen ini tergolong unik, menyenangkan, dan membuat Mozes begitu penasaran tentang akuntansi dan akuntan. Ia ingat benar, betapa kurang ajarnya dosen ini, ketika menyindirnya di awal kuliah. Dosen ini bilang, “Lulusan kita memang terpercaya kualitasnya. Bagaimana tidak? Satu mata kuliah bisa tiga sampai lima kali ambil… Ilmu yang didapat lebih dari satu dosen dan lebih dari satu edisi buku.” Sejak itu, Mozes bertekad tidak pernah mau absen selama mengikuti kuliah dosen tersebut.

KEKECEWAAN MOZES
Akhir semester Mozes kecewa berat! Dosen yang mengubah hidupnya itu, yang membuat dirinya mengerti ilmu yang ia paling tidak bisa, yang paling menarik dalam mengajarnya, serta yang ia harapkan memberi angka bagus, ternyata hanya memberikan nilai C.

Bukan cuma Mozes yang kecewa. Banyak senior dan teman baik, yang ia tahu belajar keras karena dosen ini, hanya mendapat nilai D dan E. Baginya, dosen ini bukan sekadar mengajar materi, tapi mendidik untuk hidup yang lebih nyata, lebih baik, dan lebih penuh harapan. Sejak nilai “pelit” itu, Mozes memutuskan tidak pernah kenal lagi dengan dosen kesayangannya tadi.

KEKECEWAAN DOSEN
Ternyata sang dosen juga punya kekecewaan terhadap Mozes dan teman-temannya. Ia bergegas ke kelas agar tidak terlambat untuk menjelaskan materi membosankan yang ia ajar lebih dari lima tahun. Ia harus lepaskan peluang ketemu rekan bisnis, atasan, kolega, dan pihak lain yang mungkin membawanya ke karier lebih baik. Ia harus menunda bertemu dengan orang-orang kesayangannya di rumah demi bertemu anak orang lain, yang mungkin mengharapkan dirinya absen mengajar.

Dalam keadaan letih, ia tetap tampil penuh semangat agar mahasiswa tidak menguap mendengar ocehannya. Sering kali ia melucu, yang justru ditangkap “jayus” oleh mahasiswa. Ia menguraikan materi plus pengalamannya sesuai persiapan yang dilakukan di tengah kesibukannya. Suaranya tetap ia jaga jelas meski emosi di dalam hati bercampur aduk.

Namun, betapa kecewanya sang dosen ini. Meski selalu berbaik hati, setiap kuis ada saja mahasiswa yang menyontek. Sudah mempersiapkan materi semenarik mungkin dan berusaha tampil sebaik mungkin, tetap hasil ujian mahasiswa banyak yang jelek—termasuk Mozes. Ia kenal betul bagaimana apresiasi Mozes di kelasnya. Apa yang benar-benar mengecewakannya saat melihat Mozes ”tidak kenal lagi” dengan dirinya?

SEPULUH TAHUN KEMUDIAN
Mozes melihat jam dan menyetir mobil sekencang-kencangnya. Ia lupa marahan dengan klien karena menunda rapat sore itu. Ia cuma bisa janji datang lebih cepat kepada istri dan anak di rumah. Ia tidak berani berjanji pada kawan baiknya yang mengajak membicarakan peluang bisnis di kafe dekat kantornya. Sering ia merelakan dua anak muda yang tak dikenalnya duduk di mobilnya yang mewah karena aturan 3 in 1. Akhirnya, Mozes tiba di almamaternya 5 menit sebelum jadwal mengajar. Ia ber-hahahehe dengan orang tak dikenal yang ditemuinya sepanjang jalan ke kelas. Sampai di kelas, tampak wajah-wajah idealis dan lugu menyambutnya dengan bersinar-sinar. Tentu saja sebagian lagi bersungut-sungut. Tapi, ia tetap mengajar materi akuntansi yang dulu dibencinya sebagaimana yang dipersiapkan saat istirahat lunch tadi. Ia tetap membagikan pengalaman hidup dan kiat-kiat sukses kepada mahasiswa yang ”bersinar” dan ”bersungut”. Di depan kelas, sering kali ia mengkritik almamater dan kualitas mahasiswa saat ini. Untuk menghibur diri, sesekali ia membanggakan prestasi dan keluarganya. Begitu terus rutinitas Mozes dalam hidupnya yang sangat sukses.

Sampai suatu saat, Mozes memeriksa ujian mahasiswanya. Ia sedih, ada yang nyontek dan banyak yang jelek. Ia sedih harus memberi huruf D atau E kepada mahasiswa yang ”bersinar” maupun ”bersungut” menyambutnya. Namun, ia juga tidak kuat hati meluluskan anak yang memasukkan perkiraan accounts receivable dalam laporan laba/rugi. Mozes tahu benar bahwa huruf yang ditulisnya dapat memperkuat atau menjauhkannya dengan mahasiswa.

Mozes tetap menulis huruf untuk setiap nama mahasiswa dengan segenap hati. Baginya, huruf itu adalah wujud cinta yang terdalam. Huruf itu adalah kristalisasi cintanya sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar. Cinta itu mengalir begitu deras, bahkan menembus ruang dan waktu. Mozes belajar hal itu dari hidupnya sendiri. Mozes belajar dari yang terbaik, yaitu sang dosen yang sepuluh tahun lalu ”tidak dikenalnya lagi”.

Sang dosen adalah seorang pendidik yang penuh cinta. Dosen yang punya visi meluluskan semua mahasiswanya. Dosen yang berkeinginan mahasiswanya mengerti dan kelak menjadi sukses. Dosen yang tidak rela membiarkan mahasiswa menunggu lebih dari 15 menit. Dosen yang membuat materi sulit menjadi mudah dipahami. Dosen yang rela memberi nilai ”A” ataupun ”E” sesuai prestasi mahasiswanya, meski tiada dikenal lagi. Mengapa? Karena, hati manusia adalah cinta. Cinta akan mampu menembus ruang dan waktu untuk mengenali cinta dari sesamanya. Hati mahasiswa akan mengenali cinta dosennya, apa pun hurufnya – bahkan ketika harus menunggu sepuluh tahun![jims]

* J. I. Michell Suharli adalah seorang writer, inspirator, dan eduitainner dari WINNER Institute Training & Education. Ia adalah penulis buku “Winning Strategy for Winning People” dan dapat dihubungi melalui email: jimsmichell@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman