Selasa, 04 November 2008

Meluruskan Sikap Wirausaha

Oleh: Riyanto Suwito


Artikel yang saya tulis ini lagi-lagi diilhami oleh pengalaman pribadi saat berinteraksi dengan berbagai macam orang. Salah satunya adalah karyawan yang lebih spesifik lagi karyawan yang nyambi (punya usaha sampingan). Dari proses interaksi dan pengamatan inilah dan dengan ditambah informasi dari orang lain, karyawan murni (tidak nyambi) serta pihak-pihak lain yang terkait, saya mencoba menuliskan gagasan saya dalam artikel singkat ini.

Dewasa ini bukan rahasia lagi jika banyak karyawan atau pegawai perusahaan yang keranjingan dengan tren baru yang bernama kewirausahaan atau entrepreneurship. Sebuah tren yang tentu saja tidak bisa lepas dari peranan para penulis, motivator, pembicara publik dan bahkan pemerintah maupun dunia pendidikan. Dari merekalah virus kewirausahaan tumbuh dan berkembang bak jamur di musim penghujan.

Dan yang tidak boleh dilupakan tentu saja adalah peranan para wirausahawan terdahulu yang menjadi model sekaligus mentor bagi perkembangannya hingga saat ini. Sebut saja untuk di Yogjakarta ada nama Purdi Chandra – pemilik Primagama Group dan bermacam usaha lainnya yang semuanya di mulai dari nol. Walaupun ada banyak faktor lain yang tidak kalah peranannya dalam membangkitkan semangat wirausaha ( entrepreneur) di negara kita ini. Bahkan krisis ekonomi dan moneter yang teradi sejak akhir 1997 turut andil besar dalam membangkitkan semangat kewirausahaan. Diakui atau tidak ini adalah tonggak dimulainya era kewirausahaan di negara ini.

Sebagai rujukan saya coba mengutip pendapat dari pakar manajemen bisnis, Dr. Rhenald Kasali yang mendefinisikan entrepreneur sebagai seseorang yang menyukai perubahan, melakukan temuan-temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain, menciptakan nilai tambah, memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain, karyanya dibangun berkelanjutan (bukan ledakan sesaat), dan dilembagakan agar kelak dapat bekerja efektif di tangan orang lain. Dari definisi di atas saya melihat ada penyimpangan dalam sikap berwirausaha atau mungkin justru sebuah varian tersendiri dari konsep berwirausaha. Akan tetapi, itu tidak kita rujuk karena merupakan minoritas dan kalau kita nilai dengan perasaan dan hati kita yang paling dalam terasa ada yang menyimpang. Saya tetap terbuka kalau ada yang berpendapat lain.

Ini adalah sebuah kisah nyata dari seorang kawan yang kebetulan berstatus sebagai karyawan pada sebuah institusi. Sebut saja Pak X, adalah karyawan yang mempunyai usaha sampingan di rumahnya. Usahanya sudah berjalan cuku lama, dan dia tetap melakoni perannya sebagai seorang karyawan. Sepintas tampaknya sangat hebat, kalau merujuk kepada pendapat perencana keuangan ternama, Safir Senduk orang ini sudah menerapkan salah satu prinsip untuk mendapat penghasilan tambahan. Dia mendapat gaji sebagai karyawan di tempatnya bekerja, dan mendapat penghasilan tambahan dari hasil usaha sampingan di rumahnya, yang bisa jadi lebih besar dari gajinya sebagai karyawan.

Lantas pertanyaannya adalah, apa yang salah dengan orang ini? Sampai di sini tidak ada kesalahan yang dilakukannya. Tetapi coba kita lihat lebih jauh sepak terjangnya selama ini. Pak X ini menurut pengaduan dari rekan-rekan sekantornya, sering sekali meninggalkan tempat tanpa izin, terlebih bila tidak ada pengawasan dan tugas dari atasan. Memang setiap hari kerja dia hampir selalu datang ke kantor (jarang absen) bahkan seringkali lebih awal dari rekannya yang lain. Tetapi pada jam-jam tertentu menjelang siang sampai sore dia menghilang entah ke mana. Tahu-tahu dia kembali menjelang jam pulang kantor. Tapi tidak jarang juga dia tidak kelihatan sampai rekan-rekan yang lain pulang kantor. Mudah sekali menebak alasan perginya orang ini. Buat apalagi kalau bukan mengurusi bisnis pribadinya karena dia memang tidak mempekerjakan siapa pun untuk membantu usaha sampingannya tersebut.

Inilah yang saya sebut sebagai penyimpangan dari prinsip wirausaha yang seharusnya “memberikan nilai tambah bagi dirinya dan orang lain” serta pelembagaan bisnis agar dapat berjalan ditangan orang lain. Mungkin dia mampu memberi nilai tambah pada produknya tetapi dia membuat nilai minus di kantornya.

Selanjutnya ketika dia terus menjadi single fighter dalam bisnis sampingannya tersebut, saya berkeyakinan kalau binisnya hanya akan jalan di tempat kalau tidak sampai bangkrut. Secara keseluruhan nilai pribadi Pak X ini sebenarnya tidak akan meningkat, baik secara finansial maupun moral kecuali sedikit dalam jangka pendek. Dan dalam jangka panjang dapat diramalkan akan runtuhlah semuanya, integritas pribadi dan juga finansialnya.

Setidaknya ada dua implikasi yang akan dialami teman kita tadi tapi juga berimbas kepada lingkup yang lebih luas. Pertama dalam kehidupun karirnya (di kantor) dia akan mendapatkan nilai negativf dan tentu saja ini adalah hamabatan besar untuk karirnya. Banyak pihak yang merasa tidak suka dengan kehadirannya di kantor. Celakanya lagi, kalau kemudian banyak rekan karyawan dan mungkin atasan yang menjadi semakin anti dengan bisnis sampingan yang di asosiasikan dengan kewirausahaan. Pandangan miring akan tertuju kepada karyawan yang berniat menjalankan usaha sampingan sebagai batu loncatan menjadi wirausahawan pada saatnya nanti. Dan pada gilirannya kewirausahaan akan mendapat stempel buruk khususnya di kalangan karyawan. Tentu ini akan sangat kontra produktif dengan tujuan pengembangan kewirausahaan.

Implikasi kedua yaitu tidak tercapainya misi kewirausahaan yang secara umum bertujuan mencetak sebanyak mungkin wirausahawan baru, menggeliatkan sektor ekonomi riil yang diharapkan akan meningkatkan perekonomian bangsa secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena proses duplikasi tidak berjalan sempurna. Kawan kita yang menjadi contoh di atas ternyata tidak menunjukkan kesuksesan seperti yang seharusnya karena ketidakmampuannya untuk melembagakan bisnis. Dengan alasan kondisi finansial yang belum mencukupi untuk membayar orang lain, atau ketakutan akan berkurangnya laba usaha untuk membayar pegawai atau partner, dia tetap berjalan sendiri dengan terseok-seok bahkan mendapat cibiran dari rekannya.

Tentu saja hal ini tidak menarik teman yang lain untuk mengikuti jejaknya, bahkan akan semakin mengentalkan sikap hidup sebagai karyawan yang nyaman dengan pendapatan pasti setiap akhir bulannya. Cerita seperti ini tidak hanya satu atau dua di lingkungan kita. Akan tetapi hampir sebagian besar karyawan yang mempunyai usaha sampingan mengalami kejadian yang hampir mirip.

Cerita akan menjadi berbeda jika teman kita itu mengambil sikap berani menempuh risiko sebagai salah satu sifat khusus seorang wirausaha, yaitu dengan keluar dari pekerjaannya dan menekuni atau konsentrasi pada usahanya sendiri. Atau mengambil jalan yang kedua yaitu dengan memanfaatkan tenaga orang lain, kalau meminjam istilahnya Pak Purdi yaitu BOTOL (Berani, Optimis, pakai Tenaga Orang lain). Artinya kawan kita tadi tidak harus keluar dari pekerjaannya tetapi dia bisa menjalankan usaha dengan menggunakan tenaga orang lain atau ahlinya yang tentu saja hasilnya akan lebih optimal. Sedangkan dia tetap dapat bekerja dan berprestasi dengan baik di kantornya dan mampu menjaga reputasi sebagai salah satu syarat wirausaha. Tentu saja dengan konsekuensi mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar dan mampu membuat sistem pengawasan yang baik terhadap usahnya sendiri.

Kita seharusnya punya keyakinan diri positif bahwa kalau kita menjadi karyawan yang baik, suatu saat menjadi seorang wirausahawan dengan mempekerjakan orang lain juga bisa menjadi bos yang baik. Dan hasil yang akan kita panen adalah tergantung dari bibit yang kita tanam. Walaupun, kita juga harus menyiangi (memotong) rumput dan gulma yang mengganggu tetapi hasil yang kita peroleh menjadi lebih baik. Akhirnya saya ucapkan selamat berwirausaha dengan semangat, niat dan sikap yang lurus. Semoga bisa memberi manfaat pada diri sendiri dan orang lain.[]

* Riyanto Suwito adalah seorang praktisi akuntansi, konsultan independen, dan aktivis di PKPEK-Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman