Senin, 20 Oktober 2008

MELONJAK, TERINJAK NAMUN TIDAK BERANJAK

Oleh: Saumiman Saud

Kondisi ekonomi yang semakin terpuruk membuat kehidupan masyarakat semakin memburuk. Mengapa demikian? Karena selama kita masih hidup di dalam dunia yang penuh ketidakpastian, maka kondisi kehidupan kita pun tidak pernah pasti. Oleh karena itulah sering kali manusia kehilangan pegangan tatkala berbagai kesulitan menyerang secara terus-menerus. Putus asa, frustasi, pasrah, itulah yang selalu menghantui kehidupan manusia. Di sisi lain pengangguran, kejahatan, dan narkoba merajarela. Berulang kali pula tatkala orang-orang menghadapi kesulitan seperti ini, maka “keadaan ekonomi” yang terpuruk itu yang dikambinghitamkan, padahal yang salah bukan kondisi itu, tetapi perilaku dan karakter manusia yang ada di dalamnya.

Di dalam Alkitab kita dapat menemukan seorang ahli strategi ekonomi. Di saat-saat keadaan ekonomi negara genting terpuruk, ia masih dapat berjaya; orang itu bernama Yusuf anak Yakub atau cicitnyanya Abraham. Perhitungannya sangat tepat. Dikatakan bahwa negeri Mesir akan berjaya dengan kelimpahan selama tujuh tahun berturut-turut, namun ingat setelah itu maka tujuh tahun ke depan berturut-turut akan terjadi masa-masa sengsara. Bagi Yusuf, strategi jitunya sangat sederhana; barangkali tanpa harus menyandang gelar sarjana ekonomi pun kita dapat melakukannya. Tatkala masa-masa jaya, jangan lupa harus menabung atau menyimpan bahan pangan di lumbung untuk berjaga-jaga agar pada waktu terpuruk masih ada persediaan yang cukup (Kejadian, 41 : 25-31).

Benar sekali apa yang diprediksikan oleh Yusuf itu terjadi. Pada saat masa sulit, mereka masih dapat menikmati makanan yang disimpan di lumbung itu. Tentu pula harga barang tersebut dijual dengan harga normal yang terjangkau oleh masyarakat luas, bahkan orang-orang Israel juga dapat menikmatinya. Sekarang timbul pertanyan, mengapa strategi ini begitu lancar dan nampak sangat sederhana? Apakah kondisi seperti ini masih berlaku saat ini?

Jelas sekali di sini, jaman semakin berubah, manusia hidup dalam situasi yang eksklusif, masing-masing hanya mengurus kepentingan sendiri. Dengan demikian jika ada keuntungan, maka ia mesti mengambilnya sendiri, jika ada kesempatan ia mesti merampasnya sendiri. Dan sebaliknya jika ada kerugian, urusannya diserahkan pada pada orang lain, kalau bisa jangan ditanggung sendiri. Orang-orang yang hidupnya terpengaruh pada kondisi seperti ini sangat sulit membagikan apa yang mereka miliki. Sehingga tidak heran ada orang yang walaupun keadaan kondisi ekonomi begitu terpuruk, ia masih dapat menumpuk harta kekayaan pribadi, dan demi kepentingan itu maka jatah kawan pun dikeruknya.

Jika hari ini para pengusaha yang kaya raya tidak mengelola usahanya dengan penuh kasih, maka yang kaya sudah pasti semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Yang kaya semakin berjaya, yang miskin semakin menderita. Tidak ada salahnya jika Anda yang sudah kaya-raya tetap mempertahankan kekayaan, namun bagi mereka yang miskin apa salahnya diberikan peluang untuk kesempatan itu juga. Tetapi dasar manusia itu tamak, maka untuk urusan kekayaan itu harus menjadi hal yang pribadi, hanya sisa remah-remahnya yang dibagikan kepada si miskin. Bahkan gara-gara masalah kekayaan, saudara dan orangtua kandung pun bila perlu disingkirkan.

Seorang penulis Rusia, Leo Tolstoy dalam bukunya Tuan dan Hamba mengisahkan suatu cerita sebagai berikut: Ada seorang petani miskin yang bernama Pak Khom, ia merasa iri pada kakak iparnya yang sangat kaya di kota. Suatu hari Pak Khom mendengar bahwa ada seorang tuan tanah yang bernama Starshina hendak menjual tanahnya. Pak Khom merasa tertarik untuk membeli tanah itu, agar dapat diolah dan ditanam sehingga ia juga menjadi orang yang kaya. "Berapa harga tanah engkau?" tanya Pak Khom. "Harga tanah," jawab Starshina “hanya 1.000 rubel sehari."

Pak Khom merasa bigung akan harga yang ditawarkan. "Berapa harganya yang benar?" Pak Khom ulang bertanya dengan serius."Saya tidak menghitung dengan cara itu,” kata Strarshina. "Saya akan menjual menurut harinya, artinya sebanyak tanah yang dapat engkau kelilingi selama satu hari; itulah ukuran yang engkau perlu bayar yakni 1.000 rubel."

Pak Khom terheran-heran dan dalam hatinya ia berkata: "Ah... saya pasti dapat mengelilingi seluas-luasnya dan saya akan menjadi orang yang paling kaya di desa ini." Selama satu malam, Pak Khom tidak dapat tidur nyenyak. Ia hanya membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi tuan tanah yang kaya raya. "Saya akan membuat tanda patokan," kata Starshina "di sini saya memberi patokan kayu, tanda dimulai. Apabila matahari terbenam engkau sudah harus tiba kembali di sini. Itu berarti semua tanah yang engkau kelilingi itu mejadi milikmu." Pak Phom mulai berjalan, ia tidak berjalan dengan pelan-pelan, melainkan dengan penuh semangat dan tergesa-gesa. Ia tidak menghiraukan panas terik matahari, dalam benak pikirannya hanya satu yaitu sebentar lagi ia akan kaya-raya.

Satu jam, dua jam berlalu dengan cepatnya. Pak Khom berusaha dengan sekuat tenaga dan secepat mungkin untuk berjalan. Sehingga makan dan minum harus dilakukan sambil berjalan. Walaupun persediaan makanan dan minumannya tinggal sedikit, ia tetap berjalan terus. Pak Khom hanya melihat tanah-tanah yang subur, sungai-sungai yang jernih airnya, dan terus berjalan, sementara di atas gunung orang-orang melambai-lambaikan tangan padanya. Pak Khom sudah capek sekali, kakinya mulai lecet dan juga berdarah, rasanya ia seperti tidak sanggup lagi.

Melihat matahari sudah hampir terbenam, Pak Khom kembali memaksakan diri untuk berlari, dan ia terjatuh tepat pada patokan pertama; namun ia sudah tidak bernyawa lagi. "Ah anak muda," Starshina berseru. "Engkau dapat memenangkan banyak tanah hari ini." Teman-teman Pak Khom kemudian mengambil sebuah sekop dan mengorek lubang yang berukuran satu meter kali dua meter untuk menguburnya. Begitulah kira-kira orang yang telah kerasukan ketamakan. Apa artinya harta, bila karena itu nyawa melayang?

Coba sejenak kita kembali kepada Yusuf, tatkala barang-barang kebutuhan mulai krisis dan habis, Yusuf mengerahkan orang-orangnya membuka lumbung dan menjualnya ke masyarakat. Ia tidak perlu memasang harga yang tinggi seperti yang dilakukan para pedagang masa kini. Zaman sekarang monopoli dagang ada di mana-mana, tatkala diperkirakan harga jual bakal naik, maka yang dilakukan adalah menimbun barang-barang terlebih dahulu di gudang sendiri. Lalu begitu barang-barangnya habis, harga naik, maka si penjual pun menjual dengan harga sesuka-hatinya. Makanya jangan heran hari ini kita menyaksikan bahwa bila harga yang semakin melonjak, maka masyarakat yang miskin semakin merasa terinjak. Harga naik terus, gaji tetap bahkan mungkin dipotong. Apakah mereka mesti berpuasa? Ngomong-ngomong orang yang berpuasa juga harus makan pada malam harinya. Lalu kontrasnya, orang-orang di luar negeri merasa prihatin sekaligus heran dengan kondisi ekonomi di Tanah Air kita. Di satu pihak dikatakan keadaan ekonomi lagi krisis; namun di pihak lain berbondong-bondong masyarakatnya melancong ke luar negeri dan berfoya-foya di sana. Sulit dipercaya dan tidak masuk akal, bukan?

Memang tidak semua orang mau peduli dengan kondisi ini; namun jika Anda mengaku diri sebagai orang percaya, pengikut Kristus yang sejati, cinta Tuhan, maka Anda harus menjadi contoh teladan dalam keadaan ini. Jika tidak, siapa lagi yang dapat diandalkan. Yesaya 59:1 mencatat “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar.” Yakin sepenuh hati, Tuhan pasti menolong. Jadilah pengusaha yang memiliki hati kasih, bukan hati yang tamak. Ingat harta kekayaan dapat dicari, namun kesempatan untuk mengerjakan yang terbaik buat menolong orang lain tidak selalu ada. Porsi lauk-pauk yang dimakan oleh mereka yang kaya dan yang miskin adalah sama, oleh sebab itu jika Anda memiliki lebih, apa salahnya itu dibagikan kepada mereka yang kurang. “Kunci sukses seseorang bukan diukur dari seberapa banyak kekayaan yang ada, tetapi orang yang sukses dapat diukur dari bagaimana ia memakai kekayaannya menjadi berkat bagi orang lain.”

Hari ini kita sebagai manusia tidak dapat menghindari kondisi yang terpuruk itu. Harga-harga barang kebutuhan semakin hari semakin naik di negeri tercinta, celakanya setiap harga barang yang sudah naik sulit sekali untuk turun lagi. Dalam kondisi ini bagaimana sikap orang percaya? Orang percaya mesti harus tabah dan kuat. Orang percaya boleh miskin di dalam harta kekayaan, tetapi ia tidak boleh miskin dalam hal rohani. Bukankah Tuhan Yesus berkata apalah artinya engkau memiliki harta yang ada di seluruh dunia ini, namun Anda kehilangan nyawanya? (Matius 16:26 ) Di bagian lain Tuhan Yesus berkata lagi, “Barang siapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Dan barang siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Matius 10: 39).

Maksudnya ialah, kalaupun kita harus kehilangan nyawa gara-gara kemiskinan itu tidak soal, namun integritas kita sebagai orang Kristen tetap dijaga dan dipelihara. Kita mungkin akan menjadi korban dan miskin terinjak karena harga barang semakin melonjak, namun iman kepercayaan ini tidak harus beranjak. Tuhan kita tidak pernah lalai memerhatikan kita. Dalam kitab Mazmur 37:23-24 “TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya.” Orang miskin memang tidak popular, tidak terperhatikan, sering diabaikan, hina, rendah, papah, namun ingat Tuhan Yesus justru datang ke dunia mencari mereka yang terabaikan itu. Ia menjanjikan suatu kepastian keselamatan yang tidak dapar ditawarkan dan dimiliki oleh dunia ini.[ss]

* Saumiman Saud adalah seorang pendeta, alumni Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, saat ini bertugas di Washington. Beliau dapat dihubungi via email saumiman@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman