Selasa, 04 November 2008

Kecerdasan Wirausaha

Oleh: Abdul Muid Badrun


"We are face to face with our destiny. And we must meei it with a high and resolute courage, for ours is the life of action, of strenuous performance, of duty. Let us live in the harness of striving mightily. Let us run the risk of wearing out rather than rusting out."

Kalimat di atas tergantung di dinding kamar kerja Elizabeth Dole, mantan ketua Palang Merah AS (the American Red Cross) dan calon Presiden AS wanita pertama dari Partai Republik pada pemilihan presiden tahun 2000. Tulisan itu menurut saya mengandung tiga kata kunci yang memberi inspirasi dengan tepat kata wirausaha. Pertama, destiny (tujuan, arah). Kedua, courage (keberanian). Ketiga, action (aksi, tindakan). Untuk memudahkan mengingatnya, saya singkat dengan (DCA).

Hal senada juga diungkapkan oleh Jack Canfield dalam buku barunya"The Success Principles" (Desember 2004). Menurut Canfield, jika orang ingin sukses dalam setiap tindakan dan usaha, ada empat hal yang harus dimiliki yaitu goal (tujuan), action (tindakan), improvement (peningkatan), persistence (ketahanan). Saya singkat dengan GAIP. Keempat hal itu telah terbukti dimiliki oleh semua tokoh penting dalam sejarah dunia, dan dipraktikkan oleh semua tokoh sukses dalam bisnis.

Berdasarkan survei AC Nielsen bekerja sama dengan Citibank pertengahan 2004, tergambar bahwa 80% profesional, manajer, eksekutif, dan Pebisnis usia 30-45 tahun, yang bergaji Rp15-20 juta/bulan terancam miskin di hari tuanya. Mengapa? Karena, pola hidup mereka kebanyakan konsumtif, besar pasak daripada tiang, tidak ada investasi, dan tidak siap menghadapi hari tua (pensiun).

Ilustrasi tersebut sungguh sangat ironi. Bahwa sebagian besar kelompok masyarakat kelas menengah atas Indoensia dan berpendidikan tinggi ini tidak mampu mengkapitalisasi pendapatan yang mereka peroleh secara kreatif. Sehingga, menjadi aset yang bisa memberikan jaminan bagi hari tua dan masa depan anak-anaknya.

Barangkali, mereka harus baca dulu bukunya Dan Benson (2000), Preparing to Thrive in The New Retirement, yang mengupas tuntas bagaimana sebaiknya para eksekutif itu meraih kebebasan finansial ketika tiba masa pensiun. Sudah diterjemahkan dalam edisi Indonesia.

Yang menarik dari survei tersebut, kelompok pengusaha muda dan pemilik bisnis yang selama ini masuk dalam kategori entrepreneur (wirausaha) yang sukses juga termasuk di dalamnya. Mereka umumnya mampu memperoleh pendapatan yang besar (rich), namun tidak mampu mengelolanya dengan baik. Sehingga, dengan gaya hidup yang berlebihan akhirnya mereka tidak memiliki kemapanan secara finansial (wealthy). Inilah bedanya rich dengan wealthy. Dengan kata lain, inilah bedanya orang yang punya kecerdasan wirausaha dengan yang tidak.

Dalam buku "The Power of Entrepreneurial Intelligence" (2004), Aribowo Prijosaksono dan Sri Bawono memberikan definisi tentang apa itu kecerdasan wirausaha (Entrepreneurial Intelligence atau Entre-Q). Menurutnya, kecerdasan wirausaha adalah dorongan hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kemampuan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya secara berkelanjutan.

Entre-Q sebagai sebuah kecerdasan (melengkapi keberadaan IQ, kecerdasan intelektual; EQ, kecerdasan emosi; SQ, kecerdasan spiritual; ESQ, pengggabungan kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual; dan AQ, kecerdasan empatik/adversity) pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang, tetapi tidak pernah dikembangkan secara khusus untuk meningkatkan potensi besarnya. Setiap orang juga memilki kecerdasan wirausaha meski pada tingkat yang berbeda-beda. Namun, mayoritas di antara kita belum atau tidak punya keberanian untuk mengenali dan mewujudkannya. Akibatnya, kita sering melihat kesuksesan seseorang hanya bersifat sementara (temporal), tidak berkelanjutan (sustainable).

Menurut Thomas J. Neff dan James M. Citrin dalam buku mereka yang berjudul "Lessons from The Top", dijelaskan secara rinci delapan (10) ciri dan karakter yang menjadi unsur utama kecerdasan wirausaha. Pertama, demonstrate visionary and strategic skills (kemampuan melihat visi masa depan). Kedua, ability to evercome challenges (kemampuan menghadapi tantangan). Ketiga, passion (kecintaan pada apa yang ditekuni dan kepedulian pada orang lain). Keempat, creativity and innovation (kreatif dan inovatif).

Kelima, great communication skills and excellent people skills (kemampuan berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. Keenam, high energy level (memiliki stamina dan fisik yang prima). Ketujuh, humble (rendah hati). Kedelapan, positive attitude and inner peace (sikap posistif dan selalu tenang dalam menghadapi cobaan dan ujian. Kesembilan, demonstrate consistent strength of character (punya kararter yang kokoh). Kesepuluh, focus on doing the right things right (fokus pada apa yang dituju dengan menjaga keseimbangan antara kemampuan manejerial dan kepemimpinan).

Mencermati kesepuluh ciri dan karakter di atas, seyogianya kita bisa belajar dan introspeksi diri sampai di mana kemampuan Entre-Q kita. Seluruh unsur tersebut ternyata lebih banyak menekankan mengenai kemampuan manajemen diri (intrapersonal skills) dan ketrampilan berhubungan dengan orang (interpersonal skills), dibandingkan dengan ketrampilan mengelola bisnis semata yang selama ini diajarkan dalam pendidikan (mata kuliah) kewirausahaan.

Karena itulah, kecerdasan wirausaha bisa dimiliki oleh siapa pun dan tidak terkooptasi dengan status pendidikan. Siapa saja bisa memilikinya, asalkan punya intrapersonal skill dan interpersonal skill yang baik dan mampu menghasilkan nilai tambah (valuable) bagi diri dan orang, maka dia sudah memiliki Entre-Q. Kedua konsep ini bersinggungan erat dengan konsep 3M dari Aa Gym yaitu mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, dan mulai dari saat ini juga.

Lalu, bagaimana dengan generasi Indonesia? Apakah mereka sudah punya Entre-Q yang baik sehingga mampu merubah bangsa ini menjadi lebih baik? Inilah masalahnya. Selama ini, pendidikan kita lebih banyak mengajarkan anak didiknya untuk menghafal dan bukan berkreasi. Akibatnya, lahir manusia-manusia konsumtif (pemakai, pengguna) bukan produktif (pembuat, kreatif). Generasi kita lebih suka memakai produk asing karena kehilangan nilai dan jati dirinya.

Hal itu berbeda sekali dengan Jepang, yang sejak kecil anak didiknya diajarkan untuk kreatif (intrapersonal skill) dan proaktif (interpersonal skill). Sehingga, secara tidak sadar sejak dini, anak-anak Jepang sudah diberi fondasi kecerdasan wirausaha yang baik dan kuat. Oleh karena itu, kecerdasan wirausaha harus selalu dipupuk, dilatih, dan dikembangkan agar mampu melahirkan manusia-manusia kreatif dan bernilai. Manusia yang bangga terhadap nilai luhur bangsa dan jati dirinya.

Institusi keluarga bisa menjadi contoh (pilot project) bagi pengembangan kecerdasan wirausaha ini. Semoga, bangsa Indonesia tidak saja punya generasi yang punya IQ, EQ, AQ, dan ESQ yang tinggi, namun juga punya Entre-Q yang bisa diandalkan.***

* Abdul Muid Badrun adalah Direktur Eksekutif Center for Education and Entrepreneurship Studies (CEES) dan Pembelajar Manajemen dan Bisnis STIE Widaya Wiwaha Yogyakarta Dapat dihubungi di abdulmuidbadrun@yahoo.com atau HP. 0811 335 362

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman