Selasa, 04 November 2008

Kapan Kita Siap?

Oleh: Suryanto Wijaya


Sebutlah Anna seorang mahasiswi yang ditunjuk oleh teman-temannya untuk menjadi seorang Project Officer (Ketua Panitia) dari sebuah acara bazaar buku-buku untuk menyambut mahasiwa baru dengan metode pembelajaran baru. Acaranya sendiri merupakan sebuah acara yang melibatkan banyak elemen. Baik dari pihak akademik kampus Anna sendiri, kampus-kampus lain bahkan sampai ke pihak departemen pendidikan. Acara yang akan diadakan selama kurang lebih tiga hari itu mengambil tema “membaca sebagai sebuah kebiasaan untuk sukses”. Tetapi apa yang terjadi ketika Anna diminta untuk menjadi ketua panitia? Jawaban yang keluar dari mulut gadis belia itu adalah, “Aduh, gak siap…!”

Sebuah pernyataan yang seringkali kita dengar ketika seseorang diminta untuk menjadi seorang ketua panitia, diberikan kesempatan untuk menerima sebuah tanggung jawab tertentu yang menantang dan bisa membuat dirinya lebih berkembang.

Pernahkah kita semua mengalami hal yang terjadi pada diri Anna? Saat kita ditantang untuk menjadi lebih baik lagi, saat seorang pria/wanita diminta sebuah komitmen untuk melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius, diberikan kepercayaan sebagai Project Leader pada acara ulang tahun perusahaan? Rata-rata dari kita akan menjawab dengan ucapan “Aduh, gak siap…! Jangan gue deh, cari yang lebih kompeten aja...”

Pertanyaannya kapankah kita akan siap? Benar-benar siap 100 persen? Tidak mungkin ada kemungkinan untuk gagal?

Jika dilihat dari awal pertama kalinya kita hadir di dunia ini. Kita hadir (lahir) di dunia ini apakah kita siap untuk hidup? Pada umumnya bayi lahir di dunia ini tidak siap untuk hidup. Hidup sendiri tanpa ditolong oleh orang lain (dokter, suster, orangtua, dll). Ketika berusia sekitar lima tahunan, kita tidak siap untuk sekolah, meninggalkan orangtua kita. Pada waktu menjelang akhir SMU, kita tidak siap dan terkadang masih bingung dalam memutuskan apakah ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, langsung kerja, buka usaha sendiri atau meneruskan bisnis dari orangtua? Di akhir kehidupan kita, menjelang kita semua menjadi tua, apa kita siap untuk mati, meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya? Jadi kapan ya kita benar-benar siap?

“Oh...untuk itulah kita butuh persiapan atau perencanaan, misalkan seperti kita mau pergi ke luar negeri, yang perlu kita persiapkan adalah paspor, visa, tiket pesawat, pakaian (tergantung berapa lamanya di sana dan tujuannya untuk apa), uang untuk keperluan di sana, dll.” “Direncanain donk, kalau kita mau buka usaha, lihat dulu usaha apa yang benar-benar kita suka dan bisa menghasilkan, produknya (barang dan jasa) bisa memenuhi kebutuhan masyarakat luas, butuh tempat atau tidak, tempatnya seperti apa, eh...coba tanya dulu ke pakar hong shui bagus atau tidak? Butuh modal berapa besar (materi dan non materi)? Gimana rekrut orang-orang yang bisa membantu kita, resikonya apa saja, prediksi kemungkinan berhasilnya berapa lama, bisa untuk jangka panjang atau jangka pendek? Dan kayaknya masih banyak yang perlu direncanakan.”

Betul, dengan perencanaan kita akan menjadi lebih siap ketimbang tidak ada rencana, akan tetapi perencanaan yang seperti apa yang bisa membuat kita selalu siap 100 persen untuk segala macam jenis kondisi yang mungkin terjadi? Butuh berapa rencana, rencana A, rencana B, C, D...? Karena segala sesuatunya berubah setiap saat. Kecil sekali kemungkinannya untuk berhasil 100 persen sesuai dengan apa yang kita harapkan.

In the Future Anything is Possible
Nah, saya tidak mengatakan bahwa punya rencana atau tidak itu sama saja. TIDAK, BERBEDA SEKALI. Perbedaan antara orang yang memiliki rencana tentang hidupnya dengan orang yang tidak mempunyai rencana terhadap hidupnya benar-benar seperti bumi dan langit.

Mereka yang memiliki rencana tentang hidupnya mempunyai peluang untuk bisa hidup secara lebih berarti dan berguna. Mereka yang berencana tentang hidupnya seperti orang yang memiliki peta, kompas dan kendaraan. Mereka tahu apa yang mereka mau dalam hidup mereka, mereka tahu saat ini kondisi kehidupan mereka berada di mana dan mereka juga tahu tujuan mereka ingin kemana. Peta menuju ke sananya ada, tahu jalannya juga dan kendaraan (cara) untuk menuju ke sananya pun ada. Kalau belum ada mereka akan mencari tau kendaraan apa yang tercepat sekaligus teraman menuju ke tempat tujuan mereka.

Dalam skala perencanaan yang lebih besar lagi. Mereka merencanakan pada saat mereka meninggal, apa yang ingin mereka wariskan terhadap keluarga mereka, lingkungan tempat tinggal mereka, teman-teman mereka bahkan dunia. Hal ini pulalah yang dimaksud oleh Stephen Covey sebagai kebiasaan kedua dari tujuh kebiasaan dari orang yang sangat efektif. Begin with the end in mind (mulai dengan memikirkan tujuan akhir).

Karena banyak di antara kita yang dulunya banyak memiliki perencanaan tentang hidup akan tetapi seringkali melenceng dari apa yang telah direncanakan. Mungkin karena seringnya terjadi hal-hal yang membuat kita melenceng dari rencana awal yang kita inginkan. Hal ini pulalah yang membuat orang-orang yang telah memiliki perencanaan tentang hidup mereka berhenti untuk berencana, mengikuti arus kehidupan yang tak pasti, berhenti untuk melakukan kerjasama dengan Tuhan, tidak lagi berdialog dengan Tuhan untuk saling bahu membahu dalam mendisain kehidupan, mendesain kehidupan yang kita inginkan dan direstui oleh Tuhan.

Saya sendiri tidak tahu apa pendapat Anda semua yang sedang membaca artikel ini, apa pandangan Anda masing-masing tentang kehidupan? Saran saya silakan membaca terlebih dahulu artikel saya yang pertama di Pembelajar.com, yaitu “Apa Sih Hidup Ini?”

Nah, kita semua tentu mau yang terbaik terjadi, di dalam setiap tindakan kita. Untuk itulah kita terkadang sering bertanya-tanya kalau mau bikin acara yang bagus kriterianya seperti apa? Persiapaannya perlu apa aja? Acaranya yang bagus seperti apa? Semakin kita banyak bertanya kepada orang-orang, semakin banyak kriteria atau alat ukur untuk menentukan suatu acara bagus atau tidak. Lalu ada orang yang mangatakan pekerjaan atau acara yang bagus tuh ada nilai seninya. Desain tampilannya menarik, dekorasinya ok, yang penting ada live music-nya, acaranya dihadiri band papan atas Indonesia dan masih banyak lagi.

Nah, kalau kriterianya makin banyak dan banyak orang pula kita libatkan, banyak di antara teman-teman kita sendiri yang bilang, “Ah, itu mah berisiko tinggi!”

There always a risk if you do something, but you won’t have to be risky
Rich Dad – Robert Kiyosaki

Apakah semua rencana itu pasti berjalan dengan lancar 100 persen? Pasti akan sama persis sesuai dengan apa yang telah kita rencanakan?

Tentu saja tidak, karena selalu ada area yang tidak bisa kita kendalikan. Apalagi kita menginginkan yang terbaik untuk semua orang. Berusaha untuk menjadi sempurna. Apakah bisa setelah selesai acara, semua penonton akan berkata “Bagus, keren banget deh acaranya. Baru pertama kali saya ikut acara sebagus ini!” Selalu ada kemungkinan orang untuk berkata, “Sayang banget nih persiapaannya masih kurang, coba aja kalau di bagian ini bagian itu lebih diperhatikan dari awal. Mungkin hasilnya bisa lebih bagus dari hari ini!” Karena kalau kita ingin memuaskan setiap orang, mencoba menjadi sempurna maka itu adalah RESEP SUKSES PASTI GAGAL. Silakan baca artikel saya tadi di website ini juga.

Kita hanya bisa mengambil peranan sebagai Event Organizer, baik atau buruknya acara itu berdasarkan pendapat orang lain itu di luar dari peran kita atau kendali kita. Biarkanlah yang berkuasa (Tuhan+Manusia) itu sendiri yang memainkan perannya sebagai penilai dari acara atau tindakan kita. Hal itu berada di luar dari lingkaran kendali kita.

Jadi, kalau diminta untuk menjadi seorang ketua panitia, memegang sebuah jabatan tertentu atau status baru, entah itu berubah dari single menjadi in a relationship or berubah menjadi menikah. Apakah Anda siap? Jawabannya tidak ada dan tidak akan pernah ada seseorang yang siap 100 persen dalam menghadapi perubahan itu.

It’s not can you, it’s will you
-Anthony Robbins

Lagipula yang awalnya kita tidak bisa lalu menjadi bisa bukan itu sendiri adalah sebuah kemajuan? Menembus batas kemampuan diri kita sendiri bahkan bisa dikatakan bahwa kita “mengalahkan” diri kita sendiri. Kita mengalahkan suara-suara parau yang ada di dalam diri kita, yang sering mengatakan bahwa kita tidak siap atau tidak layak untuk menjadi seorang ketua panitia karena ini dan itu. Untuk membuka cara berpikir teman-teman pembelajar semua ini, mungkin ada kata-kata klasik yang mungkin teman-teman semuanya sudah mengetahuinya. Tapi ini tetap berlaku sampai sekarang

In the middle of a problem lies an opportunity.

Dalam setiap masalah yang ada selalu ada saja kesempatan yang terpendam di sana, kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi dari saat ini. Karena sesungguhnya menurut saya kepuasan/kemenangan sejati bukanlah didapat dari memenangkan sebuah pertarungan dengan 100 orang. Kepuasan/kemenangan sejati didapat dari memenangkan pertarungan di dalam diri kita masing-masing. Karena menang terhadap semua orang di dunia ini adalah tidak mungkin dan kita tidak punya cukup waktu untuk hidup di dunia ini mengalahkan semuanya.

Breaktrough the limit of your belief you can do and you cannot do and expand the mindset of what is possible you do in the future if you want a better quality life.

So, last question, kapan kita siap?

* Suryanto Wijaya: Pembelajar Sekolah Kehidupan, Orang Biasa Dengan Pikiran LUAR BIASA seperti Anda. Ia apat dihubungi langsung di CuSenWan200x@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman