Selasa, 04 November 2008

POSITIF + NEGATIF = OBYEKTIF?

Oleh Eni Kusuma W


Saya menyadari arti kompetisi sejak SD. Saya selalu berusaha untuk menjadi yang terdepan. Atau paling tidak di posisi ke dua atau ketiga di kelas. Saya terus belajar dan berusaha sampai saya SMU. Namun setelah lulus SMU jangankan lolos PMDK, UMPTN saja tak tembus. Saya hanya mendapat tawaran tanpa tes untuk universitas-universitas swasta. Ini diluar target dan perkiraan saya semula. Yang berharap lolos universitas negeri, yang tentunya akan mudah memperoleh berbagai fasilitas termasuk keringanan biaya. Mengingat saya berasal dari keluarga yang tak mampu.

Tentu saja saya sedih. Apalagi dalam mencari pekerjaan saya selalu gagal. Meski sempat bekerja menjadi tenaga pembukuan selama satu setengah tahun di sebuah usaha dagang yang kemudian bangkrut. Sampai suatu saat saya mengalami titik jenuh dalam berpikir positif yang akrab dengan saya selama ini. Saya berkata, "Sudahlah, cukup sampai di sini, saya akan berhenti dengan segala harapan pencapaian target saya." Saya harus melihat kenyataan yang ada. Saya miskin dan tak cukup pintar. Dan inilah saya yang terjadi pada diri saya sekarang. Meski saya berusaha menekankan pada diri, saya bukan orang gagal tetapi masih harus banyak belajar. Namun jujur, perasaan itu selalu muncul.

Ternyata apa yang terjadi pada saya selanjutnya? Saya merasa tak terbebani sehingga memandang hidup ini terasa ringan dan mudah. Saya merasa lega bisa jujur kepada diri sendiri, siapa saya saat ini. Saya kira saya lebih obyektif dalam memandang diri saya sekarang. Tidak tenggelam dengan sesuatu yang tak mungkin bisa saya capai meski hati terus berkata,"Saya bisa". Namun kenyataannya saya belum bisa. Akhirnya saya putuskan untuk memulai dengan apa yang sekarang saya bisa lakukan dan berhenti berpikir positif. Sebagai gantinya saya justru berpikir negatif, yaitu selalu membayangkan kemungkinan terpahit. Mungkin hal ini lebih mengena untuk kasus seperti yang saya alami.

Kemudian saya katakan pada diri: “Ok, saya akan melamar pekerjaan sebagai pembantu.” Dan saya pikir saya pantas untuk menjadi pembantu di luar negeri. Meskipun saya tahu bahwa semua orang bisa lakukan pekerjaan ini bahkan di luar negeri sekalipun. Namun saya tetap berpikir kemungkinan saya tidak diterima. Apalagi mengingat tubuh saya yang kecil mungil. Jika ini terjadi pada diri saya, apa boleh buat, terpaksa di negeri sendiri. Dan memulai segalanya dari awal.

Ternyata saya diterima di negara tujuan saya, Hongkong. Dan mulailah saya bekerja. Dalam bekerja pun saya selalu membayangkan kemungkinan terpahit. Dimaki, diomeli atau dipecat. Ternyata benar, saya mengalami itu semua. Bahkan saya hampir dipecat. Saya bisa menerima dan berlapang dada, karena saya telah siap dengan perkiraan saya semula. Meskipun yang saya kerjakan benar, namun tetap salah dan tidak berkenan di hati majikan. Apa boleh buat, mau tidak mau, suka atau tidak suka saya harus menelan pil pahit ini dan terus bekerja sebaik-baiknya. Saya menganggap hal ini sebagai penggemblengan mental dan pembentukan karakter, meskipun caranya agak keras, hehehe. Sesuatu yang tidak saya dapatkan di sekolah mau pun di rumah. Apalagi saya anak paling bungsu.

Sekian lama saya tenggelam dengan pekerjaan saya. Saya hanya bekerja dan bekerja. Work-work-work and nothing. Saya hanya mendaki dan terus mendaki pada tangga profesi ini. Saya tidak menemukan sesuatu yang saya cari selama ini di sini. Yaitu kepuasan batin. Pada tahap ini saya kembali mengalami titik jenuh. Saya merindukan positive thinking yang dulu saya rasakan. Ada semangat, harapan dan cita-cita. Sampai akhirnya saya mulai untuk menulis. Dunia yang sebenarnya akrab dengan saya semenjak SMU. Pertama, saya menulis cerita yang akhirnya menjadi sebuah naskah novel. Saya terus belajar dengan membeli buku-buku motivasi. Hal yang tidak bisa saya lakukan ketika dulu. Karena saya tak memiliki uang untuk membeli buku-buku. Saya mencoba masuk ke berbagai peluang untuk mengarahkan cita-cita saya yang ingin menjadi penulis. Salah satu dari sekian banyaknya cita-cita saya sebenarnya...hehehe.

Saat ini saya memang sedang mendaki di tangga profesi penulis. Saya masih baru memulai tangga paling bawah. Namun saya rasa saya telah berada di jalur yang menguntungkan. Mungkin inilah jalur A nya.... hehehe(bersama penulis-penulis best seller). Dan mau tidak mau saya akan terus belajar meningkatkan kemampuan diri. Syukur-syukur bisa mendaki ke anak tangga berikutnya.

Ketika saya mengalami titik jenuh dengan berpikir positif yang tak mencapai target-target yang saya inginkan , saya justru berpikir kebalikannya. Negative thinking. Berpikir negatif tak selamanya buruk. Dengan menyelamatkan apa yang ada dan membayangkan kemungkinan terpahit akan membawa kedamaian dalam hati. Namun juga tidak boleh larut terlalu lama. Karena bagaimanapun sukses bisa dicapai dengan ber-positive thinking. Negative thinking hanyalah penyeimbang saja.

Kenapa? Jika kita hanya berpikir positif dengan membayangkan target-target yang akan kita capai. Namun pada kenyataannya terjadi sesuatu di luar perkiraan kita, kita akan kecewa dan larut didalamnya. Tetapi jika hal ini dibarengi oleh berpikir negatif juga, membayangkan hal terburuk. Kita bisa menerima. Perasaan antisipatif seperti ini akan membuat segalanya terasa mudah dan ringan.

Menurut saya, Positive Thinking Plus Negative Thinking is Equivalen Objective Thingking. Alias bisa mengantisipasi keadaan sekaligus perasaan. Inilah yang disebut Keseimbangan.[]

* Eni Kusuma W adalah seorang TKI di Hongkong. Ia menyebut dirinya bukan pakar, melainkan salah seorang yang melaksanakan program pembelajaran dari Pembelajar.com, yaitu "rajin belajar". Ia suka menulis cerpen dan sedang merampungkan novel keduanya. Eni dapat dihubungi di: eni_kusumaw@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman