Selasa, 04 November 2008

SUN YAT SEN NAIK KAPAL

Oleh: Sansulung John Sum


Aki Soerjo belum lahir ketika sampan itu sudah mulai bertugas melakukan kesibukan pentingnya. Ya, beliau baru lahir ketika ketinting, sebutan orang Kalimantan untuk sampan, itu mulai menua. Berbagai tambalan terlihat menutupi bekas-bekas lubang. Riak dan ombak tak cuma sekali duakali membuat ketinting itu sempoyongan. Begitu pun, ketinting tua itu masih mengemban tugas yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tak banyak orang dari orang banyak itu, apalagi riak dan ombak, yang peduli sampai kapan sampan tua itu akan sanggup menunaikan tugasnya.

Sementara itu di belahan dunia lain, di dek sebuah kapal terpampang jelas larangan meludah sembarangan. Phuii! Ada saja penumpang yang tidak mengindahkannya. Suatu waktu, Sun Yat Sen naik kapal itu. Kejadian itu, yang mungkin merupakan pemandangan yang lumrah bagi orang-orang kapal, juga terlihat oleh Dr Sun. Phuii! Spontan, Dr Sun mengeluarkan saputangannya dan menyeka air ludah yang masih hangat di lantai dek itu.

Duapuluh tahun yang lalu, saat pembukaan Dunia Fantasi Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta, sebuah kejadian kecil menarik perhatian wartawan media massa nasional. Dilaporkan, seusai acara pembukaan, Ir Ciputra turut berkeliling di arena proyek yang dibangun dalam pimpinannya tersebut. Tatkala melihat sehelai sampah tergolek di jalan di dalam arena beragam wahana tersebut, serta merta Pak Ci memungutnya sendiri, bukannya menyuruh petugas kebersihan. Perbuatan ini menjadi menarik karena sangat kontras dengan situasi di tahun 1985 itu, ketika Jakarta masih dikenal sebagai megakampung yang warganya acuh tak acuh soal membuang sampah.

“Jauhkan ego Anda dari posisi Anda, sehingga ketika posisi Anda jatuh, ego Anda tidak ikut jatuh,” begitu kata Jenderal Colin Powell. Tak sulit bagi kita untuk memastikan bahwa kearifan seperti ini pula yang dianut oleh Dr Sun dan Ir Ci, sehingga tidak ada sedikit pun rasa terpaksa atau kuatir akan terhina ketika mereka melakukan hal-hal di atas. Bahkan bukan cuma itu, sebagai kelompok great leaders yang berkompetensi mumpuniah, mereka pun bersikap sebagai compassionate leaders yang sanggup menunjukkan kepedulian sanubariah dengan pendekatan holistik-ekologi.

Suara Visionari dan Sanubari
Tahun 2005, dunia memiliki seorang paus baru, yaitu Benedictus XVI, sebagai pemimpin umat Katolik yang kini jumlahnya lebih kurang 1 milyar orang di seluruh penjuru bumi! Sejak dahulu, seorang paus memposisikan dirinya sebagai pelayan dari para pelayan Tuhan, servus servorum Dei. Sebuah positioning dengan pendekatan compassionate leadership yang khas dan berhasil karena menyentuh inti dari makna hakiki kepemimpinan itu sendiri. Seperti kata Robert K. Greenleaf, “The great leader is seen as servant first.” Pengajar di Harvard Business School yang mantan eksekutif AT&T ini menambahkan, “And that simple fact is the key to his greatness.”

Jack Welch, mantan CEO General Electric yang tersohor, seringkali membuat catatan tulisan tangan yang menjadi inspirasi bagi para manajernya, dan untuk menunjukkan dukungan serta empati mengenai masalah mereka. Untuk “merasakan” kehidupan perusahaan, para eksekutif puncak sejak dulu telah menyadari kebutuhan untuk turba (turun ke bawah). Namun, kini bukan hanya turba yang dibutuhkan, tetapi turbu (turun ke bumi). Perhatian yang dynamic interplay diberikan kepada kehidupan perusahaan sekaligus juga kepada kehidupan lingkungan luar perusahaan.

Sehingga, karyawan tidak lagi hanya dipandang sebagai warga perusahaan atau alat produksi semata, tetapi juga sebagai warga masyarakat yang pantas menjadi salah satu sasaran program penerapan konsep Corporate Social Responsibility sehingga dapat sekaligus menjadi “duta” perusahaan bagi pembangunan masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa pendekatan holistik-ekologi kini juga mempengaruhi teori manajemen, agar memiliki wawasan dan sasaran yang lebih luas dan selalu mempertanyakan sasaran yang telah ditentukan.

Para visionaris sejati memahami dan selalu siap mengantisipasi perubahan yang bakal terjadi. Para pemimpin sanubariah (conscious leaders) memiliki potensi terbesar untuk visionary insight dan untuk action! Para pemimpin sanubariah selalu memiliki motivasi moral dan etikal untuk melakukan apa yang benar bagi kebaikan bersama. Baik bagi perusahaan (profit), baik bagi orang-orang (people), dan baik bagi bumi (planet) ini.

Bukankah kita bersama seluruh insan sedang menaiki kapal tua yang sama ini, yang bernama buwana, earth, atau bumi, yang telah menua jauh sebelum lahirnya generasi kita ini, Sun Yat Sen, ataupun Aki Soerjo.

* Sansulung John Sum, Penulis Buku “Awaking The Excellent Habit, Memberdayakan Akal-Budi untuk Sukses bersama: Abdullah Gymnastiar, Andrias Harefa, Andrie Wongso”. Artikel ini pernah dimuat di majalah ExecutiveFocus, Juni 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman