Senin, 20 Oktober 2008

SIAP MENGAMBIL PELUANG

Oleh: Ruddy Kusnadi

Ketika Indonesia menghadapi krisis ekonomi di tahun 1998, saya terkesan melihat sampul program Indonesia Forum pada saat itu. Pada bagian atas, di bawah logo berwarna merah putih, tercantum kalimat, “The waiting game is over”. Di bawahnya, dengan huruf yang lebih besar tertulis kalimat; “Now is the Time to Act”. Kemudian Bondan Winarno, ketua Indonesia Forum, dalam pengantarnya mengatakan bahwa saat ini kita harus bekerja dengan “sense of urgency”. Setiap detik harus dihitung dan setiap proses keruntuhan harus segera dihentikan. Kita tidak bisa lagi menunggu. Kita menentukan masa depan dan tujuan akhir yang kita inginkan. Kita tidak mungkin menggambar bintang apabila kita percaya bahwa langit akan runtuh. Kita harus segera bertindak, karena esok mungkin sudah terlambat. Dan Bondan benar, dalih bahwa kita tidak dapat membuat rencana karena ketidakpastian yang dihadapi, harus segera ditinggalkan. Meskipun situasi ekonomi dan sosial politik saat ini belum menentu, tugas dan pelayanan kita harus tetap berjalan.

Pada masa lalu, suatu organisasi akan berhasil apabila mereka mampu meramalkan masa depan yang diperkirakan akan terjadi. Atas dasar ramalan tersebut, organisasi akan dirancang dan dibangun. Berkaitan dengan itu, kita mengenal istilah-istilah merencanakan, mengoperasikan, mengendalikan, mengukur atau mengambil tindakan. Tetapi kini, semua itu seakan tidak berguna. Ketidakpastian membuat kita sulit meramalkan apa yang akan terjadi. Kalau begitu, bagaimana menghadapinya? Charles Handy, seorang filsuf bisnis dari Inggris, menyatakan bahwa kita harus belajar untuk hidup dalam kekacauan dan ketidakpastian. Kita harus mencoba tetap merasa nyaman dan tidak selalu mencari kepastian yang tidak akan ditemukan. Ia mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah mengikuti arus perubahan dan berusaha mengarahkannya, karena cara untuk membuat masa depan menjadi bermakna adalah dengan mengelolanya dan bukan bertindak reaktif terhadapnya.

Bagaimana kita dapat memahami perubahan yang terjadi dan mengarahkan yang relevan bagi kita? Mari belajar dari cerita tentang pelamar pekerjaan yang selalu waspada. Remy sudah lama ingin jadi markonis kapal laut dan kesempatan itu datang ketika ada lowongan untuk jabatan tersebut. Ketika menerima surat panggilan, ia segera pergi ke kantor perusahaan pelayaran yang memanggilnya. Ia disuruh menunggu di depan sebuah kamar tempat wawancara akan dilangsungkan. Ternyata Remy tidak sendirian. Di ruang tunggu, sudah banyak pelamar lain yang bergerombol dan asyik mengobrol di sela kebisingan suara radio, peluit kapal, dan hiruk-pikuk pelabuhan.

Remy agak cemas menyadari akan adanya persaingan dan pelamar lain telah datang lebih dulu. Ia mencoba menenangkan dirinya dan memerhatikan suasana yang ada. Tak lama setelah itu Remy masuk ruangan dan sepuluh menit kemudian ia keluar lagi dengan wajah berseri. Pelamar-pelamar lain menjadi bingung dan bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Saya sudah diterima dan akan mulai berkerja bulan depan,” jawab Remy.

“Bagaimana mungkin?” tanya pelamar lainnya. Mereka mengaku tidak mendengar panggilan ataupun pengumuman petugas, selain suara radio dan peluit kapal yang sangat bising.

“Di situlah letak permasalahannya. Pada waktu peluit kapal dibunyikan berulang-ulang, saya memerhatikan dan menyadari bahwa peluit tadi menyiratkan nada morse, dan meminta agar pelamar yang mengerti makna nada tadi segera masuk ruangan wawancara,” jelas Remy.

Ternyata, di antara suara-suara bising dan tidak mengenakkan, Remy tetap waspada dan dapat memahami nada yang bermakna, yang akhirnya membawanya ke pekerjaan dan masa depan yang diidamkan.

Apa nada sandi yang bermakna bagi kita? Tom Peter dalam bukunya “Thriving on Chaos” mengutip pendapat Gubernur Maryland Don Shaefer, ketika ia masih menjadi mayor Baltimore, “Kalau mau menang, kita harus pergi ke tempat di mana suara letusan senjata terdengar.” Dalam bisnis, tempat ini adalah para pemercaya (stakeholders). Tanpa mengurangi makna yang lain, dua pemercaya yang penting adalah pelanggan dan karyawan. Untuk itu, menarik untuk mengkaji pendapat Skip Weitzen dalam membahas model pertumbuhan perusahaan abad XXI, yang menyatakan bahwa memahami kemauan pelanggan memerlukan riset yang mendasar. Menurutnya, pelanggan menghendaki realisasi moto, pelayanan prima, kualitas, filosofi, pendidikan dan pelatihan, integrasi fungsi dan gaya hidup, efisiensi, dan pelayanan masyarakat.. Pada pihak lain karyawan selaku sumber daya manusia adalah aset organisasi.

Menyadari semua itu, apa yang perlu kita perbuat? Mungkin kita telah memiliki moto kerja, tetapi apakah moto ini telah dihayati seluruh jajaran organisasi kita? Mungkin produk dan jasa kita tergolong berkualitas, tetapi apakah kualitas ini dapat ditingkatkan agar menjadi prima? Apakah telah meliputi kaidah lain di luar standar kualitas, seperti perilaku dan moralitas? Kita mungkin sudah memiliki visi dan misi, tetapi apakah ini telah dipahami bersama dan disosialisakan? Kita mungkin memiliki program pengembangan SDM, tetapi apakah program ini sesuai kebutuhan dan sudah dinikmati karyawan kita secara keseluruhan? Kita mungkin sudah memiliki model peran dan fungsi masing-masing unsur organisasi, tetapi apakah fungsi ini telah disesuaikan dengan perubahan gaya hidup masyarakat? Kita mungkin selalu menyusun program dan anggaran tahunan, tetapi apakah efisiensi sudah dicapai? Dan akhirnya, apakah kita sudah melayani masyarakat sesuai dengan pemahaman yang benar atas pemercaya kita?

Menjawab pertanyaan di atas akan memberikan nada sandi bagi kita untuk terus bekerja dalam kewaspadaan menghadapi ketidakpastian dan perubahan yang sedang terjadi. Selanjutnya, apabila kita menyadari masih banyak yang dapat disempurnakan, mari kita ingat bahwa masa menunggu sudah lewat, dan kita harus segera bertindak. Kita tidak dapat berjalan mundur ke masa depan dan masa depan akan lebih menggairahkan apabila kita dapat menentukan bentuknya. Marilah kita belajar dari kewaspadaan Remy dan memanfaatkan model-model analisis yang relevan bagi kita.[rk]

* Ruddy Kusnadi adalah dosen Universitas Indonesia dan alumnus workshop SPP ”Cara Gampang Menulis Buku Bestseller” Angkatan Ke-4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman